Pos oleh :

PSPK UGM

Pemberdayaan Masyarakat Desa Pasca PNPM Mandiri Perdesaan (PNPM-MPd)

PNPM Mandiri Perdesaan merupakan salah satu program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesi, di samping program penanggulangan kemiskinan yang lain. Jangkauan program ini sangat luas mencapai 63.000 desa (80%), 5.146 kecamatan, 394 kabupaten/kota, dan 33 propinsi. Total dana yang telah dikucurkan oleh pemerintah untuk membiayai program ini selama 15 tahun lebih dari 70 trilyun. Namun ironisnya laju penurunan warga m,iskin melambat atau stagnan. Dalam periode tahun 2013 jumlah penduduk miskin justru meningkat, pada bulan maret tercatat sebanyak 28,07 juta penduduk miskin di Indonesia, namun pada bulan September pada tahun yang sama jumlah tersebut justru meningkat menjadi 28,55 juta jiwa. Selain itu ketimpangan ekonomi juga semakin melebar yang ditunjukkan dengan indexs gini yang terus melebar dan ketergantungan terhadap produk dan komoditas inpor semakin meningkat. Demikian penyataan narasumber dalam seminar bulanan yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM pada hari Kamis tanggala 13 Februari 2014. Pada kesempatan tersebut diangkat topik Pemberdayaan Masyarakat Desa Pasca PNPM Mandiri Perdesaan (PNPM-MPd). Tampil sebagai narasumber Dr. Suharko, dosen Fisipol UGM, dengan moderator AB. Widianto, M.A peneliti PSPK UGM.

“Pemberdayaan masyarakat desa masih menjadi agenda penting untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat miskin di Indonesia. PNPM Mandiri Perdesaan akan segera berakhir tahun ini dan masa depan program pemberdayaan masyarakat desa berada di tangan pemerintahan baru pasca pemilu tahun 2014. Apa agenda diskusi kita?”, kata penyaji. “Agenda diskusi kita pada saat ini adalah mengkritisi pendekatan PNPM MPd, proses pelaksanaan, capaian dan dampak program. Selain itu, kita juga akan mendiskusikan opsi-opsi alternatif kebijakan dan model pemberdayaan masyarakat desa yang tidak berbasis utang luar negeri, bertumpu pada aset dan sumberdaya nasional dan menempatkan komunitas desa sebagai subyek yang berdaulat.”

Kritik kami terhadap pendekatan PNPM MPd adalah pertama, pendekatan program yang pada mulanya adalah community driven development (CDD) dalam pelaksanaannya berubah menjadi money driven development, yang lebih tampak di lapangan pembangunan digerakkan oleh uang, bukan oleh value dan sumber daya komunitas. Kedua, secara normatif program PNPM MPd mengutamakan partisipasi warga miskin dan perempuan, namun dalam pelaksanaannya suara dan aspirasi kepentingan mereka kurang atau tidak terakomodasi. Ketiga, program PNPM MPd bersifat apolitis sehingga terjadi bias elite desa dalam pengambilan keputusan (fenomena elite capture). Keempat, program lebih mengutamakan pembentukan kelembagaan baru (UPK, TPK, dll) daripada memberdayakan kelembagaan lokal lama yang baik. Kelima, fasilitaor umumnya kurang memahami konteks permasalahan masyarakat lokal, akibat tingkat rotasi yang tinggi. Keenam, skema program kurang melibatkan pemerintah desa.

Kritik terhadap proses pelaksanaan, khususnya program open menu adalah pembangunan infrastuktur (jalan, jembatan, saluran irigasi, dll) dikerjakan dengan dua pola, yaitu pola padat karya dan pola tender. Dalam pola padat karya, atas nama “kearifan lokal” terpelanting menjadi menjadi tirani partisipasi- upah tidak memadai atau dipotong untuk penambahan volume pekerjaan. Dalam pola tender partisipasi warga sangat terbatas karena pengadaan barang dan tenaga oleh kontraktor, sehingga sesuai dengan orientasi pro-job. Sedangkan kritik terhadap proses pelaksanaan simpan pinjam kelompok perempuan (SPP), istilah SPP ditolak karena dianggap melecehkan, “simpan pinjam perempuan” . Selain itu, program tidak dapat mencapai warga perempuan yang benar benar miskin, dan ketersediaan dana relatif kecil untuk perguliran. Meskipun NPL relatif kecil tapi tidak bisa menjadi tolok ukur proses keberhasilan yang memadai. Selain itu, sejumlah perempuan memang berkelompok untuk akses dana, namun usaha ekonomi yang dijalankan umumnya individual bukan usaha bersama.

Kritik terhadap capaian dan dampak program PNPM MPd yaitu, pengelolaan dan laporan administrasi program sangat baik, auditable, lapangan pekerjaan bertambah, terutama untuk fasilitator (desa, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi dan nasional mencapai kurang lebih 11.000 orang, tapi bukan untuk warga miskin. Terjadi penambahan infrastruktur pedesaan yang ekspansi karena 75% dana program dialokasikan untuk pembangunan prasarana dasar, sebagian besar dalam bentuk jalan, namun umumnya hal itu hanya terjadi di pulau jawa. Kritik terkait dampak SPP yaitu terjadinya peningkatan ketergantungan masyarakat desa terhadap akses dana dan terkikisnya kemandirian warga dalam akumulasi modal berbasis tindakan kolektif (melalui kelompok arisan, simpan pinjam, dan sejenisnya). Pemanfaatan modal usaha cenderung untuk konsomsi dan bukan untuk menunjang produksi, sehingga dampak terhadap kesejahteraan sulit diukur. Terjadinnya kesenjangan akses dalam pemanfaatan peluang pinjaman karena program mengharuskan pemilikan basis usaha ekonomi yang berjalan. Akibatnya, yang meningkat kesejahteraannya adalah warga yang mampu bukan warga miskin.

Terkait dengan peta jalan penguatan dan keberlanjutan PNPM MPd, para pemangku kepentingan PNPM telah menyusun peta jalan untuk memperkuat dan melanjutkan PNPM. Sejumlah tokoh yang diwawancarai dalam laporan KATADATA, seperti mendagri, wapres, konseptor PNPM dari Bank Dunia, dan lainn-lain menyatakan PNPM perlu dilanjutkan. Namun apakah peta jalan yang telah disusun akan dilanjutkan atau tidak , sangat tergantung pada pemerintahan baru sebagai hasil pemilu 2014.

Momentum Penguatan: Lahirnya UU Desa

Kelahiran UU desa membawa harapan besar bagi pemberdayaan masyarakat desa karena undang-undang tersebut mengamanatkan kepada pemerintah untuk mengalokasikan sejumlah dana yang jumlahnya antara 750 juta hingga 1,5 milyar bagi setiap desa. Dalam pasal 72 ditetapkan bahwa belanja desa diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang disepakati dalam musyawarah desa dan sesuai dengan prioritas pemerintah kabupaten/kota, pemerintah propinsi dan pemerintah pusat. Selanjutnya, kebutuhan pembangunan tersebut meliputi, tetapi tidak terbatas pada kebutuhan primer, pelayanan dasar, lingkungan, dan kegiatan pemberdayaaan masyarakat desa.

Dalam pasal 112 ayatt 3 dan 4 dinyatakan bahwa pemerintah, pemerintah propinsi, dan pemerintah kabupaten/kota memberdayakan masyarakat desa dengan menerapkan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dan temuan baru untuk kemajuan ekonomi dan pertanian masayarakat desa., meningkatkan kualitas pemerintahan dan masyarakat desa melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan, dan mengakui serta memfungsikan institusi asli dan/atau yang sudah ada di masayarakat desa. Selain itu pemberdayaan masyarakat desa dilaksanakan dengan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pembangunan desa dan kawasan perdesaan.>

Lalu, apa alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat desa pasca PNPM MPd? apakah lahirnya UU desa akan mampu menjadi pengganti program PNPM MPd dalam pemberdayaan masyarakat desa sehingga program PNPM MPd tidak diperlukan lagi. Ataukah PNPM MPd tetap perlu dilanjutkan meskipun sudah ada UU Desa, dengan harapan keduanya mampu saling bersinergi sehingga program pemberdayaan masayarakat bisa berjalan semakin optimal? untuk menemukan jawaban atas berbagai pertanyaan ini, kita menyelenggarakan diskusi ini. Namun dari berbagai harapan yang terlontar, khususnya dari para penyelenggara program PNPM, lahirnya UU Desa diharapkan tiddak akan menghapus program PNPM yang telah berjalan lebih dari 15 tahun itu. Atau paling tidak, jika program PNPM terpaksa dihentikan aset yang dimiliki oleh program PNPM bisa dimanfaatkan oleh pemerintah desa untuk mendukung pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat desa. Bukan hanya aset yang bersifat hasil program (institusi, finansial, aset fisik) tetapi juga aset SDM (fasilitator) yang telah memiliki pengalaman dalam melakukan pemberdayan masyarakat.

