Pos oleh :

PSPK UGM

Komunikasi Pembangunan dan Dinamika Politik di Aras Lokal

“Dalam konteks pembangunan komunikasi dan penyuluhan adalah dua hal yang sangat mempengaruhi keberhasilan pembangunan. Banyak orang mengatakan bahwa penyuluhan adalah hal yang mudah, sekedar dating ke masyarakat menyampaikan sesuatu dan selesai. Padahal banyak pustaka mengatakan bahwa penyuluhan tidak sekedar transfer of knowledge/information, tetapi bagaimana pesan yang dsampaikan dapat dilaksanakan oleh banyak pihak dan berkelanjutan” demikian pernyataan penyaji dalam seminar bulanan yang dilaksanakan di PSPK UGM pada hari Kamis, tanggal 14 Juli 2011. Seminar yang telah menjadi tradisi rutin setiap bulan tersebut, pada kesempatan itu menampilkan seorang penyaji M. Najib Husain, dosen Universitas Haluoleo, Sultra yang pada saat ini sedang menempuh studi jenjang S3 di Universitas Gadjah Mada. Topik yang diangkat pada seminar sore tersebut adalah “Komunikasi Pembangunan dan Dinamika Politik di Aras Lokal”.

Penyuluhan sosial memiliki tiga komponen yang senantiasa melekat di dalamnya, yaitu pendidikan, mengajar orang sadar, dan ide-ide baru. Penyuluhan pada hakekatnya merupakan suatu langkah dalam usaha mengubah masyarakat menuju keadaan yang lebih baik dan merupakan suatu usaha menyebarluaskan hal-hal baru agar masyarakat tertarik untuk melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu penyuluhan merupakan bentuk pengabdian dan kegiatan mendidik masyarakat, mengajarkan pengetahuan, menyampaikan informasi positif dan ketrampilan baru agar mereka dapat membentuk sikap dan berperilaku hidup menurut apa yang seharusnya.

Berbagai penyuluhan pernah dilaksanakan selama ini, seperti penyuluhan pertanian, KB, hukum, gizi, sosial dll. Berdasarkan pengalaman tersebut, tampak bahwa betapa menentukannya masalah hubungan antara penyuluh dengan anggota masyarakat dimana kesuksesan seorang penyuluh akan ditentukan oleh kemampuan sosialisasinya, bagaimana cara membina dan memelihara kontak pribadi, dan hubungan yang akrab dengan masyarakat, sehingga melahirkan ikatan kekeluargaan yang erat antara penyuluh dan masyarakat.

“Disini begitu jelas bahwa penyuluhan adalah suatu bentuk kegiatan komunikasi. Penyuluh mencoba mengidentifikasi permasalahan yang disuluh, sejak penyuluh mengetahui, memahami, berminat, kemudian menerapkannya dalam kehidupan nyata adalah bagian dari proses komunikasi.” Jelas penyaji. “Proses komunikasi sendiri dikatakan berhasil jika komunikator dan komunikan memiliki pemahaman yang sama dan sama-sama siap. Komunikasi antar pribadi merupakan salah satu saluran komunikasi yang dapat dipergunakan dalam kegiatan penyuluhan untuk menyampaikan informasi dan pesan yang dibutuhkan masyarakat luas.

Tugas penting penyuluh adalah menyampaikan informasi dan pesan kepada khalayak. penyluh diharapkan mampu menjalin kerjasama yang baik dengan masyarakat, juga harus menerapkan komunikasi antar pribadi sebaik mungkin. Dalam melakukan aktifitas komunikasi penyuluh sebaik mungkin menjalin hubungan antar pribadi dengan khalayak. Untuk itu penyuluh dianjurkan untuk memiliki beberapa hal, yaitu kemampuan empati, yaitu kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi khalayak. Dengan kemampuan ini maka seorang komunikator harus memandang suatu persoalan dari kacamata khalayak dan bukan sekedar dari sudut tinjauan pribadi. Kemampuan menciptakan suasana yang homophily, yaitu terbangunnya hubungan erat dan setara antara penyuluh dengan yang disuluh. Kemampuan untuk menegakkan keserasian program yang dijalankannya dengan kebudayaan masyarakat setempat.

Pelaksanaan penyuluhan menuntut suatu persiapan. Perlu suatu perencanaan yang matang dan tidak dilakukan secara asal-asalan. Dalam melakukan penyuluhan, factor penyampaian hal-hal yang disuluhkan sangat penting. Oleh karena itusuatu kegiatan penyuluhan membutuhkan suatu desain yang terperinci dan spesifik yang menggambarkan masalah yang dihadapi, siapa yang akan disuluh, tujuan apa yang hendak dicapai, pendekatan yang dipakai, pengembangan pesan, dan saluran yang akan dipakai.

Beberapa masalah komunikasi yang juga perlu dipikirkan agar proses penyuluhan dapat berhasil adalah kompetensi komunikasi yang harus dimiliki seorang penyuluh, sifat dan semangat kepemimpinan yang harus tampak pada diri seorang penyuluh, teknik dan metode komunikasi yang efektif bagi kegiatan penyuluhan itu sendiri. Kompetensi penyuluh di bidang apapun amat ditentukan oleh faKtor kredibilitas sang penyuluh di mata khalayak. Untuk dapat diterima sebagai seorang komunikator yang dipercaya maka seorang penyuluh harus mampu menjangkau khalayak yang hendak disuluhnya, menguasai bahsa yang dimengerti oleh khalayak yang akan disuluhnya, dan berpenampilan yang dapat diterima oleh khalayak.

Kemampuan komunikasi penyuluh menjadi semakin penting manakala dikaitkan dengan fungsinya sebagai agen perubahan. Penyuluh datang ke tengah-tengah masyarakat membawa sejumlah idea tau gagasan. Umumnya idea atau gagasan tersebut mengandung hal-hal baru bagi masyarakat yang didatanginya agar terjadi suatu perubahan. Pengenalan dan kemudian penerapan gagasan-gagasan dan ide-ide baru dilakukan dengan harapan agar kehidupan masyarakat yang bersangkutan akan mengalami kemajuan. “Berbagai inovasi dapat menyebar dan dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat terutama berkat terjadinya komunikasi antar anggota suatu masyarakat. Dengan demikian komunikasi merupakan factor penting untuk menentukan terjadinya sutau perubahan sosial.” Kata penyaji, sebelum seminar sore tersebut ditutup.

Ironi Hubungan Kehutanan dengan Masyarakat Desa

“Bukan merupakan hal yang aneh bagi kita yang tinggal di Indonesia sering  mendengar terjadinya kasus konflik antara perusahaan HPH dengan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Bukan merupakan hal yang aneh pula bahwa kita sering mendengar tingginya tingkat kemiskinan yang dialami oleh warga masyarakat disekitar kawasan hutan. Dan bukan merupakan hal yang aneh bila kita sering mendengar tingginya tingkat kerusakan hutan di Indonesia.” papar penyaji membuka seminar bulanan yang dilaksanakan di PSPK UGM pada hari Kamis, tanggal 9 Juni 2011. Seminar yang telah menjadi tradisi rutin setiap bulan tersebut, pada kesempatan itu menampilkan seorang penyaji yaitu Datuk Iman Suramenggala, S.Hut, M.Hut, kandidat doctor di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada sekaligus staf Dinas Kehutanan Kabupaten Bulungan, Propinsi Kalimantan Timur, dengan moderator Drs. Suharman, M.Si. Topik yang diangkat dalam seminar tersebut adalah “Ironi Relasi Hutan dan Masyarakat Desa”.

Banyaknya permasalahan yang muncul di sekitar kawasan hutan tersebut terjadi karena beberapa faktor, namun faktor yang paling dominan menurut penyaji adalah tumpang tindihnya aturan hukum yang berlaku terkait dengan sumber daya hutan. Kita mengetahui bahwa setiap departemen yang terlibat dalam pengelolaan kawasan hutan (Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, Departemen Pertambangan) memiliki undang-undang sendiri-sendiri, sementara objeknya sama sehingga sangat wajar apabila akhirnya terjadi tumpang tindih. Sebagai gambaran, ada kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh Departemen Kehutanan sebagai kawasan hutan lindung, namun karena di dalam lapisan tanahnya terdapat bahan tambang maka kawasan hutan lindung tersebut dibiarkan dieksploitasi oleh perusahaan pertambangan yang telah mendapat ijin dari Departemen Pertambangan, sehingga akhirnya hutan lindung tersebut rusak.

