Pos oleh :

PSPK UGM

Seminar Politik Pangan untuk Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Kebijakan pangan nasional yang diambil pemerintah saat ini dinilai tidak memberikan perlindungan terhadap petani. Kebijakan yang ada juga tidak mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan nasional, tetapi lebih ke arah politik pencitraan dengan adanya kebijakan bebas bea masuk pangan impor. Hal tersebut mengemuka dalam Seminar Politik Pangan untuk Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, yang digelar di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Selasa (12/4). Seminar dalam rangka perayaan ulang tahun ke-38 PSPK UGM ini pada sesi I menghadirkan pengamat ekonomi pertanian UGM, Prof. Dr. Moch. Maksum Machfoedz, peneliti pangan, Dr. Emi Harmayani, M.Sc., dan Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A(K) selaku moderator, dan pada sesi II menghadirkan aktivis kedaulatan pangan Dr. Francis Wahono, Prof.Susetiawan dan Dr. Ja’far Sidieq selaku moderator.

Maksum menilai kebijakan pemerintah sangat tidak cerdas dan cenderung untuk kepentingan sesaat dengan melakukan kebijakan pangan murah dan bebas bea masuk pangan impor. “Banyak kebijakan kontroversial dan kontraproduktif, misalnya Presiden menginstruksikan adanya program kemandirian pangan. Namun, kebijakan yang diambil justru melakukan bebas bea masuk pangan impor,” ujar Maksum.

Selain itu, pemerintah juga tidak melakukan proteksi hasil pertanian dalam negeri. Hal tersebut berbeda dengan yang dilakukan Pemerintah China yang memberikan kebijakan pertanian pro rakyat. “Untuk bisnis unggas saja, di negara lain pakan diproteksi, bahkan diberikan secara gratis untuk melindungi petaninya,” imbuhnya.

Kebijakan industrialisasi yang tidak pro pertanian ini, menurut Maksum, menyebabkan sembilan komoditas pangan nasional hampir semuanya impor. Disebutkan bahwa komoditas gandum dan terigu masih impor 100%, bawang putih 90%, susu 70%, daging sapi 36%, bibit ayam ras 100%, kedelai 65%, gula 40%, jagung 10%, dan garam 70%.

Melihat kondisi tersebut, Maksum pesimis target swasembada beberapa komoditas pangan yang dicanangkan pemerintah akan tercapai. “Program swasembada daging sapi itu sudah lima kali dicanangkan. Semuanya belum berhasil,” ujarnya. Maksum juga berpendapat sudah saatnya pemerintah mengeluarkan kebijakan pangan nasional yang pro pertanian dengan memberikan perlindungan terhadap petani, mulai dari harga jual, bibit, pakan, hingga kebijakan agroindustri yang melindungi petani.

Sementara itu, peneliti pangan, Emi Harmayani, mengatakan ketergantungan pada produk terigu dan beras saat ini di masyarakat sangat rawan. Oleh karena itu, perlu diatasi dengan kebijakan diversifikasi pangan lokal. Tidak adanya kebijakan yang berpihak pada pangan lokal dan rendahnya pengetahuan serta konsumsi makakan bergizi telah menyebabkan masyarakat kurang mengapresiasi pangan lokal. “Masih ada yang menganggap pangan lokal ini inferior,” katanya.

Menurut Emi, potensi pangan lokal di masing-masing daerah cukup beragam. Dari hasil penelitiannya, beberapa jenis pangan lokal di DIY yang potensial untuk dikembangkan adalah jenis umbi-umbian, seperti ubi kayu, garut, ubi jalar, dan ganyong. “Masyarakat DIY masih mengenal, mengonsumsi, dan membudidayakan 10 jenis umbi ala kadarnya, kecuali ketela pohon dan ubi jalar,” jelasnya.

Staf pengajar Fakultas Teknologi Pertanian UGM ini menjelaskan umbi-umbian lokal mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai pangan fungsional dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap pangan impor. Pangan lokal ini bahkan memiliki potensi lebih baik daripada bahan impor karena mempunyai kesesuaian biologis yang lebih tinggi dengan manusia dan mikrobiota lokal Indonesia.

Pada sesi kedua Francis Wahono menyampaikan hasil penelitiannya di Sleman bahwa kondisi petani pada saat ini sedang “sekarat” dan semakin menjauh dari “berdaulat”. Terdapat beberapa unsur yang menjadi indikator dari kondisi “sekarat” atau “berdaulat” dari kaum petani, yaitu, ketangguhan, kemandirian, dan kemerdekaan. Apabila petani memiliki semua unsur tersebut maka petani dikatakan “berdaulat” namun bila ketiga unsur tersebut tidak dimiliki maka petani berada dalam kondisi “sekarat”.

Konsep tangguh mengandung pengertian seperti yang tercakup dalam istilah Inggris “survivors”, yang mampu “survived”. Bertolak belakang dengan pengertian “korban” atau “victim” yang berarti menyerah kalah pada keadaan, istilah “tangguh” atau survivors mengandung pengertian kemampuan untuk berjuang tiada lelah, melawan segala kendala sumber daya dan tindak penindasan dan peminggiran yang menimpa dirinya. Untuk mendapat sedikit dari haknya yang banyak petani mesti berjuang tiada henti-hentinya, bahkan sampai kulit pembalut tulang yang hitam legam. Perjuangan itu harus dilakukan apabila ia ingin tetap hidup.

Konsep mandiri mengandung arti bahwa petani bebas dari tekanan luar diri dan mampu merealisasikan potensi dirinya. Kemandirian merupakan hasil nyata dari ketangguhan petani. Kondisi masih adanya tekanan dari luar diri dan oleh karenanya masih adanya penghalang terhadap usaha mewujudkan potensinya, telah membuat petani belum mandiri.

Kemandirian petani merupakan syarat dari kemerdekaan petani. Apabila petani masih belum mandiri maka ia tidak akan dapat mencapai kondisi merdeka. Istilah merdeka menunjuk pada kondis petani yang pantang menyerah, tetapi berani berjuang dan di dalam perjuangan itu ia meraih kemandirian sehingga ia akhirnya dapat merealisasikan potensi-potensinya. Petani yang mampu merealisasikan potensi adalah petani yang berdaulat.

Dari penelitian yang dilakukan Francis Wahono menyimpulkan bahwa kondisi petani di daerah penelitian pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya masih jauh dari berdaulat. Indikator yang dipakai untuk menunjukkan bahwa kondisi petani masih sekarat antara lain, dari sisi produksi, unsur  tanah, semakin sempitnya pemilikan lahan akibat terjadinya alih fungsi lahan, semakin turunya kualitas lahan pertanian, unsure air, privatisasi air yang menyebabkan petani kekurangan sumber daya air untuk irigasi karena dikuasi perusahaan air minum, unsure benih, ketergantungan petani pada bibit transgenic yang hanya dapat diproduksi oleh pabrik, unsure asupan lainnya, ketergantungan petani pada sarana produksi pertanian yang besifat unorganik, unsure tenaga kerja, kekurangan tenaga kerja yang mau terjun dibidang pertanian akibat tingginya urbanisasi, dan unsure kebijakan pemerintah, kebijakan pemerintah yang kurang mendukung sector pertanian tetapi mengutamakan sektor industri dan perdagangan.

Sedangkan dari sisi distribusi, unsure pangan, adanya prinsip asal rakyat makan sehingga ditempuh cara instant yaitu impor pangan, pengembangan produksi dalam negeri diabaikan. Adanya pandangan bahwa tanah, air, keanekaragaman hayati, dan tenaga merupakan komoditi, sehinga penting atau tidaknya tergantung harga. Lebih baik semua itu untuk kebun dan tambang yang harga jual dipasar internasional lebih mahal dari harga jual produk pertanian. Unsur energi/kelayakan hidup, mumpung memiliki tabungan energy, apapun dieksploitasi secepatnya mumpung harga mahal. Energi terbarukan dipandang sebagai teknologi mahal sehingga tidak layak dikembangkan, maka lebih enak menjual hutan. Hidup dan kerja untuk mengejar keinginan yang tanpa batas. Unsur pendidikan/kesehatan, lebih mengutamakan pendidikan yang berprinsip link and match untuk melayani industri, Pendidikan bidang pertanian dinggalkan karena dipandang kurang efisien dan menghamburkan tenaga. Petani harus menanggung biaya kesehatan yang semakin hari semakin mahal. Unsur pekerjaan, pekerjaan adalah komoditas dimana tenaga dan pikiran dihargai dengan uang, diupah sesuai UMR. Unsur modal usaha, modal usaha bukan tanggungjawab Negara tetapi swasta yang suka mencari untung agar “usaha efisien”. Unsur koperasi/pasar rakyat/kegiatan sosial budaya, koperasi banyak yang gagal akibat rendahnya dukungan pemerintah, sementara perseroan terbatas (PT) berkembang karena dapat menjadi sumber pajak. Unsur partisipasi dalam keputusan dan kebijakan, partisipasi hanya sahih kalau rakyat terdidik, tetapi dalam situasi petani dan nelayan tidak terdidik, demokrasi terpimpin dianggap paling tepat, oleh pemerintah/swasta.

Apabila kita menginginkan petani kita berdaulat maka semua pihak yang terlibat dalam sector pertanian, lebih-lebih pemerintah harus berani menghapuskan keadaan tersebut antara lain dengan melakukan reformasi agraria untuk memberi lahan yang cukup bagi para petani, pengembangan pertanian tradisonal (bajak kerbau) untuk memberi kesempatan lahan beristirahat, pemberian prioritas bagi petani untuk memanfaatkan sumber daya air, melindungan hak tangkap ikan bagi para nelayan, melindungi hutan sebagai water catchment, melakukan reboisasi, melindungi pohon langka dan mikro-organisme yang berguna, mengembangkan benih secara mandirib dari plasma nutfah, pemberian fasilitas bagi petani untuk pemuliaan benih, pengembangan pupuk kandang kompos sebagai pengganti pupuk kimia, dan pengembangan pestisida alami. Regenerasi petani dengan peneloran kebijakan pemerintah yang dapat menarik minat kaum muda untuk terjun dibidang pertanian dan kebijakan lain yang bersifat pro pangan rakyat, pro petani, pro alam dan sarana lainnya sebagai sumber kehidupan.