Terkait dengan pemaparan yang disampaikan oleh penyaji, Dr. Purwadi seorang peserta seminar menyampaikan ucapan terima kasih karena seminar ini telah mampu menambah pengetahuan/ilmu. Yang dimiliki. Selain itu, ia memberikan tanggapan bahwa ia sangat tidak setuju dengan realitas yang terjadi pada masa kini, dimana orang desa yang memiliki peran besar dalam kegiatan produksi diatur –atur oleh segelintir orang di pusat kekuasaan yang sebenarnya tidak tahu persis kondisi dan permasalahan yang terjadi dan di hadapi oleh masyarakat desa. Kedepan saya berharap, orang-orang desa diberi kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, ia bukan hanya menjadi obyek tetapi menjadi subyek berbagai program pembangunan yang dilaksanakan di desa.*

Meja Makan: Penentu Kedaulatan Pangan Kita

“Menu apa yang biasa kita makan sangat berpengaruh pada kedaulatan pangan di negeri ini. Hal itu bisa terjadi karena guna mewujudkan sebuah menu hidangan yang tersaji di meja makan, diperlukan banyak jenis bahan pangan yang berasal dari berbagai tempat. Misalkan tadi pagi kita makan nasi pecel maka bila kita cermati maka bahan pangan yang dibutuhkan untuk membuat nasi pecel bisa berasal dari banyak tempat, sayurnya dari lereng Merapi, berasnya dari Delanggu, kacangnya dari Sukoharjo, dll. Sebaliknya bila tadi pagi kita makan burger maka kita dapat mencermati bahwa bahan yang dibutuhkan untuk membuat burger berasal dari tempat yang lebih jauh, gandumnya dari Eropa, dagingnya dari USA, dll. Bila menu makan kita terbuat dari bahan pangan produk lokal maka kita sudah turut membangun kedaulatan pangan namun bila menu makan kita terbuat dari bahan pangan yang harus diimpor dari negara lain maka kita akan melemahkan kedaulatan pangan kita”, demikian pernyataan Dr. Baiquni membuka acara bedah buku hasil kajian CEES yang berjudul “Kisah Meja Makan: Pemberdayaan Masyarakat Urban Menuju Kedaulatan Pangan” yang diselenggarakan oleh CEES bekerja sama dengan Tifa, Pusat Studi Pariwisata UGM, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Impuls, dan Pintal. Acara yang diselenggarakan di ruang sidang besar PSPK UGM dan dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan tersebut, selain menghadirkan pembicara Dr. Baiquni dari Puspar UGM, juga menghadirkan Dr. Sri Peni Wastutiningsih dari CEES dan Baning P. seorang aktivis di bidang pertanian mandiri.

Untuk membangun kesadaran akan pentingnya bahan pangan lokal bagi kedaulatan pangan bukan hanya tanggung jawab LSM atau negara, namun juga tanggung jawab kita bersama. Partisipasi kita antara lain dengan mengubah kebiasaan makan kita. Bila selama ini kita memiliki kebiasaan mengkonsumsi menu makanan yang memiliki kandungan bahan pangan impor tinggi maka demi kedaulatan pangan kita harus berani meninggalkan kebiasaan tersebut dan beralih mengkonsumsi menu makanan yang terbuat dari bahan pangan yang ada di daerah kita. Hal ini memang tidak mudah karena selain terkait dengan kebutuhan fisik, menu makan yang kita makan juga terkait dengan kebutuhan psikis, yaitu prestasi sosial. Bagi sebagian orang, makan makanan fastfood misalkan Mc Donald, Pizza Hut, KFC, dll yang memiliki kandungan bahan pangan impor tinggi, bukan hanya dapat mendatangkan rasa kenyang tapi juga dianggap dapat meningkatkan prestise mereka. Sebaliknya bagi mereka mengkonsumsi makanan yang berbahan pangan lokal seperti ketela akan menurunkan prestise mereka.

Untuk membangun kesadaran akan arti penting pangan lokal bagi kedaulatan pangan di negeri ini dibutukan proses yang tidak singkat. Berkaca pada masyarakat Jepang yang membutuhkan waktu hampir 40 tahun untuk membangun kesadaran masyarakatnya agar bangga mengkonsumsi makanan lokal, maka untuk mewujudkan hal tersebut kita harus segera memulainya, dan harus ditanamkan sejak dini, sejak masa anak-anak, agar kita tidak terlambat. Meskipun hal itu berat, namun bila kita tidak segera memulainya maka dikhawatirkan bangsa Indonesia akan kehilangan kedaulatan pangan. Pada saat ini kita sudah mulai kehilangan kedaulatan pangan karena sebagian besar bahan pangan kita diimpor dari Negara lain, bukan hanya bahan pokok seperti beras tapi juga bahan pangan penunjang seperti kedelai, daging, garam. Bila tidak hati hati maka kita bisa terperosok dalam jurang krisis pangan, apa yang dapat kita lakukan bila Negara-negara tersebut menghentikan ekspor bahan pangannya ke negeri ini? tentu akan terjadi krisis pangan yang dapat membahayakan eksistensi bangsa dan Negara kita.

Sementara itu Baning P. dalam presentasinya menggambarkan bagaimana bangsa ini telah terjebak dalam situasi yang sulit. Para petani kita telah kehilangan kedaulatannya karena sebagian besar faktor produksi bidang pertanian misalnya bibit, pestisida, pupuk, dll telah dikuasai oleh perusahaan multi nasional. Pada saat ini petani tidak memiliki kemandirian lagi dan sangat tergantung dengan perusahaan multi nasional. Ketergantungan itu diperkuat oleh rendahnya kesadaran konsumen di negeri ini akan bahan pangan lokal. Mereka lebih senang membeli bahan pangan yang dihasilkan oleh pertanian modern karena wujud/penampakannya lebih baik dibanding komoditas sejenis yang dihasilkan oleh petani tradisional. Untuk mengatasi permasalahan ini maka perlu dibangun kesadaran dari para konsumen akan pentingnya bahan pangan yang dihasilkan oleh pertanian mandiri bagi kedaulatan bangsa.

Dr. Peni sebagai pembicara ketiga menekankan akan pentingnya dialog dalam berbagai aras guna meningkatkan peran serta masyarakat dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Dialog harus dibangun dalam berbagai aras, yaitu aras pengambil kebijakan, aras masyarakat dan aras teknologi. Dalam aras pengambil kebijakan, harus ada dialog antara para pengambil kebijakan dengan korporasi-korporasi internasional yang dapat mendukung terjadinya penguatan kedaulatan pangan di negeri ini. Para pengambil kebijakan harus berani menolak langkah-langkah yang ditempuh oleh korporasi internasional yang dapat melemahkan kedaulatan pangan kita. Dalam tataran masyarakat/konsumen harus dibangun dialog yang dapat membuka kesadaran akan perlunya pemanfaatan bahan pangan lokal sebagai pengganti bahan pangan sejenis yang harus diimpor dari luar negeri. Sebagai contoh, untuk mengurangi ketergantungan pada beras yang sebagian besar harus diimpor dari luar negeri maka kita harus mengkonsumsi komoditas lokal sebagai pengganti beras, misalnya ketela, ubi, sagu, dll. Untuk menggantikan tepung terigu yang harus diimpor dari luar negeri kita bisa menggunakan tepung mocaf. Dalam tataran teknologi juga harus dibangun dialog agar tumbuh kesadaran untuk menghargai pangan lokal.

Kehendak Memperbaiki: Refleksi 2 Tahun Pasca Erupsi Merapi

“Meskipun bencana erupsi Gunung Merapi telah terjadi pada tahun 2010, namun dampaknya masih terasa hingga saat ini. Bukan hanya dampak kerusakan fisik, yaitu hancurnya rumah dan sarana pemukiman warga serta lahan pertanian yang hingga saat ini masih belum dibangun/dipulihkan kembali, tetapi juga dampak sosial yaitu belum pulihnya kehidupan sosial ekonomi warga masyarakat korban bencana erupsi merapi. Hingga saat ini kehidupan mereka belum pulih seperti sedia kala karena masih harus tinggal di barak pengungsian/hunian sementara yang berada diluar kampung halaman mereka.”, demikian paparan penyaji dalam seminar bulanan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK UGM) pada hari Kamis, tanggal 8 November 2012. Seminar yang diselenggarakan pada sore hari tersebut menghadirkan seorang narasumber, Sukamto S Partono, seorang tokoh masyarakat dari desa Balerante yang juga menjadi korban bencana erupsi merapi tahun 2010. Seminar yang dimoderatori oleh Drs. Suharman M.Si, wakil kepala PSPK, tersebut mengangkat topik “Kehendak Memperbaiki: Refleksi 2 Tahun Erupsi Merapi”.

Bagi orang yang tidak tinggal di lereng Merapi, erupsi merapi yang menelan korban nyawa dan harta benda tersebut dipandang sebagai bencana, bahkan bencana yang sangat mengerikan, namun bagi mereka yang tinggal di lereng Merapi hal tersebut tidak dipandang sebagai bencana. Bagi mereka, erupsi Merapi merupakan kehendak/karya sang gunung yang harus dihormati, karena hal itu merupakan pertanda bahwa sang gunung sedang memiliki hajad “lagi duwe gawe”. Bagi warga masyarakat yang tinggal di lereng Merapi bila gunung Merapi sedang mempunyai hajad, sikap yang paling pas adalah “membantu” hajad tersebut bila ia mampu, namun bila tidak mampu “membantu” maka ia akan menerima hal itu dengan iklas meskipun harta benda yang dimiliki menjadi korban.Sikap tersebut didasari oleh pandangan bahwa selama ini sang gunung telah banyak berjasa bagi kelangsungan hidup mereka, telah memberi sumber penghidupan bagi mereka. Oleh karena itu, mereka harus menghormati dan menerima dengan iklas bila gunung Merapi sedang “nduwe gawe”.

Menurut penyaji, peristiwa erupsi Merapi tahun 2010 berdampak langsung pada 165 KK di daerah Balerante. Mereka harus meninggalkan rumah dan harta mereka, dan harus tinggal di barak-barak pengungsian. Meskipun semua rumah hancur tersapu lahar dan awan panas namun masyarakat Balerante masih bersyukur karena peristiwa tersebut tidak menimbulkan korban jiwa. Hal ini tidak lepas dari peran tokoh masyarakat yang dengan sigap turut membantu kelancaran proses evakuasi dengan menyediakan sarana transportasi secara swadaya.

Meski bencana erupsi Merapi telah berlalu hampir 2 tahun, namun kehidupan sosial warga belum pulih sepenuhnya. Hingga saat ini mereka belum bisa kembali ke rumah masing-masing karena rumah mereka telah hancur dan belum dapat dibangun kembali. Pemerintah telah mencoba membangun hunian sementara (huntara) bagi para warga korban erupsi Merapi namun banyak huntara yang dibiarkan kosong terbengkalai karena tidak dihuni. Berdasarkan pendapat penyaji, warga tidak suka tinggal di huntara karena tidak adanya kegiatan ekonomi yang bisa dilakukan. Mereka yang terbiasa memanfaatkan waktu yang dimiliki dengan bekerja, merasa jenuh tinggal di huntara karena tidak dapat bekerja. Akhirnya mereka pulang ke bekas rumah mereka masing-masing, dan harus membangun sendiri gubuk/rumah sementara sebagai tempat tinggal mereka yang baru.