Yang lebih tragis adalah meskipun Departemen Kehutanan telah menetapkan suatu wilayah sebagai kawasan hutan, namun kawasan tersebut bisa diubah statusnya menjadi bukan kawasan hutan dan dipergunakan untuk lahan perkebunan sawit hanya karena pohon/tanaman yang tumbuh di kawasan tersebut telah dibabat habis oleh perusahaan pemegang HPH, tanpa melakukan upaya reboisasi. Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan, dari 2 juta hektar kawasan hutan yang dimiliki Indonesia pada tahun 2000 hanya dalam kurun waktu satu dekade telah menurun menjadi 1,2 juta hektar. Sungguh merupakan fakta yang sangat mengejutkan.

Kerusakan hutan atau hilangnya kawasan hutan merupakan persoalan besar yang muncul dalam system pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia. Namun persoalan yang paling besar menurut penyaji adalah tingginya tingkat kemiskinan yang dialami oleh warga masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Persoalan ini muncul karena beberapa factor antara lain hilangnya akses yang dimiliki oleh warga masyarakat akibat perubahan status hutan. Pada mulanya suatu wilayah kehutanan belum memiliki status karena belum ditetapkan oleh pemerintah sehingga warga masyarakat yang ada di dalam dan disekitar kawasan hutan dapat memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada di kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, namun ketika wilayah tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung atau hutan produksi yang pengelolaannya diserahkan ke pihak swasta maka otomatis warga masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar kawasan hutan kehilangan akses untuk memanfaatkan hasil hutan. Mereka kehilangan sumber penghidupan. Dampak ini juga sering terjadi ketika suatu kawasan hutan diubah statusnya menjadi bukan kawasan hutan dan dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan.

Masifnya proses ahli fungsi kawasan hutan menjadi lahan perkebunan yang pengelolaannya diserahkan pihak swasta seringkali menyebabkan warga yang tinggal di sekitar kawasan hutan bukan hanya kehilangan sumber penghidupan mereka tetapi juga kehilangan hak milik atas tanah yang selama ini dimiliki. Banyak kasus dimana pemerintah memberikan hak pengelolaan lahan kawasan hutan kepada pihak swasta, sementara ada sebagian lahan yang ada di kawasan tersebut yang merupakan milik adat atau milik pribadi warga masyarakat di sekitar kawasan hutan. Namun karena pada umumnya kepemilikan tanah adat atau tanah milik pribadi tersebut tidak dibuktikan dengan adanya bukti hitam di atas putih (sertifikat/surat tanah) maka ketika penyerobotan lahan tersebut terjadi mereka tidak dapat membuktikan bahwa tanah tersebut merupakan milik mereka. Akhirnya mereka hanya bisa gigit jari ketika lahan mereka dimiliki oleh perusahaan swasta.

Masalah tanah merupakan masalah yang sangat pelik. Jarang ada warga masyarakat atau masyarakat adat yang memiliki konflik dengan perusahaan swasta yang dapat menang di pengadilan. Jangankan yang tidak memiliki bukti kepemilikan atas tanah, bahkan yang memiliki bukti kepemilikan atas tanah pun bisa kalah dalam pengadilan. Sebagai contoh, keluarga kami memiliki lahan kawasan hutan 65.000 hektar, kami sudah memiliki surat register sejak zaman Belanda, namun ketika tanah tersebut diklaim oleh sebuah perusahaan swasta dan proses peradilan berlanjut hingga Mahkamah Agung, peradilan tetap memenangkan perusahaan.

Salah satu saran yang sering saya sampaikan kepada warga masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan agar hak milik mereka lebih terjamin adalah dengan melakukan sertifikasi lahan yang mereka miliki, yang ada di kawasan hutan. Dengan adanya sertifikat tanah maka hak milik mereka akan lebih aman. Pensertifikatan lahan di kawasan hutan bisa dilakukan karena berdasarkan UU Kehutanan, yang disebut kawasan hutan adalah tanam tumbuh yang ada di suatu kawasan, tidak termasuk di dalamnya tanah tempat tanaman tersebut tumbuh. Oleh karena itu lahan di kawasan hutan bisa dimiliki oleh pribadi. Apabila lahan disuatu kawasan hutan hutan belum menjadi tanah milik Negara maka warga masyarakat yang ada di sekitar kawasan hutan tersebut bisa memilikinya dan mengajukan pensertifikatan. “Apabila sertifikat sudah dikeluarkan oleh BPN maka tanah tersebut resmi menjadi hak milik warga. Namun demikian, karena tanah milik warga tersebut berada di kawasan hutan maka mereka tidak boleh mengubah fungsinya, misalnya menjadi lahan pertanian atau perumahan. Lahan tersebut tetap harus difungsikan sebagai hutan.” Ucap penyaji sebelum seminar sore tersebut ditutup.*(dc)

Deradikalisasi dan Etika Politik Perubahan

“Bagi kita yang memiliki kepedulian pada kehidupan sosial kemasyarakatan, kondisi sosial kemasyarakatan yang saat ini sedang terjadi di Indonesia sungguh merupakan kondisi yang sangat mencemaskan. Bagaimana tidak, dari hari ke hari kita selalu disuguhi dengan berita tentang terorisme. Dan yang paling menggelisahkan hati adalah kenyataan bahwa mereka yang akhir-akhir ini diduga menjadi pelaku terorisme adalah anak-anak muda yang umurnya masih relatif belia. Fenomena apa ini?” demikian pernyataan penyaji dalam seminar bulanan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, pada hari Kamis, tanggal 15 Mei 2011 di ruang sidang PSPK. Seminar yang telah menjadi tradisi setiap bulan tersebut, menghadirkan narasumber Drs. Lambang Triyono, MA dosen jurusan Sosiologi, FISIPOL UGM, dengan moderator Drs. Suharman, M.Si, wakil kepala PSPK UGM. Topik yang diangkat dalam seminar tersebut adalah “Deradikalisasi dan Etika Politik Perubahan”.

“Fenomena banyaknya kaum muda yang terlibat dalam gerakan terorisme di Indonesia merupakan fenomena yang sangat menggelisahkan. Bagaimana tidak menggelisahkan, karena hal itu sangat bertolak belakang/kontradiktif dengan kecenderungan yang saat ini sedang terjadi di beberapa daerah yang selama ini banyak dilanda konflik. Intensitas konflik di Aceh, Maluku maupun Poso dari waktu ke waktu semakin mereda. Namun ternyata hal itu tidak diikuti dengan fenomena terorisme di Indonesia. Kita semua mengetahui, dari waktu ke waktu fenomena terorisme bukan semakin menurun tetapi malah semakin meningkat, meskipun kita juga mengetahui bahwa sebenarnya negara tidak tinggal diam terhadap masalah tersebut. Negara telah melaksanakan berbagai program/kegiatan yang bertujuan untuk memerangi terorisme/kontra terorisme, namun ternyata semua itu belum membuahkan hasil. Bahkan fenomena terorisme semakin menggelisahkan karena sudah melibatkan kaum muda yang sebenarnya merupakan aset bangsa di masa depan.” Lanjut penyaji.

“Mengapa hal itu bisa terjadi? Untuk mendapatkan jawaban yang valid atas pertanyaan tersebut tentu kita membutuhkan penelitian yang mendalam. Namun demikian, berdasarkan pengamatan saya semua itu terjadi karena semenjak era reformasi tidak ada lagi projek yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, sebuah projek yang mampu menuntun kaum muda untuk memegang teguh nilai-nilai demokrasi. Berbeda dengan kehidupan bangsa Indonesia di era 45 dan 65 yang mampu membentuk pemuda Indonesia menjadi manusia seutuhnya, manusia yang mampu memegang nilai-nilai demokrasi, kehidupan bangsa Indonesia saat ini yang diliputi dengan suasana kebebasan belum mampu membina kaum muda dengan baik. Hal itu terjadi karena selain karena tidak adanya projek pembentukan karakter bagi kaum muda, juga semakin banyaknya informasi yang masuk secara bebas. Kaum muda Indonesia yang hidup pada masa sekarang ini dapat diibaratkan sebagai anak yang hidup di rumah tak berdinding, semua hal bisa masuk dan mempengaruhi karakter anak tersebut.

