Pos oleh :

PSPK UGM

Beras: Porak-porandakan Kinerja Ekonomi Makro

“Hari-hari ini beras sebagai pangan pokok utama Bangsa Indonesia sungguh telah menyadarkan Negara betapa besar kesaktian yang dimiliki dan sangat berpengaruh terhadap kinerja makroekonomi RI. Untuk ke sekian kalinya kesaktian tersebut ditunjukkan beras melalui kontribusinya yang sangat signifikan dalam angka inflasi tahunan 2010, yang menurut kalkulasi mutakhir Biro Pusat Statistik, BPS, sebesar 6,96 persen.” Demikian pernyataan penyaji dalam seminar bulanan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) pada hari Rabu, tanggal 19 Januari 2011. Seminar yang telah menjadi tradisi setiap bulan itu, pada kesempatan tersebut menghadirkan seorang narasumber, Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, M.Sc, guru besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM sekaligus peneliti senior PSPK, dengan moderator Dr. Agnes Mawarni. Topik yang diangkat pada seminar yang dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan tersebut adalah “Beras: Porak-porandakan Kinerja Ekonomi Makro”.

“Angka inflasi tersebut didominasi oleh bahan makanan dan makanan jadi, masing-masing sebesar 3,5 dan 1,23 persen. Tempat ke-tiga adalah perumahan, air, dan listrik sebesar 1,01 persen. Secara keseluruhan kontribusi makanan yang totalnya 4,73 persen ini setara dengan inflation share sebesar 68 persen. Artinya, dari angka inflasi nasional sebesar 6.96 persen tersebut, 68 persen merupakan pengaruh bahan makanan maupun makanan jadi. Data inflasi yang dipublikasikan BPS menunjukkan berturut-turut dominasi 5 besar dalam angka inflasi, yaitu: (i) beras dengan kontribusi 1,29 persen, (ii) tarif listrik 0,36 persen, (iii) cabai merah 0,32 persen, (iv) emas perhiasan 0,27 persen, dan (v) bawang merah 0,25. Angka-angka tersebut setara dengan sumbangan absolut sebesar: 18,5%, 5,3%, 4,6%, 3,9%, dan 3,9%, berturut-turut untuk beras, listrik, cabai merah, emas perhiasan, dan bawang merah. Berlebihankah kalau menyebut beras ini telah memporak-porandakan kinerja makroekonomi Indonesia? Mari kita lihat lebih lanjut bagaimana potensi sesungguhnya.” ucap Prof. Maksum.

Pengaruh Makro

Inflasi memang hanyalah merupakan satu dari banyak sekali indikator perekonomian makro yang lebih kurang terdeninisikan sebagai turunnya nilai atau daya beli uang. Dalam kerangka agregatif dan nasional, sudah barang tentu angka ini terhitung sebagai rerata tertimbang yang dipengaruhi oleh rerata tertimbang volume konsumsi penduduk dan besaran harga masing-masing barang konsumsinya. Inflasi hanyalah daya beli uang yang melemah.

Sebagai indikator makroekonomi, inflasi ini bisa disebut sebagai yang paling penting karena dia akan berpengaruh terhadap indikator makro lainnya seperti: pertumbuhan ekonomi, nilai upah dan gaji, ketenagakerjaan, nilai bunga permodalan, beaya produksi nasional, kemerataan ekonomi, dan indikator makro lainnya. Segala ukuran nominal kinerja ekonomi makro secara otomatis harus direvisi berdasarkan besaran inflasi menjadi angka-angka riel.

Besaran inflasi ini tidak hanya berkait dengan daya beli publik semata, terutama rakyat miskin yang porsi konsumsi pangannya mendominasi anggaran belanja harian, consumption bundlenya. Pada gilirannya, inflasi ini berpengaruh langsung terhadap nilai UMR yang menjadi di bawah minimum dan harus dinaikkan, biaya produksi juga akan terpengaruh oleh kenaikan UMR, dan selanjutnya kenaikan UMR yang tidak terbendung akan berakibat PHK.

Oleh karena itu, sungguh tidak mengherankan ketika karena kekuatannya yang sangat inflationary metakhir ini bahan makanan seringkali naik kelas, mewarnai banyak sekali perhelatan dan percakapan, resmi maupun tidak resmi, mulai dari Sidang Kabinet Indonesia bersatu jilid II, rapat-rapat kerja Pemerintahan, lokakarya dan seminar, bahkan sampai perbincangan warung kopi serta sego kucing yang semakin tidak terasa pedasnya.

Kegelisahan Beras Terlambat

Kalau cabai yang hanya berkekuatan kurang dari 5 persen saja bisa merubah pola konsumsi dan perubahan harga di warung-warung, sudah barang tentu beras yang semakin sakti dengan pengaruh 18.5 persen lebih menggelisahkan dalam pandangan KIB-II. Sayangnya, kegelisahan ini selalu saja datang terlambat sementara indikasi dari besarnya potensi beras untuk mendongkrak inflasi ini telah terdeteksi sejak sangat dini, Februari 2010.

Indikasi pertama adalah gejala jeleknya kualitas panen yang ditunjukkan oleh mulainya musim panen yang awal 2010 masa panen beras selalu diwarnai oleh bulan basah karena pengaruh perubahan iklim terjadi ditengah bulan-bulan basah. Indikasi kedua ditunjukkan oleh rendahnya pengadaan dalam negeri (ADA-DN) yang dilakukan oleh Negara (BULOG) dalam pengadaan stok sebagai akibat dari terlalu rendahnya angka-angka HPP dalam Inpres 7/2009.

Dua hal ini telah menghasilkan data awal bahwa sampai dengan akhir April 2010 ADA-DN baru berhasil sejumlah 663.000 Ton dari target pengadaan sebesar 3,2 juta ton untuk tahun 2010. Data ini diperkuat data lain yang dikeluarkan awal juni 2010, bahwa dari target tahunan tersebut baru berhasil dikumpulkan sejumlah 60 persen. Sementara itu, jelas sekali bahwa pengadaan besar-besaran selepas Juni sangat sulit karena semakin jauh dari panen raya, dan ini merupakan pertanda nyata akan mandulnya kekuatan pengendalian harga.

Angka 60 persen ini jelas sekali sangat jauh dari harapan. Banyak pihak mempersalahkan BULOG karena gagal melakukan pengadaan untuk melakukan target prognoisanya sendiri sejumlah 3,2 juta ton untuk 2010. Akan tetapi, kecuali faktor kelambanan dalam pengadaan, ada soal lain yang memayungi kinerja otoritas pangan apapun bahwa secara operasional mereka semua harus tunduk kepada Inpres 7/2009 sebagai landasan.