Semangat untuk Bangkit Kembali

Meskipun rumah dan harta benda hilang akibat erupsi Merapi, namun hal itu tidak mematahkan semangat warga masyarakat korban erupsi Merapi untuk bangkit, menata hidup kembali. Dengan mengandalkan kekuatan sendiri ditambah dengan dukungan berbagai pihak, kehidupan sosial ekonomi warga Balerante mulai tertata kembali.

“Perubahan sosial ekonomi yang terasa menonjol di daerah Balerante pasca erupsi Merapi adalah tumbuhnya kembali semangat untuk bergotong royong. Dahulu sebelum terjadi erupsi Merapi masyarakat agak enggan untuk bergotong royong. Namun saat ini semangat gotong royong mereka sangat tinggi. Mereka rela bergotong royong berbulan-bulan untuk membantu warga yang ingin membangun rumah atau melakukan keperluan lainnya.”, jelas penyaji. “Kondisi ini sungguh sangat membanggakan.”, lanjutnya.

Hal lain yang muncul setelah erupsi Merapi tahun 2010 adalah kebiasaan menabung warga dalam program “tabungan ternak”. Dengan dikoordinasi oleh pengurus RW setiap warga diwajibkan untuk menambung setiap bulan di “tabungan ternak”. Dana yang terkumpul dalam program tersebut disimpan di rekening bank dan hanya bisa diambil pada saat terjadi bencana erupsi Merapi. Di Balerante juga berkembang kelompok simpan pinjam yang memfasilitasi warga untuk menabung atau meminjam modal untuk melakukan kegiatan usaha. Bagi mereka yang meminjam modal dari kelompok, diwajibkan untuk mengangsur pinjaman dengan memberi jasa secara sukarela. Motor penggerak dari kelompok simpan pinjam ini sebagian besar adalah kaum perempuan.

Di bidang ekonomi, pasca erupsi Merapi di daerah Balerante mulai muncul berbagai aktivitas ekonomi yang dijalankan oleh warga. Pada saat ini bukan hanya ternak sapi yang ada, tetapi juga ternak cacing, ayam petelur dan domba. Hal ini jelas semakin merangsang perputaran roda ekonomi di daerah Balerante karena dapat menampung tenaga kerja dan merangsang munculnya profesi baru, yaitu pedagang telur/domba, dll. Berkat pendampingan dari pemerintah dan LSM di daerah Balerante juga mulai muncul industri pengolahan makanan, misalnya industri pembuatan kripik nangka, kripik pisang, dll. Usaha tersebut selain dapat menciptakan peluang kerja juga dapat menambah nilai jual komoditas tersebut. Hasil prosuk pertanian yang pada mulanya kurang bernilai menjadi memiliki nilai jual tinggi setelah diolah menjadi berbagai produk makanan olahan.

Pasca erupsi Merapi, untuk meningkatkan kesiapsiagan warga masyarakat menghadapi bencana erupsi, di daerah Balerante dibentuk Forum Pengurangan Resiko Bencana yang bekerja sama dengan BNPB mengantisipasi segala kemungkinan terkait dengan kondisi merapi. Forum tersebut dibentuk di tingkat desa, namun di tingkat Rw dibentuk relawan yang selalu bertugas mengamati kondisi Merapi. Setiap kejadian di puncak Merapi yang terdeteksi oleh para relawan selalu dikomunikan dengan BPPTK, agar bisa segera diantisipasi.

“Perkembangan baik yang saat ini ada di masyarakat Balerante, mudah-mudahan dapat membuat warga masyarakat di daerah tersebut semakin siaga dan dapat mengantisipasi berbagai hal yang mungkin terjadi akibat erupsi Merapi. Sehingga erupsi Merapi tidak menimbulkan korban yang tidak diharapkan.”, harap penyaji sebelum seminar sore tersebut ditutup.*

Pelatihan TOT Pengembangan Kapasitas SDM dan Kelembagaan Sosial

Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) bekerja sama dengan KENARI dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Klaten menyelenggarakan pelatihan Training of Trainer (TOT) Pengembangan Kapasitas SDM dan Kelembagaan Sosial Masyarakat pada “Program Pengarusutamaan Pengurangan Resiko Bencana (PRB) Berbasis Tata Ruang”. Kegiatan yang dilaksanakan selama 5 hari mulai tanggal 20 September hingga 25 September 2012 tersebut diikuti oleh 20 orang peserta yang akan diterjunkan di lapangan sebagai pendamping masyarakat di daerah rawan bencana alam letusan Gunung Merapi, yaitu di desa-desa di Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten.

Materi pelatihan diberikan oleh para pakar, baik dari lingkungan Universitas Gadjah Mada maupun dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki kepedulian pada upaya pengurangan resiko bencana. Beberapa narasumber yang tampil dalam pelatihan tersebut antara lain Prof. Dr. Susetiawan, Prof Dr. Ir. Moch. Maksum, Dr. Bambang Hudayana, Dr. Partini, dan lain-lain dengan fasilitator Drs. Suharman dan AB Widyanto.

Beberapa materi yang disampaikan dalam pelatihan antara lain: (1) Konsep dan Filosofi Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan rawan Bencana, (2) Pemahaman Nilai-Nilai dan Prinsip Bekerja dengan Masyarakat, (3) Pemihakan kepada Korban Bencana sebagai “Disadvantage People“, dan lain sebagainya. Materi lain yang juga disajikan dalam pelatihan ini antara lain pengalaman dari para relawan dalam menghadapi dan menangani dampak bencana erupsi Merapi, misalnya tentang penanganan pengungsi, informasi dan jejaring komunitas.

Terhalang Pulang: Bui Tanpa Jerajak Besi, Kisah Seorang Eksil di Negeri Orang

“Setiap berkunjung ke Indonesia saya selalu mendapat inspirasi sebagai bahan untuk membuat tulisan-tulisan tentang Indonesia. Meskipun di media massa saat ini gencar pemberitaan tentang keburukan-keburukan yang terjadi di negeri ini, misalnya korupsi yang merajalela, penegakan hukum yang belum maksimal, kemiskinan dan pengangguran. Namun itu semua tidak merubah kesan positif saya pada negeri ini. Merupakan hal yang lumrah suatu negeri menghadapi berbagai masalah, apalagi negeri tersebut masih berumur relatif muda. Negeri-negeri barat yang telah berumur ratusan tahun juga masih menghadapi banyak permasalahan. Saya sangat prihatin dengan orang Indonesia yang malu mengakui negeri ini sebagai tanah airnya karena banyaknya persoalan yang dihadapi bangsa ini. Kita tidak perlu malu mengakui negeri ini sebagai negeri kita karena permasalahan yang ada di negeri ini juga dihadapi oleh bangsa-bangsa lain. Bahkan bangsa-bangsa lain di Asia ini jauh lebih buruk kondisinya dibanding negara kita. Saya sendiri meskipun saat ini secara hukum tercatat sebagai warga Negara Belanda, namun jauh di dalam lubuk hati saya yang paling dalam saya masih tetap mengakui negeri ini sebagai tanah air saya yang sangat saya cintai” demikian pernyataan Ibrahim Isa yang menjadi pembicara tunggal dalam seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada pada hari Kamis, tanggal 6 September 2012. Seminar yang diselenggarakan pada kesempatan tersebut mengangkat topik “Terhalang Pulang: Bui Tanpa Jerajak Besi, Kisah Seorang Eksil di Negeri Belanda” dengan moderator Drs. Suharman, M.Si, wakil kepala PSPK UGM.

Ibrahim Isa adalah anak bangsa kelahiran Jatinegara tahun 1930 yang pada masa revolusi 1945 bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan negeri ini dari tangan penjajah. Setelah era perang usai, dia melanjutkan sekolah sambil mengajar di sekolah milik sebuah yayasan. Ketika negara ini membutuhkan tenaga dan pikirannya untuk membantu persiapan pelaksanaan konferensi tingkat Asia Afrika yang digagas oleh Presiden Sukarno, maka Ibrahim Isa mengabdikan diri kepada negeri ini dengan bekerja di sekretariat panitia persiapan konferensi yang bermarkas di Kairo Mesir. Pada tahun 1965, 3 hari setelah peristiwa G30S PKI Ibrahim Isa kembali ke tanah air. Namun karena situasi yang mengancam keselamatan hidupnya maka akhirnya Ibrahim Isa mengungsi ke luar negeri. Karena pada saat itu hanya negeri Tiongkok yang menawarkan bantuan kepadanya, maka akhirnya Ibrahim Isa memilih untuk menetap di negeri Tiongkok. Pertimbangan lain Ibrahim Isa memilih untuk tinggal di negeri Tiongkok adalah karena ia memiliki banyak sahabat yang siap membantunya bila mau tinggal di negeri itu.

Selama tinggal di negeri Tiongkok, Ibrahim Isa diberi kebebasan oleh pemerintah Tiongkok. Ia tetap bisa menulis berbagai hal tentang Indonesia karena ia diberi fasilitas mesin ketik dan mesin stensil, sebuah fasilitas yang tergolong mewah karena pada waktu itu barang tersebut sangat sukar didapatkan di negeri tersebut. Meskipun ia mendapat bantuan dari pemerintah Tiongkok namun ia tetap dapat bersikap kritis kepada pemerintah Tiongkok. Ia banyak mengkritik pemerintah Tiongkok yang kurang menghargai kebebasan berpendapat dan menyuarakan aspirasi. Ia sering bertanya kepada pejabat negeri Tiongkok yang juga bersahabat dengannya, mengapa negeri ini melarang adanya oposisi, bukankah keberadaan oposisi akan dapat mengontrol dan mengoreksi kebijakan yang kurang tepat yang diambil oleh pemerintah. Setelah sekitar dua puluh tahun Ibrahim Isa tinggal di negeri Tiongkok, ia pindah ke negeri Belanda. Di negeri tersebut, di tetap rajin menulis buku dan artikel tentang Indonesia.