Kegiatan Bedah Buku Rakyat Tani Miskin: Korban Terorisme Pembangunan Nasional

“Salah satu faktor yang menjadi penyebab timbulnya masalah kemiskinan yang berlarut-larut yang dialami oleh kaum tani Indonesia adalah tidak adanya kebijakan pemerintah yang benar-benar berpihak kepada kaum tani.” Demikian pernyataan Dr. Rimawan Pradipto, salah seorang pakar yang tampil sebagai pembedah dari buku Rakyat Tani Miskin: Korban Terorisme Pembangunan karya Prof. Dr. Mochammad Maksum, guru besar Fakultas Teknologi Pertanian dan peneliti senior PSPK UGM. Kegiatan yang dilaksanakan sebagai salah satu bentuk kegiatan dari serangkaian kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka peringatan hari ulang tahun PSPK UGM tersebut dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 7 April 2011 di ruang sidang besar Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Bulaksumur G-7 Yogyakarta. Kegiatan bedah buku tersebut, selain menampilkan Dr. Rimawan Pradipta, juga menampilkan Fadmi Sustiwi, salah seorang redaktur SKH Kedaulatan Rakyat yang menjadi editor dari buku karya Prof. Maksum tersebut.

“Bangsa Indonesia adalah salah satu bangsa di dunia yang memiliki rakyat miskin dalam jumlah besar, khususnya rakyat tani. Namun sangat disayangkan dalam perjalanan sejarahnya bangsa ini selalu memiliki pemerintah atau penguasa yang tidak berpihak atau kurang peka pada kemiskinan yang dialami oleh rakyat tani. Pada masa dulu ketika di negeri ini berkembang sistim pemerintahan kerajaan. Sangat sedikit raja atau penguasa kerajaan yang memperhatikan nasib para petani. Para penguasa tersebut malah menjadikan kaum tani sebagai sapi perah bagi mereka. Selain mengeksploitasi kaum tani sebagai penyangga kebutuhan logistik kerajaan melalui mekanisme pajak atau upeti yang harus disetor oleh kaum tani kepada para penguasa, kaum tani juga menjadi sumber tenaga kerja bagi setiap program yang dijalankan oleh sang penguasa. Kita semua tahu bahwa tanpa dukungan rakyat tani, mustahil bagi wangsa Syailendra untuk membangun Candi Borobudur yang termasyur itu, demikian pula merupakan hal yang mustahil bagi Sultan Agung dari Mataram melakukan penyerangan pada pasukan VOC di Jayakarta tanpa dukungan dari rakyat tani.” lanjut pembahas.

Pada masa penjajahan kondisi kaum tani setali tiga uang alias sama saja. Mereka tetap menjadi sapi perah bagi kaum penjajah. Bahkan ada sebuah kebijakan dari penguasa penjajah yang tidak hanya mengakibatkan timbulnya dampak buruk jangka pendek, tapi jangka panjang bahkan dampak kebijakan tersebut terasa sampai saat ini. Salah satu kebijakan penguasa colonial yang dampaknya terasa sampai saat ini adalah kebijakan culture stelsel, yaitu kebijakan yang mewajibkan rakyat Hindia Belanda untuk membudidayakan tanaman perkebunan untuk memenuhi kebutuhan komoditas perkebunan pasar dunia. Kebijakan ini telah mencabut rakyat Nusantara dari budaya aslinya, yaitu maritime menjadi agraris. Namun sayang kebijakan tersebut tidak mampu mengantarkan rakyat Nusantara untuk sepenuhnya meninggalkan budaya maritime dan sepenuhnya menganut budaya agraris, rakyat nusantara berada pada posisi tengah-tengah, maritime bukan agraris pun bukan.

Kondis tersebut terus berlangsung hingga saat ini, sehingga penguasa pada masa sekarang tidak dapat merumuskan kebijakan yang tepat. Esok tempe, sore dele adalah satu ungkapan yang sering ditemukan dalam buku karya Prof. Maksum, yang menggambarkan betapa mudahnya pemerintah mengubah kebijakan, pada saat ini kita menjalankan kebijakan untuk ekspor beras namun besok kita menjalankan kebijakan impor. Kenyataan ini menjadi salah satu penyebab penguasa kita, baik penguasa masa lalu maupun penguasa sekarang tidak mampu mengatasi masalah krusial yang selama ini menjerat rakyat tani, yaitu kemiskinan. “Bidang logistik merupakan bidang yang perlu penangan serius dan tidak boleh bersifat temporer. Kalau bangsa ini menetapkan kebijakan untuk menjadi pengimpor maka kita harus konsisten untuk menerapkan kebijakan tersebut, kita tidak perlu memaksakan diri untuk menjadi bangsa pengekspor. Sebaliknya, bila kita telah memantapkan diri untuk menjadi pengekspor maka kita harus menjaga kebijakan tersebut. Konsistensi dalam menerapkan suatu kebijakan akan menuntun kita untuk menjalankan program-program yang mengarah pada tujuan yang jelas, sehingga akhirnya kita mampu mengembangkan potensi utama yang kita miliki, tanpa harus bergantung pada bangsa lain. Penerapan kebijakan yang tepat akan menyebabkan semua permasalahan yang membelit bangsa ini akan dapat teratasi, termasuk masalah kemiskinan rakyat tani.

Masalah lain yang juga diangkat dalam acara bedah buku tersebut adalah masalah agrarian. Salah seorang peserta menyayangkan buku karya Prof. Maksum belum mengangkat topik agrarian. Padahal semua orang tahu bahwa faktor lain yang juga menyebabkan berlarutnya kemiskinan yang dialami oleh kaum tani adalah keterbatasan pemilikan lahan pertanian. Semua orang tahu bahwa petani Indonesia adalah petani gurem, petani yang memiliki lahan relatif sempit. Bahkan banyak petani Indonesia yang hanya menjadi petani penggarap. Selama petani Indonesia hanya menjadi petani penggarap atau hanya memiliki lahan yang relatif sempit maka masalah kemiskinan yang dialami oleh para petani Indonesia tidak akan dapat diatasi. Menanggapi komentar tersebut, Prof. Maksum yang juga hadir dalam acara tersebut mengakui bahwa buku yang ditulisnya belum menyentuh masalah agraria. Hal itu karena buku ini merupakan kumpulan tulisan beliau yang dimuat di berbagai media massa yang sebenarnya merupakan respon terhadap berbagai masalah pertanian yang sedang actual di masa tesebut. Karena selama ini masalah agraria tidak banyak dibicarakan, maka Prof. Maksum juga belum tertarik untuk menulis masalah tersebut. Namun sebenarnya beliau juga pernah mengulas masalah agraria di dalam tulisannya yang dimuat di sebuah media massa, namun tulisan tersebut belum masuk dalam buku ini.

Dalam kesempatan sama, Fadmi Sustiwi yang berperan sebagai editor buku karya Prof. Maksum menyatakan kekaguman beliau pada Prof. Maksum yang dapat menuliskan ide dan gagasan secara lugas, tanpa tedeng aleng-aleng. Berbagai tulisan yang dimuat di buku ini merupakan kritik pedas yang dilontarkan oleh penulis terhadap berbagai permasalahan pangan yang terjadi di Indonesia, khususnya kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah yang tidak tepat. Posisi beliau pada saat ini, selain sebagai guru besar juga sebagai salah satu pimpinan ormas besar di Indonesia akan menyebabkan kritik yang dilontarkan akan memiliki bobot yang signifikan. Hal lain yang juga membuat buku ini menarik, menurut Fadmi Sustiwi, adalah adanya informasi yang disampaikan oleh penulis tentang seluk beluk dunia pertanian. Informasi ini jelas akan memperkaya khasanah pengetahuan pembaca mengenai masalah pertanian. Kita tahu bahwa pada saat ini banyak kaum muda yang memiliki pemahaman yang kurang tentang dunia pertanian. Mereka mengkonsumsi hasil pertanian tapi mereka tidak memiliki pemahaman tentang proses yang harus dilewati komoditas pangan sebelum komoditas tersebut terhidang di meja makan. Proses produksinya saja tidak tahu, apalagi permasalahan yang muncul di seputar pangan. Mudah-mudahan dengan terbitnya buku ini semakin banyak generasi muda yang paham dengan dunia pertanian dan tertarik untuk ikut berpartisi mengatasi masalah yang melilit dunia pertanian. Kita berharap setelah publikasi buku ini, banyak anak muda yang tertarik untuk masuk fakultas pertanian. Selama ini minat generasi muda untuk masuk ke fakultas pertanian relatif rendah. Semakin banyak anak muda yang belajar masalah pertanian maka akan semakin banyak orang yang diharapkan dapat ikut memikirkan masalah pertanian. Harapan Fadmi Sustiwi yang terlontar dalam forum tersebut.

Acara bedah buku yang dihadiri peserta dari berbagai kalangan, baik masyarakat umum, LSM dan akademisi dimeriahkan dengan pembagian doorprize dan bazaar buku dan ditutup pada pukul 18.00.WIB.(*dc).

Senam Sehat HUT PSPK UGM

Dalam rangka memeriahkan perayaan HUT berdirinya Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada yang ke 38 yang jatuh pada hari Jum’at tanggal 1 April 2011, PSPK UGM mengadakan kegiatan senam sehat. Kegiatan ini selain diikuti oleh jajaran pimpinan dan staf PSPK UGM, juga diikuti oleh para tamu undangan, yaitu para pegawai dari beberapa instansi dan unit kerja di lingkungan UGM yang kantornya berada di seputar kantor PSPK UGM.

