UU Desa: Mengembalikan Kedaulatan Menuju Pembangunan Desa Berkelanjutan

Oleh: Susetiawan

Pengantar

Desa itu menunjuk wilayah, yang didiami oleh masyarakat, yang di dalamnya terdapat sumber-sumber produksi, yang didalamnya juga memiliki tata kelola (governance), diikat oleh aturan main yang disepakati bersama oleh masyarakatnya dan ada pengaturan untuk menegakkan aturan, yang sering disebut dengan istilah pemerintahan. Dalam konteks ini, dulu desa itu adalah negara. Sebelum negara monarchi atau sekarang bergeser menjadi negara kesatuan yang mengintegrasikan berbagai wilayah itu ada, desa sudah ada lebih dulu. Oleh sebab itu desa sudah sejak lahirnya merupakan wilayah yang bersifat otonom. Misalnya pada jaman kerajaan, pemerintahan pusat (kerajaan) tidak banyak campur tangan dalam pengaturan desa, namun hal penting yang hendak diperoleh dari proses pengintegrasian ini adalah pusat mendapatkan upeti dari wujud kesetiaan masyarakat yang terintegrasi terhadap negara.

Dalam proses panjang, ketika pembangunan itu dilakukan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, kondisinya menjadi berbalik, desa menjadi bagian dari pemerintahan pusat dengan posisi pinggiran dan kehilangan otonomi. Selanjutnya desa menjadi obyek pembangunan semua lembaga pemerintahan di atasnya sehingga tidak memiliki kewenangan dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Pusat menjadi sangat kokoh, melakukan sentralisasi, mendominasi pengaturan segala macam sumber yang terletak di desa dan lebih dari itu, yakni mengambil alih pemilikan desa menjadi pemilikan pusat. Salah satu contoh, UU pertambangan bernuansa pusat dari pada daerah.

Desa tidak hanya termarjinalisasi oleh pusat melainkan juga oleh determinasi kepentingan negara-negara industri yang telah dan sedang memperluas pasar barang industrialnya. Posisi negara menjadi sulit dipertangungangjawabkan, ketika negara melakukan proses integrasi nasional maka pertanyaannya, demi kepentingan siapa negara melakukan pengintegrasian lokal ke dalam nasional? Pengintegrasian lokal (desa) untuk kepentingan kesatuan bangsa atau untuk kepentingan perluasan pasarnya negara maju yang menyediakan ruang untuk pasar global? Pertanyaan ini sungguh merisaukan sebab posisi desa sekarang ini sudah menjadi bagian wilayah yang didominasi oleh kepentingan perluasan pasar global. Perjuangan macam apa yang harus dilakukan agar desa berkembang, berdaulat dan memiliki hak-hak yang mampu menjamin kesejahteraan masyarakatnya?

Kerusakan Lingkungan dan Kemiskinan Desa

Pembangunan desa yang telah dilakukan selama 40 tahun tidak banyak merubah wajah desa menjadi makmur. Sistem komersialisasi pertanian tanaman pangan memang mampu meningkatkan jumlah produksi per areal lahan pertanian pangan, namun peningkatan jumlah produksi tidak diikuti oleh pertambahan jumlah pendapatan perkapita masyarakat, bahkan jumlah biaya produksi dalam system pertanian pangan komersial menjadi meningkat. Saprodi seperti pupuk, pestisida dan bibit harus dibeli, yang harganya setiap tahun selalu meningkat. Persoalan lain, kondisi kerusakan tanah akibat pupuk kimia juga semakin tinggi dan ketergantungan tanah terhadap pupuk kimia juga semakin tinggi pula. Desa, yang dulunya, kaya akan teknologi dan jenis benih padi sekarang banyak hilang lantaran diganti dengan benih padi produksi pabrik. Sumber-sumber ekonomi produksi desa, yang dulu dapat dikelola oleh lembaga desa, kini dikuasai oleh para industriawan terutama berkaitan dengan hasil tambang yang berada di wilayah desa. Desa yang seharusnya kaya kini menjadi miskin, baik miskin pengetahuan dan teknologi lokal yang semula dimiliki, hak dan kedaulatan untuk menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan kebutuhan yang ingin dicapainya. Pembangunan membawa degradasi lingkungan dan menuju proses pemiskinan justru karena miskinnya konsep pembangunan desa.

Perkembangan Desa Menjadi Ciri Pertumbuhan Nasional

Tesis masa lalu, kuatnya pemerintah pusat sebagai actor pengintegrasian lokal, secara otomatis akan menjawab kuatnya perkembangan lokal. Sama halnya, kuatnya pertumbuhan ekonomi nasional diasumsikan akan menjawab perkembangan kesejahteraan lokal melalui proses trickledown effect. Asumsi ini gagal menjelaskan perkembangan masyarakat desa. Keadaan yang berlangsung sebaliknya, yakni kuatnya pusat justru melakukan apropriasi atau pengabilalihan lokal oleh pusat. Pikiran paradigmatic ini garus doitinggalkan dan diganti sebaliknya, kuatnya pertumbuhan dan perkembangan lokal (desa) akan menjadi ciri pertumbuhan dan perkembangan nasional. Kesulitan terbesar untuk melakukan pembaharuan ini karena pusat memiliki kepentingan untuk menjadikan desa sebagai obyeknya dalam proses pembangunan. Watak aparatur negara tidak berubah bahkan masuk ke dalam ruang dimana mereka miskin konsep pembangunan dan hanya menjalankan pertanggungjawaban keuangan proyek, yang akan merasa selesai kalau keuangannya tidak dipersoalkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Perilaku ini sulit dibendung dan dipatahkan, kalau ada perubahan hanya terbatas pada wacana akan tetapi perilakunya tidak banyak mengalami perubahan. Keadaan ini semua dapat terjadi karena desa tidak memiliki jamanan perlindungan dari siapa pun yang hendak memiliki kepentingan terhadap desa seperti birokrasi pemerintahan pusat yang dilakukan oleh departemen tekni, para pebisnis dan kemungkinan besar lembaga swadaya masyarakat, meskipun tidak semua Lembaga Swadatya Masyarakat itu sama. Ini lah sebabnya sehingga desa kehilangan kedaulatan dan kemandirian untuk mengatur dan mengkreasikan sumber dan potensi yang tersedia sesuai dengan kepentingannya. Desa justru mengabdi kepada kepentingan lain karena merekalah yang memiliki dan mengimplementasikan program pembangunan pemerintah pusat.