Terkait dengan peristiwa berdarah tahun 1965 yang menyebabkan dirinya harus terlunta-lunta di negeri orang, Ibrahim Isa menyatakan bahwa selama ini rakyat Indonesia telah dibohongi oleh penguasa Orde Baru. Rakyat dijejali dengan berbagai Informasi menyesatkan yang menyebabkan bahwa rakyat memiliki pendapat bahwa peristiwa G30S terjadi karena ulah PKI. Semua buku sejarah yang terbit pada masa Orde Baru mengisahkan bahwa peristiwa tersebut terjadi karena ulah PKI yang ingin melakukan kudeta kepada pemerintahan Sukarno. Namun apakah hal itu memang sesuai dengan fakta yang sebenarnya? Pada masa reformasi sekarang ini mulai muncul data/informasi yang membantah klaim sejarah versi Orde Baru tersebut. Banyak data yang menunjukkan bahwa sebenarnya peristiwa G30S tidak seperti apa yang ditulis oleh rezim Orba. Meskipun data baru yang muncul pada masa reformasi belum sepenuhnya dapat meluruskan sejarah yang dibengkok oleh rezim Orba namun setidak-tidaknya data tersebut dapat menjadi pembanding yang akan mengantarkan rakyat pada kesimpulan yang benar tentang peristiwa 65 tersebut.

Ibrahim Isa menuturkan bahwa berdasarkan kesaksian berbagai pihak yang tahu atau terlibat dalam peristiwa tersebut, penculikan dan pembunuhan sadis yang terjadi pada saat G30S tidak direncanakan sejak awal oleh gerakan tersebut. Rencana awal gerakan tersebut bukanlah untuk menculik dan membunuh para jendral TNI AD, namun sekedar menjemput mereka untuk dihadapkan pada Presiden Sukarno karena mereka diindikasikan akan melakukan kudeta. Selain itu, gambaran yang diberikan oleh Orba bahwa yang melakukan pembunuhan dan penyiksaan pada para jendral tersebut adalah anggota GERWANI/PKI masih disangsikan karena belum dibuktikan secara ilmiah. Namun meskipun belum ada penelitian Orba telah membuat kesimpulan yang melakukan semua itu adalah mereka. Sebagai fakta pendukung dari hal itu, tentara Orba merilis temuan berbagai senjata tajam (clurit, arit, dll) di rumah seorang anggota GERWANI/PKI.

Berdasarkan penelitian dari sejarawan dari luar negeri, peristiwa G30S yang dirancang oleh pihak tertentu sebagai alat pembenar (legitimasi) bagi tentara yang berada di bawah komando Suharto untuk melakukan serangkaian penangkapan/pembantaian kepada para anggota PKI dan pendukung Sukarno. Sebuah peristiwa yang akhirnya menjadi titik hitam sejarah bangsa Indonesia karena menelan korban lebih dari 20 juta orang. Bukan hanya mereka yang tercatat sebagai anggota PKI tetapi juga mereka yang diindikasikan sebagai orang PKI atau pendukung Sukarno. Ibrahim Isa sendiri yang tak tahu menahu dengan peristiwa G30S dan bukan anggota PKI turut menjadi korban dan terpaksa mengungsi ke luar negeri hingga saat ini. “Di negeri yang katanya berdasarkan atas hukum ini tentara yang berada di bawah komando Suharto menangkap dan memenjarakan banyak pejabat tanpa proses hukum. Pada waktu itu Suharto menangkap dan memenjarakan 30 orang menteri dalam kabinet seratus menteri yang diangkat Sukarno pasca peristiwa G30S. Salah satu tokoh yang ikut ditangkap dan dipenjarakan adalah Ir. Setiaji menteri PU, sahabat saya.”, papar penyaji.

Terkait dengan SUPERSEMAR, pembicara memaparkan bahwa berdasarkan pidato Presiden Sukarno di depan MPRS, surat tersebut bukanlah surat pemindahan kekuasaan tapi sekedar surat perintah kepada Suharto untuk memulihkan keamanan national. Namun surat tersebut telah diselewengkan oleh Suharto sebagai surat perintah pengalihan kekuasaan, dan dijadikan landasan bagi Suharto untuk menurunkan presiden Sukarno. Banyak cara yang dilakukan oleh Suharto untuk menutupi kelicikannya itu antara lain dengan memalsukan sejarah. “Dalam buku versi Indonesia dari buku karya Cindi Adam yang telah mewawancarai Presiden Sukarno, seolah-olah Sukarno menjelek-jelekkan Hatta, padahal dalam buku aslinya hal itu tidak ada. Namun untungnya kelicikan tersebut terbongkar berkat penelitian seorang sejarawan dari UI. Banyak fakta sejarah yang telah dibengkokkan oleh Suharto demi melegitimasi kekuasaan yang direbutnya dari Presiden Sukarno, namun seiring dengan bergulirnya reformasi maka satu persatu akhirnya terbongkar.“, papar penyaji.

“Terkait dengan proses keluarnya SUPERSEMAR yang tidak wajar, sedikit demi sedikit telah terkuak. Sebelum surat perintah tersebut ditandatangani oleh presiden Sukarno. Presiden yang waktu itu sedang memimpin rapat kabinet mendapat laporan bahwa istana telah dikepung oleh pasukan tidak dikenal sehingga menyebabkan presiden meninggalkan istana dan mengungsi ke Bogor. Berdasarkan penelitian sejarah akhirnya diketahui bahwa pasukan tak dikenal tersebut adalah pasukan yang dikomandani oleh seorang jendral tangan kanan Suharto. Meskipun fakta ini ditutup-tutupi akhirnya terkuak juga. Ketika presiden berada di Istana Bogor, ada 3 orang jendral TNI AD yang menyusul dan akhirnya keluarlah surat tersebut. Fakta ini menggambarkan bahwa surat tersebut dikeluarkan oleh presiden dalam keadaan tertekan.”, papar penyaji.

Saat menanggapi pertanyaan seorang peserta seminar tentang pesan apa yang dapat diberikan oleh penyaji agar peristiwa kelam masa lalu tidak terulang lagi, penyaji mengatakan bahwa kejujuran dalam membaca sejarah merupakan kuncinya. “Bila setiap orang mampu membaca sejarah secara jujur tanpa takut dengan kekuasaan dan dapat meyampaikan kebenaran sejarah tersebut kepada seluruh rakyat Indonesia, maka itu akan menjadi pembelajaran bagi rakyat Indonesia untuk menghindari terulangnya peristiwa kelam tersebut di masa yang akan datang.”, demikian tanggapan penyaji sebelum seminar ditutup.

Lokakarya Sehari: Peran Media dalam Penanggulangan Bencana Erupsi Merapi

Pada hari Rabu, tanggal 11 April 2012, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK UGM) bekerjasama dengan Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP UGM) dan Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (LAURA), Jurusan Antropologi FIB UGM mengadakan lokakarya sehari untuk membahas issu peran media dalam penanggulangan bencana erupsi Merapi. Kegiatan ini didasari oleh kenyataan bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa antropolog, misalnya Michael Dove (1994), Bambang Hudayana (2004), peran media massa semakin signifikan dalam peliputan, pemberitaan, pembentukan narasi, mengenai bencana erupsi Merapi. Bahkan lebih jauh dari itu, media massa juga ikut berperan dalam mengumpulkan dan menyebarkan bantuan dari pemirsa mereka.

Peran itu terasa semakin meningkat pada peristiwa erupsi Merapi tahun 2010. Seturut dengan makin meningkatnya jumlah dan bentuk media massa yang berperan dan bersaing dalam meliput erupsi Merapi, sehingga peristiwa erupsi Merapi bukan semata-mata “peristiwa alam” tetapi juga sudah menjadi “peristiwa media”.

Peran positif dari media massa dalam keterkaitannya dengan bencana erupsi Merapi bisa dipetakan sebagai berikut: pemberitaan media massa bisa memicu dan memperluas solidaritas yang berakibat pada meningkatnya jumlah bantuan relawan, bisa menjadi alat kontrol dan pengawas proses-proses penanggulangan bencana oleh berbagai pihak terkait, bisa menjadi alat artikulasidari korban bencana, mendeseminasikan kisah-kisah kemandirian masyarakat dalam pengurangan resiko bencana sehingga memicu komunitas lain untuk melakukan hal yang sama.

Namun media massa juga mendapat sorotan dan kritikan karena dianggap lebih banyak mendramatisir peristiwa bencana dan kondisi korban untuk kepentingan bisnis media itu sendiri, mendistorsi informasi agar mendapat perhatian penonton, menebarkan kepanikan, arena pencitraan bagi program-program CSR yang pada pelaksanaannya sering tidak tepat dan merata, menjadi arena kontestasi berbagai kekuasaan dan menenggelamkan artikulasi masyarakat yang menjadi korban bencana, pemberitaan terlalu fokus ketika bencana terjadi dan kurang memperhatikan kisah-kisah yang berhubungan dengan kesiapsiagaan masyarakat dalam pengurangan resiko bencan, proses rrehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.

Mengingat akan pentingnya peran media massa dalam pengurangan resiko bencana maka lokakarya dilaksanakan dengan tujuan utama untuk melakukan refleksi mengenai peran media massa selama ini terutama berhubungan dengan bencana erupsi Merapi 2010, dan memproyeksikan peranan media dalam proses pengurangan resiko bencana ke depan agar memiliki peran yang lebih positif. Lokakarya dilaksanakan selama satu hari dengan menghadirkan para wartawan dan redaktur yang memiliki pengalaman dalam meliput bencana, khususnya erupsi Merapi tahun 2010, baik dari media cetak maupun elektronik, lokal dannasional.

