Oleh: Sudir Santoso (Ketua Presidium Parade Nusantara)
“Desaku yang kucinta, pujaan hatiku. Tempat ayah dan bunda, dan handai taulanku..” adalah sepotong syair yang melukiskan bagai orang memandang desa, dengan cara pandang yang romantis. Kenyataannya bagi orang desa sendiri, desa tentu saja tidaklah seromantis itu. Sebagai mantan kepala desa, saya justru merasakan bahwa desa sesungguhnya telah lama tidak menjadi dirinya sendiri (baca: otonom), melainkan desa hanyalah imaginasi dari berbagal pihak yang merupakan supra desa. Mereka adalah pemerintah pusat, para pengusaha, tengkulak, bupati, camat, mungkin juga LSM, dan lain‑lain.
Pemerintah Pusat pada masa orde baru merasa terancam dengan desa sebagai wilayah politik yang dinamis, tempat pertarungan riil dari kepentingan ekonomi secara riil oleh kaum tani/buruh tani, serta pertarungan demokrasi oleh partai‑partai politik. Lalu mereka berimajinasi bahwa stabilitas ekonomi dan politik versi orde baru hanya dapat dilakukan jika desa berhasil ditundukkan. Maka keluarlah UU No 5 Tahun 1979 tentang Desa, yang sesungguhnya berisi kontrol negara sepenuhnya kepada desa. Desa ada di dalam genggaman Camat dan juga Bupati. Partai-partai menyingkir dari desa, kecuali tentu saja Golkar, lalu diperkuat dengan Babinsa. Semua aktivitas di Desa berada sepenuhnya di tangan supra desa tersebut. Urusan pertanian yang menjadi aktivitas sehari‑hari masyarakat desa dikontrol, benih yang akan ditanam, pupuk yang digunakan semua dikontrol oleh aparatur negara dengan segala jenisnya. Bahkan urusan reproduksi masyarakat desa pun menjadi urusan ‘negara’, misalnya dalam program KB.
Kepala Desa menjadi figur sentral di desa, budaya patronase dikukuhkan untuk menguatkan sentralisme kekuasaan kepala desa. Semua akses terkumpul melalui kepala desa, sebab kepala desa adalah jembatan yang memfasilitasi semua kepentingan supra desa di desa.
Namun yang perlu disadari bahwa kekuasaan di desa yang dianggap berpusat di tangan kepala desa sesungguhnya hanyalah pseduo (semu), sebab kekuasaan tersebut hanyalah perpanjangan tangan aparatur negara di atasnya. Kepala Desa pun menjadi pion bagi kekuasaan untuk melegitimasi segala sesuatu yang dikehendaki para aktor pemegang kekuasaan di atasnya. Hari‑hari kepala desa sibuk untuk menyelamatkan dirinya dari kemarahan kekuasaan aparatur di atasnya, maka benar tulisan Hans Antlov “Negara dalam Desa” yang melukiskan aktivitas kesibukan Pak Kades, bukan mengurus warga di desa melainkan sibuk mondar‑mandir ke kecamatan atau kabupaten. Pak Kades pun memfasilitasi semua kepentingan supra desa di desa, tanda tangan tanpa banyak protes untuk pendirian pabrik, perkebunan, dan lain‑lain, semua atas nama kepatuhan kepada negara. Demikianlah orde baru menundukkan desa, kita menyebutnya sebagai Hegemoni.
Perubahan politik 1998, membawa angin segar di desa, dengan harapan di desa segera ada perubahan. Dan sekali lagi supra desa berimajinasi bahwa demokratisasi di desa perlu ditumbuhkan kembali, sebagal upaya untuk mengembalikan kepasitas politik rakyat desa dan mendorong pemerataan distribusi sumber‑sumber ekonomi desa kepada masyarakat agar tak mengumpulkan pada segolongan kecil di desa. Oleh karena itu, disusunlah UU No 22 Tahun 1999 yang mencabut UU No 5 Tahun 1979 tentang desa. Dalam imaginasi supra desa, demokratisasi dapat dijalankan jika ada sharing kekuasaan antara kepala desa dengan Badan Perwakilan Desa.
Rupanya gagasan itu tak bertahan lama, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengembalikan peran Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan Desa. Namun itu tidak berarti dengan serta‑merta kekuasaan di desa kembali terpusat kepada Kepala Desa. Negara rupanya masih mau mencuri kembali kekuasaan di desa, dengan menyisipkan pasal mengenai Sekretaris Desa diangkat menjadi PNS, dengan harapan negara masih mengambil kontrol atas adminitrasi desa ketika Sekdes menjadi perpanjangan tangan birokrasi. Apa Yang terjadi kemudian? Pasal ini memancing prahara lebih besar di desa. Kini beramai‑ramai perangkat desa lainnya menginginkan menjadi PNS. Harapannya tidak lain dan tidak bukan adalah jaminan kesejahteraan bagi perangkat desa.