Benar dugaannya, bahwa sejak Juni-Juli itulah krisis beras terasakan dan semakin berkepanjangan, diawali dengan Operasi Pasar yang dilakukan 17 Juli 2010, sampai beberapa bulan berikutnya. Alhasil, karena kekuatan beras yang bukan main dan terus saja menakutkan bagi terjaganya kinerja makroekonomi, sinyal importasi dilontarkan justru ketika Bangsa ini sedang beroleh berkah beras dengan cadangan nasional maksimal sepanjang sejalah: 9,6 sampai 10,1 juta ton setara beras pada awal bulan Agustus dan September 2010.

Akhirnya, pasar beras awal tahun ini agak tidak bergejolak, meski pengendalian harga dilakukan dengan sangat tidak masuk akal: OP Berbasis Import.

OP Berbasis Import

Ironi yang ke sekian telah terjadi dalam perberasan nasional RI. Pada saat surplus cadangan maksimal sepanjang sejarah terjadi, Agustus-September 2010, eskalasi harga beras ternyata semakin menjadi-jadi. Harapan akan normalisasi harga beras akan terjadi selepas Iedul Fitri, ternyata isapan jempol belaka. OP dan apapun upaya untuk mengembalikan normalitas harga beras selalu saja memperoleh perlawanan dengan fakta beras tetap mahal.

KIB-II sebenarnya juga selalu kontroversial untuk importasi, karena menurut BPS, 2010 bukan sekedar swasembada tetapi swasembada dengan surplus 2010 sebesar 5,6 juta ton beras menurut ARAM-II dan direvisi sedikit menjadi 3,9 juta ton beras menurut ARAM-III. Ini jumlah surplus tahunan yang belum pernah terjadi. Akan tetapi, ironisnya, sukses ini juga disertai dengan rekor hebat dengan pengaruh inflasi yang semakin mengkhawatirkan. Dalam kekalutan itulah diputuskan penggelontoramn pasar, OP berbasis import.

Reorintasi Segera

Kali ini rekor kontributif dipersembahkan oleh beras. Akan tetapi, hiruk pikuk di penghujung tahun 2010 justru dihentakkan oleh cabe merah yang mampu menebus angka Rp 100.000 per kilogram, sementara, gula pasir sudah antri untuk menggusur posisi beras dengan indikasi sudah munculnya pemikiran lagalisasi masuknya gula rafiniasi ke dalam pasar konsumsi yang selama ini disediakan khusus bagi GKP, gula krital putih dalam negeri.

Intisari ajarannya adalah, secara bergiliran mulai awal tahun 2010 terjadi gangguan pasar yang disebabkan oleh bergejolaknya komoditas pangan, mulai dari produksi kedele yang merosot, gula kristal putih yang tergusur dari pasar, kelangkaan cabe merah yang menonjol di pertengahan tahun dan muncul lagi penghujung 2010, rusaknya harga daging sapi, beras yang sudah mendera sejak pertengahan 2010, dan balada pangan lainnya awal 2011 ini.

Secara bergantian komoditas itu menyibukkan KIB-II. Sayangnya, hiruk-pikuk yang sudah senantiasa mentradisi itu tidak pernah diperhatikan sebagai pelajaran berharga bahwa itulah sederet kenyataan yang mengingatkan Bangsa ini untuk tidak lagi main-main dengan pembangunan pangan dan pertanian. Faktanya, banyak yang justru memunculkan kritik jalan pintas dengan mencaci-maki pembangunan pertanian yang tidak bisa mengendalikan produksi.

Peran pangan menjadi besar dalam inflasi karena kegagalan Negara dalam penanggulangan kemiskinan. Nalarnya? Karena besarnya penduduk miskin dan hampir miskin yang cunsumption bundle, peta konsumsinya terkonsentrasi di sektor pangan, maka sedikit gejolak pada harga pangan langsung memicu inflasi. Ini sama sekali bukan salah harga yang melonjak-lonjak musiman, tetapi watak konsumsi mayoritas yang amat peka terhadap pangan.

Mengingat bahwa penomena ini bisa berkenaan dengan komoditas pangan apapun pada saat berposisi strategis di suatu waktu tertentu dalam peta konsumsi masyarakat kebanyakan, poor and near poor, maka jalan terbaiknya sudah barang tentu mengelola perimbangan pasar untuk komoditas apapun yang peka cuaca melalui pengembangan teknologi usahatani, pengembangan sistem informasi usaha tani, teknologi pasca panen, terapi pola konsumsi, dan tata kelola pangan antar waktu, semuanya itu dalam upaya mendekatkan relasi penawaran-permintaan pangan dalam jumlah, waktu, wujud dan mutu pangan.

Kalau Negara nampak begitu takutnya dengan inflasi akibat eskalasi harga pangan, maka hanya cara-cara itu yang harus dilakukan dengan konsisten dan lebih sungguh-sungguh oleh Negara melalui pemetaan persoalan pangan nasional secara cermat dan menyelesaikan secara cermat pula. Sementara itu untuk soal daya beli harus diatasi dengan upaya: penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan, dan terapi OPK yang hanya untuk komunitas, waktu dan kasus yang sangat emergency dan bukan sebagai terapi abadi seperti selama ini.

“Jangan pula Negara semakin berlebihan berkonsentrasi hanya mengurus bercocok-tanam beras melulu, karena telah terbukti bahwa kinerja perekonomian nasional bisa kacau-balau hanya karena sekeping biji cabe, setetes jlantah, dan sebutir gula pasir… Sungguh memprihatinkan ketika kisruh yang sama akan kembali berulang karena kelambanan pengambil keputusan yang tidak pernah peduli terhadap tanda-tanda jaman… na’udzu billah…” kata penyaji sebelum seminar sore tersebut ditutup.

~~Warta Pedesaan Edisi Januari 2011

UU Desa: Mengembalikan Kedaulatan Menuju Pembangunan Desa Berkelanjutan

Oleh: Susetiawan

Pengantar

Desa itu menunjuk wilayah, yang didiami oleh masyarakat, yang di dalamnya terdapat sumber-sumber produksi, yang didalamnya juga memiliki tata kelola (governance), diikat oleh aturan main yang disepakati bersama oleh masyarakatnya dan ada pengaturan untuk menegakkan aturan, yang sering disebut dengan istilah pemerintahan. Dalam konteks ini, dulu desa itu adalah negara. Sebelum negara monarchi atau sekarang bergeser menjadi negara kesatuan yang mengintegrasikan berbagai wilayah itu ada, desa sudah ada lebih dulu. Oleh sebab itu desa sudah sejak lahirnya merupakan wilayah yang bersifat otonom. Misalnya pada jaman kerajaan, pemerintahan pusat (kerajaan) tidak banyak campur tangan dalam pengaturan desa, namun hal penting yang hendak diperoleh dari proses pengintegrasian ini adalah pusat mendapatkan upeti dari wujud kesetiaan masyarakat yang terintegrasi terhadap negara.

