Pos oleh :

PSPK UGM

Kekerasan Sosial dan Implikasinya terhadap Masyarakat Pedesaan

“Konflik berdarah yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia akhir-akhir ini, yaitu konflik antar umat beragama di Pandegelang dan Temanggung, menunjukkan pada kita semua betapa rentannya masyarakat Indonesia jatuh dalam tindak kekerasan yang berujung pada perilaku anarkis. Hanya karena perbedaan keyakinan seorang warga masyarakat rela menganiaya bahkan sampai menghilangkan nyawa sesama. Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan di hati kita mengapa bangsa yang sejak lama telah dikenal sebagai bangsa yang ramah dan penuh toleransi mendadak berubah menjadi bangsa yang lebih mengedepankan kekuatan otot dibandingkan kekuatan otak untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya” demikian pernyataan penyaji dalam seminar bulanan yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK UGM) pada hari Kamis tanggal 17 Februari 2011. Seminar yang telah menjadi tradisi setiap bulan itu, pada kesempatan tersebut menampilkan seorang pembicara, Mochammad Sodik staf pengajar dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga yang pada saat ini sedang menempuh studi S3 di UGM, dengan moderator Prof. Susetiawan peneliti senior PSPK UGM. Topik yang dibahas dalam seminar sore tersebut adalah “Kekerasan Sosial dan Implikasinya terhadap Masyarakat Pedesaan.”

Khusus berkaitan dengan kasus kekerasan yang menimpa jemaat Ahmadiah di Cikeusik Pandeglang yang telah menimbulkan jatuhnya korban nyawa beberapa hari yang lalu, penyaji berpendapat bahwa peristiwa tersebut merupakan klimak dari serangkaian konflik yang terjadi antara umat Islam di Indonesia dengan Jemaat Ahmadiah. Selama kurun waktu satu dekade terakhir, tercatat telah terjadi lebih dari 10 kasus kekerasan yang menimpa anggota jemaat Ahmadiah di Indonesia. Dari kasus-kasus tersebut hanya kasus terakhir yang menimbulkan jatuhnya korban nyawa, beberapa kasus sebelumya hanya menimbulkan korban material yaitu hancurnya rumah dan barang milik warga jemaat Ahmadiah.

Bila menilik pada sejarah, Jemaat Ahmadiah Indonesia telah berdiri sejak tahun 1924 jauh mendahului berdirinya organisasi massa Islam lainnya seperti NU dan Muhammadiah. Selama lebih dari lima dekade anggota Jemaah Ahmadiah dapat hidup damai bersama dengan warga negara Indonesia lainnya. Bahkan berdasarkan catatan sejarah ada beberapa pengikut organisasi tersebut yang telah ikut berjasa mendirikan republik ini. Salah satu pengikut Ahmadiah yang tampil dipanggung politik nasional adalah WR Supratman. Seorang tokoh yang telah berjasa menggubah lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya. Namun memasuki dekade terakhir kedamaian hidup jemaat Ahmadiah mulai terusik, karena kerukunan di antara pemeluk agama mulai terusik.

Ada beberapa pendapat berkaitan dengan fenomena terjadinya konflik antara Jemaah Ahmadiah dengan umat Islam yang pecah dalam kurun waktu satu decade terakhir. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sebenarnya konflik antara jemaat Ahmadiah dengan umat Islam telah ada sejak lama. Namun di era orde lama dan orde baru konflik tersebut tidak termanifestasi akibat kuatnya control penguasa pada masa tersebut. Namun di masa reformasi dimana kekebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat semakin terjamin, konflik yang sebelumnya hanya bersifat laten mendapat ruang untuk termanifestasi dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pendapat lain menyatakan bahwa konflik tersebut terjadi karena berkembang dan maraknya kehidupan keberagamaan, khususnya umat Islam di Indonesia yang berdasarkan pada tafsir intoleransi/kebencian pada kelompok lain. Tafsir ini menumbuhkan sikap di kalangan pemeluk agama untuk membenci adanya perbedaan. Setiap orang atau kelompok yang berbeda dengan dirinya atau kelompoknya adalah sesat sehingga merupakan musuh yang harus dilenyapkan dari muka bumi. Pendapat ketiga menyatakan bahwa konflik horizontal yang terjadi antara umat Islam dengan jemaah Ahmadiah merupakan konflik yang terjadi karena direkayasa atau diciptakan oleh pihak ketiga. Pihak tersebut berusaha untuk menarik keuntungan dari setiap konflik yang terjadi.

Apapun alasan yang menjadi penyebab terjadinya konflik horizontal antara pemeluk agama di Indonesia, yang pasti konflik tersebut telah meluluhlantakkan kerukunan hidup antar pemeluk agama yang selama ini telah diperjuangkan untuk dapat tercipta dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Konflik antar pemeluk agama bukan hanya menghianati cita-cita luhur bangsa Indonesia yang telah dirumuskan dalam konstitusi, tetapi juga telah menghianati amanat yang diberikan Tuhan kepada manusia, yaitu untuk hidup damai dengan sesama. Untuk mencegah agar di masa depan kehidupan bangsa Indonesia tidak dihiasi lagi dengan konflik SARA, khususnya konflik yang terjadi akibat adanya perbedaan keyakinan, maka salah satu upaya yang harus ditempuh oleh bangsa Indonesia adalah penanaman sikap toleransi kepada seluruh anak bangsa. Tumbuhnya sikap toleransi terhadap perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat akan mengikis sikap kebencian pada orang yang berbeda dengan dirinya atau kelompoknya. Penghargaan terhadap adanya perbedaan akan menutup ruang bagi terciptanya tindak kekerasan pada orang lain, bahkan ketika ada pihak ketiga yang mencoba memproduksi tindak kekerasan/anarkisme di antara warga masyarakat.

Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk menumbuhkan sikap penghargaan/toleransi pada perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat adalah dengan memasukan materi tentang toleransi ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah. Melalui upaya pengenalan nilai toleransi sejak dini kepada anak-anak diharapkan setelah dewasa mereka menjadi orang yang menghargai adanya perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat, khususnya perbedaan agama dan keyakinan. “Mudah-mudahan konflik yang terjadi di Cikeusik Pandegelang dan Temanggung menjadi konflik yang terakhir di bumi Indonesia..amin” doa penyaji sebelum seminar sore tersebut ditutup. *(dc)

Desa dalam Kekuasaan Supra Desa: Pembangunan di Desa vs Pembangunan Desa

Oleh: Sudir Santoso (Ketua Presidium Parade Nusantara)

“Desaku yang kucinta, pujaan hatiku. Tempat ayah dan bunda, dan handai taulanku..” adalah sepotong syair yang melukiskan bagai orang memandang desa, dengan cara pandang yang romantis. Kenyataannya bagi orang desa sendiri, desa tentu saja tidaklah seromantis itu. Sebagai mantan kepala desa, saya justru merasakan bahwa desa sesungguhnya telah lama tidak menjadi dirinya sendiri (baca: otonom), melainkan desa hanyalah imaginasi dari berbagal pihak yang merupakan supra desa. Mereka adalah pemerintah pusat, para pengusaha, tengkulak, bupati, camat, mungkin juga LSM, dan lain‑lain.

Pemerintah Pusat pada masa orde baru merasa terancam dengan desa sebagai wilayah politik yang dinamis, tempat pertarungan riil dari kepentingan ekonomi secara riil oleh kaum tani/buruh tani, serta pertarungan demokrasi oleh partai‑partai politik. Lalu mereka berimajinasi bahwa stabilitas ekonomi dan politik versi orde baru hanya dapat dilakukan jika desa berhasil ditundukkan. Maka keluarlah UU No 5 Tahun 1979 tentang Desa, yang sesungguhnya berisi kontrol negara sepenuhnya kepada desa. Desa ada di dalam genggaman Camat dan juga Bupati. Partai-partai menyingkir dari desa, kecuali tentu saja Golkar, lalu diperkuat dengan Babinsa. Semua aktivitas di Desa berada sepenuhnya di tangan supra desa tersebut. Urusan pertanian yang menjadi aktivitas sehari‑hari masyarakat desa dikontrol, benih yang akan ditanam, pupuk yang digunakan semua dikontrol oleh aparatur negara dengan segala jenisnya. Bahkan urusan reproduksi masyarakat desa pun menjadi urusan ‘negara’, misalnya dalam program KB.

Kepala Desa menjadi figur sentral di desa, budaya patronase dikukuhkan untuk menguatkan sentralisme kekuasaan kepala desa. Semua akses terkumpul melalui kepala desa, sebab kepala desa adalah jembatan yang memfasilitasi semua kepentingan supra desa di desa.