Demikianlah, saya ingin mengatakan bahwa sesungguhnya segala keributan, keramaian yang terjadi di desa, adalah disebabkan karena imaginasi pihak‑pihak di luar desa. Yang selalu menganggu pikiran kami adalah mengapa mereka tidak bertanya kepada kami, kepada desa sendiri tentang imajinasi rakyat desa mengenai diri kami sendiri. Pertanyaan terbaru kami belakangan ini adalah apa imaginasi baru supra desa dalam hal ini pemerintah pusat kepada desa kali ini?
Kapasitas Yang Hilang Di Desa
Harus disadari bersama bahwa dengan datangnya perubahan, tidak serta merta kita bisa kembali ke romantisme masa lalu mengenai desa yang indah “tata titi tenteram kerta raharja“. Kenyataannya selama 32 tahun lebih selama Orde Baru berlangsung telah menghilangkan banyak kapasitas desa. Bahkan ketika otonomi daerah yang diterjemahkan dengan penguatan desentralisasi di kabupaten selama 10 tahunan ini, tidak serta‑merta dapat membangkitkan repolitisasi pedesaan yang berimplikasi pada redistribusi akses para pelaku‑pelaku di pedesaan.
Berikut ini adalah kapasitas‑kapasitas desa yang hilang selama kurun waktu Orba hingga kini: Pertama, rakyat desa kehilangan kapasitas politiknya. Ketika selama 32 tahun lebih segala organisasi yang ada di desa, baik pemuda, organisasi tani, bahkan organsiasi ibu‑ibu adalah bentukan negara, yang segala aktivitas organisasi wajib dilaporkan kepada negara. Tidak dengan serta‑merta kita dapat menumbuhkan organisasi baru dengan semangat baru dan pola organisasi yang lebih demokratis. Kenyataannya kemampuan rakyat berorganisasi telah lama memudar. Rakyat desa jelas‑jelas kehilangan kapasitasnya dalam berpotitik, mereka tidak sepenuhnya memahami cara dan mekanisme untuk melakukan tawar‑menawar bagi kepentingan aspirasinya secara sehat. Juga ditambah dengan kekecewaan berturut‑turut masyarakat desa dalam setiap kali pemilihan (legislatif, bupati, dll) yang biasanya melupakan janji mereka kepada rakyat usai dipilih.
Kedua, Aparatur Desa (Pemerintah desa) pun kehilangan kemampuannya di dalam menyelenggarakan pembangunan di desanya sendiri. Semua pembangunan infrastruktur diselenggarakan oleh pemerintah, dulu ketika Orba tentu dengan bantuan ABRI, kini pembangunan infrastruktur diserahkan kepada pelaksana proyek yang memenangkan tender pembangunan Infrastruktur.
Ketiga, desa (pemerintah desa) kehiliangan kemampuannya mengurus tata produksi desa. Bila dulu di setiap perdesaan Jawa, ulu‑ulu memegang peranan besar mengatur pengairan bagi pertanian warga, kini tidak lagi. Bila dulu di hampir setiap desa terdapat lumbung desa yang berfungsi menjaga stabilitas harga produk pertanian dan sebagai cadangan kebutuhan desa, kenyataannya sudah sangat lama lumbung desa menghilang, harga produk tak dapat dikontrol dan terus‑menerus jatuh apabila musim panen, desa‑desa kelaparan selama musim‑musim buruk yang menyebabkan gagal panen. Bila mana kita perhatikan, setiap selesai panen, di pinggir‑pinggir sawah para petani, pasti sudah standby di sana para tengkulak yang siap membeli hasil panen petani dengan harga rendah. Bulog terlalu jauh, petani tak mampu mengaksesnya, transportasi ke pasar jauh dan mahal, petani pun tak mampu menjangkaunya. Lembaga Desa tidak memfasilitasi urusan‑urusan tata produksi petani di desanya, malah kini bahkan lebih memalukan lagi, urusan kepala desa menjadi sekedar penyalur raskin, itu pun sering diprotes warga.
Keempat, lembaga desa kehilangan kapasitas penyelenggaraan layanan publik di desa. Bayangkan saat ini KTP saja sudah diambil menjadi urusan kabupaten, yang itu semakin menjauhkan akses rakyat desa terhadap urusan administrasi identitas yang sangat mendasar.
Fakta‑fakta tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya yang sedang terjadi selama ini adalah pembangunan di desa oleh supra desa, dengan menghilangkan kapasitas desa dalam membangun dirinya sendiri.
