Arsip:

Kerja Sama

Berdayakan Masyarakat Desa, PSPK UGM Tanam 150 Bibit Kelapa Genjah

Selasa (7/11), Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) melakukan kegiatan “Tanam Perdana 150 Bibit Kelapa Genjah” di Desa Ngalian, Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo. Acara ini merupakan salah satu dari rangkaian “Program Pengembangan Agro-industri Kelapa Genjah untuk Meningkatkan Perekonomian Masyarakat Desa” yang bermitra dengan Bappeda Kabupaten Wonosobo dan Desa Ngalian.

Acara tersebut dihadiri oleh Prof. Dr. Bambang Hudayana, MA (Kepala PSPK UGM), Dr. Jaelan, SKP, M.Kes (Kepala Bappeda Kabupaten Wonosobo), Warsono (Kepala Desa Ngalian), Prof. Dr. Suharko (Peneliti Ahli PSPK UGM), serta Harjanto, S.IP, MM (Kabid Pemerintahan, Sosial, dan Budaya Bappeda Kabupaten Wonosobo). Sebagai awalan, Program Pengembangan Agro-industri Kelapa Genjah ini menyasar Kelompok Tani Ngudi Tentrem Dusun Pukiran sebagai kelompok sasaran pengelola program. Terdapat 150 bibit yang ditanam di lahan tanah kas desa seluas 1 hektar.

Dalam pembukaan acara, Prof. Dr. Bambang Hudayana, MA menyampaikan pentingnya modal sosial dalam pengelolaan sebuah kelompok tani. “Agar program ini dapat terus berkelanjutan, sampai pohon kelapa genjah berbuah dibutuhkan 3 sampai dengan 4 tahun, kekompakan dan kesolidan kelompok tani harus terus dipupuk dan dijaga,” ujarnya. Terkadang kelompok tani terbuai dengan berbagai modal ekonomi dalam wujud alat produksi dan uang tunai semata. Menambahkan apa yang diucapkan Prof. Dr. Bambang Hudayana, MA., Dr. Jaelan, SKP, M.Kes menyerukan agar kelompok tani dapat mengembangkan potensi mereka secara cerdas dan kreatif. Di era digital, mereka perlu rutin mendokumentasikan berbagai kegiatan kelompok agar dapat mempererat kebersamaan dan mengangkat eksistensi mereka tidak hanya sebatas di level desa saja. Eksistesi yang dikemas dan disosialisasikan dalam bentuk konten digital tersebut kedepannya dapat berguna dalam upaya mengakses berbagai peluang bantuan pendampingan, baik dari level daerah maupun pusat. Tak ketinggalan, Prof. Dr. Suharko juga menyampaikan pentingnya memanfaatkan kemudahan akses informasi di era digital. “Adanya internet telah memudahkan kita untuk belajar berbagai hal, salah satunya yaitu budidaya kelapa genjah,” ungkapnya. Disamping berbagai kegiatan pelatihan dan pendampingan yang dilakukan oleh PSPK UGM, Kelompok Tani Ngudi Tentrem juga dapat belajar dari berbagai best practices di bidang budidaya kelapa genjah melalui konten-konten relevan yang tersedia di berbagai platform sosial media.

Program Pengembangan Agro-industri Kelapa Genjah ini bersifat jangka panjang, diperlukan kurang lebih 4 tahun hingga bibit yang ditanam dapat dipetik hasil panennya. Melalui peta jalan pemberdayaan yang telah disusun, PSPK UGM akan terus melakukan pendampingan secara berkelanjutan, mulai dari pelatihan manajemen kelompok tani, perawatan tanaman, pemanenan, pengolahan hasil panen, hingga pemasaran produk hasil olahan. Dengan adanya Program Pengembangan Agro-industri Kelapa Genjah ini, kedepannya diharapkan dapat menjadi salah satu sumber peningkatan ekonomi masyarakat Desa Ngalian.

Tamu Spesial: Kunjungan Keluarga Prof. Dr. W.F. Wertheim di PSPK UGM

Pada hari Rabu, tanggal 24 Mei 2023, PSPK UGM kedatangan tamu spesial yakni keluarga Prof. Dr. W.F. Wertheim langsung dari Negeri Kincir Angin Belanda. Keluarga atau rombongan yang datang berjumlah 3 orang dan terdiri dari putri, anak menantu dan cucu Prof. Wertheim. Kunjungan kali ini diinisiasi oleh Ibu Anne-Ruth Wertheim (Putri Kandung Prof. Wertheim) yang tiba di PSPK tepat pukul 10.00 WIB, dan disambut langsung oleh Prof. Dr. Bambang Hudayana, M.A. (Kepala PSPK UGM).