Namun yang perlu disadari bahwa kekuasaan di desa yang dianggap berpusat di tangan kepala desa sesungguhnya hanyalah pseduo (semu), sebab kekuasaan tersebut hanyalah perpanjangan tangan aparatur negara di atasnya. Kepala Desa pun menjadi pion bagi kekuasaan untuk melegitimasi segala sesuatu yang dikehendaki para aktor pemegang kekuasaan di atasnya. Hari‑hari kepala desa sibuk untuk menyelamatkan dirinya dari kemarahan kekuasaan aparatur di atasnya, maka benar tulisan Hans Antlov “Negara dalam Desa” yang melukiskan aktivitas kesibukan Pak Kades, bukan mengurus warga di desa melainkan sibuk mondar‑mandir ke kecamatan atau kabupaten. Pak Kades pun memfasilitasi semua kepentingan supra desa di desa, tanda tangan tanpa banyak protes untuk pendirian pabrik, perkebunan, dan lain‑lain, semua atas nama kepatuhan kepada negara. Demikianlah orde baru menundukkan desa, kita menyebutnya sebagai Hegemoni.

Perubahan politik 1998, membawa angin segar di desa, dengan harapan di desa segera ada perubahan. Dan sekali lagi supra desa berimajinasi bahwa demokratisasi di desa perlu ditumbuhkan kembali, sebagal upaya untuk mengembalikan kepasitas politik rakyat desa dan mendorong pemerataan distribusi sumber‑sumber ekonomi desa kepada masyarakat agar tak mengumpulkan pada segolongan kecil di desa. Oleh karena itu, disusunlah UU No 22 Tahun 1999 yang mencabut UU No 5 Tahun 1979 tentang desa. Dalam imaginasi supra desa, demokratisasi dapat dijalankan jika ada sharing kekuasaan antara kepala desa dengan Badan Perwakilan Desa.

Rupanya gagasan itu tak bertahan lama, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengembalikan peran Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan Desa. Namun itu tidak berarti dengan serta‑merta kekuasaan di desa kembali terpusat kepada Kepala Desa. Negara rupanya masih mau mencuri kembali kekuasaan di desa, dengan menyisipkan pasal mengenai Sekretaris Desa diangkat menjadi PNS, dengan harapan negara masih mengambil kontrol atas adminitrasi desa ketika Sekdes menjadi perpanjangan tangan birokrasi. Apa Yang terjadi kemudian? Pasal ini memancing prahara lebih besar di desa. Kini beramai‑ramai perangkat desa lainnya menginginkan menjadi PNS. Harapannya tidak lain dan tidak bukan adalah jaminan kesejahteraan bagi perangkat desa.

Demikianlah, saya ingin mengatakan bahwa sesungguhnya segala keributan, keramaian yang terjadi di desa, adalah disebabkan karena imaginasi pihak‑pihak di luar desa. Yang selalu menganggu pikiran kami adalah mengapa mereka tidak bertanya kepada kami, kepada desa sendiri tentang imajinasi rakyat desa mengenai diri kami sendiri. Pertanyaan terbaru kami belakangan ini adalah apa imaginasi baru supra desa dalam hal ini pemerintah pusat kepada desa kali ini?

Kapasitas Yang Hilang Di Desa

Harus disadari bersama bahwa dengan datangnya perubahan, tidak serta merta kita bisa kembali ke romantisme masa lalu mengenai desa yang indah “tata titi tenteram kerta raharja“. Kenyataannya selama 32 tahun lebih selama Orde Baru berlangsung telah menghilangkan banyak kapasitas desa. Bahkan ketika otonomi daerah yang diterjemahkan dengan penguatan desentralisasi di kabupaten selama 10 tahunan ini, tidak serta‑merta dapat membangkitkan repolitisasi pedesaan yang berimplikasi pada redistribusi akses para pelaku‑pelaku di pedesaan.

Berikut ini adalah kapasitas‑kapasitas desa yang hilang selama kurun waktu Orba hingga kini: Pertama, rakyat desa kehilangan kapasitas politiknya. Ketika selama 32 tahun lebih segala organisasi yang ada di desa, baik pemuda, organisasi tani, bahkan organsiasi ibu‑ibu adalah bentukan negara, yang segala aktivitas organisasi wajib dilaporkan kepada negara. Tidak dengan serta‑merta kita dapat menumbuhkan organisasi baru dengan semangat baru dan pola organisasi yang lebih demokratis. Kenyataannya kemampuan rakyat berorganisasi telah lama memudar. Rakyat desa jelas‑jelas kehilangan kapasitasnya dalam berpotitik, mereka tidak sepenuhnya memahami cara dan mekanisme untuk melakukan tawar‑menawar bagi kepentingan aspirasinya secara sehat. Juga ditambah dengan kekecewaan berturut‑turut masyarakat desa dalam setiap kali pemilihan (legislatif, bupati, dll) yang biasanya melupakan janji mereka kepada rakyat usai dipilih.

Kedua, Aparatur Desa (Pemerintah desa) pun kehilangan kemampuannya di dalam menyelenggarakan pembangunan di desanya sendiri. Semua pembangunan infrastruktur diselenggarakan oleh pemerintah, dulu ketika Orba tentu dengan bantuan ABRI, kini pembangunan infrastruktur diserahkan kepada pelaksana proyek yang memenangkan tender pembangunan Infrastruktur.

Ketiga, desa (pemerintah desa) kehiliangan kemampuannya mengurus tata produksi desa. Bila dulu di setiap perdesaan Jawa, ulu‑ulu memegang peranan besar mengatur pengairan bagi pertanian warga, kini tidak lagi. Bila dulu di hampir setiap desa terdapat lumbung desa yang berfungsi menjaga stabilitas harga produk pertanian dan sebagai cadangan kebutuhan desa, kenyataannya sudah sangat lama lumbung desa menghilang, harga produk tak dapat dikontrol dan terus‑menerus jatuh apabila musim panen, desa‑desa kelaparan selama musim‑musim buruk yang menyebabkan gagal panen. Bila mana kita perhatikan, setiap selesai panen, di pinggir‑pinggir sawah para petani, pasti sudah standby di sana para tengkulak yang siap membeli hasil panen petani dengan harga rendah. Bulog terlalu jauh, petani tak mampu mengaksesnya, transportasi ke pasar jauh dan mahal, petani pun tak mampu menjangkaunya. Lembaga Desa tidak memfasilitasi urusan‑urusan tata produksi petani di desanya, malah kini bahkan lebih memalukan lagi, urusan kepala desa menjadi sekedar penyalur raskin, itu pun sering diprotes warga.

Keempat, lembaga desa kehilangan kapasitas penyelenggaraan layanan publik di desa. Bayangkan saat ini KTP saja sudah diambil menjadi urusan kabupaten, yang itu semakin menjauhkan akses rakyat desa terhadap urusan administrasi identitas yang sangat mendasar.

Fakta‑fakta tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya yang sedang terjadi selama ini adalah pembangunan di desa oleh supra desa, dengan menghilangkan kapasitas desa dalam membangun dirinya sendiri.

Persoalan‑persoalan di atas disebabkan sebab utamanya adalah karena minimnya alokasi anggaran untuk desa. Sekarang mari kita bayangkan bagaimana seorang kepala desa harus menjalankan pemerintahan desa yang meliputi banyak aspek dan layanan umum sampai tata produksi desa dan lain sebagainya, jika penerimaan di desa hanya terbatas. Sebagai gambaran adalah kondisi desa di Batang, Jateng sebagai berikut: desa menerima ADD per desa rata‑rata Rp 53 juta/tahun atau maksimal Rp 65 juta/tahun. Dana tersebut hanya dapat digunakan setelah diputuskan dalam Perdes mengenai penggunaan anggaran desa dan disesuaikan dengan Perda Kabupaten Batang. Dana tersebut digunakan untuk alokasi operasional rutin pemerintahan desa berupa ATK, administrasi desa, uang jalan, pemeliharaan inventaris desa seperti motor dan lain-lainnya, gaji kepala desa (rata‑rata Rp 500.000/bulan), gaji perangkat desa (rata‑rata Rp 200.000/bulan), LPMD, kegiatan karang taruna, honor guru TK, honor guru ngaji, dan pembangunan. Selain itu desa dapat saja mendapatkan dana stimulan dengan catatan kepala desanya harus pintar‑pintar me-lobby DPRD, besarnya bisa 5 juta sampai dengan 10 juta rupiah/tahun. Untuk pembangunan fisik seorang kepala desa harus menyusun proposal dan me-lobby dinas PU dan jikalau dapat me-lobby Bapermas (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, di tingkat propinsi).

Untuk kesejahteraan kepala desa dan perangkat desa, di pedesaan Jawa terdapat tanah bengkok desa, dengan catatan bahwa tak semua desa memiliki bengkok desa dan jikalau ada, luasannya sangat bervariasi. Di Batang, Jateng, bengkok desa bisa antara 2, 3 sampai dengan 5 ha bagi kepala desa maupun perangkatnya, luasnya variatif, juga kondisinya belum tentu di lahan yang subur.

Dengan gambaran riil sebagaimana disampaikan di atas, mari kita bayangkan bagaimana pemerintah desa dapat memiliki kapasitas menyelenggarakan pembangunan desa? Sangat mungkin pemerintah desa kehilangan kemampuannya untuk menjamin penyelenggaraan layanan umum mendasar dengan baik, apalagi kemampuannya menata tata produksi desa untuk berhadapan dengan para tengkulak yang memeras petani.