Kegiatan senam sehat tersebut dilaksanakan sejak pukul 07.00 dan bertempat di halaman kantor PSPK UGM. Sebelum dilaksanakan, acara didahului dengan kata sambutan dari pimpinan PSPK UGM yang disampaikan oleh Drs. Suharman, M.Si, wakil kepala PSPK UGM. Dalam sambutannya, pak Harman menyampaikan ucapan terima kasih kepada para tamu yang telah sudi memenuhi undangan untuk hadir dalam kegiatan senam sehat yang diselenggarakan oleh PSPK UGM. Disamping itu, pak Harman juga menyampaikan secara singkat sejarah berdirinya PSPK UGM dan memohon doa semoga lembaga yang pada saat ini telah berusia 38 tahun itu dapat semakin berkembang.

Kegiatan senam sehat yang dihadiri oleh sekitar 150 orang tersebut berlangsung dengan meriah. Pada akhir acara panitia membagikan doorprize bagi para hadirin. Sebelum meninggalkan arena para peserta menikmati hidangan yang telah disediakan oleh panitia, yaitu jajan pasar dan aneka macam makanan tradisional khas Yogyakarta.

Energi Pedesaan: Akan Dibawa Kemana?

“Di era modern sekarang ini listrik padam satu jam merupakan hal yang wajar, namun bila padam sampai satu hari itu namanya kurang ajar. Demikianlah gerutu seorang teman mahasiswa yang dilontarkan sebagai ungkapan kekesalan mensikapi sering terjadinya pemadaman listrik oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang berlangsung dalam tempo yang relatif lama” ungkap penyaji membuka seminar bulanan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) pada hari Kamis, tanggal 10 Maret 2011. Seminar yang diselenggarakan pada sore hari, bertempat di ruang sidang kantor PSPK UGM, dan dihadiri oleh peserta dari kalangan akademisi, aktivis LSM dan masyarakat umum. Pada kesempatan tersebut menghadirkan seorang pakar energi, Ahmad Agus Setiawan, S.ST, M.Eng, PH.D, dosen jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, dengan moderator Drs. Suharman, M.Si, wakil kepala PSPK UGM. Topik yang dibahas pada seminar tersebut adalah “Energi Pedesaan: Akan Dibawa Kemana?”

“Keluhan terhadap masalah pasokan listrik yang tidak stabil/sering terjadi pemadaman bukan hanya berasal dari satu kalangan masyarakat saja tetapi berasal dari berbagai kalangan. Bukan hanya berasal dari mahasiswa atau akademisi yang memiliki sikap kritis dan merasa terganggu kegiatan belajar mereka akibat terjadinya pemadaman listrik, tetapi juga dari kalangan warga masyarakat biasa yang merasa terganggu aktivitas perekonomian mereka akibat kondisi tersebut. Bukan hanya berasal dari rumah tangga yang mengkonsumsi listrik untuk memenuhi kebutuhan domestik tetapi juga kalangan pengusaha yang mengkonsumsi listrik untuk melaksanakan kegiatan produktif. Bukan hanya dari kalangan masyarakat pedesaan dan kawasan terpencil yang jauh dari pusat pemerintahan, tetapi juga dari kalangan masyarakat perkotaan yang dekat dengan pusat pemerintahan republic ini. Singkat kata, semua pihak merasa dirugikan dengan kondisi tersebut” lanjut penyaji.

“Selain masalah energi listrik, akhir-akhir ini kita juga disuguhi dengan pemberitaan di berbagai media massa tentang kelangkaan BBM yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, serta kebingungan dari pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut” lontar mas Agus, alumni program doctoral dari Australia yang selain mengajar di almamaternya, juga sering menjadi konsultan berbagai program terkait dengan masalah energi yang di laksanakan oleh beberapa pihak, baik pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. “Melihat kenyataan ini mungkin timbul pertanyaan, mengapa bangsa Indonesia yang terkenal memiliki sumber daya alam yang berlimpah bisa mengalami krisis energi ?” lanjut penyaji.

Menurut penyaji, beberapa faktor yang dapat dipandang sebagai penyebab terjadinya krisis energi yang sering melanda negeri ini. Pertama, pertumbuhan tingkat kebutuhan energi di Indonesia yang tidak sebanding dengan kemampauan untuk menyediakannya. Peningkatan itu terjadi karena adanya pertambahan jumlah penduduk yang berlangsung terus menerus dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin mengandalkan sektor industri. Pertumbuhan penduduk mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah konsumen energi, dan pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada sektor industry membutuhkan pasokan energi listrik yang lebih banyak yang mengakibatkan terjadinya lonjakan kebutuhan energi di negeri ini. Kedua, pengelolaan sumber daya energi oleh negara yang belum optimal. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diserahi tugas untuk mengelola sumber daya energi, misalnya PLN dan Pertamina, belum dapat melaksanakan tugas yang diembannya dengan sebaik-baiknya. Ketiga, kebijakan negara-negara kapitalis yang memanfaatkan sumber daya energi dunia secara tidak adil. Mereka sering berlaku curang, mendorong negara lain untuk mengeksploitasi sumber energi yang dimiliki, namun menyembunyikan sumber daya energi yang dimiliki untuk cadangan di masa depan.

Kesulitan yang dialami oleh pemerintah untuk menyediakan energi yang dibutuhkan oleh rakyat akan terus berlanjut apabila pemerintah tidak melakukan kebijakan yang tepat, yang dapat segera menghilangkan sumber permasalahan utama yang menyebabkan terjadinya krisis energi. Apabila permasalahan krisis energi dinilai terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara jumlah pasokan energi dengan kebutuhan energi dalam negeri maka pemerintah harus berusaha keras untuk meningkatkan produksi energi. Apabila krisis energi dinilai terjadi karena pengelolaan sumber daya energi yang belum optimal oleh lembaga yang diserahi tugas melakukan pengelolaan sumber daya energi maka pemerintah harus menata ulang lembaga pengelola sumber daya energi tersebut, dan apabila krisis energi dinilai terjadi karena adanya ketimpangan dalam sistem pengelolaan sumber daya energi dunia maka pemerintah harus berani menentang sistem tersebut.

Sumber Energi Terbarui

Khusus terkait dengan krisis energi yang disebabkan oleh adanya ketimpangan antara jumlah pasokan energi dengan tingkat kebutuhan energi dalam negeri, maka pemerintah dapat menempuh kebijakan diversifikasi sumber energi dengan memanfaatkan berbagai potensi yang ada di negeri ini. Semua orang tahu bahwa negeri ini memiliki aneka macam sumber daya energi yang belum dikelola dengan baik. Sebagai contoh, negeri ini memiliki sumber daya angin, panas bumi, air mikro dan matahari yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik. Negeri ini juga memiliki beraneka macam tanaman yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan sumber energi biofuel/biodiesel yang dapat menjadi pengganti bahan bakar minyak yang semakin berkurang. Pemerintah harus mampu memanfaatkan semua potensi tersebut.

Bila dibandingkan dengan kalangan internasional, perhatian pemerintah Indonesia dalam upaya pemanfaatan sumber energi terbarukan masih relatif kurang. Di banyak negara telah dilaksanakan berbagai upaya, baik dalam tataran kebijakan maupun teknis, yang dapat mendukung upaya pemanfaatan sumber energi terbaru. Sementara di negeri ini, perhatian pemerintah masih terfokus pada upaya pengendalian harga BBM semata. “Pada tahun lalu pemerintah telah mencanangkan program desa mandiri energi di sebuah desa di Purwodadi, Jawa Tengah dengan melakukan penanaman tanaman jarak sebagai sumber bahan bakar alternatif, namun program tersebut tidak ada kelanjutannya sehingga malah menimbulkan kekecewaan warga masyarakat”, terang penyaji. Belum adanya perhatian pemerintah dalam upaya pengembangan sumber energi terbarukan juga dirasakan oleh kalangan akademi. Mereka telah berupaya untuk mengembangkan teknologi yang dapat dipergunakan untuk memanfaatkan sumber energi terbarukan yang ada di negeri ini, misalnya teknologi pembangkit listrik tenaga angin, panas bumi, mikro hidro, biogas, matahari dan juga teknologi pengolahan tumbuhan (jarak, nyamplung, dll) yang dapat menghasilkan biofuel, namun ketika ditawarkan kepada pemerintah, tidak ada perhatian, dengan alasan tidak ada investor yang tertarik.

Faktor lain yang juga menjadi penyebab lambanya upaya pemanfaatan sumber energy terbarukan di Indonesia adalah rendahnya partisipasi masyarakat. Banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memperkenalkan teknologi pemanfaatan sumber energi terbarui, namun tidak dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan. Selama LSM masih mendampingi masyarakat dalam pelaksanaan program pemanfaatan sumber energi terbaruhi, kegiatan tersebut dapat berjalan dengan baik, namun ketika LSM mengakhiri pendampingan, program tersebut berhenti. Masyarakat tidak mau melanjutkan program tersebut dengan berbagai alasan, misalnya keterbatasan biaya untuk melanjutkan program tersebut.

“Salah satu syarat agar program pemanfaatan sumber energy terbarukan dapat berjalan dengan baik adalah adanya perhatian serius dari pemerintah. Perhatian tersebut bukan hanya diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan berbagai kebijakan yang dapat mendukung upaya pemanfaatan sumber energy terbarukan, misalnya dengan penyediaan anggaran yang memadai untuk pembangunan sarana dan prasarana pendukung program, tetapi juga peningkatan kesadaran warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam program, khususnya dalam menjaga keberlanjutan program” kata penyaji sebelum seminar ditutup.*(dc)

Pendampingan bagi Warga Masyarakat Korban Bencana Erupsi Merapi

Letusan Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta pada akhir tahun 2010 pada saat ini sudah mereda, namun dampak yang ditimbulkan masih terasa sampai saat ini. Bukan hanya dampak jatuhnya korban nyawa dan kerusakan fisik (hancurnya rumah dan prasarana umum) yang ditimbulkan oleh bencana susulan yaitu banjir lahar dingin yang menerjang di sepanjang alur sungai yang berhulu di puncak Merapi, tapi juga terjadinya kerusakan alam termasuk lahan pertanian akibat timbunan abu vulkanik yang dilontarkan oleh gunung berapi saat terjadi erupsi.