Dalam proses panjang, ketika pembangunan itu dilakukan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, kondisinya menjadi berbalik, desa menjadi bagian dari pemerintahan pusat dengan posisi pinggiran dan kehilangan otonomi. Selanjutnya desa menjadi obyek pembangunan semua lembaga pemerintahan di atasnya sehingga tidak memiliki kewenangan dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Pusat menjadi sangat kokoh, melakukan sentralisasi, mendominasi pengaturan segala macam sumber yang terletak di desa dan lebih dari itu, yakni mengambil alih pemilikan desa menjadi pemilikan pusat. Salah satu contoh, UU pertambangan bernuansa pusat dari pada daerah.

Desa tidak hanya termarjinalisasi oleh pusat melainkan juga oleh determinasi kepentingan negara-negara industri yang telah dan sedang memperluas pasar barang industrialnya. Posisi negara menjadi sulit dipertangungangjawabkan, ketika negara melakukan proses integrasi nasional maka pertanyaannya, demi kepentingan siapa negara melakukan pengintegrasian lokal ke dalam nasional? Pengintegrasian lokal (desa) untuk kepentingan kesatuan bangsa atau untuk kepentingan perluasan pasarnya negara maju yang menyediakan ruang untuk pasar global? Pertanyaan ini sungguh merisaukan sebab posisi desa sekarang ini sudah menjadi bagian wilayah yang didominasi oleh kepentingan perluasan pasar global. Perjuangan macam apa yang harus dilakukan agar desa berkembang, berdaulat dan memiliki hak-hak yang mampu menjamin kesejahteraan masyarakatnya?

Kerusakan Lingkungan dan Kemiskinan Desa

Pembangunan desa yang telah dilakukan selama 40 tahun tidak banyak merubah wajah desa menjadi makmur. Sistem komersialisasi pertanian tanaman pangan memang mampu meningkatkan jumlah produksi per areal lahan pertanian pangan, namun peningkatan jumlah produksi tidak diikuti oleh pertambahan jumlah pendapatan perkapita masyarakat, bahkan jumlah biaya produksi dalam system pertanian pangan komersial menjadi meningkat. Saprodi seperti pupuk, pestisida dan bibit harus dibeli, yang harganya setiap tahun selalu meningkat. Persoalan lain, kondisi kerusakan tanah akibat pupuk kimia juga semakin tinggi dan ketergantungan tanah terhadap pupuk kimia juga semakin tinggi pula. Desa, yang dulunya, kaya akan teknologi dan jenis benih padi sekarang banyak hilang lantaran diganti dengan benih padi produksi pabrik. Sumber-sumber ekonomi produksi desa, yang dulu dapat dikelola oleh lembaga desa, kini dikuasai oleh para industriawan terutama berkaitan dengan hasil tambang yang berada di wilayah desa. Desa yang seharusnya kaya kini menjadi miskin, baik miskin pengetahuan dan teknologi lokal yang semula dimiliki, hak dan kedaulatan untuk menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan kebutuhan yang ingin dicapainya. Pembangunan membawa degradasi lingkungan dan menuju proses pemiskinan justru karena miskinnya konsep pembangunan desa.

Perkembangan Desa Menjadi Ciri Pertumbuhan Nasional

Tesis masa lalu, kuatnya pemerintah pusat sebagai actor pengintegrasian lokal, secara otomatis akan menjawab kuatnya perkembangan lokal. Sama halnya, kuatnya pertumbuhan ekonomi nasional diasumsikan akan menjawab perkembangan kesejahteraan lokal melalui proses trickledown effect. Asumsi ini gagal menjelaskan perkembangan masyarakat desa. Keadaan yang berlangsung sebaliknya, yakni kuatnya pusat justru melakukan apropriasi atau pengabilalihan lokal oleh pusat. Pikiran paradigmatic ini garus doitinggalkan dan diganti sebaliknya, kuatnya pertumbuhan dan perkembangan lokal (desa) akan menjadi ciri pertumbuhan dan perkembangan nasional. Kesulitan terbesar untuk melakukan pembaharuan ini karena pusat memiliki kepentingan untuk menjadikan desa sebagai obyeknya dalam proses pembangunan. Watak aparatur negara tidak berubah bahkan masuk ke dalam ruang dimana mereka miskin konsep pembangunan dan hanya menjalankan pertanggungjawaban keuangan proyek, yang akan merasa selesai kalau keuangannya tidak dipersoalkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Perilaku ini sulit dibendung dan dipatahkan, kalau ada perubahan hanya terbatas pada wacana akan tetapi perilakunya tidak banyak mengalami perubahan. Keadaan ini semua dapat terjadi karena desa tidak memiliki jamanan perlindungan dari siapa pun yang hendak memiliki kepentingan terhadap desa seperti birokrasi pemerintahan pusat yang dilakukan oleh departemen tekni, para pebisnis dan kemungkinan besar lembaga swadaya masyarakat, meskipun tidak semua Lembaga Swadatya Masyarakat itu sama. Ini lah sebabnya sehingga desa kehilangan kedaulatan dan kemandirian untuk mengatur dan mengkreasikan sumber dan potensi yang tersedia sesuai dengan kepentingannya. Desa justru mengabdi kepada kepentingan lain karena merekalah yang memiliki dan mengimplementasikan program pembangunan pemerintah pusat.

Undang Undang Desa Sebagai Sebuah Perlindungan dan Jaminan Hak Kedaulatan

Kalau cara pandang tentang pembangunan itu diubah, yakni bukan memperkuat nasional akan tetapi memperkuat lokal sebagai ciri perkembangan nasional maka ini membutuhkan jaminan. Satu-satunya jaminan untuk mengembalikan kedaulatan desa adalah undang-undang. Inilah perlunya UU Desa. UU desa tidak hanya sekedar mengatur tentang pemerintahan desa akan tetapi mengatur secara keseluruhan tentang hak dan kewajiban desa dalam penyelenggaraan dan pengaturan rumah tangganya sendiri. Dengan demikian, UU ini juga tidak dapat dijadikan sebagai alat oleh para elit desa, yang semakin lama ada kecenderungan berpikir parsial untuk berpikir tentang perutnya sendiri dan bukan untuk kepentingan kemaslahatan umat.

Jika pikiran-pikiran parsial yang berkembang untuk membela kepentingannya sendiri seperti para perangkat tidak berfikir secara keseluruhan tentang desa dan hanya berpikir parsial seperti memperjuangkan kelompok perangkatnya sendiri maka perjuangan untuk meraih kedaulatan desa akan mengalami kegagalan. Oleh sebab itu, lahirnya undang-undang yang memberikan ruang kedaulatan serta hak kewajiban desa menjadi perlu dikawal dengan agenda advokasi guna mencapai kepentingan bersama yang lebih besar. Undang-undang dibuat untuk mengatur hak dan kewajiban dan bukan sebagai alatnya elit untuk membela kepentingannya sendiri. Jika tidak, desa setelah lepas dari “mulut buaya” lalu masuk ke “mulut singa”. Artinya dari marjinalisasi satu pindah ke marjinalisasi yang lain. Sekali lagi, UU Desa bukan mengatur kepentingan elit akan tetapi mengatur agar desa memiliki kedaulatan dan mendorong kemakmuran masyarakatnya (community welfare).