Adapun tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk melakukan kilas balik (napak tilas) sepak terjang Prof. Wertheim dalam membangun PSPK UGM, serta sumbangsih pemikiran yang beliau tuangkan dalam bentuk koleksi buku yang masih tersimpan rapi di perpustakaan PSPK dan “Wertheim Collection”. Kunjungan yang dilakukan diwarnai dengan berbagai acara seperti penyambutan dari kepala PSPK, sesi diskusi bersama peneliti PSPK dan mahasiswa UGM, hingga room tour melihat ruangan-ruangan beserta koleksi buku milik Prof. Wertheim. Pada sesi diskusi, acara dipimpin oleh peneliti PSPK yaitu Mohammad Ghofur sebagai moderator dan dilanjutkan dengan pemaparan mengenai cerita singkat sejarah Prof. Wertheim oleh putrinya yaitu Ibu Anne-Ruth. Tak lupa setelah sesi diskusi bersama dilakukan, Keluarga Wertheim melalui putrinya menyampaikan harapannya bahwa peninggalan Prof. Wertheim terutama koleksi buku-buku yang ada harus tetap dijaga kondisinya. Harapan tersebut dilandasi atas asas kebermanfaatan bagi peneliti maupun mahasiswa yang ingin menggali informasi dan menambah wawasan melalui buku-buku koleksi, pemikiran dan tulisan-tulisan langsung dari Prof. Wertheim.

Setelah kegiatan kunjungan dilakukan, Keluarga Wertheim berpamitan dan memberikan salam perpisahan yang ditandai dengan pemberian 3 buah buku karangan Prof. Wertheim yang selama ini ada di Belanda untuk disimpan bersama di Perpustakaan Wertheim Collection. Pada momen tersebut, seorang Mahasiswa Magister Sejarah UGM yang bernama Taufik mengungkapkan kegembiraan dan rasa syukurnya. Karena, salah satu buku yang diserahkan ke PSPK oleh Keluarga Wertheim merupakan buku langka yang susah ditemukan dan relevan untuk keperluan pemenuhan data tesis yang saat ini sedang dia kerjakan. Tidak hanya satu buku itu saja, dua buku yang lain juga sangat berperan penting untuk menambah khazanah ilmu khususnya mengenai kajian tentang pedesaan dan kawasan, perubahan sosial secara umum, beserta kultur yang terkandung pada setiap masyarakat adat atau lokal di daerahnya.

 

Seminar Peluang dan Tantangan Integrasi CSR dengan Pembangunan Desa

Bekerja sama dengan IRE Yogyakarta, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada pada hari Selasa, 26 Mei 2015, mengadakan seminar tentang “Peluang dan Tantangan Integrasi Corporate Social Responsibility dengan Pembanguan Desa.” Seminar diselenggarakan mulai pukul 13.00. WIB hingga 15.00. WIB, di ruang sidang besar PSPK UGM, Bulaksumur G-7 Yogyakarta dengan menghadirkan 3 (tiga) orang narasumber, yaitu Dr. Bambang Hudayana, MA (kepala PSPK UGM), Sukasmanto, M.Si (peneliti IRE), dan Jamil Bahruddin, S.Sos, M.Sc, dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM.

Dalam seminar tersebut, Dr. Bambang Hudayana membahas tantangan dan strategi membangun kemitraan antara desa-perusahaan-daerah guna menyambut UU Desa. Sukasmanto, M.Sc membahas tentang perubahan kedudukan, kewenangan, perencanaan, dan keuangan desa sebagai peluang baru bagi desa-perusahaan-daerah untuk menjalin relasi yang lebih sinergis dengan porsi sharing sumber daya dan peran yang lebih proporsional. Sedangkan, Jamil Bahrudin membahas kerangka regulasi CSR yang enabling maupun constraining bagi inisiatif “CSR integrasi dengan UU Desa”, existing inisiatif-inisiatif good practices CSR, serta strategi untuk mengelola dinamika internal perusahaan untuk mendorong praktik CSR yang sinergis dan integrative dengan pelaksanaan UU Desa.

Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa memberi peluang bagi kalangan perusahaan dalam melaksanakan program Corporate Social and Responsibility (CSR). Desa oleh UU ini memiliki kedudukan yang lebih kuat terkait kewenangan, perencanaan pembangunan, dan keuangan. Desa kini punya ruang mendefinisikan lingkup kewenangan asal-usul dan lokal berskala desa (Permendesa 1/2015). Kewenangan tersebut menjadi pijakan perencanan desa (RPJM Desa dan RKP Desa), yang mana juga wajib dihormati oleh pemerintah, provinsi, kabupaten dan pihak ketiga (perusahaan, lembaga donor internasional, dll.) ketika ingin melakukan pembangunan di desa. Agar kewenanangan dan perencanaan secara nyata bisa dilaksanakan, UU Desa telah menggariskan bahwa desa mendapatkan alokasi APBN berupa Dana Desa dan Alokasi Dana Desa.