Guna mengawali dan memancing diskusi dari para peserta lokakarya, peneliti dari Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (LAURA), pakar media dan komunikasi, dan pakar kebencanaan maka pada sesi awal ditampilkan tiga orang narasumber untuk mempresentasikan beberapa hasil pemetaan awal tentang peran media dalam pengurangan resiko bencana. Ketiga narasumber tersebut adalah Dr. Kuskrido Ambardi (dosen jurusan Komunikasi UGM), Dr. Bambang Hudayana (dosen jurusan Antropologi UGM), dan Muhamad Zamzam, MA (dosen antropologi UGM).

Lokakarya sehari tentang peran media dalam penanggulangan bencana erupsi Merapi menghasilkan beberapa rekomendasi yang perlu segera dilaksanakan guna meningkatkan peran media dalam penanggulangan bencana erupsi merapi pada khususnya, dan bencana yang terjadi di Indonesia pada umumnya. Rekomendasi tersebut antara lain, pertama, perlunya media yang memiliki kapasitas untuk melakukan edukasi tentang masyarakat yang peduli, responsif dan mandiri dalam menghadapi bencana; kedua, perlunya media yang mampu menyampaikan berita yang berimbang, kritis terhadap ketidakberesan dalam penanggulangan bencana baik yang dilakukan oleh pemerintah, CSO, media, dll; ketiga, perlunya media yang mengembangkan agenda penanggulangan bencana berdasarkan pada kekuatan masyarakat sipil sehingga melibatkan peran yang maksimal dari media, LSM, komunitas, perguruan tinggi, dan lain-lain, daripada negara.

Kontroversi Pengurangan Subsidi BBM

“Akhir-akhir ini kita disuguhi pemberitaan di media massa tentang sikap pro kontra yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia terkait dengan kebijakan pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang akan dilaksanakan oleh pemerintah mulai April mendatang. Banyak elemen masyarakat, baik atas nama pribadi maupun kelompok masyarakat, yang mengajukan kritik terhadap kebijakan tersebut. Kritik-kritk tersebut disampaikan melalui berbagai cara, mulai cara yang santun/halus sampai cara yang keras, misalnya demo yang disertai dengan tindak anarkis. Meskipun mendapat tantangan/penolakan dari berbagai elemen masyarakat namun nampaknya pemerintah tidak merasa terusik dan tetap akan menerapkan kebijakan tersebut.” Demikian pernyataan penyaji dalam seminar yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan pada hari Kamis, tanggal 15 Maret 2012. Seminar yang telah menjadi tradisi setiap bulan tersebut pada kesempatan itu menampilkan seorang narasumber, Gabriel Lele, PhD, dosen jurusan Hubungan Internasional Fisipol UGM dan program Magister Administrasi Publik UGM, dengan moderator Dyah Candra Dewi, S.Sos. Topik yang diangkat dalam seminar tersebut adalah “Implikasi Kebijakan Pengurangan Subsidi BBM bagi Masyarakat Pedesaan”.

Kebulatan tekad pemerintah untuk melaksanakan kebijakan pengurangan subsidi BBM mulai bulan April 2012 didasari alasan bahwa pemberian subsidi BBM semakin memberatkan beban APBN. Untuk mendukung penyataan tersebut Pemerintah mengajukan data bahwa telah terjadi peningkatan jumlah subsidi BBM yang sangat signifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1996 jumlah subsidi BBM yang ditanggung oleh APBN hanya berjumlah 2,8 trilyun (0.3% GDP) namun pada tahun 2007 jumlah tersebut telah melonjak hingga 61,8 trilyun (1,8 % GDP). Di samping itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh pemerintah dapat diketahui bahwa 70% dana subsidi BBM yang telah diberikan tidak tepat sasaran, karena dinikmati oleh pihak-pihak yang tidak berhak untuk menerimanya (orang kaya). Berdasarkan alasan tersebut maka apapun yang terjadi pemerintah akan tetap melaksanakan kebijakan pemgurangan subsidi BBM. Adanya ketakutan dari berbagai pihak yang menyatakan bahwa kebijakan tersebut akan menambah berat beban yang ditanggung oleh keluarga miskin dan akan meningkatkan jumlah orang miskin. Pemerintah telah melakukan antisipasi yaitu dengan melaksanakan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi kelompok masyarakat miskin. Dengan pelaksanaan program BLT pemerintah memiliki keyakinan bahwa jumlah keluarga miskin tidak akan mengalami peningkatan akibat pelaksanaan kebijakan subsidi BBM, bahkan berdasarkan simulasi yang dilakukan oleh para pakar dari beberapa perguruan tinggi program tersebut akan dapat menurunkan angka kemiskinan.

Terkait dengan kebijakan pengurangan subsidi BBM yang akan dilaksanakan oleh pemerintah sejak bulan April mendatang, penyaji menyampaikan beberapa catatan kritis. Pertama, alasan yang disampaikan pemerintah bahwa subsidi BBM semakin memberatkan beban APBN memang tidak sepenuhnya salah. Dari tahun ke tahun jumlah tersebut memang mengalami peningkatan. Namun pemerintah telah melupakan bahwa bila dibandingkan dengan jumlah anggaran yang dialokasikan untuk pos lain dalam APBN misal pos belanja rutin, belanja barang, belanja modal, jumlah subsidi BBM masih relatif sedikit. Apabila beban APBN memang semakin berat maka langkah ynng bisa ditempuh oleh pemerintah untuk mengatasinya bukan hanya dengan mengurangi subsidi BBM. Banyak kebijakan yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi beban tersebut, misalnya dengan pemberantasan korupsi dan efisiensi anggaran. Kita tahu bahwa dalam anggaran belanja negara banyak pos biaya yang boros karena saling tumpang tindih. Sebagai gambaran, dalam APBN telah ada pos belanja pegawai, namun bila diteliti dengan jeli pos belanja pegawai juga masuk dalam pos belanja barang dan belanja modal. Hal itu jelas akan menyebabkan pemborosan anggaran negara karena ada dobel pembiayaan.

Terkait dengan hasil penelitian pemerintah yang menyatakan bahwa hampir 70% subsidi BBM jatuh/dinikmati oleh kelompok masyarakat yang tidak berhak, penyaji menyampaikan kritk bahwa hal itu terjadi karena dalam mengambil kebijakan pemerintah menggunakan paradigma konsumen yaitu paradigma yang menempatkan rakyat hanya sebagai konsumen, bukan warga negara. Paradigma konsumen akan membagi rakyat dalam keompok-kelompok, misalnya kelompok miskin sehingga berhak menerima subsidi dan kelompok kaya (tidak berhak menerima subsidi). Persoalan akan menjadi beda apabila pemerintah menggunakan paradigama warga negara yang memandang rakyat sebagai warga negara yang berhak atas semua pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, termasuk subsidi BBM. Paradima warga negara bisa muncul apabila pemerintah menyadari bahwa hubungan antara pemerintah dengan rakyar adalah berdasarkan kontrak sosial yang menempatkan pemerintah sebagai agen yang menerima mandat dari rakyat yang berposisi sebagai principal. Pola principal-agen akan mewajibkan pemerintah sebagai penerima mandat dari rakyat untuk menyediakan semua fasilitas pelayanan yang dibutuhkan oleh rakyat, termasuk dalam hal kebijakan subsidi BBM. Bila rakyat sebagai principal masih membutuhkan subsidi BBM maka pemerintah sebagai agen harus mau menyediakannya.

Kebijakan pengurangan subsidi BBM yang akan diambil oleh pemerintah di mata penyaji juga dinilai kurang tepat. Pemerintah lupa bahwa nilai APBN kita hanya 30% dari GDP, sedangkan yang 70% berada di luar APBN. Oleh karena itu sangat naif apabila untuk menyelamatkan APBN yang hanya menempati porsi 30% dari nilai total GDP pemerintah harus mengorbankan roda perekonomian masyarakat yang menyumbang porsi 70% dari total GDP. Pemerintah harus lebih jeli memilih kebijakan yang akan diambil agar kebijakan tersebut dapat menyelamatkan APBN namun tidak mengurangi gerak roda perekonomian masyarakat.

Terkait dengan kebijakan subsidi BBM yang harus ditanggung oleh pemerintah dari tahun ke tahun yang pada akhirnya dapat menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat apabila ada kebijakan pengurangan subsidi, penyaji memiliki pandangan bahwa semua itu terjadi karena adanya kesalahan dalam mengelola sumber energi nasional. Kita harus mengakui bahwa pengelolaan energi nasional masih jauh dari ideal. Selama ini kita yang terkenal sebagai negara yang kaya dengan sumber daya alam/sumber energi, belum mampu mengelola kekayaan tersebut dengan baik sehingga kita selalu mengalami krisis energi. Selama ini kita belum memiliki sumber daya dan teknolOgi untuk meneliti/memantau sumber energi yang ada di bumi pertiwi dan kita masih tergantung dengan negara asing. Celakanya negara asing yang memiliki informasi tentang kekayaan sumber daya energi kita tidak akan mau memberikan informasi secara cuma-cuma. Mereka biasanya bersedia untuk memberikan informasi dengan catatan mereka diberi kompensasi untuk dapat melakukan eksplorasi sumber daya energi tersebut. Oleh karena itu wajar bila pada saat ini banyak ladang minyak/gas bumi/batu bara dan sumber daya energi lain yang ekploitasinya dikuasai oleh perusahaan asing. Kita hanya menerima bagian/persentase/fee dari sumber energi yang berhasil dieksploitasi oleh perusahaan asing tersebut.