Keberlanjutan Pembangunan Desa: Bukan Kepanjangtanganan Global

Pembangunan desa yang berkelanjutan merupakan pembangunan desa yang tidak merusak lingkungan, memberikan hak kedaulatan untuk mengatur dirinya sendiri. Pembangunan desa yang berkelanjutan bukan berpijak kepada konsep model produksi kapitalis dimana desa hanya sebagai ajang pasarnya alat-alat pertanian yang diproduksi oleh industri alat pertanian yang membebani masyarakat. Jika keliru dalam memaknai terbentuknya UU Desa maka desa akan masuk perangkat keberlanjutanya pasar global dan bukan keberlanjutan kedaulatannya sendiri.

Oleh sebab itu dasar filosofi memberikan pentingnya pengaturan desa melalui UU menjadi sangat vital, yakni UU Desa itu diwujudkan untuk membela kepentingan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Jika hal ini tidak dipahami maknanya, maka pembangunan desa akan memasuki ruang yang kurang lebih sama dengan proses pembangunan masa lalu, dimana desa sudah diserahkan kepada kepentingan global, sedang negara sebagai agen atau kepanjangtanganan kepentingan model produksi kapilaisme global yang wataknya neoliberal. Pasar bebas menjadi alatnya untuk menguasai sumber-sumber produksi yang hampir semuanya terletak di pedesaan. Paha ini sangat anti terhadap perlindungan negara, kalau perlu negara menjadi alatnya bisnis. Fungsi negara bukan mengatur bisnis akan tetapi negara diatur bahkan alatnya bisnis. Kegagalan negara membangun bangsa karena negara tidak mampu mengatur para pebisnis.

Kesimpulan

UU Desa harus dipikirkan untuk memberikan kedaulatan desa dan bukan sebagai alat kekasaan pusat untuk melakukan pengambil alihan pusat terhadap daerah atau unit terkecil masyarakat, yakni desa. Pengaturan ini dilakukan guna mendorong proses pembangumam desa yang berkelanjutan dan kelestarian lingkungan.

Tesis : Kuatnya pusat akan merembes atau menetes, baik secara ekonomi, politik maupun budaya, ke daerah sampai dengan desa (pikiran ini hingga sekarang masih berlangsung demikian perilaku birokratnya). Desa yang kuat, akan menjadi ciri pertumbuhan nasional yang kuat dan kokoh.

Yogyakarta, 23 Desember 2010

Semiloka Nasional “Gerakan Memperjuangkan UU Desa”

Kementrian Dalam Negeri telah menggodok RUU Desa sejak tahun 2006. Tapi, RUU Desa hingga kini masih belum jelas nasibnya. Walaupun sudah mulai dibahs dan diperdebatkan, ternyata hingga presiden telah memasuki masa jabatannya yang kedua, RUU Desa inipun masih belum kelar, apalagi ditetapkan menjadi regulasi nasional yang peka desa. Perdebatan seputar RUU Desa sebagai konsekwensi kesepakatan revisi atas UU nomor 32 tahun 2004, tidak hanya terjadi di kalangan eksekutif, legislatif tapi mengundang banyak perhatian gerakan masyarakat sipil untuk mengawal proses pembahasan RUU tersebut. Gerakan masyarakat sipil mengawal RUU Desa sudah barang tentu bertumpu pada harapan akan lahirnya Undang-Undang yang memberi amanat kepada negara untuk memberikan pengakuan (rekognisi) dan perlindungan (proteksi) terhadap aspek aspek kemasyarakatan desa.

Berlarut-larutnya pembahasan RUU Desa akan berdampak negatif pada desa karena saat ini desa membutuhkan kejelasan payung hukum yang secara komprehensif dan holistik tidak hanya mengatur mekanisme pembangunan secara umum namun perlu pula mengatur aspek kelembangaan, mekanisme hubungan kerja antar tingkat pemerintahan, kewenangan, pembiayaan, dan partisipasi masyarakat. Payung hukum tersebut tidak lain adalah UU Desa. Disamping itu, secara politis lambannya proses pembahasan RUU Desa bukan karena Desa melainkan sikap politik kebijakan elite pusat itu sendiri. Kita Tahu kemunculan awal RUU Desa dan RUU Pembangunan Pedesaan pada hakekatnya adalah bentuk frakmentasi antar rezim kepentingan dalam tubuh pemerintah yaitu resim pemerintahan dan rezim pembangunan.

Saat ini RUU Desa telah masuk dalam Prolegnas DPR RI, maka diperlukan gerakan politik untuk mengawalnya hingga terlahir menjadi kebijakan nasional yang konsisten terhadap cita-cita dan perlindungan terhadap desa. Dalam kerangka pikir inilah PSPK UGM berkerja sama dengan IRE dan STPMD APMD menyelenggarakan semiloka nasional untuk memperjuangkan RUU desa ditetapkan menjadi UU Desa. Semiloka dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 23 Desember 2010 bertempat di Auditorium STPMD APMD dengan narasumber Arie Sujito (dosen sosiologi UGM), Budiman Sujatmiko (anggota DPR RI), Sudir Santosa (ketua Parade Nusantara), dan Sutoro Eko (tim pakar RUU Desa).

UNDANGAN: Semiloka Nasional “Gerakan Memperjuangkan UU Desa”

Semiloka Nasional: “GERAKAN MEMPERJUANGKAN UNDANG-UNDANG DESA”

Waktu Pelaksanaan: Kamis, 23 Desember 2010

Tempat di Auditorium STPMD “APMD”, Kampus Timoho, Yogyakarta

Kerjasama STPMD “APMD” – PSPK UGM – IRE

Semiloka ini bertujuan mengoptimalkan gerakan untuk memperjuangkan Undang-undang Desa serta menggaungkan suara dan aspirasi desa untuk membantu lahirnya Undang-undang Desa yang peka dan peduli desa.

Narasumber:

  1. Prof.Dr. Susetiawan, Guru Besar Sosiologi Fisipol UGM, Staf Peneliti PSPK UGM.
  2. Budiman Sudjatmiko, Anggota DPR Komisi 2
  3. Sutoro Eko, Tim Pakar RUU Desa (Dosen APMD)
  4. Sudir Santoso, Ketua Umum Parade Nusantara
  5. 5. Arie Sujito, Direktur IRE

Seminar untuk umum dan gratis

Sekretariat Panitia: PSPK UGM

Kegiatan Penyegaran Peneliti Muda

Guna meningkatkan kapasistas para peneliti muda di lingkungan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, selama 2 hari yaitu hari Jum’at dan hari Senin, tanggal 10 dan 13 Desember 2010 PSPK UGM menyelenggarakan kegiatan penyegaran bagi para peneliti muda yang selama ini bergabung dengan lembaga tersebut.