1 Milyar 1 Desa, 1 Undang‑undang tentang Desa

Kenyataan menunjukkan bahwa energi (sumber‑sumber ekonomi) desa diserap langsung tidak langsung secara terus‑menerus oleh pemerintah. Pajak PBB, pajak dalam setiap barang industri yang dibeli rakyat desa, sumber daya seperti hutan, lahan perkebunan dan tambang, baik yang diambil negara atau pengusaha sesungguhnya adalah energi ekonomi rakyat desa yang dibawa ke atas. Namun sebaliknya desa hanya mendapatkan setetes dana dari atas yang dikembalikan kepada rakyat desa untuk penyelenggaraan pembangunan desa.

Bisa dimengerti jika kemudian perangkat desa memilih menjadi PNS menyusul Sekdes yang telah diangkat sebelumnya menjadi PNS. Namun apakah kita hendak menuruti sekedar permintaan sebagian kecil elemen di desa (perangkat desa) sebagai gula‑gula, tetapi membiarkan sebagian terbesar masyarakat di desa dalam pemiskinan yang terus‑menerus. Ataukah kita mau berpikir dan memperjuangkan nasib semua warga desa, termasuk rakyat miskin di desa, petani, buruh tani, pemuda/pemudi desa, perangkat, dan kepala desa.

Persoalan desa yang mendasar adalah dana desa yang cukup signifikan, yang secara realistis mampu menumbuhkan daya hidup rakyat pedesaan. Bila negara memberikan alokasi anggaran desa 10% dari APBN, atau misal 1 desa 1 milyar per tahun, maka desa akan memiliki dana yang cukup, untuk menyelenggarakan pembangunan yang diperlukan oleh rakyat desa. Inislatif desa dapat ditumbuhkan kembali, tata produksi desa dapat dimaksimalkan kembali jika segala sarana infrastruktur pertanian yang dibutuhkan petani dapat dipenuhi oleh pemerintah desa tanpa harus menunggu cairnya proposal yang sebagaimana kita ketahui sering memakan waktu bertahun-tahun itu. Pasar‑pasar desa dapat kita tumbuhkan, dapat diperdekat aksesnya dengan petani, sehingga kita dapat memotong rantai perdagangan sehingga dapat membatasi peran para tengkulak. Bahkan layanan kredit untuk pembiayaan usaha rakyat desa dapat difasilitasi tanpa bunga yang tinggi dan persyaratan administrasi yang menyulitkan rakyat desa. Pemerintah desa pun dapat membangun sistem layanan umum mendasar yang dapat dengan mudah dan cepat diakses rakyat desa.

Menyadari pentingnya transparansi dan akuntabilitas, dan memahami bahwa desa masih harus belajar untuk membangkitkan kembali kapasitasnya membangun by desa sendiri, maka anggaran sebesar itu dapat diletakkan di kabupaten. Desa harus mematuhi mekanisme prosedur dalam mengambil dana dan melaporkan penggunaannya. Kabupaten dapat memberikan asistensi terhadap desa dalam melaksanakan program pembangunan desa dari dana tersebut.

Bilamana gagasan di atas dapat dipenuhi, maka saya yakin yang terjadi berikutnya adalah pembangunan di desa oleh orang desa. Bukan lagi pembangunan di desa oleh supra desa. Persoalan‑persoalan yang berkaitan dengan kebutuhan pragmatis aparatur desa, pasti dengan sendirinya juga dapat diselesaikan. Dengan demikian, sesungguhnya kami hendak membawa arah perjuangan mengenai desa ini bagi kepentingan seluruh elemen yang ada di desa, bukan memperjuangkan sebagian kecil dari elemen desa. Jika desa dapat dikembalikan pada daya hidupnya, maka Parade Nusantara yakin pembangunan negeri ini juga dapat ditopang oleh kemampuan rakyatnya sendiri. Sebagaimana pepatah Jawa : “desa tata, mbangun kutho.”

Tantangannya adalah kemauan negara dalam hal ini Pemerintah Pusat untuk sungguh-sungguh membangun dari bawah, bukan sekedar memberi gula‑gula pada desa.

Selanjutnya, sebagaimana disampaikan di paragraf awal makalah ini, bahwa pasca perubahan 1998, UU No 5 Tahun 1979 tidak diberlakukan kembali, dan sebagai gantinya disusun UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan selanjutnya diubah kembali dengan UU No 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dua UU yang disusun pasca Orba tersebut ternyata hanya menaruh sedikit perhatian kepada Desa. Secara keseluruhan mengenai desa dimuat dalam UU NO 22 tahun 1999, dalam pasal 93 sd 111 atau 8 pasal dari 134 pasal. Sementara UU No 32 Tahun 2004, Desa dimuat dalam pasal 200 sampai dengan pasal 216, atau 16 pasal dari 240 pasal.

Dari segi kuantitatif saja, nampak sekali bahwa desa terlihat kecil dari kacamata negara (pemerintah pusat). UU tersebut juga lebih sibuk mengatur mengenai kelembagaan pemerintahan desa yaitu kepala desa dan Badan Perwakilan Desa (UU No 22/1999) atau kepala desa dengan Badan Permusyawaratan Desa (UU No 32/2004), masa jabatan kepala desa 10 tahun atau 2 kali masa jabatan 5 tahun (UU No 22/1999) atau 6 tahun dan dapat dipillh satu kali lagi (UU No 32/2004), Sekdes jadi PNS (UU No 32 / 2004), atau menyelipkan hubungan kerjasama antar desa dalam UU No 22 Tahun 1999, dengan kerjasama desa dengan pihak ketiga dalam UU No 32 Tahun 2004. Sementara mengenai political will pemerintah pusat di dalam menyerahkan otonomi desa, kekuasaan desa mengelola sumber daya desa, alokasi dana desa yang cukup untuk sungguh-sungguh membangun desa, tidak dimuat eksplisit dalam UU.

UU No 32 Tahun 2004 bahkan lebih sibuk mengatur detail persoalan Pilkada dibanding memasukkan ketentuan‑ketentuan mengenai desa. Desa diserahkan dalam kekuasaan eksekutif semata, melalui pengaturan dalam Peraturan Pemerintah (PP No 72 tahun 2005). Artinya bahwa desa dianggap bukan wilayah strategis bagi partai politik pula. Padahal desa adalah lumbung suara bagi semua partai politik. Hal ini perlu disadari oleh semua elite politik di negeri ini. Kondisi ini menunjukkan bahwa semua partai politik lalai bahwa potensi pemenangan dirinya ada pada kemampuan mereka merepolitisasi kembali wilayah pedesaan untuk kemenangannya. Harusnya sekarang inilah saatnya semua partai politik di DPR merasa berkepentingan pada pembahasan RUU mengenai Desa.

(Pahit) Pangan Pemicu Inflasi

Oleh: Moch. Maksum Machfoedz

Hari-hari ini mewabah pemberitaan tentang inflasi dalam headline beberapa media. Antara lain: beras dan cabai sumber inflasi, cabai memicu inflasi di Jakarta dan sebagainya. Tidak salah bahwa telah beberapa lama negara ini terseok-seok dalam mengendalikan inflasi yang katanya dipicu oleh kenaikan harga beberapa komoditas pangan yang akhir-akhir ini terjadi.

Kejadian pertama, ditunjukkan oleh gagalnya pengendalian harga beras sejak Agustus 2010 karena operasi pasar (OP) yang mandul total dan tidak pemah beres. Menjelang tutup tahun, Desember 2010, kinerja OP beras nampak agak memadai setelah adanya keputusan nekat: importasi beras. Itupun masih pula disertai dengan manipulasi pasar yang aman-aman saja dalam memanfaatkan marjin harga antara harga OP dan harga pasar normal.

Kejadian kedua, adalah munculnya tanda-tanda bahwa pasok gula kristal putih (GKP) dalam negeri mulai menipis dan cenderung berwatak inflationary, diramalkan akan menjadi sumber inflasi. Oleh karena itu, muncullah kemudian gagasan super kreatif untuk legalisasi masuknya gula kristal rafinasi (GKR) ke pasar umum konsumsi yang selama ini adalah hak sepenuhnya GKP dalam negeri.

Ketiga, eskalasi harga cabai yang memuncak dan nyaris menyentuh angka psikologis Rp 100.000/kg, telah dikeluhkan sangat memicu inflasi.

Sepintas, fakta itu menyimpulkan betapa potensialnya komoditas pertanian untuk memicu dan menjadi sumber inflasi daerah maupun nasional. Pada gilirannya, hal tersebut memunculkan pemikiran pada tingkat publik untuk mempertanyakan betapa tidak mampunya para pemikir, birokrasi dan akademisi pertanian, yang bisanya kemudian hanya merepotkan kinerja perekonomian makro dengan potensi inflasi yang awal tahun ini sangat mengkhawatirkan. Tentu saja, gosip jalan pintas itu perlu memperoleh klarifikasi mengapa dan bagaimana mekanismenya kok bisa-bisanya sektor pangan dan pertanian menjadi kambing hitam inflasi.