Kelemahan kita dalam mengelola sumber daya energi yang kita miliki tersebut semakin diperparah oleh watak pengelola pemerintahan yang lebih suka memperoleh keuntungan sesaat. Karena inngin mendapatkan keuntungan sesaat, kita tidak menggunakan sumber energi yang kita peroleh dari hasil fee yang diberikan oleh perusahaan asing untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, melainkan untuk dijual ke pasar internasional. Hal itu mengakibatkan pasokan energi dalam negeri relatif terbatas dan sangat tergantung pada impor. Kita menjual hasil ekplorasi energi dalam negeri untuk mengimpor energi dari luar negeri. Merupakan pengelolaan energi yang tidak dapat dipahami karena hanya memikirkan keuntungan sesaat. Selama ini kita tidak mau belajar dari negara negara barat yang menyimpan cadangan energi yang dimiliki untuk kepentingan jangka panjang. Sebagai contoh, Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang memiliki sumber energi berlimpah, namun mereka tidak mau melakukan eksplorasi terhadap sumber energi dalam negeri tersebut, malah melakukan impor dari negara lain guna memenuhi kebutuhan dalam negeri. Mereka merencanakan untuk menggunakan cadangan energi tersebut bila sudah tidak mampu melakukan impor.

Terkait dengan materi yang dipaparkan oleh penyaji seorang peserta seminar menyatakan bahwa kebijakan pengurangan subsidi BBM tidak akan efektif apabila hal itu tidak dibarengi dengan upaya perubahan mentalitas masyarakat kita yang cenderung boros energi. Sebagian besar rakyat Indonesia lebih senang untuk naik kendaran bermotor daripada naik sepeda atau jalan kaki. Kita harus menyadarkan masyarakat akan pentingnya hemat energi karena suatu saat sumber energi kita pasti akan habis. Namun demikian kampanye hemat energi ini juga tidak akan berhasil apabila pemerintah tidak menyediakan alternatif lain yang bisa diambil oleh masyarakat. Sebagai contoh, kampanye untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi tidak akan terlaksana bila pemerintah tidak menyediakan fasilitas transportasi yang nyaman dan memadai.

Peserta seminar yang lain mengajukan tanggapan terkait dengan pernyataan pemerintah bahwa pemerintah masih harus menyediakan subsidi BBM meskipun harganya naik 1500 menjadi 6000 karena harga BBM dipasar internasional mencapai lebih dari 9000. Namun berdasarkan kalkukasi yang dilakukan oleh pakar dari UGM sebenarnya dengan kenaikan 1500 rupiah harga BBM dalam negeri telah sama dengan harga internasional sehingga pemerintah tidak perlu mengeluarkan sumsidi lagi. Terkait dengan pernyataan tersebut penyaji mengakui bahwa selama ini pemerintah tidak transparan dalam menghitung biaya produksi energi sehingga kita tidak mengetahui harga keekonomian dari BBM yang sebenarnya. Kondisi ini sangat sulit untuk dibenahi karena banyak kepentingan yang bermain di dalamnya. Demikian tanggapan penyaji sebelum seminar sore tersebut ditutup.*

Jati Diri UGM: Masihkah Dipegang Teguh?

“Seiring dengan cita-cita yang dicanangkan oleh KementErian Pendidikan Nasional untuk menjadikan universitas yang ada di negeri ini sebagai universitas riset berkelas internasional (World Class Riset University), Universitas Gadjah Mada sebagai salah satu universitas terbesar di Indonesia tidak ingin ketinggalan untuk dapat ikut serta mewujudkan diri sebagai universitas yang menyandang predikat tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah untuk dapat menyandang predikat tersebut UGM harus menanggalkan/meninggalkan jati diri universitas yang telah dimilikinya sejak kelahirannya? Ataukah predikat tersebut dapat diwujudkan oleh UGM tanpa harus meninggalkan jati dirinya?”, demikian lontaran pernyataan penyaji dalam seminar bulanan yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada yang diselenggarakan pada hari Kamis, tanggal 23 Februari 2012. Seminar yang telah menjadi tradisi setiap bulan tersebut, pada kesempatan itu menampilkan seorang narasumber, yaitu Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sc guru besar pada Fakultas Teknologi Pertanian UGM sekaligus anggota Senat Akademik Universitas Gadjah Mada, dengan moderator Drs. Suharman, M.Si wakil kepala PSPK UGM. Topik yang dibahas pada seminar tersebut adalah “Menggugat Peran UGM Sebagai Penyelenggara Pendidikan Kerakyatan”.

Cita-cita untuk mewujudkan diri sebagai universitas riset berkelas internasional merupakan cita-cita yang luhur karena akan dapat mengharumkan nama bangsa dan negara di kancah internasional. Namun cita-cita tersebut dapat melunturkan jati diri universitas yang selama ini disandang apabila upaya atau kebijakan yang ditempuh untuk mewujudkannya tidak didasari oleh nilai-nilai kearifan yang dimiliki oleh UGM sebagai warisan luhur yang ditinggalkan oleh para founding father. Sebagai sebuah otokritik, kita harus mengakui bahwa selama ini kita cenderung mengabaikan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh para pendiri UGM, hanya demi status sebagai universitas riset berkelas internasional. Kita harus jujur bahwa selama ini kita telah menterjemahkan upaya untuk mewujudkan cita-cita tersebut dalam berbagai kebijakan yang kurang pas, yang akhirnya justru melunturkan jatidiri UGM yang selama ini telah disandangnya.

Sebagai salah satu contoh kebijakan yang tidak pas dalam upaya mewujudkan cita-cita UGM sebagai universitas riset berkelas internasional adalah pembukaan kelas internasional. Kita memiliki anggapan bahwa dengan membuka kelas internasional yaitu kelas yang diperuntukkan bagi mahasiswa asing kita sudah menjadi universitas yang bertaraf internasional, sebuah kebijakan yang kontraproduktif karena tanpa diimbangi dengan penyediaan sumber daya dan fasilitas yang memadai sehingga justru memperberat beban dosen. Kita tidak menyadari bahwa sebenarnya predikat internasional tidak harus diwujudkan dengan cara tersebut. Tanpa adanya kebijakan khusus, yaitu pembukaan kelas internasional sebenarnya kita bisa mewujudkan predikat tersebut, dengan catatan kita harus mau meningkatkan kualitas pendidikan yang selama ini telah diterapkan, misalnya dengan meningkatkan kualitas dosen, meningkatkan fasilitas penunjang pendidikan, dan meningkatkan kualitas sumber daya yang dimiliki oleh UGM.

Kebijakan lain yang telah ditempuh oleh UGM yang justru bersifat kontraproduktif karena melunturkan jati diri yang dimiliki misalnya kebijakan penelitian. Guna meningkatkan prestise universitas, kita cenderung mengkonsentrasikan sumber daya yang dimiliki hanya untuk melakukan riset atau penelitian yang memiliki prestise tinggi, meskipun hasil riset tersebut kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Banyak penelitian yang telah dilakukan oleh civitas akademika UGM yang ternyata hanya tersimpan di perpustakaan dan kurang memiliki manfaat bagi masyarakat banyak. Masalah lain terkait persoalan penelitian/riset adalah belum adanya manajemen riset yang baik. Banyak penelitian yang dilakukan oleh civitas akademi yang tidak diketahui oleh institusi sehingga terjadi kesimpangsiuran dalam mengambil kebijakan ketika penelitian tersebut memunculkan masalah. “Pernah ada penelitian yang menimbulkan masalah hingga masuk dalam proses hukum. Lucunya dari satu institusi (UGM) tampil dua pihak yang berada dalam posisi saling berseberangan. Sama-sama dari UGM namun posisi mereka berbeda, satu pihak sebagai terdakwa, sedangkan di lain pihak menjadi konsultan pihak penuntut.”

Kebijakan dalam pengelolaan program studi di tingkat pascasarjana yang dilakukan oleh UGM juga menimbulkan permasalahan tersendiri. Selama ini UGM menerapkan kebijakan untuk pengelolaan program studi monodisiplin diserahkan ke fakultas, sedangkan untuk program studi multidisiplin diserahkan ke sekolah pascasarjana. Yang menjadi permasalahan adalah siapa yang mengawasi kebijakan yang dilaksanakan oleh pengelola sekolah pasca sarjana? Karena disana tidak ada senat akademik. Pembukaan program studi yang tidak terkontrol juga menjadi masalah tersendiri bagi Universitas Gadjah Mada. Pada saat ini Sekolah Pascasarjana telah mengelola lebih dari dua puluh program studi dan jumlah itu akan terus bertambah karena hampir setiap tahun ada pembukaan program studi baru. Hal itu tentu akan menimbulkan persoalan karena setiap pembukaan program studi baru menuntut adanya penyediaan sumber daya dan fasilitas. Sementara kemampuan kita untuk memenuhi tuntutan tersebut relatif rendah. Akhirnya program studi tersebut diselenggarakan secara asal-asalan.

Syarat lain yang harus dipenuhi oleh universitas yang ingin menyandang status sebagai universitas riset bertaraf internasional adalah jumlah publikasi ilmiah setiap tahun. Namun harus diakui bahwa jumlah karya ilmiah yang telah dipublikasikan oleh civitas akademika UGM masih relatif rendah. Untuk itu, UGM telah melakukan berbagai upaya guna meningkatkan jumlah tersebut. Namun yang hingga saaat ini belum dilakukan oleh UGM adalah upaya untk meningkatkan jumlah citasi terhadap karya ilmilah yang dipublikasikan. Universitas nampaknya belum memiliki strategi khusus untuk hal itu. “Banyaknya jumlah karya ilmiah yang dipublikasikan belum dapat menjamin bahwa hal itu otomatis akan meningkatkan sitasi terhadap karya ilmiah tersebut. oleh karena itu perlu pemikiran khusus agar karya ilmiah yang kita publikasikan juga banyak disitasi/dirujuk oleh para pembaca.