Perubahan kebijakan Negara terhadap desa di atas tentu merupakan angin segar, tak terkecuali bagi perusahaan. Ketika APBD habis untuk belanja pegawai dan alokasi untuk pembangunan dan pelayanan publik sedikit, desa selama ini memiliki harapan besar terhadap peran swasta (Welker, 2007). Terlebih, bagi industri ekstraktif yang sejak fase konstruksi telah menimbulkan ekses negatif baik itu yang bersifat sosial maupun lingkungan.

Namun tentu, itikad dan iktiar perusahaan untuk mengatasi ekses negatif sekaligus berkontribusi positif  bagi masyarakat tidak mudah.

  1. Pertama, masyarakat dan pemerintah sejatinya tidak tunggal. Perusahaan kiranya tidak mudah menemukan mitra yang memang memiliki kemauan politik untuk sungguh-sungguh memberdayakan masyarakat dan membangun daerah, kendati aktor local champion (pembaharu) bukannya tidak ada. Tak jarang, aktor yang bersifat predatory (preman, elit lokal yang korup, dst.) justru lebih diperhatikan oleh perusahaan karena pertimbangan mitigasi resiko ketimbang aktor-aktor champions.
  2. Kedua, sejak lama perusahaan telah menempuh pendekatan karitatif dan secara tak sadar menumbuhkan mindset ketergantungan. Pemerintah daerah, pemerintah desa dan masyarakat sudah sedemikian terbiasa. Alhasil, ketika perusahaan ingin mengubah pendekatan dan strategi program CSR, ada hambatan berupa keengganan bahkan penolakan stakeholders karena dirasa sulit, rumit, dan butuh sharing kontribusi. Kita masih sering medengar seorang bupati yang bangga bisa memarahi perusahaan karena kecamatan lokasi industri masih miskin meskipun wilayah tersebut sejatinya berada di luar Ring I. Pemda dan pemdes tidak sadar menimpakan eksternalitas negative dari mis-alokasi suberdaya publik: mengalokasikan APBD dan APB Desa untuk kepentingan elit dan menimpakan tanggung jawab normatifnya kepada perusahaan.
  3. Ketiga, cara pandang di internal perusahaan juga sulit berubah. Misalnya, pendekatan yang integratif dengan perencanaan pembangunan daerah dan desa, yang lebih inklusif dan partisipatif beyond elit lokal, serta yang berorientasi outcome kualitatif dan  jangka panjang ketimbang pencapaian ukuran-ukuran kuantitatif jangka pendek juga masih sulit diterima oleh sebagian besar manajemen perusahaan. Padahal, lanskap sosial-politik telah berubah dari yang dulu bersifat sentralistis, top-down, menekankan pendekatan keamanan.
  4. Keempat, CSR adalah keseluruhan dari praktik industri. CSR bukan bermakna bahwa perusahaan bisa menjalankan operasi bisnis semaunya untuk kemudian membagikan sejumlah persen keuntungan kepada stakeholders (Hamman, 2003). Implikasinya, CSR adalah agenda perusahaan secara kelembagaan dan bukan sebatas program/kegiatan divisi humas/divisi comdev atau yang disebut lain. Komitmennya merentang dari top manajemen dan harus terjaga hingga sub-kontraktor. Kegagalan menginternalisasi agenda ini secara kelembagaan, niscaya akan membuat program CSR tidak mencapai tujuan yang diharapkan.

Penandatanganan Nota Kesepahaman Bersama antara UGM dengan Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

Pada hari Jumat tanggal 6 Maret 2015 telah ditandatangani nota kesepahaman bersama antara Universitas Gadjah Mada dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi di balai senat UGM. Universitas Gadjah Mada diwakili oleh rektor Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc, Ph.D, sedangkan kementrian Desa, PDT, dan Transmigrasi diwakili oleh Marwan Ja’far, menteri Desa, PDT dan Transmigrasi. Nota kesepahaman tersebut merupakan payung hukum antara kedua belah pihak untuk melakukan kerjasama di bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat, untuk jangka waktu 5 tahun ke depan.