Persoalan‑persoalan di atas disebabkan sebab utamanya adalah karena minimnya alokasi anggaran untuk desa. Sekarang mari kita bayangkan bagaimana seorang kepala desa harus menjalankan pemerintahan desa yang meliputi banyak aspek dan layanan umum sampai tata produksi desa dan lain sebagainya, jika penerimaan di desa hanya terbatas. Sebagai gambaran adalah kondisi desa di Batang, Jateng sebagai berikut: desa menerima ADD per desa rata‑rata Rp 53 juta/tahun atau maksimal Rp 65 juta/tahun. Dana tersebut hanya dapat digunakan setelah diputuskan dalam Perdes mengenai penggunaan anggaran desa dan disesuaikan dengan Perda Kabupaten Batang. Dana tersebut digunakan untuk alokasi operasional rutin pemerintahan desa berupa ATK, administrasi desa, uang jalan, pemeliharaan inventaris desa seperti motor dan lain-lainnya, gaji kepala desa (rata‑rata Rp 500.000/bulan), gaji perangkat desa (rata‑rata Rp 200.000/bulan), LPMD, kegiatan karang taruna, honor guru TK, honor guru ngaji, dan pembangunan. Selain itu desa dapat saja mendapatkan dana stimulan dengan catatan kepala desanya harus pintar‑pintar me-lobby DPRD, besarnya bisa 5 juta sampai dengan 10 juta rupiah/tahun. Untuk pembangunan fisik seorang kepala desa harus menyusun proposal dan me-lobby dinas PU dan jikalau dapat me-lobby Bapermas (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, di tingkat propinsi).
Untuk kesejahteraan kepala desa dan perangkat desa, di pedesaan Jawa terdapat tanah bengkok desa, dengan catatan bahwa tak semua desa memiliki bengkok desa dan jikalau ada, luasannya sangat bervariasi. Di Batang, Jateng, bengkok desa bisa antara 2, 3 sampai dengan 5 ha bagi kepala desa maupun perangkatnya, luasnya variatif, juga kondisinya belum tentu di lahan yang subur.
Dengan gambaran riil sebagaimana disampaikan di atas, mari kita bayangkan bagaimana pemerintah desa dapat memiliki kapasitas menyelenggarakan pembangunan desa? Sangat mungkin pemerintah desa kehilangan kemampuannya untuk menjamin penyelenggaraan layanan umum mendasar dengan baik, apalagi kemampuannya menata tata produksi desa untuk berhadapan dengan para tengkulak yang memeras petani.
1 Milyar 1 Desa, 1 Undang‑undang tentang Desa
Kenyataan menunjukkan bahwa energi (sumber‑sumber ekonomi) desa diserap langsung tidak langsung secara terus‑menerus oleh pemerintah. Pajak PBB, pajak dalam setiap barang industri yang dibeli rakyat desa, sumber daya seperti hutan, lahan perkebunan dan tambang, baik yang diambil negara atau pengusaha sesungguhnya adalah energi ekonomi rakyat desa yang dibawa ke atas. Namun sebaliknya desa hanya mendapatkan setetes dana dari atas yang dikembalikan kepada rakyat desa untuk penyelenggaraan pembangunan desa.
Bisa dimengerti jika kemudian perangkat desa memilih menjadi PNS menyusul Sekdes yang telah diangkat sebelumnya menjadi PNS. Namun apakah kita hendak menuruti sekedar permintaan sebagian kecil elemen di desa (perangkat desa) sebagai gula‑gula, tetapi membiarkan sebagian terbesar masyarakat di desa dalam pemiskinan yang terus‑menerus. Ataukah kita mau berpikir dan memperjuangkan nasib semua warga desa, termasuk rakyat miskin di desa, petani, buruh tani, pemuda/pemudi desa, perangkat, dan kepala desa.
Persoalan desa yang mendasar adalah dana desa yang cukup signifikan, yang secara realistis mampu menumbuhkan daya hidup rakyat pedesaan. Bila negara memberikan alokasi anggaran desa 10% dari APBN, atau misal 1 desa 1 milyar per tahun, maka desa akan memiliki dana yang cukup, untuk menyelenggarakan pembangunan yang diperlukan oleh rakyat desa. Inislatif desa dapat ditumbuhkan kembali, tata produksi desa dapat dimaksimalkan kembali jika segala sarana infrastruktur pertanian yang dibutuhkan petani dapat dipenuhi oleh pemerintah desa tanpa harus menunggu cairnya proposal yang sebagaimana kita ketahui sering memakan waktu bertahun-tahun itu. Pasar‑pasar desa dapat kita tumbuhkan, dapat diperdekat aksesnya dengan petani, sehingga kita dapat memotong rantai perdagangan sehingga dapat membatasi peran para tengkulak. Bahkan layanan kredit untuk pembiayaan usaha rakyat desa dapat difasilitasi tanpa bunga yang tinggi dan persyaratan administrasi yang menyulitkan rakyat desa. Pemerintah desa pun dapat membangun sistem layanan umum mendasar yang dapat dengan mudah dan cepat diakses rakyat desa.