Kaum muda adalah manusia yang masih mencari jati diri. Ia akan berusaha untuk mencari dan meniru segala hal yang dapat membuat mereka merasa memiliki identitas/jati diri. Keinginan untuk mencari yang muncul dalam diri kaum muda bukan merupakan masalah. Namun yang menjadi masalah adalah ketika dalam proses pencarian tersebut, akibat tidak adanya pendampingan, mereka menemukan sesuatu yang salah, nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai yang tidak menghargai pluralisme dan sikap toleransi pada orang lain. Inilah sebenarnya akar/sumber permasalahan terorisme yang selama ini membelenggu dan menghantui kehidupan bangsa Indonesia, yaitu adanya nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai demokrasi.

Salah satu penyebab dari munculnya nilai-nilai yang bertentangan dengan demokrasi, yang kurang menghargai pluralisme dan toleransi adalah kehidupan keberahgamaan kita. Kita harus berani bersikap jujur bahwa selama ini kehidupan keberagamaan kita, cenderung mengembangkan tafsir kebencian terhadap perbedaan. Kita masih merasa benci dengan segala hal yang berbeda dengan kita, lebih-lebih perbedaan agama. Kita masih belum menganut tafsir keberagamaan yang memberi ruang bagi adanya perbedaan, tafsir keberagamaan yang menghormati nilai pluralisme dan toleransi. Reformasi keberagamaan merupakan salah satu langkah yang dapat ditempuh untuk melaksanakan deradikalisasi. Salah satu langkah yang dapat ditempuh untuk melakukan reformasi kehidupan keregamaan adalah dengan melakukan perubahan tafsir keberagamaan. Dalam menjalankan kehidupan keberagamaan, kita tidak lagi menonjolkan tafsir keagamaan yang mengajarkan sikap kebencian pada perbedaan, namun menonjolkan tafsir keagamaan yang mengajarkan sikap hidup keberagamaan yang menghargai perbedaan. ”Semoga di masa depan, tidak ada lagi anak-anak kita yang terjerumus dalam tindak terorisme” doa penyaji sebelum seminar sore tersebut ditutup.* (dc)

Seminar Politik Pangan untuk Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Kebijakan pangan nasional yang diambil pemerintah saat ini dinilai tidak memberikan perlindungan terhadap petani. Kebijakan yang ada juga tidak mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan nasional, tetapi lebih ke arah politik pencitraan dengan adanya kebijakan bebas bea masuk pangan impor. Hal tersebut mengemuka dalam Seminar Politik Pangan untuk Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, yang digelar di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Selasa (12/4). Seminar dalam rangka perayaan ulang tahun ke-38 PSPK UGM ini pada sesi I menghadirkan pengamat ekonomi pertanian UGM, Prof. Dr. Moch. Maksum Machfoedz, peneliti pangan, Dr. Emi Harmayani, M.Sc., dan Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A(K) selaku moderator, dan pada sesi II menghadirkan aktivis kedaulatan pangan Dr. Francis Wahono, Prof.Susetiawan dan Dr. Ja’far Sidieq selaku moderator.

Maksum menilai kebijakan pemerintah sangat tidak cerdas dan cenderung untuk kepentingan sesaat dengan melakukan kebijakan pangan murah dan bebas bea masuk pangan impor. “Banyak kebijakan kontroversial dan kontraproduktif, misalnya Presiden menginstruksikan adanya program kemandirian pangan. Namun, kebijakan yang diambil justru melakukan bebas bea masuk pangan impor,” ujar Maksum.

Selain itu, pemerintah juga tidak melakukan proteksi hasil pertanian dalam negeri. Hal tersebut berbeda dengan yang dilakukan Pemerintah China yang memberikan kebijakan pertanian pro rakyat. “Untuk bisnis unggas saja, di negara lain pakan diproteksi, bahkan diberikan secara gratis untuk melindungi petaninya,” imbuhnya.

Kebijakan industrialisasi yang tidak pro pertanian ini, menurut Maksum, menyebabkan sembilan komoditas pangan nasional hampir semuanya impor. Disebutkan bahwa komoditas gandum dan terigu masih impor 100%, bawang putih 90%, susu 70%, daging sapi 36%, bibit ayam ras 100%, kedelai 65%, gula 40%, jagung 10%, dan garam 70%.

Melihat kondisi tersebut, Maksum pesimis target swasembada beberapa komoditas pangan yang dicanangkan pemerintah akan tercapai. “Program swasembada daging sapi itu sudah lima kali dicanangkan. Semuanya belum berhasil,” ujarnya. Maksum juga berpendapat sudah saatnya pemerintah mengeluarkan kebijakan pangan nasional yang pro pertanian dengan memberikan perlindungan terhadap petani, mulai dari harga jual, bibit, pakan, hingga kebijakan agroindustri yang melindungi petani.

Sementara itu, peneliti pangan, Emi Harmayani, mengatakan ketergantungan pada produk terigu dan beras saat ini di masyarakat sangat rawan. Oleh karena itu, perlu diatasi dengan kebijakan diversifikasi pangan lokal. Tidak adanya kebijakan yang berpihak pada pangan lokal dan rendahnya pengetahuan serta konsumsi makakan bergizi telah menyebabkan masyarakat kurang mengapresiasi pangan lokal. “Masih ada yang menganggap pangan lokal ini inferior,” katanya.

Menurut Emi, potensi pangan lokal di masing-masing daerah cukup beragam. Dari hasil penelitiannya, beberapa jenis pangan lokal di DIY yang potensial untuk dikembangkan adalah jenis umbi-umbian, seperti ubi kayu, garut, ubi jalar, dan ganyong. “Masyarakat DIY masih mengenal, mengonsumsi, dan membudidayakan 10 jenis umbi ala kadarnya, kecuali ketela pohon dan ubi jalar,” jelasnya.

Staf pengajar Fakultas Teknologi Pertanian UGM ini menjelaskan umbi-umbian lokal mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai pangan fungsional dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap pangan impor. Pangan lokal ini bahkan memiliki potensi lebih baik daripada bahan impor karena mempunyai kesesuaian biologis yang lebih tinggi dengan manusia dan mikrobiota lokal Indonesia.

Pada sesi kedua Francis Wahono menyampaikan hasil penelitiannya di Sleman bahwa kondisi petani pada saat ini sedang “sekarat” dan semakin menjauh dari “berdaulat”. Terdapat beberapa unsur yang menjadi indikator dari kondisi “sekarat” atau “berdaulat” dari kaum petani, yaitu, ketangguhan, kemandirian, dan kemerdekaan. Apabila petani memiliki semua unsur tersebut maka petani dikatakan “berdaulat” namun bila ketiga unsur tersebut tidak dimiliki maka petani berada dalam kondisi “sekarat”.

Konsep tangguh mengandung pengertian seperti yang tercakup dalam istilah Inggris “survivors”, yang mampu “survived”. Bertolak belakang dengan pengertian “korban” atau “victim” yang berarti menyerah kalah pada keadaan, istilah “tangguh” atau survivors mengandung pengertian kemampuan untuk berjuang tiada lelah, melawan segala kendala sumber daya dan tindak penindasan dan peminggiran yang menimpa dirinya. Untuk mendapat sedikit dari haknya yang banyak petani mesti berjuang tiada henti-hentinya, bahkan sampai kulit pembalut tulang yang hitam legam. Perjuangan itu harus dilakukan apabila ia ingin tetap hidup.

Konsep mandiri mengandung arti bahwa petani bebas dari tekanan luar diri dan mampu merealisasikan potensi dirinya. Kemandirian merupakan hasil nyata dari ketangguhan petani. Kondisi masih adanya tekanan dari luar diri dan oleh karenanya masih adanya penghalang terhadap usaha mewujudkan potensinya, telah membuat petani belum mandiri.

Kemandirian petani merupakan syarat dari kemerdekaan petani. Apabila petani masih belum mandiri maka ia tidak akan dapat mencapai kondisi merdeka. Istilah merdeka menunjuk pada kondis petani yang pantang menyerah, tetapi berani berjuang dan di dalam perjuangan itu ia meraih kemandirian sehingga ia akhirnya dapat merealisasikan potensi-potensinya. Petani yang mampu merealisasikan potensi adalah petani yang berdaulat.