Ada beberapa fakta yang harus menjadi perhatian seksama di sebalik kontribusi nyata pangan terhadap inflasi, sebagaimana potensi itu dimiliki oleh beras, gula dan cabai. Pertama, ketersediaan komoditas pangan memang secara alamiah sangat musiman. Dalam perubahan musim dewasa ini fluktuasi tersebut cukup menonjol. Terlebih ketika negara tidak mampu menyajikan dan mengkomunikasikan informasi cuaca secara tepat dalam mutu dan waktu kepada rakyat tani produsen di pedesaan. Ini memicu ketidakpastian produksi.

Kedua, peran pangan menjadi besar dalam inflasi karena kegagalan negara dalam penanggulangan kemiskinan. Nalarnya? Karena besarnya penduduk miskin dan hampir miskin yang cunsumption bundle, peta konsumsinya terkonsentrasi di sektor pangan, maka sedikit gejolak pada harga pangan langsung memicu inflasi. Ini sama sekali bukan salah harga yang melonjak-lonjak musiman, tetapi watak konsumsi mayoritas yang amat peka terhadap pangan.

Ketiga, krisis beras sebagai pemicu inflasi 2010 itu karena memblenya pengelolaan harga pasar yang ditunjukkan oleh gagal total OP menurunkan harga & akhirnya OP berbasis impor. Keempat, khusus untuk cabai yang kali ini sangat ekstrem inflation share-nya. Pola produksi yang sangat terganggu cuaca dan didukung lemahnya sistem informasi cuaca, tidak ketemu dengan pola konsumsi yang sampai hari ini sangat mengandalkan produk segar.

Satu hal yang tidak bisa dikesampingkan adalah munculnya efek domino akibat dari naiknya harga komoditas tertentu, karena strategisnya telah memicu kenaikan harga produk-produk lain, meski lebih banyak nampak sebagai efek psikologis, dibandingkan efek teknis finansial. Hal ini mudah dipahami karena pertimbangan nilai tukar komoditas. Harga cabai mahal, masak sih kangkung saya harus tetap murah pak? Begitu petani kangkung berujar.

Fenomena ini bisa berkenaan dengan komoditas pangan apapun pada saat berposisi strategis di suatu waktu tertentu dalam peta konsumsi masyarakat kebanyakan, poor and near poor. Maka jalan terbaiknya sudah barang tentu mengelola perimbangan pasar untuk komoditas apapun yang peka cuaca melalui pengembangan teknologi usaha tani, pengembangan sistem informasi usaha tani, teknologi pasca panen, tetapi pola konsumsi dan tata kelola pangan antarwaktu. Yang kesemuanya itu dalam upaya mendekatkan relasi penawaran-permintaan pangan dalam jumlah, waktu, wujud dan mutu pangan.

Kalau negara nampak begitu takutnya dengan inflasi dua digit akibat eskalasi harga pangan, maka hanya cara-cara itu yang harus dilakukan. Tentu Negara perlu melakukan pemetaan persoalan pangan nasional secara cermat dan menyelesaikan secara cermat pula. Hal ini penting sekali karena, seperti diajarkan oleh sebutir gabah dan sebatang cabai, relasi pangan dengan kinerja perekonomian nasional memang teramat dekat. Tuntutan ini pula yang mengingatkan Negara untuk tidak sembrana dan menganak-tirikan sektor pertanian seperti selama ini terjadi: sekadar ditempatkan sebagai sumber pangan murah.

Jangan pula negara semakin berlebihan berkonsentrasi hanya mengurus bercocok-tanam beras. Karena terbukti bahwa kinerja perekonomian nasional bisa kacau-balau hanya karena sebuah biji cabe, setetes jlantah, dan sebutir gula pasir. Sungguh memprihatinkan ketika kisruh yang sama akan kembali dan kembali berulang karena kebodohan para pengambil keputusan yang tidak peduli terhadap tanda-tanda zaman. (Penulis adalah Ketua PBNU, Guru Besar TIP FTP-UGM dan Peneliti PSPK-UGM)

~~Warta Pedesaan Edisi Januari 2011

Beras: Porak-porandakan Kinerja Ekonomi Makro

“Hari-hari ini beras sebagai pangan pokok utama Bangsa Indonesia sungguh telah menyadarkan Negara betapa besar kesaktian yang dimiliki dan sangat berpengaruh terhadap kinerja makroekonomi RI. Untuk ke sekian kalinya kesaktian tersebut ditunjukkan beras melalui kontribusinya yang sangat signifikan dalam angka inflasi tahunan 2010, yang menurut kalkulasi mutakhir Biro Pusat Statistik, BPS, sebesar 6,96 persen.” Demikian pernyataan penyaji dalam seminar bulanan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) pada hari Rabu, tanggal 19 Januari 2011. Seminar yang telah menjadi tradisi setiap bulan itu, pada kesempatan tersebut menghadirkan seorang narasumber, Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, M.Sc, guru besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM sekaligus peneliti senior PSPK, dengan moderator Dr. Agnes Mawarni. Topik yang diangkat pada seminar yang dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan tersebut adalah “Beras: Porak-porandakan Kinerja Ekonomi Makro”.

“Angka inflasi tersebut didominasi oleh bahan makanan dan makanan jadi, masing-masing sebesar 3,5 dan 1,23 persen. Tempat ke-tiga adalah perumahan, air, dan listrik sebesar 1,01 persen. Secara keseluruhan kontribusi makanan yang totalnya 4,73 persen ini setara dengan inflation share sebesar 68 persen. Artinya, dari angka inflasi nasional sebesar 6.96 persen tersebut, 68 persen merupakan pengaruh bahan makanan maupun makanan jadi. Data inflasi yang dipublikasikan BPS menunjukkan berturut-turut dominasi 5 besar dalam angka inflasi, yaitu: (i) beras dengan kontribusi 1,29 persen, (ii) tarif listrik 0,36 persen, (iii) cabai merah 0,32 persen, (iv) emas perhiasan 0,27 persen, dan (v) bawang merah 0,25. Angka-angka tersebut setara dengan sumbangan absolut sebesar: 18,5%, 5,3%, 4,6%, 3,9%, dan 3,9%, berturut-turut untuk beras, listrik, cabai merah, emas perhiasan, dan bawang merah. Berlebihankah kalau menyebut beras ini telah memporak-porandakan kinerja makroekonomi Indonesia? Mari kita lihat lebih lanjut bagaimana potensi sesungguhnya.” ucap Prof. Maksum.

Pengaruh Makro

Inflasi memang hanyalah merupakan satu dari banyak sekali indikator perekonomian makro yang lebih kurang terdeninisikan sebagai turunnya nilai atau daya beli uang. Dalam kerangka agregatif dan nasional, sudah barang tentu angka ini terhitung sebagai rerata tertimbang yang dipengaruhi oleh rerata tertimbang volume konsumsi penduduk dan besaran harga masing-masing barang konsumsinya. Inflasi hanyalah daya beli uang yang melemah.

Sebagai indikator makroekonomi, inflasi ini bisa disebut sebagai yang paling penting karena dia akan berpengaruh terhadap indikator makro lainnya seperti: pertumbuhan ekonomi, nilai upah dan gaji, ketenagakerjaan, nilai bunga permodalan, beaya produksi nasional, kemerataan ekonomi, dan indikator makro lainnya. Segala ukuran nominal kinerja ekonomi makro secara otomatis harus direvisi berdasarkan besaran inflasi menjadi angka-angka riel.

Besaran inflasi ini tidak hanya berkait dengan daya beli publik semata, terutama rakyat miskin yang porsi konsumsi pangannya mendominasi anggaran belanja harian, consumption bundlenya. Pada gilirannya, inflasi ini berpengaruh langsung terhadap nilai UMR yang menjadi di bawah minimum dan harus dinaikkan, biaya produksi juga akan terpengaruh oleh kenaikan UMR, dan selanjutnya kenaikan UMR yang tidak terbendung akan berakibat PHK.

Oleh karena itu, sungguh tidak mengherankan ketika karena kekuatannya yang sangat inflationary metakhir ini bahan makanan seringkali naik kelas, mewarnai banyak sekali perhelatan dan percakapan, resmi maupun tidak resmi, mulai dari Sidang Kabinet Indonesia bersatu jilid II, rapat-rapat kerja Pemerintahan, lokakarya dan seminar, bahkan sampai perbincangan warung kopi serta sego kucing yang semakin tidak terasa pedasnya.

Kegelisahan Beras Terlambat

Kalau cabai yang hanya berkekuatan kurang dari 5 persen saja bisa merubah pola konsumsi dan perubahan harga di warung-warung, sudah barang tentu beras yang semakin sakti dengan pengaruh 18.5 persen lebih menggelisahkan dalam pandangan KIB-II. Sayangnya, kegelisahan ini selalu saja datang terlambat sementara indikasi dari besarnya potensi beras untuk mendongkrak inflasi ini telah terdeteksi sejak sangat dini, Februari 2010.