Dalam sambutannya, Rektor UGM Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., mengatakan pihaknya mendukung program pemerintah yang akan memprioritaskan pembangunan yang dimulai dari desa. UGM,sesuai dengan kerja sama yang sudah dijalin tersebut, siap mengerahkan 7.500 mahasiswa setiap tahunnya melalui program Kuliah Kerja Nyata. Mahasiswa KKN PPM UGM ini akan diterjunkan di desa-desa tertinggal di seluruh Indonesia. “Kita terjunkan secara reguler dan bergelombang agar bisa bisa mendukung program kementerian desa dalam pengentasan desa tertinggal,” katanya. Menurut Dwikorita, pengentasan kemiskinan desa yang dilakukan UGM dilakukan dengan berbasis riset, kajian dan solusi strategis dengan merintis desa tangguh dalam bidang kebencanaan, sosial ekonomi dan kemandirian energi dan semangat anti korupsi.

Sementara itu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Marwan Jafar mengatakan pemerintah akan mengakhiri program kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) pada akhir April 2015. Sebagai gantinya pemerintah akan melaksnakan program pendampingan desa dengan merekrut tenaga pendamping desa untuk mengawal pembangunan desa seiring pengucuran dana desa dari pemerintah pusat. Tenaga pendamping ini, kata Marwan, akan melakukan penguatan kapasitas aparatur desa dan pendampingan administrasi keuangan. “Idealnya satu desa satu pendamping, tenaga pendamping akan direkrut setelah bulan april ini,” kata Marwan Ja’far.

Marwan menyebutkan puluhan ribu tenaga pendamping desa ini akan ditempatkan pada 43 ribu desa tetinggal, dimana 17.500 desa diantaranya masuk dalam kategori desa sangat tertinggal. Sebelum menerjunkan tenaga pendamping, kata Marwan, kementeriannya akan mengindentifikasi kebutuhan desa, jumlah ketersediaan pangan dan kebutuhan air bersih serta sarana dan prasarana infrastruktur. “Kita menyiapkan dananya sekitar Rp 29 Triliun untuk desa sangat tertinggal ini, namun masuk dalam perencanaan 2016 nanti,” ujarnya.

Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Dr. Bambang Hudayana, mengatakan pihaknya mengaku siap dilibatkan dalam penguatan kapasitas tenaga pendamping desa melalui program sekolah desa. Menurutnya, kegiatan tersebut diharapkan agar memperkuat kapasitas tenaga pendamping desa saat bekerja di lapangan. “Jangan sampai pembangunan desa hanya menjadi wacana publik. Perguruan tinggi dan masyarakat sipil saya kira perlu mengawal pembangunan desa tersebut agar bisa terealisasi dengan baik,” ungkapnya.

Hilangkan Batasan Akses Ekonomi yang Merugikan Perempuan Desa

Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM bersama-sama dengan HAPSARI dan Institute for Research and Empowerment (IRE) menyerukan kepada pemerintah dan semua pihak untuk menghilangkan batasan-batasan akses ekonomi yang merugikan perempuan, khususnya perempuan di pedesaan dan daerah marjinal. “Perempuan, harus bisa ikut mengakses semua sumber daya di sekelilingnya tanpa batasan, termasuk akses ke sumber penghasilan dan sumber daya alam di lingkungannya. Dan yang terpenting, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan baik oleh pemerintah maupun swasta, termasuk bank dan sumber pembiayaan lain, harus mengakomodir kebutuhan ekonomi perempuan,” tutur Lely Zailani, Ketua Dewan Pengurus Nasional HAPSARI dalam Sarasehan Nasional yang dihadiri oleh menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, Yohana S. Yembise. Menurut Lely, saat ini kebijakan ekonomi yang ada belum berpihak dan cenderung merugikan perempuan. Padahal, menurutnya perempuanlah penggerak utama perubahan di keluarga dan masyarakat. “Perempuan yang tidak mandiri secara ekonomi cenderung rentan terhadap kekerasan baik fisik maupun psikologis meski sebenarnya peran mereka di lingkungan dan keluarga besar,” tambah Lely.

Dengan dukungan Program Representasi (ProRep), HAPSARI melakukan penelitian tentang tantangan ekonomi yang dihadapi perempuan akar rumput. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa ada enam tantangan inti yang dihadapi perempuan, antara lain: kesulitan akses permodalan; akses perizinan untuk usaha sertifikasi produk dan koperasi; infrastruktur; produksi; pengemasan; dan pemasaran.

