Terhalang Pulang: Bui Tanpa Jerajak Besi, Kisah Seorang Eksil di Negeri Orang

“Setiap berkunjung ke Indonesia saya selalu mendapat inspirasi sebagai bahan untuk membuat tulisan-tulisan tentang Indonesia. Meskipun di media massa saat ini gencar pemberitaan tentang keburukan-keburukan yang terjadi di negeri ini, misalnya korupsi yang merajalela, penegakan hukum yang belum maksimal, kemiskinan dan pengangguran. Namun itu semua tidak merubah kesan positif saya pada negeri ini. Merupakan hal yang lumrah suatu negeri menghadapi berbagai masalah, apalagi negeri tersebut masih berumur relatif muda. Negeri-negeri barat yang telah berumur ratusan tahun juga masih menghadapi banyak permasalahan. Saya sangat prihatin dengan orang Indonesia yang malu mengakui negeri ini sebagai tanah airnya karena banyaknya persoalan yang dihadapi bangsa ini. Kita tidak perlu malu mengakui negeri ini sebagai negeri kita karena permasalahan yang ada di negeri ini juga dihadapi oleh bangsa-bangsa lain. Bahkan bangsa-bangsa lain di Asia ini jauh lebih buruk kondisinya dibanding negara kita. Saya sendiri meskipun saat ini secara hukum tercatat sebagai warga Negara Belanda, namun jauh di dalam lubuk hati saya yang paling dalam saya masih tetap mengakui negeri ini sebagai tanah air saya yang sangat saya cintai” demikian pernyataan Ibrahim Isa yang menjadi pembicara tunggal dalam seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada pada hari Kamis, tanggal 6 September 2012. Seminar yang diselenggarakan pada kesempatan tersebut mengangkat topik “Terhalang Pulang: Bui Tanpa Jerajak Besi, Kisah Seorang Eksil di Negeri Belanda” dengan moderator Drs. Suharman, M.Si, wakil kepala PSPK UGM.

Ibrahim Isa adalah anak bangsa kelahiran Jatinegara tahun 1930 yang pada masa revolusi 1945 bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan negeri ini dari tangan penjajah. Setelah era perang usai, dia melanjutkan sekolah sambil mengajar di sekolah milik sebuah yayasan. Ketika negara ini membutuhkan tenaga dan pikirannya untuk membantu persiapan pelaksanaan konferensi tingkat Asia Afrika yang digagas oleh Presiden Sukarno, maka Ibrahim Isa mengabdikan diri kepada negeri ini dengan bekerja di sekretariat panitia persiapan konferensi yang bermarkas di Kairo Mesir. Pada tahun 1965, 3 hari setelah peristiwa G30S PKI Ibrahim Isa kembali ke tanah air. Namun karena situasi yang mengancam keselamatan hidupnya maka akhirnya Ibrahim Isa mengungsi ke luar negeri. Karena pada saat itu hanya negeri Tiongkok yang menawarkan bantuan kepadanya, maka akhirnya Ibrahim Isa memilih untuk menetap di negeri Tiongkok. Pertimbangan lain Ibrahim Isa memilih untuk tinggal di negeri Tiongkok adalah karena ia memiliki banyak sahabat yang siap membantunya bila mau tinggal di negeri itu.

Selama tinggal di negeri Tiongkok, Ibrahim Isa diberi kebebasan oleh pemerintah Tiongkok. Ia tetap bisa menulis berbagai hal tentang Indonesia karena ia diberi fasilitas mesin ketik dan mesin stensil, sebuah fasilitas yang tergolong mewah karena pada waktu itu barang tersebut sangat sukar didapatkan di negeri tersebut. Meskipun ia mendapat bantuan dari pemerintah Tiongkok namun ia tetap dapat bersikap kritis kepada pemerintah Tiongkok. Ia banyak mengkritik pemerintah Tiongkok yang kurang menghargai kebebasan berpendapat dan menyuarakan aspirasi. Ia sering bertanya kepada pejabat negeri Tiongkok yang juga bersahabat dengannya, mengapa negeri ini melarang adanya oposisi, bukankah keberadaan oposisi akan dapat mengontrol dan mengoreksi kebijakan yang kurang tepat yang diambil oleh pemerintah. Setelah sekitar dua puluh tahun Ibrahim Isa tinggal di negeri Tiongkok, ia pindah ke negeri Belanda. Di negeri tersebut, di tetap rajin menulis buku dan artikel tentang Indonesia.

Terkait dengan peristiwa berdarah tahun 1965 yang menyebabkan dirinya harus terlunta-lunta di negeri orang, Ibrahim Isa menyatakan bahwa selama ini rakyat Indonesia telah dibohongi oleh penguasa Orde Baru. Rakyat dijejali dengan berbagai Informasi menyesatkan yang menyebabkan bahwa rakyat memiliki pendapat bahwa peristiwa G30S terjadi karena ulah PKI. Semua buku sejarah yang terbit pada masa Orde Baru mengisahkan bahwa peristiwa tersebut terjadi karena ulah PKI yang ingin melakukan kudeta kepada pemerintahan Sukarno. Namun apakah hal itu memang sesuai dengan fakta yang sebenarnya? Pada masa reformasi sekarang ini mulai muncul data/informasi yang membantah klaim sejarah versi Orde Baru tersebut. Banyak data yang menunjukkan bahwa sebenarnya peristiwa G30S tidak seperti apa yang ditulis oleh rezim Orba. Meskipun data baru yang muncul pada masa reformasi belum sepenuhnya dapat meluruskan sejarah yang dibengkok oleh rezim Orba namun setidak-tidaknya data tersebut dapat menjadi pembanding yang akan mengantarkan rakyat pada kesimpulan yang benar tentang peristiwa 65 tersebut.