Kegiatan penyegaran ini dilaksanakan dengan menghadirkan beberapa orang narasumber yang dipandang memiliki kompetensi dalam bidang penelitian dan pengembangan. Mereka yang menjadi narasumber kegiatan penyegaran tersebut antara lain Arie Sujito, M.Si (dosen FISIPOL UGM sekaligus direktur IRE Yogyakarta), Dr. Ir. Dyah Ismoyowati (dosen FTP UGM sekaligus kepala PSPK UGM), dan beberapa ahli, baik yang berasal dari internal PSPK maupun dari luar PSPK.

Kegiatan penyegaran bagi para peneliti muda PSPK UGM dipandang perlu sebagai salah satu upaya untuk melakukan transfer of knowledge dari para peneliti senior kepada para peneliti muda agar mereka memiliki kepekaan yang lebih tajam terhadap berbagai isu/persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di daerah pedesaan dan berbagai persoalan yang muncul dalam upaya pengembangan kawasan yang selama ini menjadi perhatian utama PSPK UGM. Selain itu, dari kegiatan penyegaran ini diharapkan para peneliti muda memiliki kemampuan untuk merumuskan langkah yang tepat (solusi) bagi persoalan-persoalan tersebut.

Kegiatan penyegaran yang pada kesempatan ini dilaksanakan khusus bagi kalangan internal PSPK UGM, pada kesempatan yang akan datang akan dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat diikuti oleh pihak-pihak lain yang memiliki minat/kepedulian pada upaya pengembangan masyarakat pedesaan. Bila anda tertarik dengan kegiatan ini, silahkan kontak kami.*(dc)

Kepedulian PSPK UGM pada Korban Letusan Merapi

Letusan Gunung Merapi yang berada di perbatasan propinsi DIY dan Jawa Tengah yang berlangusng sejak tanggal 26 Okober telah menimbulkan korban yang tidak sedikit, baik korban harta benda maupun nyawa. Ribuan rumah tinggal dan fasilitas umum hancur, ribuan ekor binatang ternak dan ribuan hektar tanaman pertanian/perkebunan musnah, serta ratusan nyawa manusia melayang dan luka-luka akibat letusan merapi.

Jatuhnya korban akibat bencana Merapi telah mendorong banyak pihak, baik secara pribadi maupun kelembagaan untuk menyalurkan bantuan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Salah satu lembaga yang memiliki kepedulian pada para korban letusan Merapi adalah Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM. Dengan menjalin kerjasama dengan Komite Kemanusiaan Yogyakarta (sebuah lembaga kemanusiaan yang dibentuk dan beranggotakan sejumlah tokoh masyarakat, yang berasal dari berbagai pihak yaitu akademisi, budayawan, rohaniwan, pengusaha, dll), PSPK UGM telah menyalurkan sejumlah bantuan kepada para korban bencana Merapi.

Dengan melibatkan relawan yang berjumlah kurang lebih 30 orang pemuda dan mahasiswa, dalam masa tanggap darurat bencana Merapi yang berlangsung sejak pertama kali Gunung Merapi Meletus tanggal 26 Oktober 2010 hingga akhir November 2010, PSPK UGM dan KKY telah berhasil menghimpun bantuan dari berbagai kalangan masyarakat dan menyalurkannya kepada para korban Merapi. Sejumlah bantuan yang berhasil disalurkan oleh PSPK UGM dan KKY kepada para korban Merapi antara lain berupa makanan cepat saji, sembako (beras, minyak goreng, gula, dll), selimut dan pakaian pantas pakai, serta obat-obatan.

Guna menghindari terjadinya tumpang tindih dalam penyaluran bantuan kepada korban Merapi, sebelum melakukan kegiatan penyaluran bantuan para relawan terlebih dahulu melakukan pemetaan sosial, yaitu kegiatan yang bertujuan untuk mengumpulkan berbagai informasi tentang jenis bantuan yang dibutuhkan oleh para korban dan lokasi sarasan yang belum tersentuh bantuan dari pihak lain. Hasil kegiatan pemetaan sosial ini sangat berguna untuk memaksimalkan manfaat dari bantuan yang disalurkan oleh PSPK UGM dan KKY. Salah satu manfaat yang dapat diraih dari kegiatan pemetaan sosial yang dilakukan sebelum penyaluran bantuan adalah dapat ter-cover-nya komunitas korban Merapi yang semula luput dari perhatian para donatur. Salah satu komunitas tersebut adalah komunitas korban Merapi yang berada di tepian Kali Code.

Meski lokasi komunitas masyarakat Kali Code jauh dari puncak Merapi namun karena sungai yang membelah kota Yogyakarta itu berhulu di lereng Merapi maka dampak letusan Merapi juga dirasakan oleh komunitas tersebut. Namun bukan awan panas yang mengancam mereka melainkan banjir lahar dingin. Lahar dingin yang terbawa arus air di Kali Code telah menyebabkan sungai Code mengalami pendangkalan sehingga akhirnya pemukiman di sekitar kali tersebut terkena banjir.

Meskipun masa tanggap darurat akan segera berakhir namun kepedulian PSPK UGM dan KKY pada masayarakat koban bencana Merapi akan terus dilanjutkan. Pada masa rekonstroduksi PSPK UGM dan KKY telah membuat perencanaan untuk membantu pengadaan air bersih bagi warga masyarakat di sejumlah desa di lereng Merapi, baik yang berada di Propinsi DIY maupun Propinsi Jawa Tengah, dengan memberikan sejumlah alat penyaring air besih. Di samping itu, PSPK UGM dan KKY juga akan mendampingi warga masyarakat korban bencana Merapi agar dapat memulihkan atau menciptakan sumber penghidupan baru dengan harapan mereka segera dapat mandiri dan tidak berrgantung lagi pada pihak lain.

Apabila anda memiliki kepedulian pada para korban bencana Merapi dan ingin memberikan bantuan kepada mereka, namun anda tidak mengetahui cara untuk menyalurkannya, percayakan bantuan anda kepada kami maka kami akan menyalurkan bantuan tersebut kepada pihak/korban yang benar-benar membutuhkan. Kami tunggu partisipasi anda.

Simalakama Inpres Beras

Oleh: Mochammad Maksum Machfoedz

Kondisi perberasan nasional sungguh amburadul meski harus diakui kekacauan itu sifatnya musiman. Ada titik waktu yang bisa dicatat sebagai masa krisis, antara lain bulan Desember dan masa rendengan yang dicirikan oleh panen minimal, sementara kebutuhan tidak pernah turun. Waktu lain adalah bulan puasa dan menjelang Idul Fitri. Membengkaknya kebutuhan karena menyambut Lebaran dan masa pembayaran zakat tentu sangat berpengaruh. Namun, lonjakan harga kali ini terjadi di tengah berbagai ironi dan pasca-Lebaran. Pertama, krisis terjadi justru ketika pemerintah, melalui Angka Ramalan (ARAM)-II menggembor- gemborkan bahwa tahun ini kita tidak sekadar swasembada, tetapi swasembada dengan surplus 5,8 juta ton beras.