Indikasi pertama adalah gejala jeleknya kualitas panen yang ditunjukkan oleh mulainya musim panen yang awal 2010 masa panen beras selalu diwarnai oleh bulan basah karena pengaruh perubahan iklim terjadi ditengah bulan-bulan basah. Indikasi kedua ditunjukkan oleh rendahnya pengadaan dalam negeri (ADA-DN) yang dilakukan oleh Negara (BULOG) dalam pengadaan stok sebagai akibat dari terlalu rendahnya angka-angka HPP dalam Inpres 7/2009.

Dua hal ini telah menghasilkan data awal bahwa sampai dengan akhir April 2010 ADA-DN baru berhasil sejumlah 663.000 Ton dari target pengadaan sebesar 3,2 juta ton untuk tahun 2010. Data ini diperkuat data lain yang dikeluarkan awal juni 2010, bahwa dari target tahunan tersebut baru berhasil dikumpulkan sejumlah 60 persen. Sementara itu, jelas sekali bahwa pengadaan besar-besaran selepas Juni sangat sulit karena semakin jauh dari panen raya, dan ini merupakan pertanda nyata akan mandulnya kekuatan pengendalian harga.

Angka 60 persen ini jelas sekali sangat jauh dari harapan. Banyak pihak mempersalahkan BULOG karena gagal melakukan pengadaan untuk melakukan target prognoisanya sendiri sejumlah 3,2 juta ton untuk 2010. Akan tetapi, kecuali faktor kelambanan dalam pengadaan, ada soal lain yang memayungi kinerja otoritas pangan apapun bahwa secara operasional mereka semua harus tunduk kepada Inpres 7/2009 sebagai landasan.

Benar dugaannya, bahwa sejak Juni-Juli itulah krisis beras terasakan dan semakin berkepanjangan, diawali dengan Operasi Pasar yang dilakukan 17 Juli 2010, sampai beberapa bulan berikutnya. Alhasil, karena kekuatan beras yang bukan main dan terus saja menakutkan bagi terjaganya kinerja makroekonomi, sinyal importasi dilontarkan justru ketika Bangsa ini sedang beroleh berkah beras dengan cadangan nasional maksimal sepanjang sejalah: 9,6 sampai 10,1 juta ton setara beras pada awal bulan Agustus dan September 2010.

Akhirnya, pasar beras awal tahun ini agak tidak bergejolak, meski pengendalian harga dilakukan dengan sangat tidak masuk akal: OP Berbasis Import.

OP Berbasis Import

Ironi yang ke sekian telah terjadi dalam perberasan nasional RI. Pada saat surplus cadangan maksimal sepanjang sejarah terjadi, Agustus-September 2010, eskalasi harga beras ternyata semakin menjadi-jadi. Harapan akan normalisasi harga beras akan terjadi selepas Iedul Fitri, ternyata isapan jempol belaka. OP dan apapun upaya untuk mengembalikan normalitas harga beras selalu saja memperoleh perlawanan dengan fakta beras tetap mahal.

KIB-II sebenarnya juga selalu kontroversial untuk importasi, karena menurut BPS, 2010 bukan sekedar swasembada tetapi swasembada dengan surplus 2010 sebesar 5,6 juta ton beras menurut ARAM-II dan direvisi sedikit menjadi 3,9 juta ton beras menurut ARAM-III. Ini jumlah surplus tahunan yang belum pernah terjadi. Akan tetapi, ironisnya, sukses ini juga disertai dengan rekor hebat dengan pengaruh inflasi yang semakin mengkhawatirkan. Dalam kekalutan itulah diputuskan penggelontoramn pasar, OP berbasis import.

Reorintasi Segera

Kali ini rekor kontributif dipersembahkan oleh beras. Akan tetapi, hiruk pikuk di penghujung tahun 2010 justru dihentakkan oleh cabe merah yang mampu menebus angka Rp 100.000 per kilogram, sementara, gula pasir sudah antri untuk menggusur posisi beras dengan indikasi sudah munculnya pemikiran lagalisasi masuknya gula rafiniasi ke dalam pasar konsumsi yang selama ini disediakan khusus bagi GKP, gula krital putih dalam negeri.

Intisari ajarannya adalah, secara bergiliran mulai awal tahun 2010 terjadi gangguan pasar yang disebabkan oleh bergejolaknya komoditas pangan, mulai dari produksi kedele yang merosot, gula kristal putih yang tergusur dari pasar, kelangkaan cabe merah yang menonjol di pertengahan tahun dan muncul lagi penghujung 2010, rusaknya harga daging sapi, beras yang sudah mendera sejak pertengahan 2010, dan balada pangan lainnya awal 2011 ini.

Secara bergantian komoditas itu menyibukkan KIB-II. Sayangnya, hiruk-pikuk yang sudah senantiasa mentradisi itu tidak pernah diperhatikan sebagai pelajaran berharga bahwa itulah sederet kenyataan yang mengingatkan Bangsa ini untuk tidak lagi main-main dengan pembangunan pangan dan pertanian. Faktanya, banyak yang justru memunculkan kritik jalan pintas dengan mencaci-maki pembangunan pertanian yang tidak bisa mengendalikan produksi.

Peran pangan menjadi besar dalam inflasi karena kegagalan Negara dalam penanggulangan kemiskinan. Nalarnya? Karena besarnya penduduk miskin dan hampir miskin yang cunsumption bundle, peta konsumsinya terkonsentrasi di sektor pangan, maka sedikit gejolak pada harga pangan langsung memicu inflasi. Ini sama sekali bukan salah harga yang melonjak-lonjak musiman, tetapi watak konsumsi mayoritas yang amat peka terhadap pangan.

Mengingat bahwa penomena ini bisa berkenaan dengan komoditas pangan apapun pada saat berposisi strategis di suatu waktu tertentu dalam peta konsumsi masyarakat kebanyakan, poor and near poor, maka jalan terbaiknya sudah barang tentu mengelola perimbangan pasar untuk komoditas apapun yang peka cuaca melalui pengembangan teknologi usahatani, pengembangan sistem informasi usaha tani, teknologi pasca panen, terapi pola konsumsi, dan tata kelola pangan antar waktu, semuanya itu dalam upaya mendekatkan relasi penawaran-permintaan pangan dalam jumlah, waktu, wujud dan mutu pangan.

Kalau Negara nampak begitu takutnya dengan inflasi akibat eskalasi harga pangan, maka hanya cara-cara itu yang harus dilakukan dengan konsisten dan lebih sungguh-sungguh oleh Negara melalui pemetaan persoalan pangan nasional secara cermat dan menyelesaikan secara cermat pula. Sementara itu untuk soal daya beli harus diatasi dengan upaya: penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan, dan terapi OPK yang hanya untuk komunitas, waktu dan kasus yang sangat emergency dan bukan sebagai terapi abadi seperti selama ini.

“Jangan pula Negara semakin berlebihan berkonsentrasi hanya mengurus bercocok-tanam beras melulu, karena telah terbukti bahwa kinerja perekonomian nasional bisa kacau-balau hanya karena sekeping biji cabe, setetes jlantah, dan sebutir gula pasir… Sungguh memprihatinkan ketika kisruh yang sama akan kembali berulang karena kelambanan pengambil keputusan yang tidak pernah peduli terhadap tanda-tanda jaman… na’udzu billah…” kata penyaji sebelum seminar sore tersebut ditutup.

~~Warta Pedesaan Edisi Januari 2011

UU Desa: Mengembalikan Kedaulatan Menuju Pembangunan Desa Berkelanjutan

Oleh: Susetiawan

Pengantar

Desa itu menunjuk wilayah, yang didiami oleh masyarakat, yang di dalamnya terdapat sumber-sumber produksi, yang didalamnya juga memiliki tata kelola (governance), diikat oleh aturan main yang disepakati bersama oleh masyarakatnya dan ada pengaturan untuk menegakkan aturan, yang sering disebut dengan istilah pemerintahan. Dalam konteks ini, dulu desa itu adalah negara. Sebelum negara monarchi atau sekarang bergeser menjadi negara kesatuan yang mengintegrasikan berbagai wilayah itu ada, desa sudah ada lebih dulu. Oleh sebab itu desa sudah sejak lahirnya merupakan wilayah yang bersifat otonom. Misalnya pada jaman kerajaan, pemerintahan pusat (kerajaan) tidak banyak campur tangan dalam pengaturan desa, namun hal penting yang hendak diperoleh dari proses pengintegrasian ini adalah pusat mendapatkan upeti dari wujud kesetiaan masyarakat yang terintegrasi terhadap negara.

Dalam proses panjang, ketika pembangunan itu dilakukan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, kondisinya menjadi berbalik, desa menjadi bagian dari pemerintahan pusat dengan posisi pinggiran dan kehilangan otonomi. Selanjutnya desa menjadi obyek pembangunan semua lembaga pemerintahan di atasnya sehingga tidak memiliki kewenangan dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Pusat menjadi sangat kokoh, melakukan sentralisasi, mendominasi pengaturan segala macam sumber yang terletak di desa dan lebih dari itu, yakni mengambil alih pemilikan desa menjadi pemilikan pusat. Salah satu contoh, UU pertambangan bernuansa pusat dari pada daerah.

