Kekerasan Sosial dan Implikasinya terhadap Masyarakat Pedesaan

“Konflik berdarah yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia akhir-akhir ini, yaitu konflik antar umat beragama di Pandegelang dan Temanggung, menunjukkan pada kita semua betapa rentannya masyarakat Indonesia jatuh dalam tindak kekerasan yang berujung pada perilaku anarkis. Hanya karena perbedaan keyakinan seorang warga masyarakat rela menganiaya bahkan sampai menghilangkan nyawa sesama. Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan di hati kita mengapa bangsa yang sejak lama telah dikenal sebagai bangsa yang ramah dan penuh toleransi mendadak berubah menjadi bangsa yang lebih mengedepankan kekuatan otot dibandingkan kekuatan otak untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya” demikian pernyataan penyaji dalam seminar bulanan yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK UGM) pada hari Kamis tanggal 17 Februari 2011. Seminar yang telah menjadi tradisi setiap bulan itu, pada kesempatan tersebut menampilkan seorang pembicara, Mochammad Sodik staf pengajar dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga yang pada saat ini sedang menempuh studi S3 di UGM, dengan moderator Prof. Susetiawan peneliti senior PSPK UGM. Topik yang dibahas dalam seminar sore tersebut adalah “Kekerasan Sosial dan Implikasinya terhadap Masyarakat Pedesaan.”

Khusus berkaitan dengan kasus kekerasan yang menimpa jemaat Ahmadiah di Cikeusik Pandeglang yang telah menimbulkan jatuhnya korban nyawa beberapa hari yang lalu, penyaji berpendapat bahwa peristiwa tersebut merupakan klimak dari serangkaian konflik yang terjadi antara umat Islam di Indonesia dengan Jemaat Ahmadiah. Selama kurun waktu satu dekade terakhir, tercatat telah terjadi lebih dari 10 kasus kekerasan yang menimpa anggota jemaat Ahmadiah di Indonesia. Dari kasus-kasus tersebut hanya kasus terakhir yang menimbulkan jatuhnya korban nyawa, beberapa kasus sebelumya hanya menimbulkan korban material yaitu hancurnya rumah dan barang milik warga jemaat Ahmadiah.

Bila menilik pada sejarah, Jemaat Ahmadiah Indonesia telah berdiri sejak tahun 1924 jauh mendahului berdirinya organisasi massa Islam lainnya seperti NU dan Muhammadiah. Selama lebih dari lima dekade anggota Jemaah Ahmadiah dapat hidup damai bersama dengan warga negara Indonesia lainnya. Bahkan berdasarkan catatan sejarah ada beberapa pengikut organisasi tersebut yang telah ikut berjasa mendirikan republik ini. Salah satu pengikut Ahmadiah yang tampil dipanggung politik nasional adalah WR Supratman. Seorang tokoh yang telah berjasa menggubah lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya. Namun memasuki dekade terakhir kedamaian hidup jemaat Ahmadiah mulai terusik, karena kerukunan di antara pemeluk agama mulai terusik.

Ada beberapa pendapat berkaitan dengan fenomena terjadinya konflik antara Jemaah Ahmadiah dengan umat Islam yang pecah dalam kurun waktu satu decade terakhir. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sebenarnya konflik antara jemaat Ahmadiah dengan umat Islam telah ada sejak lama. Namun di era orde lama dan orde baru konflik tersebut tidak termanifestasi akibat kuatnya control penguasa pada masa tersebut. Namun di masa reformasi dimana kekebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat semakin terjamin, konflik yang sebelumnya hanya bersifat laten mendapat ruang untuk termanifestasi dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pendapat lain menyatakan bahwa konflik tersebut terjadi karena berkembang dan maraknya kehidupan keberagamaan, khususnya umat Islam di Indonesia yang berdasarkan pada tafsir intoleransi/kebencian pada kelompok lain. Tafsir ini menumbuhkan sikap di kalangan pemeluk agama untuk membenci adanya perbedaan. Setiap orang atau kelompok yang berbeda dengan dirinya atau kelompoknya adalah sesat sehingga merupakan musuh yang harus dilenyapkan dari muka bumi. Pendapat ketiga menyatakan bahwa konflik horizontal yang terjadi antara umat Islam dengan jemaah Ahmadiah merupakan konflik yang terjadi karena direkayasa atau diciptakan oleh pihak ketiga. Pihak tersebut berusaha untuk menarik keuntungan dari setiap konflik yang terjadi.

Apapun alasan yang menjadi penyebab terjadinya konflik horizontal antara pemeluk agama di Indonesia, yang pasti konflik tersebut telah meluluhlantakkan kerukunan hidup antar pemeluk agama yang selama ini telah diperjuangkan untuk dapat tercipta dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Konflik antar pemeluk agama bukan hanya menghianati cita-cita luhur bangsa Indonesia yang telah dirumuskan dalam konstitusi, tetapi juga telah menghianati amanat yang diberikan Tuhan kepada manusia, yaitu untuk hidup damai dengan sesama. Untuk mencegah agar di masa depan kehidupan bangsa Indonesia tidak dihiasi lagi dengan konflik SARA, khususnya konflik yang terjadi akibat adanya perbedaan keyakinan, maka salah satu upaya yang harus ditempuh oleh bangsa Indonesia adalah penanaman sikap toleransi kepada seluruh anak bangsa. Tumbuhnya sikap toleransi terhadap perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat akan mengikis sikap kebencian pada orang yang berbeda dengan dirinya atau kelompoknya. Penghargaan terhadap adanya perbedaan akan menutup ruang bagi terciptanya tindak kekerasan pada orang lain, bahkan ketika ada pihak ketiga yang mencoba memproduksi tindak kekerasan/anarkisme di antara warga masyarakat.

Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk menumbuhkan sikap penghargaan/toleransi pada perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat adalah dengan memasukan materi tentang toleransi ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah. Melalui upaya pengenalan nilai toleransi sejak dini kepada anak-anak diharapkan setelah dewasa mereka menjadi orang yang menghargai adanya perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat, khususnya perbedaan agama dan keyakinan. “Mudah-mudahan konflik yang terjadi di Cikeusik Pandegelang dan Temanggung menjadi konflik yang terakhir di bumi Indonesia..amin” doa penyaji sebelum seminar sore tersebut ditutup. *(dc)