Kedua, kalau ARAM-II bisa dipercaya, puncak krisis justru terjadi pada puncak surplus bulanan sepanjang 2010 dengan stok akhir Agustus 10,1 juta ton sampai stok akhir September 9,4 juta ton. Ketiga, krisis harga beras terjadi ketika otoritas pangan pemerintah dengan kekuasaan dan segala janjinya, mandul, tidak mampu membangun efektivitas pengendalian harga.

Spekulasi dan klarifikasi pemerintah tentang sebab musabab krisis teramat tidak meyakinkan. Setidaknya, ada dua kubu pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)-II yang sangat berbeda dalam penjelasannya. Satu kubu menuding spekulan sebagai penyebabnya, sementara kubu lain menyatakan spekulasi itu tidak mungkin mengingat kompetitifnya pasar beras. Tidak seorang pun berbesar hati mengakui kesalahan bahwa krisis tersebut akibat cetak biru tata niaga perberasan yang telah memperdaya presiden untuk menandatangani Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2009.

Inpres No 7/2009

Dalam upaya menjaga kepentingan produsen, konsumen, dan stabilisasi harga beras sebagai bahan pangan paling strategis, pemerintah selalu menyiapkan bingkai tata niaga yang disebut Inpres tentang Perberasan atau Inpres Beras, yang mengatur tata niaga dan fungsionalisasi otoritas pangan dalam pengendalian harga beras dan gabah.

Selama pemerintahan KIB, kita mengenal Inpres No 13/2005, Inpres No 3/2007, Inpres No 1/2008, Inpres No 8/2008, dan Inpres No 7/2009. Yang menonjol dalam inpres adalah amanat pengamanan harga beras, gabah kering panen (GKP), dan gabah kering giling (GKG) melalui patokan harga yang kemudian disebut harga pembelian pemerintah (HPP). Adalah mandat Bulog sebagai otoritas pangan untuk mengamankan harga di tingkat produsen pada besaran HPP menurut inpres yang berlaku untuk beras kualitas medium.

Inpres No 7/2009 yang diundangkan akhir Desember 2009 dan berlaku 1 Januari 2010 mematok HPP GKP, GKG, dan beras Rp 2.640, Rp 3.345, dan Rp 5.060 per kilogram. Janji kesejahteraan ini setara kenaikan 10 persen dibandingkan Inpres No 8/2008 yang digantikannya. Ajakan untuk melakukan introspeksi, menakar ulang kelayakan Inpres No 7/2009 dalam hal ini sudah tentu erat kaitannya dengan besaran HPP dan proporsionalitasnya.

Besaran HPP

Benar bahwa HPP sekarang sudah 10 persen lebih besar dibandingkan dengan HPP menurut Inpres No 8/2008. Hal ini berarti perbaikan ekonomis sudah dijanjikan bagi petani produsen padi. Persoalannya, apakah perbaikan ini cukup masuk akal atau tidak. Sebagian pihak mengatakan itu sudah bagus mengingat harga beras impor yang lebih murah. Suara ini terutama muncul dari pemerintah.

Sementara pihak lain melihat ini tak cukup berarti dan tidak pantas diukur dengan besaran harga dunia karena tingkat subsidi dan proteksi perberasan mereka yang sangat tinggi dibandingkan di Indonesia. Itu pun masih ditambah dengan pertimbangan sosial ekonomi Indonesia, dalam kaitannya dengan kesempatan kerja dan luasan pemilikan lahan.

Ada baiknya mencermati pandangan kelompok kedua ini, yang juga mengingatkan indikasi rendahnya HPP dilihat dari tingginya harga GKP, GKG, dan beras di pasar yang jauh dari HPP. Maknanya, mekanisme pasar dianggap sudah menetapkan (setting) harga lebih baik bagi petani dan karena itu fungsi pengadaan Bulog tak dijalankan. Haram hukumnya bagi Bulog untuk membeli lebih tinggi dari HPP.

Inilah simalakama pertama. Harga pasar yang tinggi sering dibanggakan sebagai sukses pengendalian harga. Padahal, itulah indikasi terlalu rendahnya HPP. Sebagai bukti, andai saja HPP diturunkan lagi, niscaya pengadaan Bulog akan nihil, tidak ada pengadaan jalur HPP karena harga gabah dan beras yang lebih rendah dari HPP.

Ini mengakibatkan terbatasnya cadangan Bulog sehingga tak mampu mengendalikan harga melalui operasi pasar, seperti terjadi akhir-akhir ini. Simalakama berikutnya berupa keputusan pemerintah untuk impor 500.000 ton beras. Keputusan yang disampaikan Menteri Pertanian dalam rapat koordinasi stabilisasi harga pangan pasca-Lebaran, Senin (20/9), itu pasti memiliki dampak domestik berkepanjangan terhadap sistem produksi beras dalam negeri.

Proporsionalitas

Rendemen adalah rasio teknis antara beras yang dihasilkan dari gabah sebagai bahan bakunya dalam proses penggilingan. Inpres No 7/2009 menyiratkan bahwa beras yang HPP-nya Rp 5.060 per kilogram ternyata nilainya setara dengan harga 1,5127 kilogram GKG dengan HPP Rp 3.345 per kilogram.

Kesetaraan ini menunjukkan bahwa proporsi HPP hanya masuk akal ketika proses penggilingan memiliki rendemen 66 persen dan gratis, tanpa ongkos giling. Dalam dunia nyata, dua hal ini tidak pernah terjadi pada proses penggilingan beras kualitas medium yang dicirikan oleh 20 persen beras patah.

Makna berikutnya, 66 persen adalah optimisme yang tidak memiliki pembenaran, apalagi ketika ditambah ongkos giling Rp 200-Rp 400 per kilogram. Kesetaraan HPP beras Rp 5.060 per kilogram dengan sejumlah gabah senilai yang sama hanya terjadi pada rendemen 68 persen, sesuatu yang tak pernah ada di dunia untuk beras kualitas medium dan itulah simalakama lainnya.

Angka ini jauh menyimpang dari data rendemen Balitbang Pertanian (2008) yang maksimal 64,67 persen dengan konfigurasi gilingan lima tahap Cleaner-Husker-Separator-Polisher-Grader, yang canggih dan supermahal.