Berkat pergulatan panjangnya, HAPSARI menuai buah keberhasilan. Salah satu contohnya adalah Koperasi HAPSARI di Kulon Progo Yogyakarta. Koperasi ini mampu mengolah produk kopi dan teh dari anggotanya menjadi produk lokal yang menghasilkan tambahan ekonomi bagi para anggotanya. Melalui koperasi, para petani kopi dan teh kini menikmati harga jual panenan yang lebih baik dbandingkan dengan harga jual ke para pengepul (tengkulak). Sukses itu tidak terlepas dari intervensi program Pemerintah Daerah Kulon Progo melalui Dinas Koperasi yang memberi kemudahan mulai dari proses pendirian koperasi, perizinan (badan hukum), perizinan produk, promosi produk, hingga akses permodalan. Kesuksesan Koperasi HAPSARI Kulon Progo itu menginspirasi tumbuhnya koperasi-koperasi di berbagai desa lain yang menjadi anggota HAPSARI, seperti di Deli Serdang, Serdang Bedagai, Labuhanbatu, dan Pekalongan. Koperasi-koperasi ini mulai menangani pengolahan ikan asin di Kabupaten Serdang Bedagai dan keripik koin dari singkong di Deli Serdang. Koperasi-koperasi itu berhasil memperkuat potensi dan sumber pendapatan bagi ekonomi rumah tangga mereka.

Keterbukaan akses bisa menjadi langkah kunci dalam mengafirmasi gerakan perempuan dalam membangun wilayahnya. Contoh yang menarik, penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Gadjah Mada (LPPM UGM) pada tahun 2010-2011 tentang pengolaan koperasi di masyarakat membuktikan bahwa koperasi yang dikelola para perempuan lebih maju dibandingkan dengan kelompok laki-laki. “Tingkat pengembalian pinjaman kelompok perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok laki-laki,” ungkap Soeprapto dari Pusat Studi Wanita UGM. “Itulah salah satu bukti bahwa perempuan, termasuk perempuan di pedesaan, bukan obyek pembangunan melainkan subyek pembangunan yang aktif dan produktif,” tambahnya.

Beban ganda yang diusung perempuan karena berbagai hambatan struktural harus segera dibongkar demi memberikan nafas keadilan dalam gerak pemberdayaan kelompok ekonomi produktif perempuan di pedesaan dan daerah marjinal,” tutur AB Widyanta dari Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM. “Tiga matra pemberdayaan kelompok perempuan yang mesti diperjuangkan adalah: pertama, penguatan substantif partisipasi sipil dan politik kaum perempuan; kedua, membuka kesempatan dan akses yang sama dalam aktivitas pembangunan; dan ketiga, menjamin implementasi berbagai kebijakan alternatif bagi gerakan pemberdayaan kelompok perempuan berikut jejaringnya,” tambah Widyanta.

Seminar Publik Peran Perempuan Dalam Pengembangan Ekonomi Lokal

PSPK UGM bekerjasama dengan HAPSARI menyelenggarakan seminar publik peran perempuan dalam pengembangan ekonomi lokal. Seminar dilaksanakan tanggal 17 November 2014 di Aula PSPK UGM, dihadiri oleh 60 orang partisipan. Dipandu oleh AB.Widhyanto dari PSPK sebagai moderator, dihadiri oleh dua orang peneliti ahli dari PSPK dan PSW yang menjadi menjadi narasumber pembanding, yaitu Mulyono, MA (PSPK) dan Drs. Soeprapto yang juga merupakan Ketua PSW, Dina Mariana,SH selaku peneliti ahli dari LSM IRE, serta Dra.Hermintarti selaku Kepala Dinas Koperasi kabupaten Kulon Progo.

Dalam seminar ini, selain berbagai masukan (kritik dan saran terhadap hasil penelitian), juga mencatat adanya pernyataan komitmen dukungan dari lembaga penelitian, LSM dan Dinas Koperasi untuk bermitra dan mendukung HAPSARI dalam pengembangan program dan advokasi untuk penguatan ekonomi perempuan di masa datang.

Meja Makan: Penentu Kedaulatan Pangan Kita

“Menu apa yang biasa kita makan sangat berpengaruh pada kedaulatan pangan di negeri ini. Hal itu bisa terjadi karena guna mewujudkan sebuah menu hidangan yang tersaji di meja makan, diperlukan banyak jenis bahan pangan yang berasal dari berbagai tempat. Misalkan tadi pagi kita makan nasi pecel maka bila kita cermati maka bahan pangan yang dibutuhkan untuk membuat nasi pecel bisa berasal dari banyak tempat, sayurnya dari lereng Merapi, berasnya dari Delanggu, kacangnya dari Sukoharjo, dll. Sebaliknya bila tadi pagi kita makan burger maka kita dapat mencermati bahwa bahan yang dibutuhkan untuk membuat burger berasal dari tempat yang lebih jauh, gandumnya dari Eropa, dagingnya dari USA, dll. Bila menu makan kita terbuat dari bahan pangan produk lokal maka kita sudah turut membangun kedaulatan pangan namun bila menu makan kita terbuat dari bahan pangan yang harus diimpor dari negara lain maka kita akan melemahkan kedaulatan pangan kita”, demikian pernyataan Dr. Baiquni membuka acara bedah buku hasil kajian CEES yang berjudul “Kisah Meja Makan: Pemberdayaan Masyarakat Urban Menuju Kedaulatan Pangan” yang diselenggarakan oleh CEES bekerja sama dengan Tifa, Pusat Studi Pariwisata UGM, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Impuls, dan Pintal. Acara yang diselenggarakan di ruang sidang besar PSPK UGM dan dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan tersebut, selain menghadirkan pembicara Dr. Baiquni dari Puspar UGM, juga menghadirkan Dr. Sri Peni Wastutiningsih dari CEES dan Baning P. seorang aktivis di bidang pertanian mandiri.