Terkait dengan pelaksanakaan kegiatan pengabdian terhadap masyarakat penyaji menyampaikan informasi bahwa ia baru saja mendapat masukan dari seorang mantan walikota yang menyatakan bahwa pelaksanakan kegiatan KKN yang selama ini dilaksanakan oleh UGM belum dapat memberikan kontribusi nyata pada upaya pemecahan masalah yang dihadapi oleh masyarakata. Kendala utama yang dihadapi oleh para peserta KKN adalah rendahnya kemampuan komunikasi mereka dengan masyarakat. Jangankan para mahasiswa, para dosen pembimbing lapangan pun masih banyak yang mengalami kendala dalam berkomunikasi dengan masyarakat. Kesulitan dalam berkomunikasi ini menyebabkan para mahasiswa tidak mampu menggali data/informasi tentang persoalan yang dihadapi oleh masyarakat sehingga program kegiatan yang mereka laksanakan juga kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Akhir-akhir ini, Universitas Gadjah Mada dituduh telah kehilangan jati diri sebbagai universitas kerakyatan akibat mahalnya biaya pendidikan yang dibutuhkan di UGM. Terkait dengan tuduhan tersebut, penyaji menyatakan bahwa sebenarnya munculnya tuduhan tersebut merupakan hal yang wajar karena kenyataannya biaya kuliah di UGM, khususnya pada saat menyandang predikat BHMN, relatif mahal. Meskipun tidak dapat dipungkiri pula bahwa UGM juga menyediakan berbagai fasilitas beasiswa bagi mahasiswa yang kurang mampu, namun hal itu tidak dapat menghilangkan kesan yang terlanjur muncul ditengah-tengah masyarakat bahwa biaya pendidikan di UGM relatif mahal. Tingginya biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh para mahasiswa UGM bukan sepenuhnya kesalahan pengelola universitas karena untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas memang membutuhkan sokongan dana yang tidak sedikit. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa UGM membebankan sebagian biaya tersebut kepada mahasiswa? Apakah tidak ada cara lain yang bisa ditempuh untuk menghimpun dana bagi upaya mewujudkan pendidikan yang berkualitas tanpa harus memberatkan mahasiswa, yang akhirnya merugikan UGM sendiri karena melunturkan identitas UGM sebagai univeritas kerakyatan?

Terkait dengan topik yang dibahas muncul tanggapan dari seorang peserta seminar. Ia mengeluhkan kebijakan yang ditempuh UGM yang cenderung pilih kasih. Sebagai gambaran, ia merasa kesulitan untuk mendapatkan dukungan dana dari universitas guna membiaya kegiatan UKM yang dikelolanya, sementara ia mengetahui bahwa ada kelompok mahasiswa lain yang kegiatannya didukung fasilitas pendanaan yang luar biasa banyaknya, hanya karena program kegiatan yang dilaksanakan lebih bisa mendatangkan prestis bagi universitas. Menanggapi keluhan tersebut penyaji menyatakan bahwa idealnya universitas mendukung semua kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa, baik yang prestisius maupun kurang prestisius asalkan kegiatan tersebut bersifat positif.

Peserta lain menyatakan bahwa kelemahan yang dimiliki UGM adalah tidak adanya desain untuk mewujudkan jati dirinya. Kita tahu bahwa jati diri yang dimiliki oleh UGM adalah by product. Jati diri tersebut muncul karena kerja/kiprah perseorangan. UGM terkenal sebagai universias kerakyatan berkat pemikiran Prof. Mubyarto, Prof. Masri, dll. Jati diri tersebut muncul by product sehingga ketika tokoh-tokoh tersebut sudah tiada maka hilang pula identitas tersebut. Idealnya UGM mulai membuat desain yang jelas/strategi yang jelas untuk membangun jati dirinya sehingga identitas atau jati diri itu tidak akan hilang meskipun civitas akademika UGM silih berganti.*

Penguatan Kelembagaan Bagi Masyarakat Korban Gempa di Klaten

Sebagai tindak lanjut dari program pendampingan terhadap warga masyarakat korban gempa di Kabupaten Klaten yang telah dilaksanakan oleh PSPK UGM sejak tahun 2008, pada tahun 2009 PSPK UGM kembali melakukan beberapa jenis program pendampingan. Jenis program pendampingan yang dilaksanakan pada tahun 2009 ini adalah pembentukan lembaga keuangan mikro di tingkat Rukun Warga (RW) di Desa Gesikan dan Desa Ceporan, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten. Sekedar tambahan informasi, kegiatan pendampingan yang dilaksanakan oleh PSPK UGM pada tahun 2009 ini juga bekerja sama dengan Australia Indonesia Partnership Program (AIP). Program kegiatan ini dilaksanakan selama 10 bulan yaitu sejak bulan Maret hingga Desember 2009.

Beberapa jenis kegiatan yang dilaksanakan sebagai perwujudan dari pelaksanaan program pembentukan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah pembentukan LKM di tingkat RW, pelatihan manajemen keuangan bagi pengurus LKM, dan pengadaan modal dan sarana kerja LKM.

Melalui pendampingan yang dilaksanakan secara intensif oleh para pendamping dari PSPK UGM, maka pada akhir bulan pertama pelaksanaan program telah terbentuk lembaga keuangan mikro di 19 RW yang ada di Desa Gesikan dan Desa Ceporan. LKM ini beranggotakan ibu-ibu di lingkungan RW tersebut yang memiliki usaha produktif, sedangkan pengurus dipilih secara demokratis oleh seluruh anggota LKM. Guna memperkuat sistem kelembagaan LKM maka setiap LKM yang terbentuk kemudian menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) LKM yang memuat berbagai aturan terkait dengan LKM, misalnya aturan tentang keanggotaan LKM, hak dan kewajiban pengurus, aturan peminjaman, sanksi dll.

Guna meningkatkan pengetahuan dalam melaksanakan kegiatan LKM, maka program juga melaksanakan kegiatan pelatihan manajemen keuangan bagi para pengurus LKM. Kegiatan dilaksanakan di dua tempat, yaitu di Balai Desa Gesikan dan Balai Desa Ceporan, dan diikuti oleh semua pengurus LKM di desa tersebut. Pelatihan  dilaksanakan selama 2 hari dengan menghadirkan narasumber yang berkompeten, baik dari lingkungan UGM maupun lembaga lain.

Sebagai modal awal LKM maka program memberikan dana hibah sebesar 10 juta rupiah per LKM. Dana tersebut dikelola oleh LKM dengan menyediakan fasilitas kredit tanpa agunan bagi para anggotanya. Diharapkan melalui fasilitas kredit tersebut LKM dapat membantu mengatasi kesulitan permodalan yang banyak dialami oleh anggota LKM untuk mengembangkan usahanya. Selain itu, diharapkan semakin lama modal yang dimiliki oleh LKM bisa terus berkembangberkat jasa dan juga simpanan para anggota LKM.

Nasionalisme Baru: Nasionalisme Bangsa Indonesia Menghadapi Tantangan Global

“Bangsa Indonesia sejak dahulu terkenal sebagai bangsa yang ramah terhadap bangsa lain. Setiap orang asing yang datang ke bumi Nusantara disambut dengan tangan terbuka. Bahkan terhadap orang atau bangsa asing yang datang dengan maksud jahat. Kita baru sadar dan berani melakukan perlawanan setelah kita terlanjur ditindas oleh bangsa asing tersebut, sehingga perlawanan itu membutuhkan pengorbanan yang besar dan berdarah-darah” demikian pernyataan penyaji dalam seminar bulanan yang diselenggarakan oleh PSPK UGM pada hari Kamis, tanggal 5 Januari 2012 di ruang sidang besar kantor tersebut. Seminar yang telah menjadi kegiatan rutin setiap bulan tersebut, pada kesempatan itu menampilkan seorang narasumber Prof. Dr Pratikno, M. Soc. Sc, guru besar jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, yang juga pejabat dekan di Fakultas tersebut. Topik yang diangkat dalam seminar yang diselenggarakan pada sore hari tersebut adalah “Tantangan Politik dan Nasionalisme Indonesia 2012″.

Keramahan bangsa Indonesia terhadap bangsa atau orang asing terus berlanjut hingga saat ini, pada saat Bangsa Indonesia telah memasuki era kemerdekaan. Setiap pihak luar/asing yang datang ke negeri ini disambut dengan baik meskipun kedatangannya membawa misi terselubung, sebuah misi yang sangat merugikan kedaulatan bangsa Indonesia. Memang pada saat ini ancaman bangsa/orang asing terhadap negeri ini bukan lagi dalam bentuk agresi yang bertujuan untuk menguasai secara de fakto negeri yang terkenal subur makmur ini, sehingga kita “bangsa Indonesia” sama sekali kehilangan kedaulatan sebagai sebuah bangsa dan menjadi bangsa jajahan. Pengaruh bangsa asing tersebut datang dan merasuk ke bumi nusantara secara halus tanpa kita sadari melalui berbagai bentuk kerja sama yang mereka tawarkan. Namun demikian dampak yang ditimbulkan oleh “agresi” terselubung tersebut sungguh luar biasa. Kita saat ini memang tidak kehilangan kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka, namun dalam praktek kehidupan sehari-hari kita bangsa Indonesia sebenarnya telah kehilangan kedaulatan tersebut. Pengaruh bangsa asing yang pada saat ini merasuk ke urat nadi kehidupan bangsa Indonesia, tanpa disadari telah menghilangkan kedaulatan bangsa Indonesia dalam berbagai bidang/aspek misalnya bidang energi, pangan, kesehatan, pendidikan, ekonomi/moneter dll.

Kita harus berani secara jujur mengakui bahwa dalam bidang energi, saat ini bangsa Indonesia telah kehilangan kedaulatan. Sungguh menyedihkan, kita sebagai bangsa yang kaya dengan sumber energi, baik yang terbarukan maupun yang tak terbarukan, sering kali mengalami krisis energi. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Walhi, Indonesia merupakan negeri yang memiliki 60 ladang minyak (basins) dengan cadangan minyak sekitar 77 milyar barel dan 332 trilyun kaki kubik (TFC) gas. Sebuah angka yang sangat mengagumkan namun kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari kita sering menyaksikan melalui media massa terjadinya kelangkaan pasokan BBM di berbagai pelosok tanah air. Akar permasalahannya adalah kita telah kehilangan kedaulatan dalam pengelolaan sumber daya energi yang kita miliki. Selama ini kita tidak mampu mengelola dan mengeksplorasi sendiri ladang minyak yang kita miliki dan menyerahkan sebagian besar pengelolaan dan eksplorasi ladang minyak tersebut pada perusahaan asing. Lemahnya posisi tawar bangsa Indonesia terhadap perusahaan-perusahaan asing tersebut telah menyebabkan kita tidak dapat memetik keuntungan maksimal dari kegiatan eksplorasi tersebut. Sebagian besar keuntungan dinikmati oleh bangsa asing karena sebagian besar hasil eksplorasi diekspor ke negeri mereka. Akibatnya mereka memiliki cadangan energi yang berlimpah ruah, sedangkan kita mengalami krisis energi.