Dari penelitian yang dilakukan Francis Wahono menyimpulkan bahwa kondisi petani di daerah penelitian pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya masih jauh dari berdaulat. Indikator yang dipakai untuk menunjukkan bahwa kondisi petani masih sekarat antara lain, dari sisi produksi, unsur  tanah, semakin sempitnya pemilikan lahan akibat terjadinya alih fungsi lahan, semakin turunya kualitas lahan pertanian, unsure air, privatisasi air yang menyebabkan petani kekurangan sumber daya air untuk irigasi karena dikuasi perusahaan air minum, unsure benih, ketergantungan petani pada bibit transgenic yang hanya dapat diproduksi oleh pabrik, unsure asupan lainnya, ketergantungan petani pada sarana produksi pertanian yang besifat unorganik, unsure tenaga kerja, kekurangan tenaga kerja yang mau terjun dibidang pertanian akibat tingginya urbanisasi, dan unsure kebijakan pemerintah, kebijakan pemerintah yang kurang mendukung sector pertanian tetapi mengutamakan sektor industri dan perdagangan.

Sedangkan dari sisi distribusi, unsure pangan, adanya prinsip asal rakyat makan sehingga ditempuh cara instant yaitu impor pangan, pengembangan produksi dalam negeri diabaikan. Adanya pandangan bahwa tanah, air, keanekaragaman hayati, dan tenaga merupakan komoditi, sehinga penting atau tidaknya tergantung harga. Lebih baik semua itu untuk kebun dan tambang yang harga jual dipasar internasional lebih mahal dari harga jual produk pertanian. Unsur energi/kelayakan hidup, mumpung memiliki tabungan energy, apapun dieksploitasi secepatnya mumpung harga mahal. Energi terbarukan dipandang sebagai teknologi mahal sehingga tidak layak dikembangkan, maka lebih enak menjual hutan. Hidup dan kerja untuk mengejar keinginan yang tanpa batas. Unsur pendidikan/kesehatan, lebih mengutamakan pendidikan yang berprinsip link and match untuk melayani industri, Pendidikan bidang pertanian dinggalkan karena dipandang kurang efisien dan menghamburkan tenaga. Petani harus menanggung biaya kesehatan yang semakin hari semakin mahal. Unsur pekerjaan, pekerjaan adalah komoditas dimana tenaga dan pikiran dihargai dengan uang, diupah sesuai UMR. Unsur modal usaha, modal usaha bukan tanggungjawab Negara tetapi swasta yang suka mencari untung agar “usaha efisien”. Unsur koperasi/pasar rakyat/kegiatan sosial budaya, koperasi banyak yang gagal akibat rendahnya dukungan pemerintah, sementara perseroan terbatas (PT) berkembang karena dapat menjadi sumber pajak. Unsur partisipasi dalam keputusan dan kebijakan, partisipasi hanya sahih kalau rakyat terdidik, tetapi dalam situasi petani dan nelayan tidak terdidik, demokrasi terpimpin dianggap paling tepat, oleh pemerintah/swasta.

Apabila kita menginginkan petani kita berdaulat maka semua pihak yang terlibat dalam sector pertanian, lebih-lebih pemerintah harus berani menghapuskan keadaan tersebut antara lain dengan melakukan reformasi agraria untuk memberi lahan yang cukup bagi para petani, pengembangan pertanian tradisonal (bajak kerbau) untuk memberi kesempatan lahan beristirahat, pemberian prioritas bagi petani untuk memanfaatkan sumber daya air, melindungan hak tangkap ikan bagi para nelayan, melindungi hutan sebagai water catchment, melakukan reboisasi, melindungi pohon langka dan mikro-organisme yang berguna, mengembangkan benih secara mandirib dari plasma nutfah, pemberian fasilitas bagi petani untuk pemuliaan benih, pengembangan pupuk kandang kompos sebagai pengganti pupuk kimia, dan pengembangan pestisida alami. Regenerasi petani dengan peneloran kebijakan pemerintah yang dapat menarik minat kaum muda untuk terjun dibidang pertanian dan kebijakan lain yang bersifat pro pangan rakyat, pro petani, pro alam dan sarana lainnya sebagai sumber kehidupan.

Kegiatan Bedah Buku Rakyat Tani Miskin: Korban Terorisme Pembangunan Nasional

“Salah satu faktor yang menjadi penyebab timbulnya masalah kemiskinan yang berlarut-larut yang dialami oleh kaum tani Indonesia adalah tidak adanya kebijakan pemerintah yang benar-benar berpihak kepada kaum tani.” Demikian pernyataan Dr. Rimawan Pradipto, salah seorang pakar yang tampil sebagai pembedah dari buku Rakyat Tani Miskin: Korban Terorisme Pembangunan karya Prof. Dr. Mochammad Maksum, guru besar Fakultas Teknologi Pertanian dan peneliti senior PSPK UGM. Kegiatan yang dilaksanakan sebagai salah satu bentuk kegiatan dari serangkaian kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka peringatan hari ulang tahun PSPK UGM tersebut dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 7 April 2011 di ruang sidang besar Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Bulaksumur G-7 Yogyakarta. Kegiatan bedah buku tersebut, selain menampilkan Dr. Rimawan Pradipta, juga menampilkan Fadmi Sustiwi, salah seorang redaktur SKH Kedaulatan Rakyat yang menjadi editor dari buku karya Prof. Maksum tersebut.

“Bangsa Indonesia adalah salah satu bangsa di dunia yang memiliki rakyat miskin dalam jumlah besar, khususnya rakyat tani. Namun sangat disayangkan dalam perjalanan sejarahnya bangsa ini selalu memiliki pemerintah atau penguasa yang tidak berpihak atau kurang peka pada kemiskinan yang dialami oleh rakyat tani. Pada masa dulu ketika di negeri ini berkembang sistim pemerintahan kerajaan. Sangat sedikit raja atau penguasa kerajaan yang memperhatikan nasib para petani. Para penguasa tersebut malah menjadikan kaum tani sebagai sapi perah bagi mereka. Selain mengeksploitasi kaum tani sebagai penyangga kebutuhan logistik kerajaan melalui mekanisme pajak atau upeti yang harus disetor oleh kaum tani kepada para penguasa, kaum tani juga menjadi sumber tenaga kerja bagi setiap program yang dijalankan oleh sang penguasa. Kita semua tahu bahwa tanpa dukungan rakyat tani, mustahil bagi wangsa Syailendra untuk membangun Candi Borobudur yang termasyur itu, demikian pula merupakan hal yang mustahil bagi Sultan Agung dari Mataram melakukan penyerangan pada pasukan VOC di Jayakarta tanpa dukungan dari rakyat tani.” lanjut pembahas.

Pada masa penjajahan kondisi kaum tani setali tiga uang alias sama saja. Mereka tetap menjadi sapi perah bagi kaum penjajah. Bahkan ada sebuah kebijakan dari penguasa penjajah yang tidak hanya mengakibatkan timbulnya dampak buruk jangka pendek, tapi jangka panjang bahkan dampak kebijakan tersebut terasa sampai saat ini. Salah satu kebijakan penguasa colonial yang dampaknya terasa sampai saat ini adalah kebijakan culture stelsel, yaitu kebijakan yang mewajibkan rakyat Hindia Belanda untuk membudidayakan tanaman perkebunan untuk memenuhi kebutuhan komoditas perkebunan pasar dunia. Kebijakan ini telah mencabut rakyat Nusantara dari budaya aslinya, yaitu maritime menjadi agraris. Namun sayang kebijakan tersebut tidak mampu mengantarkan rakyat Nusantara untuk sepenuhnya meninggalkan budaya maritime dan sepenuhnya menganut budaya agraris, rakyat nusantara berada pada posisi tengah-tengah, maritime bukan agraris pun bukan.

Kondis tersebut terus berlangsung hingga saat ini, sehingga penguasa pada masa sekarang tidak dapat merumuskan kebijakan yang tepat. Esok tempe, sore dele adalah satu ungkapan yang sering ditemukan dalam buku karya Prof. Maksum, yang menggambarkan betapa mudahnya pemerintah mengubah kebijakan, pada saat ini kita menjalankan kebijakan untuk ekspor beras namun besok kita menjalankan kebijakan impor. Kenyataan ini menjadi salah satu penyebab penguasa kita, baik penguasa masa lalu maupun penguasa sekarang tidak mampu mengatasi masalah krusial yang selama ini menjerat rakyat tani, yaitu kemiskinan. “Bidang logistik merupakan bidang yang perlu penangan serius dan tidak boleh bersifat temporer. Kalau bangsa ini menetapkan kebijakan untuk menjadi pengimpor maka kita harus konsisten untuk menerapkan kebijakan tersebut, kita tidak perlu memaksakan diri untuk menjadi bangsa pengekspor. Sebaliknya, bila kita telah memantapkan diri untuk menjadi pengekspor maka kita harus menjaga kebijakan tersebut. Konsistensi dalam menerapkan suatu kebijakan akan menuntun kita untuk menjalankan program-program yang mengarah pada tujuan yang jelas, sehingga akhirnya kita mampu mengembangkan potensi utama yang kita miliki, tanpa harus bergantung pada bangsa lain. Penerapan kebijakan yang tepat akan menyebabkan semua permasalahan yang membelit bangsa ini akan dapat teratasi, termasuk masalah kemiskinan rakyat tani.