Untuk membangun kesadaran akan pentingnya bahan pangan lokal bagi kedaulatan pangan bukan hanya tanggung jawab LSM atau negara, namun juga tanggung jawab kita bersama. Partisipasi kita antara lain dengan mengubah kebiasaan makan kita. Bila selama ini kita memiliki kebiasaan mengkonsumsi menu makanan yang memiliki kandungan bahan pangan impor tinggi maka demi kedaulatan pangan kita harus berani meninggalkan kebiasaan tersebut dan beralih mengkonsumsi menu makanan yang terbuat dari bahan pangan yang ada di daerah kita. Hal ini memang tidak mudah karena selain terkait dengan kebutuhan fisik, menu makan yang kita makan juga terkait dengan kebutuhan psikis, yaitu prestasi sosial. Bagi sebagian orang, makan makanan fastfood misalkan Mc Donald, Pizza Hut, KFC, dll yang memiliki kandungan bahan pangan impor tinggi, bukan hanya dapat mendatangkan rasa kenyang tapi juga dianggap dapat meningkatkan prestise mereka. Sebaliknya bagi mereka mengkonsumsi makanan yang berbahan pangan lokal seperti ketela akan menurunkan prestise mereka.

Untuk membangun kesadaran akan arti penting pangan lokal bagi kedaulatan pangan di negeri ini dibutukan proses yang tidak singkat. Berkaca pada masyarakat Jepang yang membutuhkan waktu hampir 40 tahun untuk membangun kesadaran masyarakatnya agar bangga mengkonsumsi makanan lokal, maka untuk mewujudkan hal tersebut kita harus segera memulainya, dan harus ditanamkan sejak dini, sejak masa anak-anak, agar kita tidak terlambat. Meskipun hal itu berat, namun bila kita tidak segera memulainya maka dikhawatirkan bangsa Indonesia akan kehilangan kedaulatan pangan. Pada saat ini kita sudah mulai kehilangan kedaulatan pangan karena sebagian besar bahan pangan kita diimpor dari Negara lain, bukan hanya bahan pokok seperti beras tapi juga bahan pangan penunjang seperti kedelai, daging, garam. Bila tidak hati hati maka kita bisa terperosok dalam jurang krisis pangan, apa yang dapat kita lakukan bila Negara-negara tersebut menghentikan ekspor bahan pangannya ke negeri ini? tentu akan terjadi krisis pangan yang dapat membahayakan eksistensi bangsa dan Negara kita.

Sementara itu Baning P. dalam presentasinya menggambarkan bagaimana bangsa ini telah terjebak dalam situasi yang sulit. Para petani kita telah kehilangan kedaulatannya karena sebagian besar faktor produksi bidang pertanian misalnya bibit, pestisida, pupuk, dll telah dikuasai oleh perusahaan multi nasional. Pada saat ini petani tidak memiliki kemandirian lagi dan sangat tergantung dengan perusahaan multi nasional. Ketergantungan itu diperkuat oleh rendahnya kesadaran konsumen di negeri ini akan bahan pangan lokal. Mereka lebih senang membeli bahan pangan yang dihasilkan oleh pertanian modern karena wujud/penampakannya lebih baik dibanding komoditas sejenis yang dihasilkan oleh petani tradisional. Untuk mengatasi permasalahan ini maka perlu dibangun kesadaran dari para konsumen akan pentingnya bahan pangan yang dihasilkan oleh pertanian mandiri bagi kedaulatan bangsa.

Dr. Peni sebagai pembicara ketiga menekankan akan pentingnya dialog dalam berbagai aras guna meningkatkan peran serta masyarakat dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Dialog harus dibangun dalam berbagai aras, yaitu aras pengambil kebijakan, aras masyarakat dan aras teknologi. Dalam aras pengambil kebijakan, harus ada dialog antara para pengambil kebijakan dengan korporasi-korporasi internasional yang dapat mendukung terjadinya penguatan kedaulatan pangan di negeri ini. Para pengambil kebijakan harus berani menolak langkah-langkah yang ditempuh oleh korporasi internasional yang dapat melemahkan kedaulatan pangan kita. Dalam tataran masyarakat/konsumen harus dibangun dialog yang dapat membuka kesadaran akan perlunya pemanfaatan bahan pangan lokal sebagai pengganti bahan pangan sejenis yang harus diimpor dari luar negeri. Sebagai contoh, untuk mengurangi ketergantungan pada beras yang sebagian besar harus diimpor dari luar negeri maka kita harus mengkonsumsi komoditas lokal sebagai pengganti beras, misalnya ketela, ubi, sagu, dll. Untuk menggantikan tepung terigu yang harus diimpor dari luar negeri kita bisa menggunakan tepung mocaf. Dalam tataran teknologi juga harus dibangun dialog agar tumbuh kesadaran untuk menghargai pangan lokal.