Terjadinya kerusakan lahan pertanian di wilayah sekitar gunung merapi menyebabkan para petani tidak dapat lagi memanfaatkan lahan tersebut untuk melakukan kegiatan budidaya tanaman pangan, seperti pada saat sebelum terjadi bencana letusan Gunung Merapi. Permasalahan ini apabila dibiarkan saja akan sangat mengancam keberlangsungan hidup para petani karena mereka akan kehilangan sumber mata pencaharian yang selama ini mereka andalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Karena merasa ikut bertanggung jawab untuk membantu masyarakat memecahkan permasalahan yang dihadapi, PSPK UGM bekerja sama dengan berbagai donatur yang berasal dari dalam dan luar negeri melaksanakan kegiatan pendampingan bagi warga masyarakat korban bencana erupsi Merapi. Salah satu program pendampingan yang saat ini sedang dilaksanakan oleh PSPK UGM adalah pendampingan bagi petani untuk melakukan kegiatan budidaya pertanian di lahan pasir vulkanik. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan pembuatan demplot pertanian lahan pasir vulkanik di wilayah kecamatan Cangkringan, Sleman. Dengan melibatkan petani lokal sebagai pelaksana, para staf peneliti dari PSPK UGM memberikan bimbingan ilmu tentang budidaya pertanian di lahan pasir vulkanik. Selain itu, PSPK UGM juga memberikan bantuan bibit dan sarana pertanian lainnya. Pada saat ini lahan demplot pertanian lahan pasir vulkanik yang dibuat oleh PSPK UGM bersama petani lokal tersebut telah menampakkan kemajuan yang menggembirakan. Di atas lahan pasir vulkanik yang nampaknya tidak dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pertanian tersebut telah tumbuh subur tanaman kacang tanah dan kedelai. Diharapkan setelah melihat hasil dari demplot pertanian ini warga masyarakat petani yang sebelumnya takut untuk membudidayakan tanaman pertanian di lahan sawah yang telah berubah menjadi lahan pasir vulkanik, menjadi bersemangat lagi untuk memanfaatkan lahan yang ada.

Salah satu kunci keberhasilan demplot pertanian lahan pasir vulkanik untuk pembudidayaan tanaman pangan (kacang dan kedelai) menurut para pakar pertanian dari PSPK UGM adalah pemanfaatan pupuk kandang. Pupuk kandang merupakan faktor yang ikut menentukan keberhasilan pertanian di lahan pasir vulkanik. Pupuk kandang dengan dosis yang pas sangat dibutuhkan oleh tanaman yang dibudidayakan di lahan pertanian pasir vulkanik karena kandungan unsur hara di dalam lahan pasir vulkanik sangat minim. Oleh karena itu idealnya setiap petani yang membudidayakan tanaman pertanian di lahan pasir vulkanik juga memelihara ternak sebagai sumber pupuk kandang.

Kedepan keberhasilan program demplot pertanian lahan pasir vulkanik yang telah dirintis oleh PSPK UGM ini akan ditindaklanjuti dengan kegiatan pendampingan bagi para petani di wilayah lereng Merapi untuk membudidayakan tanaman pertanian di lahan masing-masing. PSPK bersama donatur yang berasal dari berbagai wilayah baik dalam dan luar negeri akan berusaha untuk memberikan bantuan kepada mereka, baik dalam hal ilmu budidaya pertanian di lahan pasir vulkanik maupun sarana dan prasaran pertanian yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut, termasuk bantuan yang berujud ternak yang akan dapat menjadi sumber pupuk kandang yang sangat dibutuhkan oleh para petani.

Anda tertarik dengan kegiatan ini dan ingin memberikan bantuan untuk kesuksesan kegiatan ini? Kami persilahkan anda untuk menghubungi kami. Semua bantuan yang anda sumbangkan akan kami kelola dengan baik demi tercapainya tujuan program yaitu pemulihan sumber penghidupan bagi para petani korban erupsi gunung Merapi. Kami tunggu partisipasi anda. (*dc)

Pendampingan Pengrajin Rambak di Klaten

Guna membantu memulihkan sumber penghidupan warga masyarakat korban Gempa Bumi di Desa Gesikan, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten, khususnya warga masyarakat yang menekuni kegiatan pembuatan krupuk rambak yang sempat terhenti akibat bencana gempa, PSPK UGM bekerja sama dengan YCAP (Yogya Central Java Community Assistance Program) melaksanakan sebuah program pendampingan. Program yang berlangsung sejak tahun 2008 tersebut mencakup beberapa jenis kegiatan, >baik yang bersifat fisik maupun penguatan kelembagaan. Program kegiatan yang bersifat fisik antara lain pemulihan tempat usaha/dapur yang memperhatikan aspek keselamatan kerja, pengadaan peralatan produksi, pengadaan modal kerja, peningkatan kualitas produk dan pemasaran. Sedangkan kegiatan penguatan kelembagaan berupa pembentukan dan pendampingan kelompok pengrajin rambak di desa Gesikan.

Kegiatan pembangunan tempat usaha dilaksanakan pada tahun pertama dan telah berhasil membangun 19 unit bangunan dapur yang memenuhi standar tahan gempa. Guna meminimalisir dampak negatif dari kegiatan usaha pembuatan krupuk rambak terhadap lingkungan, bangunan dapur tersebut dilengkapi dengan instalasi pengolahan air limbah. Kegiatan pengadaan peralatan produksi dilaksanakan dengan memberikan bantuan seperangkat alat kerja yaitu kompor, panci, wajan, alat penjemur, alat pengepan dll. Kegiatan pengadaan bahan baku dilaksanakan dengan memberikan sejumlah bahan baku yang diperlukan untuk membuat krupuk rambak, yaitu tepung terigu, tepung tapioca, minyak goring, dll. Kegiatan peningkatan kualitas produksi dilaksakan dengan melaksanakan pelatihan produksi yang mengutamakan aspek higienitas. Sedangkan kegiatan penguatan pasar dilaksanakan dengan perintisan pasar ke supermarket dan pasar di luar daerah.

Kegitan penguatan kelembagaan dilaksanakan dengan pembentukan kelompok pengrajin rambak di desa Gesikan. Pembentukan kelompok ini dirasa sangat diperlukan guna mengatasi beberapa masalah yang sering dialami oleh para pengrajin, antara lain kesulitan pengadaan bahan baku dan pemasaran akibat persaingan harga. Kesulitan dalam pengadaan bahan baku sering terjadi akibat adanya ketergantungan para pengrajin terhadap para pedagang bahan baku. Ketergantungan itu menyebabkan harga bahan sering berfluktuasi (naik) dan tidak dapat dijangkau oleh para pengrajin atau bahan sering langka/menghilang dari pasaran. Kesulitan pemasaran sering terjadi akibat adanya persaingan tidak sehat antar pengrajin. Guna menarik pelanggan banyak pengrajin yang menurunkan harga jual. Dengan adanya kelompok diharapkan kesulitan dalam pengadaan bahan baku dan pemasaran dapat diatasi. Langkah yang ditempuh oleh kelompok untuk memecahkan masalah kesulitan dalam pengadaan modal adalah dengan mengkoordinasikan pengadaan bahan baku bagi para pengrajin. Guna menekan harga maka kelompok memotong mata rantai distribusi bahan baku dengan cara membeli bahan baku langsung dari produsen. Kegiatan ini dapat berjalan dengan baik dan pada saat ini para pengrajin sudah tidak mengalami kesulitan dalam pengadaan bahan baku. Sedangkan langkah yang ditempuh kelompok untuk mengatasi masalah pemasaran adalah dengan membina kebersamaan antar pengrajin. Setiap bulan kelompok menyelenggarakan pertemuan anggota yang selain bermanfaat untuk membina kebersamaan antar anggota kelompok juga menjadi ajang musyawarah bagi anggota untuk mencari solusi atas berbagai masalah yang dihadapi oleh para pengrajin termasuk masalah pemasaran. Guna mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar pengrajin maka kelompok melalui pertemuan tersebut membuat kesepakatan bersama tentang harga jual produk. Guna meningkatkan peluang pasar kelompok bekerja sama dengan berbagai pihak menyelenggarakan kegiatan pameran hasil produksi.

Setelah berjalan hampir dua tahun kelompok pengrajin rambak di desa Gesikan yang pada mulanya hanya berbentuk paguyuban pada saat ini telah meningkat menjadi koperasi. Omset yang dimiliki telah berkembang pesat dan pelayanan yang diberikan juga telah bertambah, bukan hanya melayani pengadaan bahan baku tapi juga memberikan fasilitas kredit produktif bagi para anggotanya.*(dc)

Desaku yang Tak Permai Lagi (Kampung Ahmadiyah dalam Kepungan Kekerasan)

Oleh: Drs. Mochamad Sodik, S.Sos, M.Si.

Minggu berdarah (6-2-2011) di Cikeusik Banten yang menimpa warga Ahmadiyah sebenarnya adalah ledakan bom waktu, yang sudah didahului dengan serentetan peristiwa kekerasan di banyak daerah. Warga Ahmadiyah sudah mengalami ratusan kali intimidasi dan perlakuan kekerasan. Tragedi Cikeusik yang menewaskan tiga warga Ahmadiyah merupakan puncak dari safari intimidasi yang semoga merupakan lembaran buram yang terakhir dalam sejarah persekusi di Indonesia.

Serangkaian kekerasan terhadap Ahmadiyah dilakukan oleh sekelompok orang secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Tiga jenis kekerasan yang disebut oleh Ignas Kleden (2001) sebagai kekerasan fisik, struktural, dan kultural hadir di sana.

