Ironi Hubungan Kehutanan dengan Masyarakat Desa

“Bukan merupakan hal yang aneh bagi kita yang tinggal di Indonesia sering  mendengar terjadinya kasus konflik antara perusahaan HPH dengan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Bukan merupakan hal yang aneh pula bahwa kita sering mendengar tingginya tingkat kemiskinan yang dialami oleh warga masyarakat disekitar kawasan hutan. Dan bukan merupakan hal yang aneh bila kita sering mendengar tingginya tingkat kerusakan hutan di Indonesia.” papar penyaji membuka seminar bulanan yang dilaksanakan di PSPK UGM pada hari Kamis, tanggal 9 Juni 2011. Seminar yang telah menjadi tradisi rutin setiap bulan tersebut, pada kesempatan itu menampilkan seorang penyaji yaitu Datuk Iman Suramenggala, S.Hut, M.Hut, kandidat doctor di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada sekaligus staf Dinas Kehutanan Kabupaten Bulungan, Propinsi Kalimantan Timur, dengan moderator Drs. Suharman, M.Si. Topik yang diangkat dalam seminar tersebut adalah “Ironi Relasi Hutan dan Masyarakat Desa”.

Banyaknya permasalahan yang muncul di sekitar kawasan hutan tersebut terjadi karena beberapa faktor, namun faktor yang paling dominan menurut penyaji adalah tumpang tindihnya aturan hukum yang berlaku terkait dengan sumber daya hutan. Kita mengetahui bahwa setiap departemen yang terlibat dalam pengelolaan kawasan hutan (Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, Departemen Pertambangan) memiliki undang-undang sendiri-sendiri, sementara objeknya sama sehingga sangat wajar apabila akhirnya terjadi tumpang tindih. Sebagai gambaran, ada kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh Departemen Kehutanan sebagai kawasan hutan lindung, namun karena di dalam lapisan tanahnya terdapat bahan tambang maka kawasan hutan lindung tersebut dibiarkan dieksploitasi oleh perusahaan pertambangan yang telah mendapat ijin dari Departemen Pertambangan, sehingga akhirnya hutan lindung tersebut rusak.

Yang lebih tragis adalah meskipun Departemen Kehutanan telah menetapkan suatu wilayah sebagai kawasan hutan, namun kawasan tersebut bisa diubah statusnya menjadi bukan kawasan hutan dan dipergunakan untuk lahan perkebunan sawit hanya karena pohon/tanaman yang tumbuh di kawasan tersebut telah dibabat habis oleh perusahaan pemegang HPH, tanpa melakukan upaya reboisasi. Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan, dari 2 juta hektar kawasan hutan yang dimiliki Indonesia pada tahun 2000 hanya dalam kurun waktu satu dekade telah menurun menjadi 1,2 juta hektar. Sungguh merupakan fakta yang sangat mengejutkan.

Kerusakan hutan atau hilangnya kawasan hutan merupakan persoalan besar yang muncul dalam system pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia. Namun persoalan yang paling besar menurut penyaji adalah tingginya tingkat kemiskinan yang dialami oleh warga masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Persoalan ini muncul karena beberapa factor antara lain hilangnya akses yang dimiliki oleh warga masyarakat akibat perubahan status hutan. Pada mulanya suatu wilayah kehutanan belum memiliki status karena belum ditetapkan oleh pemerintah sehingga warga masyarakat yang ada di dalam dan disekitar kawasan hutan dapat memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada di kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, namun ketika wilayah tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung atau hutan produksi yang pengelolaannya diserahkan ke pihak swasta maka otomatis warga masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar kawasan hutan kehilangan akses untuk memanfaatkan hasil hutan. Mereka kehilangan sumber penghidupan. Dampak ini juga sering terjadi ketika suatu kawasan hutan diubah statusnya menjadi bukan kawasan hutan dan dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan.

Masifnya proses ahli fungsi kawasan hutan menjadi lahan perkebunan yang pengelolaannya diserahkan pihak swasta seringkali menyebabkan warga yang tinggal di sekitar kawasan hutan bukan hanya kehilangan sumber penghidupan mereka tetapi juga kehilangan hak milik atas tanah yang selama ini dimiliki. Banyak kasus dimana pemerintah memberikan hak pengelolaan lahan kawasan hutan kepada pihak swasta, sementara ada sebagian lahan yang ada di kawasan tersebut yang merupakan milik adat atau milik pribadi warga masyarakat di sekitar kawasan hutan. Namun karena pada umumnya kepemilikan tanah adat atau tanah milik pribadi tersebut tidak dibuktikan dengan adanya bukti hitam di atas putih (sertifikat/surat tanah) maka ketika penyerobotan lahan tersebut terjadi mereka tidak dapat membuktikan bahwa tanah tersebut merupakan milik mereka. Akhirnya mereka hanya bisa gigit jari ketika lahan mereka dimiliki oleh perusahaan swasta.

Masalah tanah merupakan masalah yang sangat pelik. Jarang ada warga masyarakat atau masyarakat adat yang memiliki konflik dengan perusahaan swasta yang dapat menang di pengadilan. Jangankan yang tidak memiliki bukti kepemilikan atas tanah, bahkan yang memiliki bukti kepemilikan atas tanah pun bisa kalah dalam pengadilan. Sebagai contoh, keluarga kami memiliki lahan kawasan hutan 65.000 hektar, kami sudah memiliki surat register sejak zaman Belanda, namun ketika tanah tersebut diklaim oleh sebuah perusahaan swasta dan proses peradilan berlanjut hingga Mahkamah Agung, peradilan tetap memenangkan perusahaan.

Salah satu saran yang sering saya sampaikan kepada warga masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan agar hak milik mereka lebih terjamin adalah dengan melakukan sertifikasi lahan yang mereka miliki, yang ada di kawasan hutan. Dengan adanya sertifikat tanah maka hak milik mereka akan lebih aman. Pensertifikatan lahan di kawasan hutan bisa dilakukan karena berdasarkan UU Kehutanan, yang disebut kawasan hutan adalah tanam tumbuh yang ada di suatu kawasan, tidak termasuk di dalamnya tanah tempat tanaman tersebut tumbuh. Oleh karena itu lahan di kawasan hutan bisa dimiliki oleh pribadi. Apabila lahan disuatu kawasan hutan hutan belum menjadi tanah milik Negara maka warga masyarakat yang ada di sekitar kawasan hutan tersebut bisa memilikinya dan mengajukan pensertifikatan. “Apabila sertifikat sudah dikeluarkan oleh BPN maka tanah tersebut resmi menjadi hak milik warga. Namun demikian, karena tanah milik warga tersebut berada di kawasan hutan maka mereka tidak boleh mengubah fungsinya, misalnya menjadi lahan pertanian atau perumahan. Lahan tersebut tetap harus difungsikan sebagai hutan.” Ucap penyaji sebelum seminar sore tersebut ditutup.*(dc)