HPP beras Rp 5.060 per kilogram itu teramat tidak masuk akal. Berdasarkan rasionalitas rendemen dan biaya giling, untuk GKG Rp 3.345 per kilogram mestinya HPP beras adalah Rp 6.000 per kilogram. Kalau ini patokan HPP-nya, lonjakan harga sampai 20-25 persen tentu masih sangat wajar adanya. Sudah waktunya merombak pola pikir bagi pembenahan Inpres Beras karena landasan legal ini sangat problematik dan telah memunculkan ironi sepanjang sejarah: surplus 9-10 juta ton tetapi impor 500.000 ton. Berangkat dari sinilah kisruh perberasan berakar dan harus diselesaikan. (*Penulis adalah Staf Peneliti PSPK, Guru Besar Sosial Ekonomi Agroindustri, FTP UGM, sumber: Kompas, 22 September 2010).

Corporate Social Responsibility

ANDA MENGALAMI MASALAH DENGAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)?

PSPK UGM Siap Membantu Anda

 

Corporate Social Responsibility (CSR)

Di era sekarang ini Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan salah satu kegiatan yang harus dilaksanakan oleh suatu perusahaan yang menginginkan agar kegiatan usaha yang dilaksanakan dapat berjalan lancar dan berkesinam-bungan. Berbeda dengan paradigma yang dianut pada masa lalu yang menganggap CSR hanya merupakan kegiatan pelengkap (artifisial) saja, di era sekarang ini sebagian besar perusahaan telah menempatkan CSR sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan. Hal ini didasari oleh kesadaran bahwa kemajuan sebuah perusahaan tidak hanya ditentukan oleh kinerja internal perusahaan tetapi juga dipengaruhi oleh warga masyarakat yang ada di sekitar perusahaan. Kondisi sosial budaya warga masyarakat di sekitar perusahaan yang kondusif akan menjadi faktor pendukung bagi kelancaran kegiatan usaha perusahaan. Sebagai salah satu faktor yang turut berpengaruh pada kamajuan yang akan dicapai oleh perusahaan, banyak perusahaan yang menempatkan biaya untuk pelaksanaan kegiatan CSR sebagai salah satu pos pembiayaan yang harus ditanggung oleh perusahaan dalam rangka kegiatan produksi.

Ada beberapa model CSR yang telah dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan, namun secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 model, yaitu model karitatif dan model pemberdayaan. Model karitatif merupakan model CSR yang menempatkan warga masyarakat sekitar perusahaan hanya sebagai penerima bantuan semata. Dalam model ini masyarakat penerima program sama sekali tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring kegiatan CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan. Sedangkan, model pemberdayaan adalah model CSR yang menempatkan warga masyarakat sekitar perusahaan bukan hanya sebagai objek/penerima bantuan semata, tetapi juga sebagai subyek yang berhak ikut dalam menentukan program  yang akan dilaksanakan. Mereka dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring program.

Dalam pelaksanaan kegiatan CSR, tiap-tiap perusahaan memiliki sistem yang berbeda dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Ada beberapa sistem CSR yang telah dilaksanakan oleh perusahaan, antara lain pertama, membentuk satu divisi/bagian dalam struktur organisasi perusahaan yang memiliki tugas untuk melaksana-kan kegiatan CSR; kedua, membentuk organisasi/lembaga yang secara organisatoris memiliki posisi terpisah dari perusahaan, namun mendapat support pendanaan dari perusahaan untuk melaksanakan kegiatan CSR; dan ketiga menjalin kerja sama dengan pihak ketiga untuk melaksanakan kegiatan CSR. Masing-masing model memiliki kelebihan dan kekurangan yang menjadi bahan pertimbangan bagi masing-masing perusahaan untuk menetapkan model CSR yang akan dilaksanakan.

Problem CSR

Meskipun pada saat ini sebagian besar perusahaan telah melaksanakan kegiatan CSR sebagai salah satu bentuk kepedulian mereka pada masyarakat sekitar perusahaan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih sering terdengar berita tentang terjadinya ketegangan/konflik antara perusahaan dengan masyarakat di sekitar perusahaan. Berdasarkan catatan, intensitas konflik antara perusahaan dengan warga masyarakat sekitar perusahaan dari waktu ke waktu tidak semakin menurun melainkan cenderung semakin meningkat. Hal itu menimbulkan pertanyaan, apakah ada yang salah dengan program CSR yang telah dilaksanakan oleh perusahaan-per usahaan tersebut?

Berdasarkan kajian literatur, terdapat 2 kemungkinan yang dapat menjadi penyebab kegagalan CSR dalam meredam konflik/ketegangan antara perusahaan dengan warga masyarakat sekitar perusahaan. Pertama, program CSR yang dilaksanakan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat; dan kedua, adanya kelemahan dalam pelaksanaan program CSR. Namun untuk dapat memperoleh jawaban yang lebih tepat atas pertanyaan besar tersebut, perlu adanya kegiatan kajian/evaluasi terhadap program CSR yang telah dilaksanakan oleh perusahaan. Dengan harapan, melalui kegiatan tersebut dapat segera diperoleh informasi tentang kesesuaian program CSR yang dilaksanakan perusahaan dengan kebutuhan yang dirasakan oleh warga masyarakat sekitar perusahaan atau kelemahan/kekurangan dari program CSR yang telah dilaksanakan sehingga segera dapat dilakukan perencanaan ulang atau pembenahan program CSR demi efektivitas dan efisiensi program. Urgensi dari pelaksanaan kegiatan kajian evaluasi terhadap program CSR sangat dirasakan, yaitu guna menghindari penggunaan dana perusahaan yang tidak efisien dan efektif karena tidak dapat memberikan hasil yang optimal bagi pencapaian tujuan program.

Kegiatan kajian evaluasi program CSR dapat dilaksanakan secara internal dan eksternal. Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kekurangan. Evaluasi program yang dilaksanakan secara internal, dari sisi adminitratif lebih sederhana, namun secara substansi kurang memenuhi standart validitas akibat adanya konflik kepentingan (conflict of interest) yang dapat menyebabkan hasil evaluasi seringkali tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Sebaliknya evaluasi eksternal, dari sisi administratif lebih kompleks namun dari sisi subtansi lebih dapat diandalkan.

Apabila dibandingkan, sistem evaluasi eksternal akan dapat memberikan keuntungan yang lebih maksimal bagi perusahaan dibandingkan sistem evaluasi internal. Validitas hasil evaluasi yang lebih terjamin dapat mendorong perusahaan untuk segera mengambil tindakan yang diperlukan guna menjamin efektivitas program CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan. Dengan kata lain, sistem evaluasi eksternal akan menjamin efisiensi dan efektvfitas kegiatan evaluasi yang dilaksanakan.

Konsultan CSR

Pada saat ini ada banyak lembaga yang menyediakan fasilitas untuk melakukan perencanaan dan kajian evaluasi program CSR. Namun tidak semua lembaga memiliki kompetensi dan kapabilitas untuk melakukannya. Agar tidak mengalami kekecewaan di kemudian hari, maka perlu bagi setiap perusahaan untuk memilih konsultan perencanaan dan kajian evaluasi program CSR yang telah berpengalaman. Salah satu lembaga yang berpengalaman dalam melakukan perencanaan program dan kajian evaluasi program CSR adalah Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM).