Masalah lain yang juga diangkat dalam acara bedah buku tersebut adalah masalah agrarian. Salah seorang peserta menyayangkan buku karya Prof. Maksum belum mengangkat topik agrarian. Padahal semua orang tahu bahwa faktor lain yang juga menyebabkan berlarutnya kemiskinan yang dialami oleh kaum tani adalah keterbatasan pemilikan lahan pertanian. Semua orang tahu bahwa petani Indonesia adalah petani gurem, petani yang memiliki lahan relatif sempit. Bahkan banyak petani Indonesia yang hanya menjadi petani penggarap. Selama petani Indonesia hanya menjadi petani penggarap atau hanya memiliki lahan yang relatif sempit maka masalah kemiskinan yang dialami oleh para petani Indonesia tidak akan dapat diatasi. Menanggapi komentar tersebut, Prof. Maksum yang juga hadir dalam acara tersebut mengakui bahwa buku yang ditulisnya belum menyentuh masalah agraria. Hal itu karena buku ini merupakan kumpulan tulisan beliau yang dimuat di berbagai media massa yang sebenarnya merupakan respon terhadap berbagai masalah pertanian yang sedang actual di masa tesebut. Karena selama ini masalah agraria tidak banyak dibicarakan, maka Prof. Maksum juga belum tertarik untuk menulis masalah tersebut. Namun sebenarnya beliau juga pernah mengulas masalah agraria di dalam tulisannya yang dimuat di sebuah media massa, namun tulisan tersebut belum masuk dalam buku ini.

Dalam kesempatan sama, Fadmi Sustiwi yang berperan sebagai editor buku karya Prof. Maksum menyatakan kekaguman beliau pada Prof. Maksum yang dapat menuliskan ide dan gagasan secara lugas, tanpa tedeng aleng-aleng. Berbagai tulisan yang dimuat di buku ini merupakan kritik pedas yang dilontarkan oleh penulis terhadap berbagai permasalahan pangan yang terjadi di Indonesia, khususnya kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah yang tidak tepat. Posisi beliau pada saat ini, selain sebagai guru besar juga sebagai salah satu pimpinan ormas besar di Indonesia akan menyebabkan kritik yang dilontarkan akan memiliki bobot yang signifikan. Hal lain yang juga membuat buku ini menarik, menurut Fadmi Sustiwi, adalah adanya informasi yang disampaikan oleh penulis tentang seluk beluk dunia pertanian. Informasi ini jelas akan memperkaya khasanah pengetahuan pembaca mengenai masalah pertanian. Kita tahu bahwa pada saat ini banyak kaum muda yang memiliki pemahaman yang kurang tentang dunia pertanian. Mereka mengkonsumsi hasil pertanian tapi mereka tidak memiliki pemahaman tentang proses yang harus dilewati komoditas pangan sebelum komoditas tersebut terhidang di meja makan. Proses produksinya saja tidak tahu, apalagi permasalahan yang muncul di seputar pangan. Mudah-mudahan dengan terbitnya buku ini semakin banyak generasi muda yang paham dengan dunia pertanian dan tertarik untuk ikut berpartisi mengatasi masalah yang melilit dunia pertanian. Kita berharap setelah publikasi buku ini, banyak anak muda yang tertarik untuk masuk fakultas pertanian. Selama ini minat generasi muda untuk masuk ke fakultas pertanian relatif rendah. Semakin banyak anak muda yang belajar masalah pertanian maka akan semakin banyak orang yang diharapkan dapat ikut memikirkan masalah pertanian. Harapan Fadmi Sustiwi yang terlontar dalam forum tersebut.

Acara bedah buku yang dihadiri peserta dari berbagai kalangan, baik masyarakat umum, LSM dan akademisi dimeriahkan dengan pembagian doorprize dan bazaar buku dan ditutup pada pukul 18.00.WIB.(*dc).

Senam Sehat HUT PSPK UGM

Dalam rangka memeriahkan perayaan HUT berdirinya Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada yang ke 38 yang jatuh pada hari Jum’at tanggal 1 April 2011, PSPK UGM mengadakan kegiatan senam sehat. Kegiatan ini selain diikuti oleh jajaran pimpinan dan staf PSPK UGM, juga diikuti oleh para tamu undangan, yaitu para pegawai dari beberapa instansi dan unit kerja di lingkungan UGM yang kantornya berada di seputar kantor PSPK UGM.

Kegiatan senam sehat tersebut dilaksanakan sejak pukul 07.00 dan bertempat di halaman kantor PSPK UGM. Sebelum dilaksanakan, acara didahului dengan kata sambutan dari pimpinan PSPK UGM yang disampaikan oleh Drs. Suharman, M.Si, wakil kepala PSPK UGM. Dalam sambutannya, pak Harman menyampaikan ucapan terima kasih kepada para tamu yang telah sudi memenuhi undangan untuk hadir dalam kegiatan senam sehat yang diselenggarakan oleh PSPK UGM. Disamping itu, pak Harman juga menyampaikan secara singkat sejarah berdirinya PSPK UGM dan memohon doa semoga lembaga yang pada saat ini telah berusia 38 tahun itu dapat semakin berkembang.

Kegiatan senam sehat yang dihadiri oleh sekitar 150 orang tersebut berlangsung dengan meriah. Pada akhir acara panitia membagikan doorprize bagi para hadirin. Sebelum meninggalkan arena para peserta menikmati hidangan yang telah disediakan oleh panitia, yaitu jajan pasar dan aneka macam makanan tradisional khas Yogyakarta.

Energi Pedesaan: Akan Dibawa Kemana?

“Di era modern sekarang ini listrik padam satu jam merupakan hal yang wajar, namun bila padam sampai satu hari itu namanya kurang ajar. Demikianlah gerutu seorang teman mahasiswa yang dilontarkan sebagai ungkapan kekesalan mensikapi sering terjadinya pemadaman listrik oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang berlangsung dalam tempo yang relatif lama” ungkap penyaji membuka seminar bulanan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) pada hari Kamis, tanggal 10 Maret 2011. Seminar yang diselenggarakan pada sore hari, bertempat di ruang sidang kantor PSPK UGM, dan dihadiri oleh peserta dari kalangan akademisi, aktivis LSM dan masyarakat umum. Pada kesempatan tersebut menghadirkan seorang pakar energi, Ahmad Agus Setiawan, S.ST, M.Eng, PH.D, dosen jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, dengan moderator Drs. Suharman, M.Si, wakil kepala PSPK UGM. Topik yang dibahas pada seminar tersebut adalah “Energi Pedesaan: Akan Dibawa Kemana?”

“Keluhan terhadap masalah pasokan listrik yang tidak stabil/sering terjadi pemadaman bukan hanya berasal dari satu kalangan masyarakat saja tetapi berasal dari berbagai kalangan. Bukan hanya berasal dari mahasiswa atau akademisi yang memiliki sikap kritis dan merasa terganggu kegiatan belajar mereka akibat terjadinya pemadaman listrik, tetapi juga dari kalangan warga masyarakat biasa yang merasa terganggu aktivitas perekonomian mereka akibat kondisi tersebut. Bukan hanya berasal dari rumah tangga yang mengkonsumsi listrik untuk memenuhi kebutuhan domestik tetapi juga kalangan pengusaha yang mengkonsumsi listrik untuk melaksanakan kegiatan produktif. Bukan hanya dari kalangan masyarakat pedesaan dan kawasan terpencil yang jauh dari pusat pemerintahan, tetapi juga dari kalangan masyarakat perkotaan yang dekat dengan pusat pemerintahan republic ini. Singkat kata, semua pihak merasa dirugikan dengan kondisi tersebut” lanjut penyaji.