Desa tidak hanya termarjinalisasi oleh pusat melainkan juga oleh determinasi kepentingan negara-negara industri yang telah dan sedang memperluas pasar barang industrialnya. Posisi negara menjadi sulit dipertangungangjawabkan, ketika negara melakukan proses integrasi nasional maka pertanyaannya, demi kepentingan siapa negara melakukan pengintegrasian lokal ke dalam nasional? Pengintegrasian lokal (desa) untuk kepentingan kesatuan bangsa atau untuk kepentingan perluasan pasarnya negara maju yang menyediakan ruang untuk pasar global? Pertanyaan ini sungguh merisaukan sebab posisi desa sekarang ini sudah menjadi bagian wilayah yang didominasi oleh kepentingan perluasan pasar global. Perjuangan macam apa yang harus dilakukan agar desa berkembang, berdaulat dan memiliki hak-hak yang mampu menjamin kesejahteraan masyarakatnya?

Kerusakan Lingkungan dan Kemiskinan Desa

Pembangunan desa yang telah dilakukan selama 40 tahun tidak banyak merubah wajah desa menjadi makmur. Sistem komersialisasi pertanian tanaman pangan memang mampu meningkatkan jumlah produksi per areal lahan pertanian pangan, namun peningkatan jumlah produksi tidak diikuti oleh pertambahan jumlah pendapatan perkapita masyarakat, bahkan jumlah biaya produksi dalam system pertanian pangan komersial menjadi meningkat. Saprodi seperti pupuk, pestisida dan bibit harus dibeli, yang harganya setiap tahun selalu meningkat. Persoalan lain, kondisi kerusakan tanah akibat pupuk kimia juga semakin tinggi dan ketergantungan tanah terhadap pupuk kimia juga semakin tinggi pula. Desa, yang dulunya, kaya akan teknologi dan jenis benih padi sekarang banyak hilang lantaran diganti dengan benih padi produksi pabrik. Sumber-sumber ekonomi produksi desa, yang dulu dapat dikelola oleh lembaga desa, kini dikuasai oleh para industriawan terutama berkaitan dengan hasil tambang yang berada di wilayah desa. Desa yang seharusnya kaya kini menjadi miskin, baik miskin pengetahuan dan teknologi lokal yang semula dimiliki, hak dan kedaulatan untuk menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan kebutuhan yang ingin dicapainya. Pembangunan membawa degradasi lingkungan dan menuju proses pemiskinan justru karena miskinnya konsep pembangunan desa.

Perkembangan Desa Menjadi Ciri Pertumbuhan Nasional

Tesis masa lalu, kuatnya pemerintah pusat sebagai actor pengintegrasian lokal, secara otomatis akan menjawab kuatnya perkembangan lokal. Sama halnya, kuatnya pertumbuhan ekonomi nasional diasumsikan akan menjawab perkembangan kesejahteraan lokal melalui proses trickledown effect. Asumsi ini gagal menjelaskan perkembangan masyarakat desa. Keadaan yang berlangsung sebaliknya, yakni kuatnya pusat justru melakukan apropriasi atau pengabilalihan lokal oleh pusat. Pikiran paradigmatic ini garus doitinggalkan dan diganti sebaliknya, kuatnya pertumbuhan dan perkembangan lokal (desa) akan menjadi ciri pertumbuhan dan perkembangan nasional. Kesulitan terbesar untuk melakukan pembaharuan ini karena pusat memiliki kepentingan untuk menjadikan desa sebagai obyeknya dalam proses pembangunan. Watak aparatur negara tidak berubah bahkan masuk ke dalam ruang dimana mereka miskin konsep pembangunan dan hanya menjalankan pertanggungjawaban keuangan proyek, yang akan merasa selesai kalau keuangannya tidak dipersoalkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Perilaku ini sulit dibendung dan dipatahkan, kalau ada perubahan hanya terbatas pada wacana akan tetapi perilakunya tidak banyak mengalami perubahan. Keadaan ini semua dapat terjadi karena desa tidak memiliki jamanan perlindungan dari siapa pun yang hendak memiliki kepentingan terhadap desa seperti birokrasi pemerintahan pusat yang dilakukan oleh departemen tekni, para pebisnis dan kemungkinan besar lembaga swadaya masyarakat, meskipun tidak semua Lembaga Swadatya Masyarakat itu sama. Ini lah sebabnya sehingga desa kehilangan kedaulatan dan kemandirian untuk mengatur dan mengkreasikan sumber dan potensi yang tersedia sesuai dengan kepentingannya. Desa justru mengabdi kepada kepentingan lain karena merekalah yang memiliki dan mengimplementasikan program pembangunan pemerintah pusat.

Undang Undang Desa Sebagai Sebuah Perlindungan dan Jaminan Hak Kedaulatan

Kalau cara pandang tentang pembangunan itu diubah, yakni bukan memperkuat nasional akan tetapi memperkuat lokal sebagai ciri perkembangan nasional maka ini membutuhkan jaminan. Satu-satunya jaminan untuk mengembalikan kedaulatan desa adalah undang-undang. Inilah perlunya UU Desa. UU desa tidak hanya sekedar mengatur tentang pemerintahan desa akan tetapi mengatur secara keseluruhan tentang hak dan kewajiban desa dalam penyelenggaraan dan pengaturan rumah tangganya sendiri. Dengan demikian, UU ini juga tidak dapat dijadikan sebagai alat oleh para elit desa, yang semakin lama ada kecenderungan berpikir parsial untuk berpikir tentang perutnya sendiri dan bukan untuk kepentingan kemaslahatan umat.

Jika pikiran-pikiran parsial yang berkembang untuk membela kepentingannya sendiri seperti para perangkat tidak berfikir secara keseluruhan tentang desa dan hanya berpikir parsial seperti memperjuangkan kelompok perangkatnya sendiri maka perjuangan untuk meraih kedaulatan desa akan mengalami kegagalan. Oleh sebab itu, lahirnya undang-undang yang memberikan ruang kedaulatan serta hak kewajiban desa menjadi perlu dikawal dengan agenda advokasi guna mencapai kepentingan bersama yang lebih besar. Undang-undang dibuat untuk mengatur hak dan kewajiban dan bukan sebagai alatnya elit untuk membela kepentingannya sendiri. Jika tidak, desa setelah lepas dari “mulut buaya” lalu masuk ke “mulut singa”. Artinya dari marjinalisasi satu pindah ke marjinalisasi yang lain. Sekali lagi, UU Desa bukan mengatur kepentingan elit akan tetapi mengatur agar desa memiliki kedaulatan dan mendorong kemakmuran masyarakatnya (community welfare).

Keberlanjutan Pembangunan Desa: Bukan Kepanjangtanganan Global

Pembangunan desa yang berkelanjutan merupakan pembangunan desa yang tidak merusak lingkungan, memberikan hak kedaulatan untuk mengatur dirinya sendiri. Pembangunan desa yang berkelanjutan bukan berpijak kepada konsep model produksi kapitalis dimana desa hanya sebagai ajang pasarnya alat-alat pertanian yang diproduksi oleh industri alat pertanian yang membebani masyarakat. Jika keliru dalam memaknai terbentuknya UU Desa maka desa akan masuk perangkat keberlanjutanya pasar global dan bukan keberlanjutan kedaulatannya sendiri.

Oleh sebab itu dasar filosofi memberikan pentingnya pengaturan desa melalui UU menjadi sangat vital, yakni UU Desa itu diwujudkan untuk membela kepentingan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Jika hal ini tidak dipahami maknanya, maka pembangunan desa akan memasuki ruang yang kurang lebih sama dengan proses pembangunan masa lalu, dimana desa sudah diserahkan kepada kepentingan global, sedang negara sebagai agen atau kepanjangtanganan kepentingan model produksi kapilaisme global yang wataknya neoliberal. Pasar bebas menjadi alatnya untuk menguasai sumber-sumber produksi yang hampir semuanya terletak di pedesaan. Paha ini sangat anti terhadap perlindungan negara, kalau perlu negara menjadi alatnya bisnis. Fungsi negara bukan mengatur bisnis akan tetapi negara diatur bahkan alatnya bisnis. Kegagalan negara membangun bangsa karena negara tidak mampu mengatur para pebisnis.

Kesimpulan

UU Desa harus dipikirkan untuk memberikan kedaulatan desa dan bukan sebagai alat kekasaan pusat untuk melakukan pengambil alihan pusat terhadap daerah atau unit terkecil masyarakat, yakni desa. Pengaturan ini dilakukan guna mendorong proses pembangumam desa yang berkelanjutan dan kelestarian lingkungan.

Tesis : Kuatnya pusat akan merembes atau menetes, baik secara ekonomi, politik maupun budaya, ke daerah sampai dengan desa (pikiran ini hingga sekarang masih berlangsung demikian perilaku birokratnya). Desa yang kuat, akan menjadi ciri pertumbuhan nasional yang kuat dan kokoh.