PSPK UGM merupakan salah satu unit kerja dari Universitas Gadjah Mada yang bertugas untuk melakukan kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. PSPK didirikan pada bulan April 1973. Sampai dengan tahun 1979 pusat ini dikenal dengan nama Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan (LSPK), dan sesudah itu terkenal dengan sebutan Pusat Penelitian dan Studi Pedesaan dan Kawasan (PPSPK). Sebutan itu berubah lagi, yakni dari tahun 1984-2001 dikenal dengan nama Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK). Akhirnya, sejak bulan Juli 2001 dikenal dengan nama Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) dan berlaku hingga saat ini.

PSPK UGM memiliki banyak pengalaman dalam melakukan kegiatan perencanaan dan kajian evaluasi program CSR. Selama berdiri, berkat dukungan dari para pakar yang ada di lingkungan Universitas Gadjah Mada, PSPK UGM telah mampu melaksanakan kerja sama dengan berbagai kalangan, termasuk dengan berbagai perusahaan, baik yang berskala nasional maupun internasional. Beberapa kajian perencanaan dan evaluasi program yang telah berhasil dilaksanakan oleh PSPK UGM  antara lain: (1) Studi Penyusunan Indikator Kerakyatan pada Perusahaan Pertambangan, (2) Studi Model Pemecahan Masalah Hubungan Industri Pertambangan dengan Masyarakat Sekitar, (3) Studi Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Perusahaan PT. Kelian Equatorial Mining, (4) Studi Evaluasi ”Company Performance” PT. Timah. Tbk, (5) Studi Evaluasi Program Kesehatan Masyarakat di Provinsi Kalimantan Timur, (6) Studi Evaluasi Program Perberdayaan Masyarakat Sekitar Waduk Sermo DIY, (7) Studi Penyusunan Model Pengembangan Masyarakat Sekitar Perusahaan Besar di Kawasan Timur Indonesia, Studi Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat sekitar perusahaan PT Kelian Gold Mining, dan (8) Studi Dampak Sosial Ekonomi Perkebunan Kelapa sawit PT. Asian Agri.

Dari berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan, PSPK UGM berhasil memberikan berbagai rekomendasi dan masukan penting yang dapat segera ditindaklanjuti oleh perusahaan demi efisiensi dan efektivitas program CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan tersebut.

Koleksi Buku

Koleksi buku yang dimiliki Perpustakaan PSPK UGM berasal dari: (1) Himpunan laporan penelitian yang dilakukan PSPK UGM sejak berdiri tahun 1973 sampai sekarang; (2) Kumpulan hasil-hasil seminar yang dilakukan di PSPK UGM sejak berdiri sampai sekarang; (3) Kumpulan karya-karya ilmiah yang ditulis oleh para staf peneliti PSPK UGM; dan (4) Hadiah dari perorangan atau instansi, pembelian, dan lain sebagainya.

  1. Koleksi Wertheim (Wertheim Collections)
    Buku-buku Wertheim Collections (WC) adalah sumbangan keluarga Prof. Dr. Wertheim atas prakarsa Alm Prof. Dr. Sartono Kartodirjo. Alm Prof. Dr. Wertheim adalah guru besar Sosiologi Pedesaan Indonesia Universitas Netherland. Buku-buku yang disumbangkan kebanyakan mengenai sejarah pedesaan, sejarah kebudayaan, sejarah politik Indonesia, sejarah ekonomi, sejarah pertanian dan lain-lain.
  2. Koleksi Lukman Sutrisno (LSC)
    Adalah buku-buku milik Alm. Prof. Dr. Loekman Soetrisno yang dihibahkan ke perpustakaan PSPK UGM atas prakarsa Ibu Loekman Soetrisno. Buku-buku tersebut mengenai sosiologi pedesaan, sejarah pedesaan, sejarah agraria, politik, hukum dan lain-lain.
  3. Koleksi Sugiyanto Padmo (SPC)
    Adalah buku-buku milik Alm. Prof. Dr. Soegijanto Padmo yang dihibahkan ke perpustakaan PSPK UGM. Buku-buku tersebut banyak mengenai sejarah Indonesia, sejarah Asia, sejarah politik, sejarah pertanian dalam pergolakan petani di masa lalu dan lain-lain. Buku-buku sumbangan yang berjumlah banyak diberi tanda khusus dan ditempatkan dalam ruangan khusus di lingkup perpustakaan PSPK UGM . Hal ini dimaksudkan untuk mengenang jasa-jasa beliau.
  4. Kliping dari media cetak terkait dengan masalah:
    Perpustakaan PSPK UGM membuat kliping yang sesuai dengan program penelitian yang dilakukan. Adapun kliping yang dibuat oleh Perpustakaan PSPK UGM adalah mengenai: (1) agraria atau pertanahan, (2) irigasi dan pertanian, (3) kelembagaan, koperasi dan komunikasi pedesaan, (4) kemiskinan, peluang kerja, dan peluang berusaha di pedesaan, serta (5) perencanaan wilayah dan evaluasi pembangunan pedesaan. Kliping-kliping tersebut diambil dari beberapa harian surat kabar seperti Kompas, Kedaulatan Rakyat, Republika, dan lain-lain.

Ketahanan Pangan di Berbagai Tipologi Area DIY

Ketahanan pangan terwujud apabila secara umum telah terpenuhi dua aspek yaitu: (1) tersedianya pangan yang cukup dan merata untuk seluruh penduduk; dan (2) setiap penduduk mempunyai akses fisik dan ekonomi terhadap pangan untuk memenuhi kecukupan gizi guna menjalani kehidupan yang sehat dan produktif. Pada tataran nasional, inti persoalan dalam mowujudkan ketahanan pangan selama lima tahun terakhir ini terkait dengan pertumbuhan permintaan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaannya. Permintaan pangan meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat serta perkembangan selera. Dinamika sisi permintaan ini menyebabkan kebutuhan pangan secara nasional meningkat dengan cepat, baik dalam jumlah, mutu, dan keragamannya. Sementara itu, kapasitas produksi pangan nasional terkendala oleh kompetisi pemanfaatan lahan dan penurunan kualitas sumberdaya alam. Apabila persoalan ini tidak dapat diatasi, maka kebutuhan akan impor pangan akan terus meningkat, dan ketergantungan terhadap pangan impor semakin tinggi. Menyadari akan pentingnya perwujudan ketahanan pangan di tingkat bawah, maka perlu dilakukan pencermatan yang lebih dalam terhadap masalah mikro ketahanan pangan sebagai bagian pengembangan pangan secara nasional. Pengembangan institusi ketahanan pangan tingkat komunitas menjadi mendesak untuk segera dilakukan.