Sejumlah kampung Ahmadiyah yang dulu permai dan damai, kini tak lagi, seiring dengan minimnya ketegasan aparat keamanan dan absennya penegakan hukum serta hadirnya fundamentalisme Islam trans-nasional.

A. Kasus Kekerasan di Kampung Manislor

Manislor merupakan enclave Jemaat Ahmadiyah Qodian yang sangat populer di kalangan internal Ahmadiyah maupun dalam liputan media. Manislor merupakan sebuah desa di Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Di wilayah ini mayoritas penduduk menjadi pengikut Ahmadiyah dan kepala desanya dijabat oleh aktivis Ahmadiyah.

1. Kekerasan Kultural-Psikologis

Tipe a. Fatwa MUI

Tafsir kebencian menjadi model fatwa MUI, baik MUI tingkat Pusat maupun MUI Daerah, sebagaimana ditunjukkan oleh Fatwa MUI Kuningan No. 86/MUI-KFH/X/2004 tentang pelarangan Ahmadiyah. Fatwa ini dijadikan argumen oleh sebagian kelompok Islam untuk menyikapi keberadaan Ahmadiyah, yang seringkali dengan cara kekerasan.

Tipe b. Seruan dan Penegasan Terbuka kepada Ahmadiyah

Penegasan terakhir (11 Desember 2007) yang  suratnya ditujukan kepada Kajati Kuningan/Ketua PAKEM Kabupaten Kuningan, yang isinya antara lain:
1.Hentikan segera seluruh kegiatan Ahmadiyah sebelum Hari Raya Idhul Adha 1428 H.
2.Tutup/segel seluruh tempat kegiatan Ahmadiyah (1 masjid, 7 mushola, 1 Gedung Pertemuan, 1 rumah dinas, dan 1 tempat pengkaderan/pendidikan SMP Amal Bakti) serta berlakukan sanksi hukum.
3.Bongkar atau musnahkan seluruh tempat kegiatan Ahmadiyah apabila melanggar nomor 2.

Tipe c. Baliho Permanen Gerbang Utama Desa

Pada awalnya, ketika peneliti memasuki desa Manislor pada tahun 2006, hanya ada satu baliho (bagian atas) yang terpampang dengan tulisan “Melarang Ajaran dan Kegiatan Ahmadiyah di Wilayah Kabupaten Kuningan”.

Setahun berikutnya (2007), bersamaan dengan ramainya kasus Ahmadiyah dan membesarnya arus pembelaan Ahmadiyah, muncul satu baliho lagi (bagian bawah) dengan tulisan “Ahmadiyah Mutlak Bukan Islam, Ajarannya Sesat dan Merusak Islam, Orang Islam Mendukung Ahmadiyah = Murtad”. Atas desakan aparat keamanan, baliho tersebut diturunkan pada tahun 2008, pasca SKB 3 Menteri.

2. Kekerasan Struktural: Kebijakan Diskriminatif

SKB Pemda Kuningan tahun 2002 mengenai pelarangan Ahmadiyah berimplikasi pada pelarang pencatatan menikah bagi warga Ahmadiyah di Kantor Urusan Agama (KUA) wilayah Kabupaten Kuningan. Jika jemaat ingin melangsungkan pernikahan, mereka harus ke luar dari daerah Kuningan. Warga Ahmadiyah pada umumnya memilih KUA wilayah Cirebon untuk melangsungkan pernikahan mereka. Selain itu, mereka juga memilih wilayah lain yang dirasakan aman, seperti Jakarta, Bekasi, dan Tangerang.

3. Kekerasan Fisik: Perusakan dan Pembakaran Masjid, dan Penganiayaan

Sejumlah masjid/mushola dirusak dan dilempari batu oleh kelompok penyerang. Sebuah mushola telah dibakar massa, sekarang tinggal puing-puingnya saja.

Seiring dengan kejadian perusakan, 1 warga Ahmadiyah mengalami luka berat (terkena tusukan pisau) dan 6 warga luka ringan. Dalam penuturannya, korban tidak mengenal identitas pelaku karena mereka berasal dari luar daerah.

Kejadian tersebut merupakan “satu episode” dari serangkaian episode kekerasan yang dialami oleh warga Ahmadiyah. Mereka mengalami apa yang disebut Barkan dan Snowden (2001) sebagai collective violence.

B. Akar Masalah

Kita dapat meyebut teologi intoleransi merupakan akar masalah utama dari serangkaian kekerasan yang menimpa kelompok minoritas seperti Ahmadiyah. Teologi intoleransi beroperasi dalam beberapa tingkat. Pertama, pembentukan pengetahuan tentang pemahaman bahwa tafsir agamanya yang paling benar, sementara yang lain adalah sesat dan menyesatkan. Di sini awal mula munculnya tafsir kebencian. Kedua, sikap hidup yang merasa paling benar sendiri di hadapan Tuhan, dengan memandang yang lain sebagai lawan. Pada taraf ini, aturan negara seringkali dinomor sekiankan. Ketiga, penyerangan terhadap kelompok yang tidak sepaham merupakan pilihan yang dapat ditempuh. Pada tingkat ini konsep jihad secara fisik terhadap pihak lawan dipandang sebagai jalan suci. 

Teologi intoleransi dapat bersifat pasif dan aktif. Intoleransi pasif pada umumnya hanya berhenti pada tafsir kebencian, tidak lebih dari itu. Bersifat pasif, karena ia berhenti ketika ada rambu-rambu aturan negara yang mesti ditaati. Intoleransi pasif dapat bergerak menjadi aktif jika ada dorongan terus menerus dari luar dirinya seiring dengan menurunnya kepercayaan umat terhadap aparatus dan institusi negara.

Teologi intoleransi sangat mudah ditumpangi oleh beragam kepentingan, baik politk maupun ekonomi. Bagaikan api, tinggal menyiramkan bensin di atasnya. Pada saat yang sama, aparatus negara terlambat mengantisipasi keadaan, bahkan terkesan ada pembiayaran.

Lemahnya saling kepercayaan sosial dan tingkat kesenjangan ekonomi yang semakin lebar menjadi taman persemaian bagi tumbuhnya teologi intoleransi. Absennya penegakan hukum menjadi pupuk penyuburnya. Lengkap sudah sejumlah prasyarat bagi pertumbuhan teologi intoleransi di negeri ini.

Sejumlah peristiwa kekerasan yang terjadi sebelumnya, baik di tempat yang sama maupun tempat lainnya, tidak menjadi pelajaran yang berarti. Nyawa dan harta benda kelompok minoritas seakan tak berharga. Jika peritiwa berdarah terjadi, maka korban yang justru seringkali disalahkan. Aparatus negara terjebak dalam logika kuasa umat mayoritas, sehingga cenderung menyalahkan minoritas yang menjadi korban kekerasan. Inilah victimisasi sistemik: korban jatuh tertimpa tangga dan tertusuk paku pula.

Dalam kepungan kekerasan semacam itu, warga Ahmadiyah lebih memilih jalan damai, silaturahmi, dan advokasi untuk mempertahankan eksistensi mereka. Selebihnya, mereka berdo’a: Allahummahdi qaumii fainnahum laa ya’lamuun” (Ya Allah berilah petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka belum mengerti).

C. Sikap Kita?

Kita perlu merumuskan sikap tegas terhadap keberadaan Ahmadiyah. Pertama, kita sebagai warga negara yang taat hukum harus memandang warga Ahmadiyah sebagai bagian dari warga negara Indonesia. Hukum negara yang seharusnya mengatur tentang keberadaan Ahmadiyah, bukan hukum agama. Kedua, sebagai umat manusia yang beradab, kita memandang wilayah teologi merupakan wilayah hati nurani manusia yang tidak dapat tunduk oleh kekuatan eksternal ataupun paksaan pihak manapun. Pilihan opsi untuk pembubaran Ahamadiyah atau memaksa mereka menbentuk agama baru dapat menabrak hak dasar warga negara Indonesia yang dijamin oleh konstitusi. Ketiga, segenap aparatus negara wajib melakukan pencegahan dini terhadap setiap gelagat yang mengarah kepada tindak kekerasan. Keempat, penegakan hukum secara adil dan beradab harus diterapkan kepada siapapun. Kelima, bagi umat Islam yang menganggap Ahmadiyah sebagai aliran sesat, adalah tugasnya untuk mengingatkan dengan penuh hikmah, santun, dialogis, dan dalam suasana kedamaian. Keenam, jika warga Ahmadiyah tetap memilih jalan yang diyakininya, anggap saja mereka tersesat di jalan yang benar. Wallahu a’lam bish-shawab.

Kekerasan Sosial dan Implikasinya terhadap Masyarakat Pedesaan

“Konflik berdarah yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia akhir-akhir ini, yaitu konflik antar umat beragama di Pandegelang dan Temanggung, menunjukkan pada kita semua betapa rentannya masyarakat Indonesia jatuh dalam tindak kekerasan yang berujung pada perilaku anarkis. Hanya karena perbedaan keyakinan seorang warga masyarakat rela menganiaya bahkan sampai menghilangkan nyawa sesama. Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan di hati kita mengapa bangsa yang sejak lama telah dikenal sebagai bangsa yang ramah dan penuh toleransi mendadak berubah menjadi bangsa yang lebih mengedepankan kekuatan otot dibandingkan kekuatan otak untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya” demikian pernyataan penyaji dalam seminar bulanan yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK UGM) pada hari Kamis tanggal 17 Februari 2011. Seminar yang telah menjadi tradisi setiap bulan itu, pada kesempatan tersebut menampilkan seorang pembicara, Mochammad Sodik staf pengajar dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga yang pada saat ini sedang menempuh studi S3 di UGM, dengan moderator Prof. Susetiawan peneliti senior PSPK UGM. Topik yang dibahas dalam seminar sore tersebut adalah “Kekerasan Sosial dan Implikasinya terhadap Masyarakat Pedesaan.”