Yogyakarta, 23 Desember 2010

Semiloka Nasional “Gerakan Memperjuangkan UU Desa”

Kementrian Dalam Negeri telah menggodok RUU Desa sejak tahun 2006. Tapi, RUU Desa hingga kini masih belum jelas nasibnya. Walaupun sudah mulai dibahs dan diperdebatkan, ternyata hingga presiden telah memasuki masa jabatannya yang kedua, RUU Desa inipun masih belum kelar, apalagi ditetapkan menjadi regulasi nasional yang peka desa. Perdebatan seputar RUU Desa sebagai konsekwensi kesepakatan revisi atas UU nomor 32 tahun 2004, tidak hanya terjadi di kalangan eksekutif, legislatif tapi mengundang banyak perhatian gerakan masyarakat sipil untuk mengawal proses pembahasan RUU tersebut. Gerakan masyarakat sipil mengawal RUU Desa sudah barang tentu bertumpu pada harapan akan lahirnya Undang-Undang yang memberi amanat kepada negara untuk memberikan pengakuan (rekognisi) dan perlindungan (proteksi) terhadap aspek aspek kemasyarakatan desa.

Berlarut-larutnya pembahasan RUU Desa akan berdampak negatif pada desa karena saat ini desa membutuhkan kejelasan payung hukum yang secara komprehensif dan holistik tidak hanya mengatur mekanisme pembangunan secara umum namun perlu pula mengatur aspek kelembangaan, mekanisme hubungan kerja antar tingkat pemerintahan, kewenangan, pembiayaan, dan partisipasi masyarakat. Payung hukum tersebut tidak lain adalah UU Desa. Disamping itu, secara politis lambannya proses pembahasan RUU Desa bukan karena Desa melainkan sikap politik kebijakan elite pusat itu sendiri. Kita Tahu kemunculan awal RUU Desa dan RUU Pembangunan Pedesaan pada hakekatnya adalah bentuk frakmentasi antar rezim kepentingan dalam tubuh pemerintah yaitu resim pemerintahan dan rezim pembangunan.

Saat ini RUU Desa telah masuk dalam Prolegnas DPR RI, maka diperlukan gerakan politik untuk mengawalnya hingga terlahir menjadi kebijakan nasional yang konsisten terhadap cita-cita dan perlindungan terhadap desa. Dalam kerangka pikir inilah PSPK UGM berkerja sama dengan IRE dan STPMD APMD menyelenggarakan semiloka nasional untuk memperjuangkan RUU desa ditetapkan menjadi UU Desa. Semiloka dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 23 Desember 2010 bertempat di Auditorium STPMD APMD dengan narasumber Arie Sujito (dosen sosiologi UGM), Budiman Sujatmiko (anggota DPR RI), Sudir Santosa (ketua Parade Nusantara), dan Sutoro Eko (tim pakar RUU Desa).

UNDANGAN: Semiloka Nasional “Gerakan Memperjuangkan UU Desa”

Semiloka Nasional: “GERAKAN MEMPERJUANGKAN UNDANG-UNDANG DESA”

Waktu Pelaksanaan: Kamis, 23 Desember 2010

Tempat di Auditorium STPMD “APMD”, Kampus Timoho, Yogyakarta

Kerjasama STPMD “APMD” – PSPK UGM – IRE

Semiloka ini bertujuan mengoptimalkan gerakan untuk memperjuangkan Undang-undang Desa serta menggaungkan suara dan aspirasi desa untuk membantu lahirnya Undang-undang Desa yang peka dan peduli desa.

Narasumber:

  1. Prof.Dr. Susetiawan, Guru Besar Sosiologi Fisipol UGM, Staf Peneliti PSPK UGM.
  2. Budiman Sudjatmiko, Anggota DPR Komisi 2
  3. Sutoro Eko, Tim Pakar RUU Desa (Dosen APMD)
  4. Sudir Santoso, Ketua Umum Parade Nusantara
  5. 5. Arie Sujito, Direktur IRE

Seminar untuk umum dan gratis

Sekretariat Panitia: PSPK UGM

Kegiatan Penyegaran Peneliti Muda

Guna meningkatkan kapasistas para peneliti muda di lingkungan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, selama 2 hari yaitu hari Jum’at dan hari Senin, tanggal 10 dan 13 Desember 2010 PSPK UGM menyelenggarakan kegiatan penyegaran bagi para peneliti muda yang selama ini bergabung dengan lembaga tersebut.

Kegiatan penyegaran ini dilaksanakan dengan menghadirkan beberapa orang narasumber yang dipandang memiliki kompetensi dalam bidang penelitian dan pengembangan. Mereka yang menjadi narasumber kegiatan penyegaran tersebut antara lain Arie Sujito, M.Si (dosen FISIPOL UGM sekaligus direktur IRE Yogyakarta), Dr. Ir. Dyah Ismoyowati (dosen FTP UGM sekaligus kepala PSPK UGM), dan beberapa ahli, baik yang berasal dari internal PSPK maupun dari luar PSPK.

Kegiatan penyegaran bagi para peneliti muda PSPK UGM dipandang perlu sebagai salah satu upaya untuk melakukan transfer of knowledge dari para peneliti senior kepada para peneliti muda agar mereka memiliki kepekaan yang lebih tajam terhadap berbagai isu/persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di daerah pedesaan dan berbagai persoalan yang muncul dalam upaya pengembangan kawasan yang selama ini menjadi perhatian utama PSPK UGM. Selain itu, dari kegiatan penyegaran ini diharapkan para peneliti muda memiliki kemampuan untuk merumuskan langkah yang tepat (solusi) bagi persoalan-persoalan tersebut.

Kegiatan penyegaran yang pada kesempatan ini dilaksanakan khusus bagi kalangan internal PSPK UGM, pada kesempatan yang akan datang akan dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat diikuti oleh pihak-pihak lain yang memiliki minat/kepedulian pada upaya pengembangan masyarakat pedesaan. Bila anda tertarik dengan kegiatan ini, silahkan kontak kami.*(dc)

Kepedulian PSPK UGM pada Korban Letusan Merapi

Letusan Gunung Merapi yang berada di perbatasan propinsi DIY dan Jawa Tengah yang berlangusng sejak tanggal 26 Okober telah menimbulkan korban yang tidak sedikit, baik korban harta benda maupun nyawa. Ribuan rumah tinggal dan fasilitas umum hancur, ribuan ekor binatang ternak dan ribuan hektar tanaman pertanian/perkebunan musnah, serta ratusan nyawa manusia melayang dan luka-luka akibat letusan merapi.

Jatuhnya korban akibat bencana Merapi telah mendorong banyak pihak, baik secara pribadi maupun kelembagaan untuk menyalurkan bantuan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Salah satu lembaga yang memiliki kepedulian pada para korban letusan Merapi adalah Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM. Dengan menjalin kerjasama dengan Komite Kemanusiaan Yogyakarta (sebuah lembaga kemanusiaan yang dibentuk dan beranggotakan sejumlah tokoh masyarakat, yang berasal dari berbagai pihak yaitu akademisi, budayawan, rohaniwan, pengusaha, dll), PSPK UGM telah menyalurkan sejumlah bantuan kepada para korban bencana Merapi.

Dengan melibatkan relawan yang berjumlah kurang lebih 30 orang pemuda dan mahasiswa, dalam masa tanggap darurat bencana Merapi yang berlangsung sejak pertama kali Gunung Merapi Meletus tanggal 26 Oktober 2010 hingga akhir November 2010, PSPK UGM dan KKY telah berhasil menghimpun bantuan dari berbagai kalangan masyarakat dan menyalurkannya kepada para korban Merapi. Sejumlah bantuan yang berhasil disalurkan oleh PSPK UGM dan KKY kepada para korban Merapi antara lain berupa makanan cepat saji, sembako (beras, minyak goreng, gula, dll), selimut dan pakaian pantas pakai, serta obat-obatan.

Guna menghindari terjadinya tumpang tindih dalam penyaluran bantuan kepada korban Merapi, sebelum melakukan kegiatan penyaluran bantuan para relawan terlebih dahulu melakukan pemetaan sosial, yaitu kegiatan yang bertujuan untuk mengumpulkan berbagai informasi tentang jenis bantuan yang dibutuhkan oleh para korban dan lokasi sarasan yang belum tersentuh bantuan dari pihak lain. Hasil kegiatan pemetaan sosial ini sangat berguna untuk memaksimalkan manfaat dari bantuan yang disalurkan oleh PSPK UGM dan KKY. Salah satu manfaat yang dapat diraih dari kegiatan pemetaan sosial yang dilakukan sebelum penyaluran bantuan adalah dapat ter-cover-nya komunitas korban Merapi yang semula luput dari perhatian para donatur. Salah satu komunitas tersebut adalah komunitas korban Merapi yang berada di tepian Kali Code.

Meski lokasi komunitas masyarakat Kali Code jauh dari puncak Merapi namun karena sungai yang membelah kota Yogyakarta itu berhulu di lereng Merapi maka dampak letusan Merapi juga dirasakan oleh komunitas tersebut. Namun bukan awan panas yang mengancam mereka melainkan banjir lahar dingin. Lahar dingin yang terbawa arus air di Kali Code telah menyebabkan sungai Code mengalami pendangkalan sehingga akhirnya pemukiman di sekitar kali tersebut terkena banjir.