“Selain masalah energi listrik, akhir-akhir ini kita juga disuguhi dengan pemberitaan di berbagai media massa tentang kelangkaan BBM yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, serta kebingungan dari pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut” lontar mas Agus, alumni program doctoral dari Australia yang selain mengajar di almamaternya, juga sering menjadi konsultan berbagai program terkait dengan masalah energi yang di laksanakan oleh beberapa pihak, baik pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. “Melihat kenyataan ini mungkin timbul pertanyaan, mengapa bangsa Indonesia yang terkenal memiliki sumber daya alam yang berlimpah bisa mengalami krisis energi ?” lanjut penyaji.

Menurut penyaji, beberapa faktor yang dapat dipandang sebagai penyebab terjadinya krisis energi yang sering melanda negeri ini. Pertama, pertumbuhan tingkat kebutuhan energi di Indonesia yang tidak sebanding dengan kemampauan untuk menyediakannya. Peningkatan itu terjadi karena adanya pertambahan jumlah penduduk yang berlangsung terus menerus dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin mengandalkan sektor industri. Pertumbuhan penduduk mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah konsumen energi, dan pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada sektor industry membutuhkan pasokan energi listrik yang lebih banyak yang mengakibatkan terjadinya lonjakan kebutuhan energi di negeri ini. Kedua, pengelolaan sumber daya energi oleh negara yang belum optimal. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diserahi tugas untuk mengelola sumber daya energi, misalnya PLN dan Pertamina, belum dapat melaksanakan tugas yang diembannya dengan sebaik-baiknya. Ketiga, kebijakan negara-negara kapitalis yang memanfaatkan sumber daya energi dunia secara tidak adil. Mereka sering berlaku curang, mendorong negara lain untuk mengeksploitasi sumber energi yang dimiliki, namun menyembunyikan sumber daya energi yang dimiliki untuk cadangan di masa depan.

Kesulitan yang dialami oleh pemerintah untuk menyediakan energi yang dibutuhkan oleh rakyat akan terus berlanjut apabila pemerintah tidak melakukan kebijakan yang tepat, yang dapat segera menghilangkan sumber permasalahan utama yang menyebabkan terjadinya krisis energi. Apabila permasalahan krisis energi dinilai terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara jumlah pasokan energi dengan kebutuhan energi dalam negeri maka pemerintah harus berusaha keras untuk meningkatkan produksi energi. Apabila krisis energi dinilai terjadi karena pengelolaan sumber daya energi yang belum optimal oleh lembaga yang diserahi tugas melakukan pengelolaan sumber daya energi maka pemerintah harus menata ulang lembaga pengelola sumber daya energi tersebut, dan apabila krisis energi dinilai terjadi karena adanya ketimpangan dalam sistem pengelolaan sumber daya energi dunia maka pemerintah harus berani menentang sistem tersebut.

Sumber Energi Terbarui

Khusus terkait dengan krisis energi yang disebabkan oleh adanya ketimpangan antara jumlah pasokan energi dengan tingkat kebutuhan energi dalam negeri, maka pemerintah dapat menempuh kebijakan diversifikasi sumber energi dengan memanfaatkan berbagai potensi yang ada di negeri ini. Semua orang tahu bahwa negeri ini memiliki aneka macam sumber daya energi yang belum dikelola dengan baik. Sebagai contoh, negeri ini memiliki sumber daya angin, panas bumi, air mikro dan matahari yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik. Negeri ini juga memiliki beraneka macam tanaman yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan sumber energi biofuel/biodiesel yang dapat menjadi pengganti bahan bakar minyak yang semakin berkurang. Pemerintah harus mampu memanfaatkan semua potensi tersebut.

Bila dibandingkan dengan kalangan internasional, perhatian pemerintah Indonesia dalam upaya pemanfaatan sumber energi terbarukan masih relatif kurang. Di banyak negara telah dilaksanakan berbagai upaya, baik dalam tataran kebijakan maupun teknis, yang dapat mendukung upaya pemanfaatan sumber energi terbaru. Sementara di negeri ini, perhatian pemerintah masih terfokus pada upaya pengendalian harga BBM semata. “Pada tahun lalu pemerintah telah mencanangkan program desa mandiri energi di sebuah desa di Purwodadi, Jawa Tengah dengan melakukan penanaman tanaman jarak sebagai sumber bahan bakar alternatif, namun program tersebut tidak ada kelanjutannya sehingga malah menimbulkan kekecewaan warga masyarakat”, terang penyaji. Belum adanya perhatian pemerintah dalam upaya pengembangan sumber energi terbarukan juga dirasakan oleh kalangan akademi. Mereka telah berupaya untuk mengembangkan teknologi yang dapat dipergunakan untuk memanfaatkan sumber energi terbarukan yang ada di negeri ini, misalnya teknologi pembangkit listrik tenaga angin, panas bumi, mikro hidro, biogas, matahari dan juga teknologi pengolahan tumbuhan (jarak, nyamplung, dll) yang dapat menghasilkan biofuel, namun ketika ditawarkan kepada pemerintah, tidak ada perhatian, dengan alasan tidak ada investor yang tertarik.

Faktor lain yang juga menjadi penyebab lambanya upaya pemanfaatan sumber energy terbarukan di Indonesia adalah rendahnya partisipasi masyarakat. Banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memperkenalkan teknologi pemanfaatan sumber energi terbarui, namun tidak dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan. Selama LSM masih mendampingi masyarakat dalam pelaksanaan program pemanfaatan sumber energi terbaruhi, kegiatan tersebut dapat berjalan dengan baik, namun ketika LSM mengakhiri pendampingan, program tersebut berhenti. Masyarakat tidak mau melanjutkan program tersebut dengan berbagai alasan, misalnya keterbatasan biaya untuk melanjutkan program tersebut.

“Salah satu syarat agar program pemanfaatan sumber energy terbarukan dapat berjalan dengan baik adalah adanya perhatian serius dari pemerintah. Perhatian tersebut bukan hanya diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan berbagai kebijakan yang dapat mendukung upaya pemanfaatan sumber energy terbarukan, misalnya dengan penyediaan anggaran yang memadai untuk pembangunan sarana dan prasarana pendukung program, tetapi juga peningkatan kesadaran warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam program, khususnya dalam menjaga keberlanjutan program” kata penyaji sebelum seminar ditutup.*(dc)

Pendampingan bagi Warga Masyarakat Korban Bencana Erupsi Merapi

Letusan Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta pada akhir tahun 2010 pada saat ini sudah mereda, namun dampak yang ditimbulkan masih terasa sampai saat ini. Bukan hanya dampak jatuhnya korban nyawa dan kerusakan fisik (hancurnya rumah dan prasarana umum) yang ditimbulkan oleh bencana susulan yaitu banjir lahar dingin yang menerjang di sepanjang alur sungai yang berhulu di puncak Merapi, tapi juga terjadinya kerusakan alam termasuk lahan pertanian akibat timbunan abu vulkanik yang dilontarkan oleh gunung berapi saat terjadi erupsi.

Terjadinya kerusakan lahan pertanian di wilayah sekitar gunung merapi menyebabkan para petani tidak dapat lagi memanfaatkan lahan tersebut untuk melakukan kegiatan budidaya tanaman pangan, seperti pada saat sebelum terjadi bencana letusan Gunung Merapi. Permasalahan ini apabila dibiarkan saja akan sangat mengancam keberlangsungan hidup para petani karena mereka akan kehilangan sumber mata pencaharian yang selama ini mereka andalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Karena merasa ikut bertanggung jawab untuk membantu masyarakat memecahkan permasalahan yang dihadapi, PSPK UGM bekerja sama dengan berbagai donatur yang berasal dari dalam dan luar negeri melaksanakan kegiatan pendampingan bagi warga masyarakat korban bencana erupsi Merapi. Salah satu program pendampingan yang saat ini sedang dilaksanakan oleh PSPK UGM adalah pendampingan bagi petani untuk melakukan kegiatan budidaya pertanian di lahan pasir vulkanik. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan pembuatan demplot pertanian lahan pasir vulkanik di wilayah kecamatan Cangkringan, Sleman. Dengan melibatkan petani lokal sebagai pelaksana, para staf peneliti dari PSPK UGM memberikan bimbingan ilmu tentang budidaya pertanian di lahan pasir vulkanik. Selain itu, PSPK UGM juga memberikan bantuan bibit dan sarana pertanian lainnya. Pada saat ini lahan demplot pertanian lahan pasir vulkanik yang dibuat oleh PSPK UGM bersama petani lokal tersebut telah menampakkan kemajuan yang menggembirakan. Di atas lahan pasir vulkanik yang nampaknya tidak dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pertanian tersebut telah tumbuh subur tanaman kacang tanah dan kedelai. Diharapkan setelah melihat hasil dari demplot pertanian ini warga masyarakat petani yang sebelumnya takut untuk membudidayakan tanaman pertanian di lahan sawah yang telah berubah menjadi lahan pasir vulkanik, menjadi bersemangat lagi untuk memanfaatkan lahan yang ada.