Kedaulatan bangsa Indonesia di bidang pangan pada saat ini juga telah hilang. Kita yang terkenal sebagai bangsa agraris, sebuah bangsa yang sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani, namun ternyata telah menjadi bangsa pengimpor bahan pangan terbesar di dunia. Pada tahun 2011 bangsa Indonesia telah mengimpor beras sebanyak 1,75 juta ton beras. Sebuah angka yang sangat fantastis sehingga mengantarkan kita sebagai salah satu bangsa pengimpor pangan terbesar di dunia. Kondisi ketergantungan bangsa Indonesia terhadap bahan pangan dari luar negeri tidak hanya terjadi dalam komoditas beras tapi juga dalam komoditas lain seperti kedelai, jagung, kentang, singkong, the, bawang putih, bawang merah, cabe, ikan, bahkan garam dapur. Sungguh menyedihkan bangsa Indonesia yang memiliki negeri yang sebagian besar wilayahnya berupa lautan dan memiliki garis pantai terpanjang di dunia ternyata melakukan impor garam guna memenuhi kebutuhan garam rakyatnya.

Kedaulatan bangsa Indonesia di bidang kesehatan juga telah hilang. Pada saat ini rakyat Indonesia belum dapat menikmati pelayanan kesehatan yang murah. Hal itu bukan karena cost atau biaya yang dikeluarkan oleh dokter dan unit pelayanan kesehatan guna melayani pasien relatif tinggi, melainkan karena pasien harus menanggung biaya pengobatan yang sebenarnya tidak perlu. Berbeda dengan dokter di negara maju yang hanya menganjurkan pasien untuk mengkonsumsi obat antibiotik pada saat tertentu, di Indonesia setiap orang yang sakit karena virus atau bakteri selalu diwajibkan untuk minum obat antibiotik, meskipun sebenarnya obat tersebut tidak perlu. Ketika ditelusuri lebih dalam, anjuran dokter pada pasien untuk minum obat atau antibiotik bukan sepenuhnya didasari oleh faktor medis semata, tetapi juga didasari oleh faktor lain yaitu keuntungan finansial yang akan diperoleh bila pasien mengkonsumsi obat. Harus diakui bahwa pada saat ini banyak dokter yang melakukan “perselingkuhan”  dengan pengusaha obat. Selain menjalankan tugas profesi, mereka bekerja sama dengan perusahaan untuk memasarkan obat yang diproduksi oleh perusahaan tersebut, dengan imbalan sejumlah fee. Akhirnya pasien yang menjadi korban karena harus menanggung biaya yang sebenarnya tidak perlu.

Kedaulatan bangsa Indonesia di bidang pendidikan di era sekarang ini juga sangat lemah. Hingga usia kemerdekaan Indonesia mencapai 66 tahun rakyat Indonesia juga belum dapat menikmati pendidikan yang murah. Oleh karena itu wajar bila masih banyak rakyat Indonesia yang memiliki latar belakang pendidikan rendah. Arus kapitalisasi di dunia pendidikan semakin menyingkirkan sebagian besar rakyat Indonesia dari kesempatan untuk mengenyam pendidikan murah karena orientasi utama lembaga pendidikan yang memiliki orientasi kapital bukan lagi menjalankan misi kemanusiaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa namun semata-mata untuk mencari keuntungan. Ironisnya proses kapitalisasi ini bukan hanya terjadi di sekolah/perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pihak swasta, namun juga telah melanda banyak sekolah/ erguruan tinggi negeri.

Kedaulatan bangsa di sektor ekonomi/moneter juga telah luntur tergerus derasnya pengaruh yang datang dari luar. Kita sering mendengar pejabat negara dengan bangga menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi. Namun kita tidak menyadari siapa sebenarnya yang memetik keuntungan dari pertumbuhan ekonomi tersebut, kita bangsa Indonesia ataukah bangsa lain. Harus jujur pula kita akui bahwa sebenarnya yang memetik keuntungan besar dari pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah bangsa asing. Hal itu karena sebagian besar pelaku ekonomi dalam negeri adalah orang asing. Privatisasi BUMN telah menyebabkan perusahaan-perusahaan tersebut menjadi kepanjangan tangan dari pihak asing untuk mengeruk keuntungan ekonomi di dalam negeri. Kondisi ini semakin diperparah oleh kenyataan semakin banyaknya perusahaan domestik yang diakuisisi atau dibeli oleh pemodal dari luar negeri. Bila dilihat dari luar perusahaan-perusahaan tersebut masih dikelola oleh orang-orang Indonesia namun karena sahamnya telah dimiliki oleh pihak asing maka otomatis keuntungan yang diperoleh perusahaan akan dimiliki oleh pihak asing tersebut. Orang-orang Indonesia yang bekerja diperusahaan tersebut hanya menjadi pekerja yang mendapat upah, namun mereka sama sekali tidak memiliki hak untuk menikmati keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan tersebut.

Dari semua bidang kehidupan yang telah mengalami “agresi” dari pihak asing, bidang politik merupakan bidang yang paling menyedihkan karena memiliki dampak yang sangat luas bagi kehidupan bangsa Indonesia. Selama ini bangsa Indonesia memang memiliki pemerintah/penguasa sebagai pemegang mandat kekuasaan negara yang dipimpin oleh putra-putra bangsa. Namun kita harus mengakui bahwa selama era kemerdekaan, lebih-lebih di era Orde Baru dan Orde Reformasi pemerintah sebagai pemegang mandat kekuasaan dari rakyat tidak dapat sepenuhnya menegakkan kedaulatan politik yang dimiliki. Setiap awal tahun pemerintah Indonesia memang merumuskan kebijakan pemerintahan sebagai pedoman dalam menjalankan pemerintahan. Namun dengan jujur harus kita akui bahwa selama ini pemerintah belum dapat sepenuhnya merumuskan dan melaksakan kebijakan pemrintahan yang dapat mensejahterakan rakyat. Banyak kebijakan yang diambil yang justru menyengsarakan rakyat. Banyak kasus yang dapat disebut sebagai contoh dari adanya kebijakan pemerintah yang justru menyengsarakan rakyat, misalnya kebijakan pembukaan lahan perkebunan di Mesuji Lampung dan kebijakan ekplorasi SDA di Papua.

Akar Permasalahan dan Solusi

Sebenarnya masih banyak hal yang dapat disebut untuk menggambarkan telah hilangnya kedaulatan bangsa Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan negeri ini, namun bila hal tersebut terus kita bahas maka yang muncul bukan lagi kebahagian namun rasa sedih dan frustasi. Oleh karena itu, marilah sekarang kita mencoba untuk menemukan akar permasalahan dari semua masalah tersebut agar nantinya kita dapat menemukan solusi dari berbagai masalah itu.

Menurut hemat saya, akar dari munculnya berbagai masalah dalam kehidupan bangsa Indonesia adalah adanya konsep nasionalisme yang tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Selama ini kita hanya memfokuskan konsep nasionalisme dalam tataran domestik, yaitu satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Semua kebijakan yang diambil oleh negara terkait dengan sikap nasionalisme terpaku pada upaya untuk mewujudkan hal tersebut. kurikulum pendidikan di Indonesia sebagai salah satu contoh kebijakan negara yang berkaitan dengan nasionalisme, masih terfokus pada upaya untuk menanamkan dalam diri anak didik konsep nasionalisme yang bertumpu pada upaya mewujudkan kesatuan tersebut, yaitu satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Kurikulum pendidikan kita belum mengajarkan bahwa dalam kesatuan sebagai bangsa, bangsa Indonesia juga hidup diantara banyak bangsa yang masing-masing memiliki kepentingan. Dalam era globalisasi, kita tidak dapat menutup diri dari pergaulan dunia sehingga mau tidak mau kita harus bergaul dengan bangsa-bangsa lain dengan berbagai kepentingan mereka. Karena kepentingan banga asing tidak selalu jalan dengan kepentingan domestik bangsa Indonesia maka setiap anak didik seyogyanya dididik dan diajari konsep nasionalisme yang tidak hanya mengajarkan nilai persatuan tetapi juga nasionalisme yang mampu memberi kekuatan pada mereka untuk menolak intervensi/pengaruh bangsa lain yang akan merugikan bangsa Indonesia. Kita tidak hanya mendidik anak-anak kita untuk menjaga persatuan namun juga mendidik mereka untuk menolak setiap pengaruh dari luar negeri yang akan merugikan bangsa ini. Sebagai contoh, kalau kita bisa menggunakan produk dalam negeri mengapa kita harus “cinta mati” dengan produk asing.

Langkah lain yang harus ditempuh untuk mengembalikan kedaulatan bangsa yang telah dirampok oleh bangsa asing adalah memilih pemimpin-pemimpin bangsa yang memiliki karakter yang mampu bersikap tegas terhadap pihak lain yang akan merugikan kepentingan dalam negeri. Pemimpin tersebut juga harus mampu menghentikan “perselingkuhan” yang telah dilakukan oleh para elit politik dengan para “cukong”/pelaku ekonomi yang telah menyebabkan tingginya biaya politik dalam proses perpolitikan di negeri ini dan juga telah menyengsarakan rakyat Indonesia. “Kita harus jujur bahwa “perselingkuhan’ antara pemegang kekuasaan dengan pelaku ekonomi telah menyebabkan lahirnya berbagai kebijakan negara yang tidak berpihak pada rakyat dan malah menyengsarakan rakyat.”, demikian ajakan penyaji sebelum seminar sore tersebut ditutup.