Meskipun masa tanggap darurat akan segera berakhir namun kepedulian PSPK UGM dan KKY pada masayarakat koban bencana Merapi akan terus dilanjutkan. Pada masa rekonstroduksi PSPK UGM dan KKY telah membuat perencanaan untuk membantu pengadaan air bersih bagi warga masyarakat di sejumlah desa di lereng Merapi, baik yang berada di Propinsi DIY maupun Propinsi Jawa Tengah, dengan memberikan sejumlah alat penyaring air besih. Di samping itu, PSPK UGM dan KKY juga akan mendampingi warga masyarakat korban bencana Merapi agar dapat memulihkan atau menciptakan sumber penghidupan baru dengan harapan mereka segera dapat mandiri dan tidak berrgantung lagi pada pihak lain.

Apabila anda memiliki kepedulian pada para korban bencana Merapi dan ingin memberikan bantuan kepada mereka, namun anda tidak mengetahui cara untuk menyalurkannya, percayakan bantuan anda kepada kami maka kami akan menyalurkan bantuan tersebut kepada pihak/korban yang benar-benar membutuhkan. Kami tunggu partisipasi anda.

Simalakama Inpres Beras

Oleh: Mochammad Maksum Machfoedz

Kondisi perberasan nasional sungguh amburadul meski harus diakui kekacauan itu sifatnya musiman. Ada titik waktu yang bisa dicatat sebagai masa krisis, antara lain bulan Desember dan masa rendengan yang dicirikan oleh panen minimal, sementara kebutuhan tidak pernah turun. Waktu lain adalah bulan puasa dan menjelang Idul Fitri. Membengkaknya kebutuhan karena menyambut Lebaran dan masa pembayaran zakat tentu sangat berpengaruh. Namun, lonjakan harga kali ini terjadi di tengah berbagai ironi dan pasca-Lebaran. Pertama, krisis terjadi justru ketika pemerintah, melalui Angka Ramalan (ARAM)-II menggembor- gemborkan bahwa tahun ini kita tidak sekadar swasembada, tetapi swasembada dengan surplus 5,8 juta ton beras.

Kedua, kalau ARAM-II bisa dipercaya, puncak krisis justru terjadi pada puncak surplus bulanan sepanjang 2010 dengan stok akhir Agustus 10,1 juta ton sampai stok akhir September 9,4 juta ton. Ketiga, krisis harga beras terjadi ketika otoritas pangan pemerintah dengan kekuasaan dan segala janjinya, mandul, tidak mampu membangun efektivitas pengendalian harga.

Spekulasi dan klarifikasi pemerintah tentang sebab musabab krisis teramat tidak meyakinkan. Setidaknya, ada dua kubu pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)-II yang sangat berbeda dalam penjelasannya. Satu kubu menuding spekulan sebagai penyebabnya, sementara kubu lain menyatakan spekulasi itu tidak mungkin mengingat kompetitifnya pasar beras. Tidak seorang pun berbesar hati mengakui kesalahan bahwa krisis tersebut akibat cetak biru tata niaga perberasan yang telah memperdaya presiden untuk menandatangani Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2009.

Inpres No 7/2009

Dalam upaya menjaga kepentingan produsen, konsumen, dan stabilisasi harga beras sebagai bahan pangan paling strategis, pemerintah selalu menyiapkan bingkai tata niaga yang disebut Inpres tentang Perberasan atau Inpres Beras, yang mengatur tata niaga dan fungsionalisasi otoritas pangan dalam pengendalian harga beras dan gabah.

Selama pemerintahan KIB, kita mengenal Inpres No 13/2005, Inpres No 3/2007, Inpres No 1/2008, Inpres No 8/2008, dan Inpres No 7/2009. Yang menonjol dalam inpres adalah amanat pengamanan harga beras, gabah kering panen (GKP), dan gabah kering giling (GKG) melalui patokan harga yang kemudian disebut harga pembelian pemerintah (HPP). Adalah mandat Bulog sebagai otoritas pangan untuk mengamankan harga di tingkat produsen pada besaran HPP menurut inpres yang berlaku untuk beras kualitas medium.

Inpres No 7/2009 yang diundangkan akhir Desember 2009 dan berlaku 1 Januari 2010 mematok HPP GKP, GKG, dan beras Rp 2.640, Rp 3.345, dan Rp 5.060 per kilogram. Janji kesejahteraan ini setara kenaikan 10 persen dibandingkan Inpres No 8/2008 yang digantikannya. Ajakan untuk melakukan introspeksi, menakar ulang kelayakan Inpres No 7/2009 dalam hal ini sudah tentu erat kaitannya dengan besaran HPP dan proporsionalitasnya.

Besaran HPP

Benar bahwa HPP sekarang sudah 10 persen lebih besar dibandingkan dengan HPP menurut Inpres No 8/2008. Hal ini berarti perbaikan ekonomis sudah dijanjikan bagi petani produsen padi. Persoalannya, apakah perbaikan ini cukup masuk akal atau tidak. Sebagian pihak mengatakan itu sudah bagus mengingat harga beras impor yang lebih murah. Suara ini terutama muncul dari pemerintah.

Sementara pihak lain melihat ini tak cukup berarti dan tidak pantas diukur dengan besaran harga dunia karena tingkat subsidi dan proteksi perberasan mereka yang sangat tinggi dibandingkan di Indonesia. Itu pun masih ditambah dengan pertimbangan sosial ekonomi Indonesia, dalam kaitannya dengan kesempatan kerja dan luasan pemilikan lahan.

Ada baiknya mencermati pandangan kelompok kedua ini, yang juga mengingatkan indikasi rendahnya HPP dilihat dari tingginya harga GKP, GKG, dan beras di pasar yang jauh dari HPP. Maknanya, mekanisme pasar dianggap sudah menetapkan (setting) harga lebih baik bagi petani dan karena itu fungsi pengadaan Bulog tak dijalankan. Haram hukumnya bagi Bulog untuk membeli lebih tinggi dari HPP.

Inilah simalakama pertama. Harga pasar yang tinggi sering dibanggakan sebagai sukses pengendalian harga. Padahal, itulah indikasi terlalu rendahnya HPP. Sebagai bukti, andai saja HPP diturunkan lagi, niscaya pengadaan Bulog akan nihil, tidak ada pengadaan jalur HPP karena harga gabah dan beras yang lebih rendah dari HPP.

Ini mengakibatkan terbatasnya cadangan Bulog sehingga tak mampu mengendalikan harga melalui operasi pasar, seperti terjadi akhir-akhir ini. Simalakama berikutnya berupa keputusan pemerintah untuk impor 500.000 ton beras. Keputusan yang disampaikan Menteri Pertanian dalam rapat koordinasi stabilisasi harga pangan pasca-Lebaran, Senin (20/9), itu pasti memiliki dampak domestik berkepanjangan terhadap sistem produksi beras dalam negeri.

Proporsionalitas

Rendemen adalah rasio teknis antara beras yang dihasilkan dari gabah sebagai bahan bakunya dalam proses penggilingan. Inpres No 7/2009 menyiratkan bahwa beras yang HPP-nya Rp 5.060 per kilogram ternyata nilainya setara dengan harga 1,5127 kilogram GKG dengan HPP Rp 3.345 per kilogram.

Kesetaraan ini menunjukkan bahwa proporsi HPP hanya masuk akal ketika proses penggilingan memiliki rendemen 66 persen dan gratis, tanpa ongkos giling. Dalam dunia nyata, dua hal ini tidak pernah terjadi pada proses penggilingan beras kualitas medium yang dicirikan oleh 20 persen beras patah.

Makna berikutnya, 66 persen adalah optimisme yang tidak memiliki pembenaran, apalagi ketika ditambah ongkos giling Rp 200-Rp 400 per kilogram. Kesetaraan HPP beras Rp 5.060 per kilogram dengan sejumlah gabah senilai yang sama hanya terjadi pada rendemen 68 persen, sesuatu yang tak pernah ada di dunia untuk beras kualitas medium dan itulah simalakama lainnya.

Angka ini jauh menyimpang dari data rendemen Balitbang Pertanian (2008) yang maksimal 64,67 persen dengan konfigurasi gilingan lima tahap Cleaner-Husker-Separator-Polisher-Grader, yang canggih dan supermahal.

HPP beras Rp 5.060 per kilogram itu teramat tidak masuk akal. Berdasarkan rasionalitas rendemen dan biaya giling, untuk GKG Rp 3.345 per kilogram mestinya HPP beras adalah Rp 6.000 per kilogram. Kalau ini patokan HPP-nya, lonjakan harga sampai 20-25 persen tentu masih sangat wajar adanya. Sudah waktunya merombak pola pikir bagi pembenahan Inpres Beras karena landasan legal ini sangat problematik dan telah memunculkan ironi sepanjang sejarah: surplus 9-10 juta ton tetapi impor 500.000 ton. Berangkat dari sinilah kisruh perberasan berakar dan harus diselesaikan. (*Penulis adalah Staf Peneliti PSPK, Guru Besar Sosial Ekonomi Agroindustri, FTP UGM, sumber: Kompas, 22 September 2010).