Salah satu kunci keberhasilan demplot pertanian lahan pasir vulkanik untuk pembudidayaan tanaman pangan (kacang dan kedelai) menurut para pakar pertanian dari PSPK UGM adalah pemanfaatan pupuk kandang. Pupuk kandang merupakan faktor yang ikut menentukan keberhasilan pertanian di lahan pasir vulkanik. Pupuk kandang dengan dosis yang pas sangat dibutuhkan oleh tanaman yang dibudidayakan di lahan pertanian pasir vulkanik karena kandungan unsur hara di dalam lahan pasir vulkanik sangat minim. Oleh karena itu idealnya setiap petani yang membudidayakan tanaman pertanian di lahan pasir vulkanik juga memelihara ternak sebagai sumber pupuk kandang.

Kedepan keberhasilan program demplot pertanian lahan pasir vulkanik yang telah dirintis oleh PSPK UGM ini akan ditindaklanjuti dengan kegiatan pendampingan bagi para petani di wilayah lereng Merapi untuk membudidayakan tanaman pertanian di lahan masing-masing. PSPK bersama donatur yang berasal dari berbagai wilayah baik dalam dan luar negeri akan berusaha untuk memberikan bantuan kepada mereka, baik dalam hal ilmu budidaya pertanian di lahan pasir vulkanik maupun sarana dan prasaran pertanian yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut, termasuk bantuan yang berujud ternak yang akan dapat menjadi sumber pupuk kandang yang sangat dibutuhkan oleh para petani.

Anda tertarik dengan kegiatan ini dan ingin memberikan bantuan untuk kesuksesan kegiatan ini? Kami persilahkan anda untuk menghubungi kami. Semua bantuan yang anda sumbangkan akan kami kelola dengan baik demi tercapainya tujuan program yaitu pemulihan sumber penghidupan bagi para petani korban erupsi gunung Merapi. Kami tunggu partisipasi anda. (*dc)

Pendampingan Pengrajin Rambak di Klaten

Guna membantu memulihkan sumber penghidupan warga masyarakat korban Gempa Bumi di Desa Gesikan, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten, khususnya warga masyarakat yang menekuni kegiatan pembuatan krupuk rambak yang sempat terhenti akibat bencana gempa, PSPK UGM bekerja sama dengan YCAP (Yogya Central Java Community Assistance Program) melaksanakan sebuah program pendampingan. Program yang berlangsung sejak tahun 2008 tersebut mencakup beberapa jenis kegiatan, >baik yang bersifat fisik maupun penguatan kelembagaan. Program kegiatan yang bersifat fisik antara lain pemulihan tempat usaha/dapur yang memperhatikan aspek keselamatan kerja, pengadaan peralatan produksi, pengadaan modal kerja, peningkatan kualitas produk dan pemasaran. Sedangkan kegiatan penguatan kelembagaan berupa pembentukan dan pendampingan kelompok pengrajin rambak di desa Gesikan.

Kegiatan pembangunan tempat usaha dilaksanakan pada tahun pertama dan telah berhasil membangun 19 unit bangunan dapur yang memenuhi standar tahan gempa. Guna meminimalisir dampak negatif dari kegiatan usaha pembuatan krupuk rambak terhadap lingkungan, bangunan dapur tersebut dilengkapi dengan instalasi pengolahan air limbah. Kegiatan pengadaan peralatan produksi dilaksanakan dengan memberikan bantuan seperangkat alat kerja yaitu kompor, panci, wajan, alat penjemur, alat pengepan dll. Kegiatan pengadaan bahan baku dilaksanakan dengan memberikan sejumlah bahan baku yang diperlukan untuk membuat krupuk rambak, yaitu tepung terigu, tepung tapioca, minyak goring, dll. Kegiatan peningkatan kualitas produksi dilaksakan dengan melaksanakan pelatihan produksi yang mengutamakan aspek higienitas. Sedangkan kegiatan penguatan pasar dilaksanakan dengan perintisan pasar ke supermarket dan pasar di luar daerah.

Kegitan penguatan kelembagaan dilaksanakan dengan pembentukan kelompok pengrajin rambak di desa Gesikan. Pembentukan kelompok ini dirasa sangat diperlukan guna mengatasi beberapa masalah yang sering dialami oleh para pengrajin, antara lain kesulitan pengadaan bahan baku dan pemasaran akibat persaingan harga. Kesulitan dalam pengadaan bahan baku sering terjadi akibat adanya ketergantungan para pengrajin terhadap para pedagang bahan baku. Ketergantungan itu menyebabkan harga bahan sering berfluktuasi (naik) dan tidak dapat dijangkau oleh para pengrajin atau bahan sering langka/menghilang dari pasaran. Kesulitan pemasaran sering terjadi akibat adanya persaingan tidak sehat antar pengrajin. Guna menarik pelanggan banyak pengrajin yang menurunkan harga jual. Dengan adanya kelompok diharapkan kesulitan dalam pengadaan bahan baku dan pemasaran dapat diatasi. Langkah yang ditempuh oleh kelompok untuk memecahkan masalah kesulitan dalam pengadaan modal adalah dengan mengkoordinasikan pengadaan bahan baku bagi para pengrajin. Guna menekan harga maka kelompok memotong mata rantai distribusi bahan baku dengan cara membeli bahan baku langsung dari produsen. Kegiatan ini dapat berjalan dengan baik dan pada saat ini para pengrajin sudah tidak mengalami kesulitan dalam pengadaan bahan baku. Sedangkan langkah yang ditempuh kelompok untuk mengatasi masalah pemasaran adalah dengan membina kebersamaan antar pengrajin. Setiap bulan kelompok menyelenggarakan pertemuan anggota yang selain bermanfaat untuk membina kebersamaan antar anggota kelompok juga menjadi ajang musyawarah bagi anggota untuk mencari solusi atas berbagai masalah yang dihadapi oleh para pengrajin termasuk masalah pemasaran. Guna mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar pengrajin maka kelompok melalui pertemuan tersebut membuat kesepakatan bersama tentang harga jual produk. Guna meningkatkan peluang pasar kelompok bekerja sama dengan berbagai pihak menyelenggarakan kegiatan pameran hasil produksi.

Setelah berjalan hampir dua tahun kelompok pengrajin rambak di desa Gesikan yang pada mulanya hanya berbentuk paguyuban pada saat ini telah meningkat menjadi koperasi. Omset yang dimiliki telah berkembang pesat dan pelayanan yang diberikan juga telah bertambah, bukan hanya melayani pengadaan bahan baku tapi juga memberikan fasilitas kredit produktif bagi para anggotanya.*(dc)

Desaku yang Tak Permai Lagi (Kampung Ahmadiyah dalam Kepungan Kekerasan)

Oleh: Drs. Mochamad Sodik, S.Sos, M.Si.

Minggu berdarah (6-2-2011) di Cikeusik Banten yang menimpa warga Ahmadiyah sebenarnya adalah ledakan bom waktu, yang sudah didahului dengan serentetan peristiwa kekerasan di banyak daerah. Warga Ahmadiyah sudah mengalami ratusan kali intimidasi dan perlakuan kekerasan. Tragedi Cikeusik yang menewaskan tiga warga Ahmadiyah merupakan puncak dari safari intimidasi yang semoga merupakan lembaran buram yang terakhir dalam sejarah persekusi di Indonesia.

Serangkaian kekerasan terhadap Ahmadiyah dilakukan oleh sekelompok orang secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Tiga jenis kekerasan yang disebut oleh Ignas Kleden (2001) sebagai kekerasan fisik, struktural, dan kultural hadir di sana.

Sejumlah kampung Ahmadiyah yang dulu permai dan damai, kini tak lagi, seiring dengan minimnya ketegasan aparat keamanan dan absennya penegakan hukum serta hadirnya fundamentalisme Islam trans-nasional.