Khusus berkaitan dengan kasus kekerasan yang menimpa jemaat Ahmadiah di Cikeusik Pandeglang yang telah menimbulkan jatuhnya korban nyawa beberapa hari yang lalu, penyaji berpendapat bahwa peristiwa tersebut merupakan klimak dari serangkaian konflik yang terjadi antara umat Islam di Indonesia dengan Jemaat Ahmadiah. Selama kurun waktu satu dekade terakhir, tercatat telah terjadi lebih dari 10 kasus kekerasan yang menimpa anggota jemaat Ahmadiah di Indonesia. Dari kasus-kasus tersebut hanya kasus terakhir yang menimbulkan jatuhnya korban nyawa, beberapa kasus sebelumya hanya menimbulkan korban material yaitu hancurnya rumah dan barang milik warga jemaat Ahmadiah.

Bila menilik pada sejarah, Jemaat Ahmadiah Indonesia telah berdiri sejak tahun 1924 jauh mendahului berdirinya organisasi massa Islam lainnya seperti NU dan Muhammadiah. Selama lebih dari lima dekade anggota Jemaah Ahmadiah dapat hidup damai bersama dengan warga negara Indonesia lainnya. Bahkan berdasarkan catatan sejarah ada beberapa pengikut organisasi tersebut yang telah ikut berjasa mendirikan republik ini. Salah satu pengikut Ahmadiah yang tampil dipanggung politik nasional adalah WR Supratman. Seorang tokoh yang telah berjasa menggubah lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya. Namun memasuki dekade terakhir kedamaian hidup jemaat Ahmadiah mulai terusik, karena kerukunan di antara pemeluk agama mulai terusik.

Ada beberapa pendapat berkaitan dengan fenomena terjadinya konflik antara Jemaah Ahmadiah dengan umat Islam yang pecah dalam kurun waktu satu decade terakhir. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sebenarnya konflik antara jemaat Ahmadiah dengan umat Islam telah ada sejak lama. Namun di era orde lama dan orde baru konflik tersebut tidak termanifestasi akibat kuatnya control penguasa pada masa tersebut. Namun di masa reformasi dimana kekebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat semakin terjamin, konflik yang sebelumnya hanya bersifat laten mendapat ruang untuk termanifestasi dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pendapat lain menyatakan bahwa konflik tersebut terjadi karena berkembang dan maraknya kehidupan keberagamaan, khususnya umat Islam di Indonesia yang berdasarkan pada tafsir intoleransi/kebencian pada kelompok lain. Tafsir ini menumbuhkan sikap di kalangan pemeluk agama untuk membenci adanya perbedaan. Setiap orang atau kelompok yang berbeda dengan dirinya atau kelompoknya adalah sesat sehingga merupakan musuh yang harus dilenyapkan dari muka bumi. Pendapat ketiga menyatakan bahwa konflik horizontal yang terjadi antara umat Islam dengan jemaah Ahmadiah merupakan konflik yang terjadi karena direkayasa atau diciptakan oleh pihak ketiga. Pihak tersebut berusaha untuk menarik keuntungan dari setiap konflik yang terjadi.

Apapun alasan yang menjadi penyebab terjadinya konflik horizontal antara pemeluk agama di Indonesia, yang pasti konflik tersebut telah meluluhlantakkan kerukunan hidup antar pemeluk agama yang selama ini telah diperjuangkan untuk dapat tercipta dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Konflik antar pemeluk agama bukan hanya menghianati cita-cita luhur bangsa Indonesia yang telah dirumuskan dalam konstitusi, tetapi juga telah menghianati amanat yang diberikan Tuhan kepada manusia, yaitu untuk hidup damai dengan sesama. Untuk mencegah agar di masa depan kehidupan bangsa Indonesia tidak dihiasi lagi dengan konflik SARA, khususnya konflik yang terjadi akibat adanya perbedaan keyakinan, maka salah satu upaya yang harus ditempuh oleh bangsa Indonesia adalah penanaman sikap toleransi kepada seluruh anak bangsa. Tumbuhnya sikap toleransi terhadap perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat akan mengikis sikap kebencian pada orang yang berbeda dengan dirinya atau kelompoknya. Penghargaan terhadap adanya perbedaan akan menutup ruang bagi terciptanya tindak kekerasan pada orang lain, bahkan ketika ada pihak ketiga yang mencoba memproduksi tindak kekerasan/anarkisme di antara warga masyarakat.

Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk menumbuhkan sikap penghargaan/toleransi pada perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat adalah dengan memasukan materi tentang toleransi ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah. Melalui upaya pengenalan nilai toleransi sejak dini kepada anak-anak diharapkan setelah dewasa mereka menjadi orang yang menghargai adanya perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat, khususnya perbedaan agama dan keyakinan. “Mudah-mudahan konflik yang terjadi di Cikeusik Pandegelang dan Temanggung menjadi konflik yang terakhir di bumi Indonesia..amin” doa penyaji sebelum seminar sore tersebut ditutup. *(dc)

Desa dalam Kekuasaan Supra Desa: Pembangunan di Desa vs Pembangunan Desa

Oleh: Sudir Santoso (Ketua Presidium Parade Nusantara)

“Desaku yang kucinta, pujaan hatiku. Tempat ayah dan bunda, dan handai taulanku..” adalah sepotong syair yang melukiskan bagai orang memandang desa, dengan cara pandang yang romantis. Kenyataannya bagi orang desa sendiri, desa tentu saja tidaklah seromantis itu. Sebagai mantan kepala desa, saya justru merasakan bahwa desa sesungguhnya telah lama tidak menjadi dirinya sendiri (baca: otonom), melainkan desa hanyalah imaginasi dari berbagal pihak yang merupakan supra desa. Mereka adalah pemerintah pusat, para pengusaha, tengkulak, bupati, camat, mungkin juga LSM, dan lain‑lain.

Pemerintah Pusat pada masa orde baru merasa terancam dengan desa sebagai wilayah politik yang dinamis, tempat pertarungan riil dari kepentingan ekonomi secara riil oleh kaum tani/buruh tani, serta pertarungan demokrasi oleh partai‑partai politik. Lalu mereka berimajinasi bahwa stabilitas ekonomi dan politik versi orde baru hanya dapat dilakukan jika desa berhasil ditundukkan. Maka keluarlah UU No 5 Tahun 1979 tentang Desa, yang sesungguhnya berisi kontrol negara sepenuhnya kepada desa. Desa ada di dalam genggaman Camat dan juga Bupati. Partai-partai menyingkir dari desa, kecuali tentu saja Golkar, lalu diperkuat dengan Babinsa. Semua aktivitas di Desa berada sepenuhnya di tangan supra desa tersebut. Urusan pertanian yang menjadi aktivitas sehari‑hari masyarakat desa dikontrol, benih yang akan ditanam, pupuk yang digunakan semua dikontrol oleh aparatur negara dengan segala jenisnya. Bahkan urusan reproduksi masyarakat desa pun menjadi urusan ‘negara’, misalnya dalam program KB.

Kepala Desa menjadi figur sentral di desa, budaya patronase dikukuhkan untuk menguatkan sentralisme kekuasaan kepala desa. Semua akses terkumpul melalui kepala desa, sebab kepala desa adalah jembatan yang memfasilitasi semua kepentingan supra desa di desa.

Namun yang perlu disadari bahwa kekuasaan di desa yang dianggap berpusat di tangan kepala desa sesungguhnya hanyalah pseduo (semu), sebab kekuasaan tersebut hanyalah perpanjangan tangan aparatur negara di atasnya. Kepala Desa pun menjadi pion bagi kekuasaan untuk melegitimasi segala sesuatu yang dikehendaki para aktor pemegang kekuasaan di atasnya. Hari‑hari kepala desa sibuk untuk menyelamatkan dirinya dari kemarahan kekuasaan aparatur di atasnya, maka benar tulisan Hans Antlov “Negara dalam Desa” yang melukiskan aktivitas kesibukan Pak Kades, bukan mengurus warga di desa melainkan sibuk mondar‑mandir ke kecamatan atau kabupaten. Pak Kades pun memfasilitasi semua kepentingan supra desa di desa, tanda tangan tanpa banyak protes untuk pendirian pabrik, perkebunan, dan lain‑lain, semua atas nama kepatuhan kepada negara. Demikianlah orde baru menundukkan desa, kita menyebutnya sebagai Hegemoni.

Perubahan politik 1998, membawa angin segar di desa, dengan harapan di desa segera ada perubahan. Dan sekali lagi supra desa berimajinasi bahwa demokratisasi di desa perlu ditumbuhkan kembali, sebagal upaya untuk mengembalikan kepasitas politik rakyat desa dan mendorong pemerataan distribusi sumber‑sumber ekonomi desa kepada masyarakat agar tak mengumpulkan pada segolongan kecil di desa. Oleh karena itu, disusunlah UU No 22 Tahun 1999 yang mencabut UU No 5 Tahun 1979 tentang desa. Dalam imaginasi supra desa, demokratisasi dapat dijalankan jika ada sharing kekuasaan antara kepala desa dengan Badan Perwakilan Desa.

Rupanya gagasan itu tak bertahan lama, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengembalikan peran Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan Desa. Namun itu tidak berarti dengan serta‑merta kekuasaan di desa kembali terpusat kepada Kepala Desa. Negara rupanya masih mau mencuri kembali kekuasaan di desa, dengan menyisipkan pasal mengenai Sekretaris Desa diangkat menjadi PNS, dengan harapan negara masih mengambil kontrol atas adminitrasi desa ketika Sekdes menjadi perpanjangan tangan birokrasi. Apa Yang terjadi kemudian? Pasal ini memancing prahara lebih besar di desa. Kini beramai‑ramai perangkat desa lainnya menginginkan menjadi PNS. Harapannya tidak lain dan tidak bukan adalah jaminan kesejahteraan bagi perangkat desa.