Pelatihan TOT Pengembangan Kapasitas SDM dan Kelembagaan Sosial

Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) bekerja sama dengan KENARI dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Klaten menyelenggarakan pelatihan Training of Trainer (TOT) Pengembangan Kapasitas SDM dan Kelembagaan Sosial Masyarakat pada “Program Pengarusutamaan Pengurangan Resiko Bencana (PRB) Berbasis Tata Ruang”. Kegiatan yang dilaksanakan selama 5 hari mulai tanggal 20 September hingga 25 September 2012 tersebut diikuti oleh 20 orang peserta yang akan diterjunkan di lapangan sebagai pendamping masyarakat di daerah rawan bencana alam letusan Gunung Merapi, yaitu di desa-desa di Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten.

Materi pelatihan diberikan oleh para pakar, baik dari lingkungan Universitas Gadjah Mada maupun dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki kepedulian pada upaya pengurangan resiko bencana. Beberapa narasumber yang tampil dalam pelatihan tersebut antara lain Prof. Dr. Susetiawan, Prof Dr. Ir. Moch. Maksum, Dr. Bambang Hudayana, Dr. Partini, dan lain-lain dengan fasilitator Drs. Suharman dan AB Widyanto.

Beberapa materi yang disampaikan dalam pelatihan antara lain: (1) Konsep dan Filosofi Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan rawan Bencana, (2) Pemahaman Nilai-Nilai dan Prinsip Bekerja dengan Masyarakat, (3) Pemihakan kepada Korban Bencana sebagai “Disadvantage People“, dan lain sebagainya. Materi lain yang juga disajikan dalam pelatihan ini antara lain pengalaman dari para relawan dalam menghadapi dan menangani dampak bencana erupsi Merapi, misalnya tentang penanganan pengungsi, informasi dan jejaring komunitas.

Lokakarya Sehari: Peran Media dalam Penanggulangan Bencana Erupsi Merapi

Pada hari Rabu, tanggal 11 April 2012, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK UGM) bekerjasama dengan Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP UGM) dan Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (LAURA), Jurusan Antropologi FIB UGM mengadakan lokakarya sehari untuk membahas issu peran media dalam penanggulangan bencana erupsi Merapi. Kegiatan ini didasari oleh kenyataan bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa antropolog, misalnya Michael Dove (1994), Bambang Hudayana (2004), peran media massa semakin signifikan dalam peliputan, pemberitaan, pembentukan narasi, mengenai bencana erupsi Merapi. Bahkan lebih jauh dari itu, media massa juga ikut berperan dalam mengumpulkan dan menyebarkan bantuan dari pemirsa mereka.

Peran itu terasa semakin meningkat pada peristiwa erupsi Merapi tahun 2010. Seturut dengan makin meningkatnya jumlah dan bentuk media massa yang berperan dan bersaing dalam meliput erupsi Merapi, sehingga peristiwa erupsi Merapi bukan semata-mata “peristiwa alam” tetapi juga sudah menjadi “peristiwa media”.

Peran positif dari media massa dalam keterkaitannya dengan bencana erupsi Merapi bisa dipetakan sebagai berikut: pemberitaan media massa bisa memicu dan memperluas solidaritas yang berakibat pada meningkatnya jumlah bantuan relawan, bisa menjadi alat kontrol dan pengawas proses-proses penanggulangan bencana oleh berbagai pihak terkait, bisa menjadi alat artikulasidari korban bencana, mendeseminasikan kisah-kisah kemandirian masyarakat dalam pengurangan resiko bencana sehingga memicu komunitas lain untuk melakukan hal yang sama.

Namun media massa juga mendapat sorotan dan kritikan karena dianggap lebih banyak mendramatisir peristiwa bencana dan kondisi korban untuk kepentingan bisnis media itu sendiri, mendistorsi informasi agar mendapat perhatian penonton, menebarkan kepanikan, arena pencitraan bagi program-program CSR yang pada pelaksanaannya sering tidak tepat dan merata, menjadi arena kontestasi berbagai kekuasaan dan menenggelamkan artikulasi masyarakat yang menjadi korban bencana, pemberitaan terlalu fokus ketika bencana terjadi dan kurang memperhatikan kisah-kisah yang berhubungan dengan kesiapsiagaan masyarakat dalam pengurangan resiko bencan, proses rrehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.