Undang Undang Desa Sebagai Sebuah Perlindungan dan Jaminan Hak Kedaulatan

Kalau cara pandang tentang pembangunan itu diubah, yakni bukan memperkuat nasional akan tetapi memperkuat lokal sebagai ciri perkembangan nasional maka ini membutuhkan jaminan. Satu-satunya jaminan untuk mengembalikan kedaulatan desa adalah undang-undang. Inilah perlunya UU Desa. UU desa tidak hanya sekedar mengatur tentang pemerintahan desa akan tetapi mengatur secara keseluruhan tentang hak dan kewajiban desa dalam penyelenggaraan dan pengaturan rumah tangganya sendiri. Dengan demikian, UU ini juga tidak dapat dijadikan sebagai alat oleh para elit desa, yang semakin lama ada kecenderungan berpikir parsial untuk berpikir tentang perutnya sendiri dan bukan untuk kepentingan kemaslahatan umat.

Jika pikiran-pikiran parsial yang berkembang untuk membela kepentingannya sendiri seperti para perangkat tidak berfikir secara keseluruhan tentang desa dan hanya berpikir parsial seperti memperjuangkan kelompok perangkatnya sendiri maka perjuangan untuk meraih kedaulatan desa akan mengalami kegagalan. Oleh sebab itu, lahirnya undang-undang yang memberikan ruang kedaulatan serta hak kewajiban desa menjadi perlu dikawal dengan agenda advokasi guna mencapai kepentingan bersama yang lebih besar. Undang-undang dibuat untuk mengatur hak dan kewajiban dan bukan sebagai alatnya elit untuk membela kepentingannya sendiri. Jika tidak, desa setelah lepas dari “mulut buaya” lalu masuk ke “mulut singa”. Artinya dari marjinalisasi satu pindah ke marjinalisasi yang lain. Sekali lagi, UU Desa bukan mengatur kepentingan elit akan tetapi mengatur agar desa memiliki kedaulatan dan mendorong kemakmuran masyarakatnya (community welfare).

Keberlanjutan Pembangunan Desa: Bukan Kepanjangtanganan Global

Pembangunan desa yang berkelanjutan merupakan pembangunan desa yang tidak merusak lingkungan, memberikan hak kedaulatan untuk mengatur dirinya sendiri. Pembangunan desa yang berkelanjutan bukan berpijak kepada konsep model produksi kapitalis dimana desa hanya sebagai ajang pasarnya alat-alat pertanian yang diproduksi oleh industri alat pertanian yang membebani masyarakat. Jika keliru dalam memaknai terbentuknya UU Desa maka desa akan masuk perangkat keberlanjutanya pasar global dan bukan keberlanjutan kedaulatannya sendiri.

Oleh sebab itu dasar filosofi memberikan pentingnya pengaturan desa melalui UU menjadi sangat vital, yakni UU Desa itu diwujudkan untuk membela kepentingan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Jika hal ini tidak dipahami maknanya, maka pembangunan desa akan memasuki ruang yang kurang lebih sama dengan proses pembangunan masa lalu, dimana desa sudah diserahkan kepada kepentingan global, sedang negara sebagai agen atau kepanjangtanganan kepentingan model produksi kapilaisme global yang wataknya neoliberal. Pasar bebas menjadi alatnya untuk menguasai sumber-sumber produksi yang hampir semuanya terletak di pedesaan. Paha ini sangat anti terhadap perlindungan negara, kalau perlu negara menjadi alatnya bisnis. Fungsi negara bukan mengatur bisnis akan tetapi negara diatur bahkan alatnya bisnis. Kegagalan negara membangun bangsa karena negara tidak mampu mengatur para pebisnis.

Kesimpulan

UU Desa harus dipikirkan untuk memberikan kedaulatan desa dan bukan sebagai alat kekasaan pusat untuk melakukan pengambil alihan pusat terhadap daerah atau unit terkecil masyarakat, yakni desa. Pengaturan ini dilakukan guna mendorong proses pembangumam desa yang berkelanjutan dan kelestarian lingkungan.

Tesis : Kuatnya pusat akan merembes atau menetes, baik secara ekonomi, politik maupun budaya, ke daerah sampai dengan desa (pikiran ini hingga sekarang masih berlangsung demikian perilaku birokratnya). Desa yang kuat, akan menjadi ciri pertumbuhan nasional yang kuat dan kokoh.

Yogyakarta, 23 Desember 2010