Demikianlah, saya ingin mengatakan bahwa sesungguhnya segala keributan, keramaian yang terjadi di desa, adalah disebabkan karena imaginasi pihak‑pihak di luar desa. Yang selalu menganggu pikiran kami adalah mengapa mereka tidak bertanya kepada kami, kepada desa sendiri tentang imajinasi rakyat desa mengenai diri kami sendiri. Pertanyaan terbaru kami belakangan ini adalah apa imaginasi baru supra desa dalam hal ini pemerintah pusat kepada desa kali ini?

Kapasitas Yang Hilang Di Desa

Harus disadari bersama bahwa dengan datangnya perubahan, tidak serta merta kita bisa kembali ke romantisme masa lalu mengenai desa yang indah “tata titi tenteram kerta raharja“. Kenyataannya selama 32 tahun lebih selama Orde Baru berlangsung telah menghilangkan banyak kapasitas desa. Bahkan ketika otonomi daerah yang diterjemahkan dengan penguatan desentralisasi di kabupaten selama 10 tahunan ini, tidak serta‑merta dapat membangkitkan repolitisasi pedesaan yang berimplikasi pada redistribusi akses para pelaku‑pelaku di pedesaan.

Berikut ini adalah kapasitas‑kapasitas desa yang hilang selama kurun waktu Orba hingga kini: Pertama, rakyat desa kehilangan kapasitas politiknya. Ketika selama 32 tahun lebih segala organisasi yang ada di desa, baik pemuda, organisasi tani, bahkan organsiasi ibu‑ibu adalah bentukan negara, yang segala aktivitas organisasi wajib dilaporkan kepada negara. Tidak dengan serta‑merta kita dapat menumbuhkan organisasi baru dengan semangat baru dan pola organisasi yang lebih demokratis. Kenyataannya kemampuan rakyat berorganisasi telah lama memudar. Rakyat desa jelas‑jelas kehilangan kapasitasnya dalam berpotitik, mereka tidak sepenuhnya memahami cara dan mekanisme untuk melakukan tawar‑menawar bagi kepentingan aspirasinya secara sehat. Juga ditambah dengan kekecewaan berturut‑turut masyarakat desa dalam setiap kali pemilihan (legislatif, bupati, dll) yang biasanya melupakan janji mereka kepada rakyat usai dipilih.

Kedua, Aparatur Desa (Pemerintah desa) pun kehilangan kemampuannya di dalam menyelenggarakan pembangunan di desanya sendiri. Semua pembangunan infrastruktur diselenggarakan oleh pemerintah, dulu ketika Orba tentu dengan bantuan ABRI, kini pembangunan infrastruktur diserahkan kepada pelaksana proyek yang memenangkan tender pembangunan Infrastruktur.

Ketiga, desa (pemerintah desa) kehiliangan kemampuannya mengurus tata produksi desa. Bila dulu di setiap perdesaan Jawa, ulu‑ulu memegang peranan besar mengatur pengairan bagi pertanian warga, kini tidak lagi. Bila dulu di hampir setiap desa terdapat lumbung desa yang berfungsi menjaga stabilitas harga produk pertanian dan sebagai cadangan kebutuhan desa, kenyataannya sudah sangat lama lumbung desa menghilang, harga produk tak dapat dikontrol dan terus‑menerus jatuh apabila musim panen, desa‑desa kelaparan selama musim‑musim buruk yang menyebabkan gagal panen. Bila mana kita perhatikan, setiap selesai panen, di pinggir‑pinggir sawah para petani, pasti sudah standby di sana para tengkulak yang siap membeli hasil panen petani dengan harga rendah. Bulog terlalu jauh, petani tak mampu mengaksesnya, transportasi ke pasar jauh dan mahal, petani pun tak mampu menjangkaunya. Lembaga Desa tidak memfasilitasi urusan‑urusan tata produksi petani di desanya, malah kini bahkan lebih memalukan lagi, urusan kepala desa menjadi sekedar penyalur raskin, itu pun sering diprotes warga.

Keempat, lembaga desa kehilangan kapasitas penyelenggaraan layanan publik di desa. Bayangkan saat ini KTP saja sudah diambil menjadi urusan kabupaten, yang itu semakin menjauhkan akses rakyat desa terhadap urusan administrasi identitas yang sangat mendasar.

Fakta‑fakta tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya yang sedang terjadi selama ini adalah pembangunan di desa oleh supra desa, dengan menghilangkan kapasitas desa dalam membangun dirinya sendiri.

Persoalan‑persoalan di atas disebabkan sebab utamanya adalah karena minimnya alokasi anggaran untuk desa. Sekarang mari kita bayangkan bagaimana seorang kepala desa harus menjalankan pemerintahan desa yang meliputi banyak aspek dan layanan umum sampai tata produksi desa dan lain sebagainya, jika penerimaan di desa hanya terbatas. Sebagai gambaran adalah kondisi desa di Batang, Jateng sebagai berikut: desa menerima ADD per desa rata‑rata Rp 53 juta/tahun atau maksimal Rp 65 juta/tahun. Dana tersebut hanya dapat digunakan setelah diputuskan dalam Perdes mengenai penggunaan anggaran desa dan disesuaikan dengan Perda Kabupaten Batang. Dana tersebut digunakan untuk alokasi operasional rutin pemerintahan desa berupa ATK, administrasi desa, uang jalan, pemeliharaan inventaris desa seperti motor dan lain-lainnya, gaji kepala desa (rata‑rata Rp 500.000/bulan), gaji perangkat desa (rata‑rata Rp 200.000/bulan), LPMD, kegiatan karang taruna, honor guru TK, honor guru ngaji, dan pembangunan. Selain itu desa dapat saja mendapatkan dana stimulan dengan catatan kepala desanya harus pintar‑pintar me-lobby DPRD, besarnya bisa 5 juta sampai dengan 10 juta rupiah/tahun. Untuk pembangunan fisik seorang kepala desa harus menyusun proposal dan me-lobby dinas PU dan jikalau dapat me-lobby Bapermas (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, di tingkat propinsi).

Untuk kesejahteraan kepala desa dan perangkat desa, di pedesaan Jawa terdapat tanah bengkok desa, dengan catatan bahwa tak semua desa memiliki bengkok desa dan jikalau ada, luasannya sangat bervariasi. Di Batang, Jateng, bengkok desa bisa antara 2, 3 sampai dengan 5 ha bagi kepala desa maupun perangkatnya, luasnya variatif, juga kondisinya belum tentu di lahan yang subur.

Dengan gambaran riil sebagaimana disampaikan di atas, mari kita bayangkan bagaimana pemerintah desa dapat memiliki kapasitas menyelenggarakan pembangunan desa? Sangat mungkin pemerintah desa kehilangan kemampuannya untuk menjamin penyelenggaraan layanan umum mendasar dengan baik, apalagi kemampuannya menata tata produksi desa untuk berhadapan dengan para tengkulak yang memeras petani.

1 Milyar 1 Desa, 1 Undang‑undang tentang Desa

Kenyataan menunjukkan bahwa energi (sumber‑sumber ekonomi) desa diserap langsung tidak langsung secara terus‑menerus oleh pemerintah. Pajak PBB, pajak dalam setiap barang industri yang dibeli rakyat desa, sumber daya seperti hutan, lahan perkebunan dan tambang, baik yang diambil negara atau pengusaha sesungguhnya adalah energi ekonomi rakyat desa yang dibawa ke atas. Namun sebaliknya desa hanya mendapatkan setetes dana dari atas yang dikembalikan kepada rakyat desa untuk penyelenggaraan pembangunan desa.

Bisa dimengerti jika kemudian perangkat desa memilih menjadi PNS menyusul Sekdes yang telah diangkat sebelumnya menjadi PNS. Namun apakah kita hendak menuruti sekedar permintaan sebagian kecil elemen di desa (perangkat desa) sebagai gula‑gula, tetapi membiarkan sebagian terbesar masyarakat di desa dalam pemiskinan yang terus‑menerus. Ataukah kita mau berpikir dan memperjuangkan nasib semua warga desa, termasuk rakyat miskin di desa, petani, buruh tani, pemuda/pemudi desa, perangkat, dan kepala desa.

Persoalan desa yang mendasar adalah dana desa yang cukup signifikan, yang secara realistis mampu menumbuhkan daya hidup rakyat pedesaan. Bila negara memberikan alokasi anggaran desa 10% dari APBN, atau misal 1 desa 1 milyar per tahun, maka desa akan memiliki dana yang cukup, untuk menyelenggarakan pembangunan yang diperlukan oleh rakyat desa. Inislatif desa dapat ditumbuhkan kembali, tata produksi desa dapat dimaksimalkan kembali jika segala sarana infrastruktur pertanian yang dibutuhkan petani dapat dipenuhi oleh pemerintah desa tanpa harus menunggu cairnya proposal yang sebagaimana kita ketahui sering memakan waktu bertahun-tahun itu. Pasar‑pasar desa dapat kita tumbuhkan, dapat diperdekat aksesnya dengan petani, sehingga kita dapat memotong rantai perdagangan sehingga dapat membatasi peran para tengkulak. Bahkan layanan kredit untuk pembiayaan usaha rakyat desa dapat difasilitasi tanpa bunga yang tinggi dan persyaratan administrasi yang menyulitkan rakyat desa. Pemerintah desa pun dapat membangun sistem layanan umum mendasar yang dapat dengan mudah dan cepat diakses rakyat desa.

Menyadari pentingnya transparansi dan akuntabilitas, dan memahami bahwa desa masih harus belajar untuk membangkitkan kembali kapasitasnya membangun by desa sendiri, maka anggaran sebesar itu dapat diletakkan di kabupaten. Desa harus mematuhi mekanisme prosedur dalam mengambil dana dan melaporkan penggunaannya. Kabupaten dapat memberikan asistensi terhadap desa dalam melaksanakan program pembangunan desa dari dana tersebut.