Mengingat akan pentingnya peran media massa dalam pengurangan resiko bencana maka lokakarya dilaksanakan dengan tujuan utama untuk melakukan refleksi mengenai peran media massa selama ini terutama berhubungan dengan bencana erupsi Merapi 2010, dan memproyeksikan peranan media dalam proses pengurangan resiko bencana ke depan agar memiliki peran yang lebih positif. Lokakarya dilaksanakan selama satu hari dengan menghadirkan para wartawan dan redaktur yang memiliki pengalaman dalam meliput bencana, khususnya erupsi Merapi tahun 2010, baik dari media cetak maupun elektronik, lokal dannasional.

Guna mengawali dan memancing diskusi dari para peserta lokakarya, peneliti dari Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (LAURA), pakar media dan komunikasi, dan pakar kebencanaan maka pada sesi awal ditampilkan tiga orang narasumber untuk mempresentasikan beberapa hasil pemetaan awal tentang peran media dalam pengurangan resiko bencana. Ketiga narasumber tersebut adalah Dr. Kuskrido Ambardi (dosen jurusan Komunikasi UGM), Dr. Bambang Hudayana (dosen jurusan Antropologi UGM), dan Muhamad Zamzam, MA (dosen antropologi UGM).

Lokakarya sehari tentang peran media dalam penanggulangan bencana erupsi Merapi menghasilkan beberapa rekomendasi yang perlu segera dilaksanakan guna meningkatkan peran media dalam penanggulangan bencana erupsi merapi pada khususnya, dan bencana yang terjadi di Indonesia pada umumnya. Rekomendasi tersebut antara lain, pertama, perlunya media yang memiliki kapasitas untuk melakukan edukasi tentang masyarakat yang peduli, responsif dan mandiri dalam menghadapi bencana; kedua, perlunya media yang mampu menyampaikan berita yang berimbang, kritis terhadap ketidakberesan dalam penanggulangan bencana baik yang dilakukan oleh pemerintah, CSO, media, dll; ketiga, perlunya media yang mengembangkan agenda penanggulangan bencana berdasarkan pada kekuatan masyarakat sipil sehingga melibatkan peran yang maksimal dari media, LSM, komunitas, perguruan tinggi, dan lain-lain, daripada negara.

Beberapa Kerja Sama Tahun 2005-2011

  1. Monitoring dan Evaluasi Pembangunan Peternakan di Propinsi DIY tahun anggaran 2011, kerjasama dengan Dinas Pertanian DIY
  2. Ketahanan Pangan di Berbagai Tipologi Wilayah di DIY, Kerjasama dengan Provinsi DIY, tahun 2009
  3. Survei Persepsi Stakeholder Terhadap Program CSR Mobile Cepu Limited di Blok Cepu, kerjasama dengan Exxon Mobile Cepu Limited, tahun 2009
  4. Studi Monitoring dan Evaluasi Pembangunan Peternakan di Balai besar Veteriner Wates Yogyakarta, kerjasama dengan Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta, tahun 2009
  5. Pemulihan Ekonomi dan Peningkatan Kesadaran Terhadap Resiko Bencana bagi Korban Bencana Gempa di desa Gesikan Klaten, tahun 2009
  6. Studi Monitoring dan Evaluasi Pembangunan Peternakan di Propinsi DIY, tahun 2008
  7. Studi Monitoring dan Evaluasi Pembangunan Peternakan di Balai besar Veteriner Wates Yogyakarta, kerjasama dengan Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta, tahun 2008
  8. Studi Dampak Sosial Ekonomi Perkebunan Kelapa Sawit PT Asian Agri Pada Pertumbuhan Ekonomi Lokal dan Nasional, kerjasama dengan PT Asian agri, tahun 2008
  9. Pemulihan Industri Pembuatan Krupuk Rambak di Desa Gesikan, Gantiwarno, Klaten, kerjasama dengan YCAP, Ausaid
  10. Studi Efektifitas Pemerintahan Desa di Kabupaten Ngawi, kerjasama dengan Pemkab Ngawi, tahun 2007
  11. TOT Pembangunan Sistem Irigasi Partisipatif, kerjasama dengan Pemerintah Propinsi DIY
  12. Studi Monitoring dan Evaluasi Pembangunan Peternakan di Propinsi DIY, tahun 2007
  13. Studi Model Ketahanan Pangan di Jawa Tengah, Badan Ketahanan Pangan Propinsi Jawa Tengah, tahun 2005

dan sebagainya…