Ibrahim Isa menuturkan bahwa berdasarkan kesaksian berbagai pihak yang tahu atau terlibat dalam peristiwa tersebut, penculikan dan pembunuhan sadis yang terjadi pada saat G30S tidak direncanakan sejak awal oleh gerakan tersebut. Rencana awal gerakan tersebut bukanlah untuk menculik dan membunuh para jendral TNI AD, namun sekedar menjemput mereka untuk dihadapkan pada Presiden Sukarno karena mereka diindikasikan akan melakukan kudeta. Selain itu, gambaran yang diberikan oleh Orba bahwa yang melakukan pembunuhan dan penyiksaan pada para jendral tersebut adalah anggota GERWANI/PKI masih disangsikan karena belum dibuktikan secara ilmiah. Namun meskipun belum ada penelitian Orba telah membuat kesimpulan yang melakukan semua itu adalah mereka. Sebagai fakta pendukung dari hal itu, tentara Orba merilis temuan berbagai senjata tajam (clurit, arit, dll) di rumah seorang anggota GERWANI/PKI.

Berdasarkan penelitian dari sejarawan dari luar negeri, peristiwa G30S yang dirancang oleh pihak tertentu sebagai alat pembenar (legitimasi) bagi tentara yang berada di bawah komando Suharto untuk melakukan serangkaian penangkapan/pembantaian kepada para anggota PKI dan pendukung Sukarno. Sebuah peristiwa yang akhirnya menjadi titik hitam sejarah bangsa Indonesia karena menelan korban lebih dari 20 juta orang. Bukan hanya mereka yang tercatat sebagai anggota PKI tetapi juga mereka yang diindikasikan sebagai orang PKI atau pendukung Sukarno. Ibrahim Isa sendiri yang tak tahu menahu dengan peristiwa G30S dan bukan anggota PKI turut menjadi korban dan terpaksa mengungsi ke luar negeri hingga saat ini. “Di negeri yang katanya berdasarkan atas hukum ini tentara yang berada di bawah komando Suharto menangkap dan memenjarakan banyak pejabat tanpa proses hukum. Pada waktu itu Suharto menangkap dan memenjarakan 30 orang menteri dalam kabinet seratus menteri yang diangkat Sukarno pasca peristiwa G30S. Salah satu tokoh yang ikut ditangkap dan dipenjarakan adalah Ir. Setiaji menteri PU, sahabat saya.”, papar penyaji.

Terkait dengan SUPERSEMAR, pembicara memaparkan bahwa berdasarkan pidato Presiden Sukarno di depan MPRS, surat tersebut bukanlah surat pemindahan kekuasaan tapi sekedar surat perintah kepada Suharto untuk memulihkan keamanan national. Namun surat tersebut telah diselewengkan oleh Suharto sebagai surat perintah pengalihan kekuasaan, dan dijadikan landasan bagi Suharto untuk menurunkan presiden Sukarno. Banyak cara yang dilakukan oleh Suharto untuk menutupi kelicikannya itu antara lain dengan memalsukan sejarah. “Dalam buku versi Indonesia dari buku karya Cindi Adam yang telah mewawancarai Presiden Sukarno, seolah-olah Sukarno menjelek-jelekkan Hatta, padahal dalam buku aslinya hal itu tidak ada. Namun untungnya kelicikan tersebut terbongkar berkat penelitian seorang sejarawan dari UI. Banyak fakta sejarah yang telah dibengkokkan oleh Suharto demi melegitimasi kekuasaan yang direbutnya dari Presiden Sukarno, namun seiring dengan bergulirnya reformasi maka satu persatu akhirnya terbongkar.“, papar penyaji.

“Terkait dengan proses keluarnya SUPERSEMAR yang tidak wajar, sedikit demi sedikit telah terkuak. Sebelum surat perintah tersebut ditandatangani oleh presiden Sukarno. Presiden yang waktu itu sedang memimpin rapat kabinet mendapat laporan bahwa istana telah dikepung oleh pasukan tidak dikenal sehingga menyebabkan presiden meninggalkan istana dan mengungsi ke Bogor. Berdasarkan penelitian sejarah akhirnya diketahui bahwa pasukan tak dikenal tersebut adalah pasukan yang dikomandani oleh seorang jendral tangan kanan Suharto. Meskipun fakta ini ditutup-tutupi akhirnya terkuak juga. Ketika presiden berada di Istana Bogor, ada 3 orang jendral TNI AD yang menyusul dan akhirnya keluarlah surat tersebut. Fakta ini menggambarkan bahwa surat tersebut dikeluarkan oleh presiden dalam keadaan tertekan.”, papar penyaji.

Saat menanggapi pertanyaan seorang peserta seminar tentang pesan apa yang dapat diberikan oleh penyaji agar peristiwa kelam masa lalu tidak terulang lagi, penyaji mengatakan bahwa kejujuran dalam membaca sejarah merupakan kuncinya. “Bila setiap orang mampu membaca sejarah secara jujur tanpa takut dengan kekuasaan dan dapat meyampaikan kebenaran sejarah tersebut kepada seluruh rakyat Indonesia, maka itu akan menjadi pembelajaran bagi rakyat Indonesia untuk menghindari terulangnya peristiwa kelam tersebut di masa yang akan datang.”, demikian tanggapan penyaji sebelum seminar ditutup.