Bilamana gagasan di atas dapat dipenuhi, maka saya yakin yang terjadi berikutnya adalah pembangunan di desa oleh orang desa. Bukan lagi pembangunan di desa oleh supra desa. Persoalan‑persoalan yang berkaitan dengan kebutuhan pragmatis aparatur desa, pasti dengan sendirinya juga dapat diselesaikan. Dengan demikian, sesungguhnya kami hendak membawa arah perjuangan mengenai desa ini bagi kepentingan seluruh elemen yang ada di desa, bukan memperjuangkan sebagian kecil dari elemen desa. Jika desa dapat dikembalikan pada daya hidupnya, maka Parade Nusantara yakin pembangunan negeri ini juga dapat ditopang oleh kemampuan rakyatnya sendiri. Sebagaimana pepatah Jawa : “desa tata, mbangun kutho.”

Tantangannya adalah kemauan negara dalam hal ini Pemerintah Pusat untuk sungguh-sungguh membangun dari bawah, bukan sekedar memberi gula‑gula pada desa.

Selanjutnya, sebagaimana disampaikan di paragraf awal makalah ini, bahwa pasca perubahan 1998, UU No 5 Tahun 1979 tidak diberlakukan kembali, dan sebagai gantinya disusun UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan selanjutnya diubah kembali dengan UU No 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dua UU yang disusun pasca Orba tersebut ternyata hanya menaruh sedikit perhatian kepada Desa. Secara keseluruhan mengenai desa dimuat dalam UU NO 22 tahun 1999, dalam pasal 93 sd 111 atau 8 pasal dari 134 pasal. Sementara UU No 32 Tahun 2004, Desa dimuat dalam pasal 200 sampai dengan pasal 216, atau 16 pasal dari 240 pasal.

Dari segi kuantitatif saja, nampak sekali bahwa desa terlihat kecil dari kacamata negara (pemerintah pusat). UU tersebut juga lebih sibuk mengatur mengenai kelembagaan pemerintahan desa yaitu kepala desa dan Badan Perwakilan Desa (UU No 22/1999) atau kepala desa dengan Badan Permusyawaratan Desa (UU No 32/2004), masa jabatan kepala desa 10 tahun atau 2 kali masa jabatan 5 tahun (UU No 22/1999) atau 6 tahun dan dapat dipillh satu kali lagi (UU No 32/2004), Sekdes jadi PNS (UU No 32 / 2004), atau menyelipkan hubungan kerjasama antar desa dalam UU No 22 Tahun 1999, dengan kerjasama desa dengan pihak ketiga dalam UU No 32 Tahun 2004. Sementara mengenai political will pemerintah pusat di dalam menyerahkan otonomi desa, kekuasaan desa mengelola sumber daya desa, alokasi dana desa yang cukup untuk sungguh-sungguh membangun desa, tidak dimuat eksplisit dalam UU.

UU No 32 Tahun 2004 bahkan lebih sibuk mengatur detail persoalan Pilkada dibanding memasukkan ketentuan‑ketentuan mengenai desa. Desa diserahkan dalam kekuasaan eksekutif semata, melalui pengaturan dalam Peraturan Pemerintah (PP No 72 tahun 2005). Artinya bahwa desa dianggap bukan wilayah strategis bagi partai politik pula. Padahal desa adalah lumbung suara bagi semua partai politik. Hal ini perlu disadari oleh semua elite politik di negeri ini. Kondisi ini menunjukkan bahwa semua partai politik lalai bahwa potensi pemenangan dirinya ada pada kemampuan mereka merepolitisasi kembali wilayah pedesaan untuk kemenangannya. Harusnya sekarang inilah saatnya semua partai politik di DPR merasa berkepentingan pada pembahasan RUU mengenai Desa.

(Pahit) Pangan Pemicu Inflasi

Oleh: Moch. Maksum Machfoedz

Hari-hari ini mewabah pemberitaan tentang inflasi dalam headline beberapa media. Antara lain: beras dan cabai sumber inflasi, cabai memicu inflasi di Jakarta dan sebagainya. Tidak salah bahwa telah beberapa lama negara ini terseok-seok dalam mengendalikan inflasi yang katanya dipicu oleh kenaikan harga beberapa komoditas pangan yang akhir-akhir ini terjadi.

Kejadian pertama, ditunjukkan oleh gagalnya pengendalian harga beras sejak Agustus 2010 karena operasi pasar (OP) yang mandul total dan tidak pemah beres. Menjelang tutup tahun, Desember 2010, kinerja OP beras nampak agak memadai setelah adanya keputusan nekat: importasi beras. Itupun masih pula disertai dengan manipulasi pasar yang aman-aman saja dalam memanfaatkan marjin harga antara harga OP dan harga pasar normal.

Kejadian kedua, adalah munculnya tanda-tanda bahwa pasok gula kristal putih (GKP) dalam negeri mulai menipis dan cenderung berwatak inflationary, diramalkan akan menjadi sumber inflasi. Oleh karena itu, muncullah kemudian gagasan super kreatif untuk legalisasi masuknya gula kristal rafinasi (GKR) ke pasar umum konsumsi yang selama ini adalah hak sepenuhnya GKP dalam negeri.

Ketiga, eskalasi harga cabai yang memuncak dan nyaris menyentuh angka psikologis Rp 100.000/kg, telah dikeluhkan sangat memicu inflasi.

Sepintas, fakta itu menyimpulkan betapa potensialnya komoditas pertanian untuk memicu dan menjadi sumber inflasi daerah maupun nasional. Pada gilirannya, hal tersebut memunculkan pemikiran pada tingkat publik untuk mempertanyakan betapa tidak mampunya para pemikir, birokrasi dan akademisi pertanian, yang bisanya kemudian hanya merepotkan kinerja perekonomian makro dengan potensi inflasi yang awal tahun ini sangat mengkhawatirkan. Tentu saja, gosip jalan pintas itu perlu memperoleh klarifikasi mengapa dan bagaimana mekanismenya kok bisa-bisanya sektor pangan dan pertanian menjadi kambing hitam inflasi.

Ada beberapa fakta yang harus menjadi perhatian seksama di sebalik kontribusi nyata pangan terhadap inflasi, sebagaimana potensi itu dimiliki oleh beras, gula dan cabai. Pertama, ketersediaan komoditas pangan memang secara alamiah sangat musiman. Dalam perubahan musim dewasa ini fluktuasi tersebut cukup menonjol. Terlebih ketika negara tidak mampu menyajikan dan mengkomunikasikan informasi cuaca secara tepat dalam mutu dan waktu kepada rakyat tani produsen di pedesaan. Ini memicu ketidakpastian produksi.

Kedua, peran pangan menjadi besar dalam inflasi karena kegagalan negara dalam penanggulangan kemiskinan. Nalarnya? Karena besarnya penduduk miskin dan hampir miskin yang cunsumption bundle, peta konsumsinya terkonsentrasi di sektor pangan, maka sedikit gejolak pada harga pangan langsung memicu inflasi. Ini sama sekali bukan salah harga yang melonjak-lonjak musiman, tetapi watak konsumsi mayoritas yang amat peka terhadap pangan.

Ketiga, krisis beras sebagai pemicu inflasi 2010 itu karena memblenya pengelolaan harga pasar yang ditunjukkan oleh gagal total OP menurunkan harga & akhirnya OP berbasis impor. Keempat, khusus untuk cabai yang kali ini sangat ekstrem inflation share-nya. Pola produksi yang sangat terganggu cuaca dan didukung lemahnya sistem informasi cuaca, tidak ketemu dengan pola konsumsi yang sampai hari ini sangat mengandalkan produk segar.

Satu hal yang tidak bisa dikesampingkan adalah munculnya efek domino akibat dari naiknya harga komoditas tertentu, karena strategisnya telah memicu kenaikan harga produk-produk lain, meski lebih banyak nampak sebagai efek psikologis, dibandingkan efek teknis finansial. Hal ini mudah dipahami karena pertimbangan nilai tukar komoditas. Harga cabai mahal, masak sih kangkung saya harus tetap murah pak? Begitu petani kangkung berujar.

Fenomena ini bisa berkenaan dengan komoditas pangan apapun pada saat berposisi strategis di suatu waktu tertentu dalam peta konsumsi masyarakat kebanyakan, poor and near poor. Maka jalan terbaiknya sudah barang tentu mengelola perimbangan pasar untuk komoditas apapun yang peka cuaca melalui pengembangan teknologi usaha tani, pengembangan sistem informasi usaha tani, teknologi pasca panen, tetapi pola konsumsi dan tata kelola pangan antarwaktu. Yang kesemuanya itu dalam upaya mendekatkan relasi penawaran-permintaan pangan dalam jumlah, waktu, wujud dan mutu pangan.

Kalau negara nampak begitu takutnya dengan inflasi dua digit akibat eskalasi harga pangan, maka hanya cara-cara itu yang harus dilakukan. Tentu Negara perlu melakukan pemetaan persoalan pangan nasional secara cermat dan menyelesaikan secara cermat pula. Hal ini penting sekali karena, seperti diajarkan oleh sebutir gabah dan sebatang cabai, relasi pangan dengan kinerja perekonomian nasional memang teramat dekat. Tuntutan ini pula yang mengingatkan Negara untuk tidak sembrana dan menganak-tirikan sektor pertanian seperti selama ini terjadi: sekadar ditempatkan sebagai sumber pangan murah.

Jangan pula negara semakin berlebihan berkonsentrasi hanya mengurus bercocok-tanam beras. Karena terbukti bahwa kinerja perekonomian nasional bisa kacau-balau hanya karena sebuah biji cabe, setetes jlantah, dan sebutir gula pasir. Sungguh memprihatinkan ketika kisruh yang sama akan kembali dan kembali berulang karena kebodohan para pengambil keputusan yang tidak peduli terhadap tanda-tanda zaman. (Penulis adalah Ketua PBNU, Guru Besar TIP FTP-UGM dan Peneliti PSPK-UGM)

~~Warta Pedesaan Edisi Januari 2011