A. Kasus Kekerasan di Kampung Manislor

Manislor merupakan enclave Jemaat Ahmadiyah Qodian yang sangat populer di kalangan internal Ahmadiyah maupun dalam liputan media. Manislor merupakan sebuah desa di Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Di wilayah ini mayoritas penduduk menjadi pengikut Ahmadiyah dan kepala desanya dijabat oleh aktivis Ahmadiyah.

1. Kekerasan Kultural-Psikologis

Tipe a. Fatwa MUI

Tafsir kebencian menjadi model fatwa MUI, baik MUI tingkat Pusat maupun MUI Daerah, sebagaimana ditunjukkan oleh Fatwa MUI Kuningan No. 86/MUI-KFH/X/2004 tentang pelarangan Ahmadiyah. Fatwa ini dijadikan argumen oleh sebagian kelompok Islam untuk menyikapi keberadaan Ahmadiyah, yang seringkali dengan cara kekerasan.

Tipe b. Seruan dan Penegasan Terbuka kepada Ahmadiyah

Penegasan terakhir (11 Desember 2007) yang  suratnya ditujukan kepada Kajati Kuningan/Ketua PAKEM Kabupaten Kuningan, yang isinya antara lain:
1.Hentikan segera seluruh kegiatan Ahmadiyah sebelum Hari Raya Idhul Adha 1428 H.
2.Tutup/segel seluruh tempat kegiatan Ahmadiyah (1 masjid, 7 mushola, 1 Gedung Pertemuan, 1 rumah dinas, dan 1 tempat pengkaderan/pendidikan SMP Amal Bakti) serta berlakukan sanksi hukum.
3.Bongkar atau musnahkan seluruh tempat kegiatan Ahmadiyah apabila melanggar nomor 2.

Tipe c. Baliho Permanen Gerbang Utama Desa

Pada awalnya, ketika peneliti memasuki desa Manislor pada tahun 2006, hanya ada satu baliho (bagian atas) yang terpampang dengan tulisan “Melarang Ajaran dan Kegiatan Ahmadiyah di Wilayah Kabupaten Kuningan”.

Setahun berikutnya (2007), bersamaan dengan ramainya kasus Ahmadiyah dan membesarnya arus pembelaan Ahmadiyah, muncul satu baliho lagi (bagian bawah) dengan tulisan “Ahmadiyah Mutlak Bukan Islam, Ajarannya Sesat dan Merusak Islam, Orang Islam Mendukung Ahmadiyah = Murtad”. Atas desakan aparat keamanan, baliho tersebut diturunkan pada tahun 2008, pasca SKB 3 Menteri.

2. Kekerasan Struktural: Kebijakan Diskriminatif

SKB Pemda Kuningan tahun 2002 mengenai pelarangan Ahmadiyah berimplikasi pada pelarang pencatatan menikah bagi warga Ahmadiyah di Kantor Urusan Agama (KUA) wilayah Kabupaten Kuningan. Jika jemaat ingin melangsungkan pernikahan, mereka harus ke luar dari daerah Kuningan. Warga Ahmadiyah pada umumnya memilih KUA wilayah Cirebon untuk melangsungkan pernikahan mereka. Selain itu, mereka juga memilih wilayah lain yang dirasakan aman, seperti Jakarta, Bekasi, dan Tangerang.

3. Kekerasan Fisik: Perusakan dan Pembakaran Masjid, dan Penganiayaan

Sejumlah masjid/mushola dirusak dan dilempari batu oleh kelompok penyerang. Sebuah mushola telah dibakar massa, sekarang tinggal puing-puingnya saja.

Seiring dengan kejadian perusakan, 1 warga Ahmadiyah mengalami luka berat (terkena tusukan pisau) dan 6 warga luka ringan. Dalam penuturannya, korban tidak mengenal identitas pelaku karena mereka berasal dari luar daerah.

Kejadian tersebut merupakan “satu episode” dari serangkaian episode kekerasan yang dialami oleh warga Ahmadiyah. Mereka mengalami apa yang disebut Barkan dan Snowden (2001) sebagai collective violence.

B. Akar Masalah

Kita dapat meyebut teologi intoleransi merupakan akar masalah utama dari serangkaian kekerasan yang menimpa kelompok minoritas seperti Ahmadiyah. Teologi intoleransi beroperasi dalam beberapa tingkat. Pertama, pembentukan pengetahuan tentang pemahaman bahwa tafsir agamanya yang paling benar, sementara yang lain adalah sesat dan menyesatkan. Di sini awal mula munculnya tafsir kebencian. Kedua, sikap hidup yang merasa paling benar sendiri di hadapan Tuhan, dengan memandang yang lain sebagai lawan. Pada taraf ini, aturan negara seringkali dinomor sekiankan. Ketiga, penyerangan terhadap kelompok yang tidak sepaham merupakan pilihan yang dapat ditempuh. Pada tingkat ini konsep jihad secara fisik terhadap pihak lawan dipandang sebagai jalan suci. 

Teologi intoleransi dapat bersifat pasif dan aktif. Intoleransi pasif pada umumnya hanya berhenti pada tafsir kebencian, tidak lebih dari itu. Bersifat pasif, karena ia berhenti ketika ada rambu-rambu aturan negara yang mesti ditaati. Intoleransi pasif dapat bergerak menjadi aktif jika ada dorongan terus menerus dari luar dirinya seiring dengan menurunnya kepercayaan umat terhadap aparatus dan institusi negara.

Teologi intoleransi sangat mudah ditumpangi oleh beragam kepentingan, baik politk maupun ekonomi. Bagaikan api, tinggal menyiramkan bensin di atasnya. Pada saat yang sama, aparatus negara terlambat mengantisipasi keadaan, bahkan terkesan ada pembiayaran.

Lemahnya saling kepercayaan sosial dan tingkat kesenjangan ekonomi yang semakin lebar menjadi taman persemaian bagi tumbuhnya teologi intoleransi. Absennya penegakan hukum menjadi pupuk penyuburnya. Lengkap sudah sejumlah prasyarat bagi pertumbuhan teologi intoleransi di negeri ini.

Sejumlah peristiwa kekerasan yang terjadi sebelumnya, baik di tempat yang sama maupun tempat lainnya, tidak menjadi pelajaran yang berarti. Nyawa dan harta benda kelompok minoritas seakan tak berharga. Jika peritiwa berdarah terjadi, maka korban yang justru seringkali disalahkan. Aparatus negara terjebak dalam logika kuasa umat mayoritas, sehingga cenderung menyalahkan minoritas yang menjadi korban kekerasan. Inilah victimisasi sistemik: korban jatuh tertimpa tangga dan tertusuk paku pula.

Dalam kepungan kekerasan semacam itu, warga Ahmadiyah lebih memilih jalan damai, silaturahmi, dan advokasi untuk mempertahankan eksistensi mereka. Selebihnya, mereka berdo’a: Allahummahdi qaumii fainnahum laa ya’lamuun” (Ya Allah berilah petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka belum mengerti).

C. Sikap Kita?

Kita perlu merumuskan sikap tegas terhadap keberadaan Ahmadiyah. Pertama, kita sebagai warga negara yang taat hukum harus memandang warga Ahmadiyah sebagai bagian dari warga negara Indonesia. Hukum negara yang seharusnya mengatur tentang keberadaan Ahmadiyah, bukan hukum agama. Kedua, sebagai umat manusia yang beradab, kita memandang wilayah teologi merupakan wilayah hati nurani manusia yang tidak dapat tunduk oleh kekuatan eksternal ataupun paksaan pihak manapun. Pilihan opsi untuk pembubaran Ahamadiyah atau memaksa mereka menbentuk agama baru dapat menabrak hak dasar warga negara Indonesia yang dijamin oleh konstitusi. Ketiga, segenap aparatus negara wajib melakukan pencegahan dini terhadap setiap gelagat yang mengarah kepada tindak kekerasan. Keempat, penegakan hukum secara adil dan beradab harus diterapkan kepada siapapun. Kelima, bagi umat Islam yang menganggap Ahmadiyah sebagai aliran sesat, adalah tugasnya untuk mengingatkan dengan penuh hikmah, santun, dialogis, dan dalam suasana kedamaian. Keenam, jika warga Ahmadiyah tetap memilih jalan yang diyakininya, anggap saja mereka tersesat di jalan yang benar. Wallahu a’lam bish-shawab.