Menyadari pentingnya transparansi dan akuntabilitas, dan memahami bahwa desa masih harus belajar untuk membangkitkan kembali kapasitasnya membangun by desa sendiri, maka anggaran sebesar itu dapat diletakkan di kabupaten. Desa harus mematuhi mekanisme prosedur dalam mengambil dana dan melaporkan penggunaannya. Kabupaten dapat memberikan asistensi terhadap desa dalam melaksanakan program pembangunan desa dari dana tersebut.
Bilamana gagasan di atas dapat dipenuhi, maka saya yakin yang terjadi berikutnya adalah pembangunan di desa oleh orang desa. Bukan lagi pembangunan di desa oleh supra desa. Persoalan‑persoalan yang berkaitan dengan kebutuhan pragmatis aparatur desa, pasti dengan sendirinya juga dapat diselesaikan. Dengan demikian, sesungguhnya kami hendak membawa arah perjuangan mengenai desa ini bagi kepentingan seluruh elemen yang ada di desa, bukan memperjuangkan sebagian kecil dari elemen desa. Jika desa dapat dikembalikan pada daya hidupnya, maka Parade Nusantara yakin pembangunan negeri ini juga dapat ditopang oleh kemampuan rakyatnya sendiri. Sebagaimana pepatah Jawa : “desa tata, mbangun kutho.”
Tantangannya adalah kemauan negara dalam hal ini Pemerintah Pusat untuk sungguh-sungguh membangun dari bawah, bukan sekedar memberi gula‑gula pada desa.
Selanjutnya, sebagaimana disampaikan di paragraf awal makalah ini, bahwa pasca perubahan 1998, UU No 5 Tahun 1979 tidak diberlakukan kembali, dan sebagai gantinya disusun UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan selanjutnya diubah kembali dengan UU No 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dua UU yang disusun pasca Orba tersebut ternyata hanya menaruh sedikit perhatian kepada Desa. Secara keseluruhan mengenai desa dimuat dalam UU NO 22 tahun 1999, dalam pasal 93 sd 111 atau 8 pasal dari 134 pasal. Sementara UU No 32 Tahun 2004, Desa dimuat dalam pasal 200 sampai dengan pasal 216, atau 16 pasal dari 240 pasal.
Dari segi kuantitatif saja, nampak sekali bahwa desa terlihat kecil dari kacamata negara (pemerintah pusat). UU tersebut juga lebih sibuk mengatur mengenai kelembagaan pemerintahan desa yaitu kepala desa dan Badan Perwakilan Desa (UU No 22/1999) atau kepala desa dengan Badan Permusyawaratan Desa (UU No 32/2004), masa jabatan kepala desa 10 tahun atau 2 kali masa jabatan 5 tahun (UU No 22/1999) atau 6 tahun dan dapat dipillh satu kali lagi (UU No 32/2004), Sekdes jadi PNS (UU No 32 / 2004), atau menyelipkan hubungan kerjasama antar desa dalam UU No 22 Tahun 1999, dengan kerjasama desa dengan pihak ketiga dalam UU No 32 Tahun 2004. Sementara mengenai political will pemerintah pusat di dalam menyerahkan otonomi desa, kekuasaan desa mengelola sumber daya desa, alokasi dana desa yang cukup untuk sungguh-sungguh membangun desa, tidak dimuat eksplisit dalam UU.
UU No 32 Tahun 2004 bahkan lebih sibuk mengatur detail persoalan Pilkada dibanding memasukkan ketentuan‑ketentuan mengenai desa. Desa diserahkan dalam kekuasaan eksekutif semata, melalui pengaturan dalam Peraturan Pemerintah (PP No 72 tahun 2005). Artinya bahwa desa dianggap bukan wilayah strategis bagi partai politik pula. Padahal desa adalah lumbung suara bagi semua partai politik. Hal ini perlu disadari oleh semua elite politik di negeri ini. Kondisi ini menunjukkan bahwa semua partai politik lalai bahwa potensi pemenangan dirinya ada pada kemampuan mereka merepolitisasi kembali wilayah pedesaan untuk kemenangannya. Harusnya sekarang inilah saatnya semua partai politik di DPR merasa berkepentingan pada pembahasan RUU mengenai Desa.