Kontroversi Pengurangan Subsidi BBM

“Akhir-akhir ini kita disuguhi pemberitaan di media massa tentang sikap pro kontra yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia terkait dengan kebijakan pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang akan dilaksanakan oleh pemerintah mulai April mendatang. Banyak elemen masyarakat, baik atas nama pribadi maupun kelompok masyarakat, yang mengajukan kritik terhadap kebijakan tersebut. Kritik-kritk tersebut disampaikan melalui berbagai cara, mulai cara yang santun/halus sampai cara yang keras, misalnya demo yang disertai dengan tindak anarkis. Meskipun mendapat tantangan/penolakan dari berbagai elemen masyarakat namun nampaknya pemerintah tidak merasa terusik dan tetap akan menerapkan kebijakan tersebut.” Demikian pernyataan penyaji dalam seminar yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan pada hari Kamis, tanggal 15 Maret 2012. Seminar yang telah menjadi tradisi setiap bulan tersebut pada kesempatan itu menampilkan seorang narasumber, Gabriel Lele, PhD, dosen jurusan Hubungan Internasional Fisipol UGM dan program Magister Administrasi Publik UGM, dengan moderator Dyah Candra Dewi, S.Sos. Topik yang diangkat dalam seminar tersebut adalah “Implikasi Kebijakan Pengurangan Subsidi BBM bagi Masyarakat Pedesaan”.

Kebulatan tekad pemerintah untuk melaksanakan kebijakan pengurangan subsidi BBM mulai bulan April 2012 didasari alasan bahwa pemberian subsidi BBM semakin memberatkan beban APBN. Untuk mendukung penyataan tersebut Pemerintah mengajukan data bahwa telah terjadi peningkatan jumlah subsidi BBM yang sangat signifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1996 jumlah subsidi BBM yang ditanggung oleh APBN hanya berjumlah 2,8 trilyun (0.3% GDP) namun pada tahun 2007 jumlah tersebut telah melonjak hingga 61,8 trilyun (1,8 % GDP). Di samping itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh pemerintah dapat diketahui bahwa 70% dana subsidi BBM yang telah diberikan tidak tepat sasaran, karena dinikmati oleh pihak-pihak yang tidak berhak untuk menerimanya (orang kaya). Berdasarkan alasan tersebut maka apapun yang terjadi pemerintah akan tetap melaksanakan kebijakan pemgurangan subsidi BBM. Adanya ketakutan dari berbagai pihak yang menyatakan bahwa kebijakan tersebut akan menambah berat beban yang ditanggung oleh keluarga miskin dan akan meningkatkan jumlah orang miskin. Pemerintah telah melakukan antisipasi yaitu dengan melaksanakan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi kelompok masyarakat miskin. Dengan pelaksanaan program BLT pemerintah memiliki keyakinan bahwa jumlah keluarga miskin tidak akan mengalami peningkatan akibat pelaksanaan kebijakan subsidi BBM, bahkan berdasarkan simulasi yang dilakukan oleh para pakar dari beberapa perguruan tinggi program tersebut akan dapat menurunkan angka kemiskinan.

Terkait dengan kebijakan pengurangan subsidi BBM yang akan dilaksanakan oleh pemerintah sejak bulan April mendatang, penyaji menyampaikan beberapa catatan kritis. Pertama, alasan yang disampaikan pemerintah bahwa subsidi BBM semakin memberatkan beban APBN memang tidak sepenuhnya salah. Dari tahun ke tahun jumlah tersebut memang mengalami peningkatan. Namun pemerintah telah melupakan bahwa bila dibandingkan dengan jumlah anggaran yang dialokasikan untuk pos lain dalam APBN misal pos belanja rutin, belanja barang, belanja modal, jumlah subsidi BBM masih relatif sedikit. Apabila beban APBN memang semakin berat maka langkah ynng bisa ditempuh oleh pemerintah untuk mengatasinya bukan hanya dengan mengurangi subsidi BBM. Banyak kebijakan yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi beban tersebut, misalnya dengan pemberantasan korupsi dan efisiensi anggaran. Kita tahu bahwa dalam anggaran belanja negara banyak pos biaya yang boros karena saling tumpang tindih. Sebagai gambaran, dalam APBN telah ada pos belanja pegawai, namun bila diteliti dengan jeli pos belanja pegawai juga masuk dalam pos belanja barang dan belanja modal. Hal itu jelas akan menyebabkan pemborosan anggaran negara karena ada dobel pembiayaan.

Terkait dengan hasil penelitian pemerintah yang menyatakan bahwa hampir 70% subsidi BBM jatuh/dinikmati oleh kelompok masyarakat yang tidak berhak, penyaji menyampaikan kritk bahwa hal itu terjadi karena dalam mengambil kebijakan pemerintah menggunakan paradigma konsumen yaitu paradigma yang menempatkan rakyat hanya sebagai konsumen, bukan warga negara. Paradigma konsumen akan membagi rakyat dalam keompok-kelompok, misalnya kelompok miskin sehingga berhak menerima subsidi dan kelompok kaya (tidak berhak menerima subsidi). Persoalan akan menjadi beda apabila pemerintah menggunakan paradigama warga negara yang memandang rakyat sebagai warga negara yang berhak atas semua pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, termasuk subsidi BBM. Paradima warga negara bisa muncul apabila pemerintah menyadari bahwa hubungan antara pemerintah dengan rakyar adalah berdasarkan kontrak sosial yang menempatkan pemerintah sebagai agen yang menerima mandat dari rakyat yang berposisi sebagai principal. Pola principal-agen akan mewajibkan pemerintah sebagai penerima mandat dari rakyat untuk menyediakan semua fasilitas pelayanan yang dibutuhkan oleh rakyat, termasuk dalam hal kebijakan subsidi BBM. Bila rakyat sebagai principal masih membutuhkan subsidi BBM maka pemerintah sebagai agen harus mau menyediakannya.

Kebijakan pengurangan subsidi BBM yang akan diambil oleh pemerintah di mata penyaji juga dinilai kurang tepat. Pemerintah lupa bahwa nilai APBN kita hanya 30% dari GDP, sedangkan yang 70% berada di luar APBN. Oleh karena itu sangat naif apabila untuk menyelamatkan APBN yang hanya menempati porsi 30% dari nilai total GDP pemerintah harus mengorbankan roda perekonomian masyarakat yang menyumbang porsi 70% dari total GDP. Pemerintah harus lebih jeli memilih kebijakan yang akan diambil agar kebijakan tersebut dapat menyelamatkan APBN namun tidak mengurangi gerak roda perekonomian masyarakat.

Terkait dengan kebijakan subsidi BBM yang harus ditanggung oleh pemerintah dari tahun ke tahun yang pada akhirnya dapat menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat apabila ada kebijakan pengurangan subsidi, penyaji memiliki pandangan bahwa semua itu terjadi karena adanya kesalahan dalam mengelola sumber energi nasional. Kita harus mengakui bahwa pengelolaan energi nasional masih jauh dari ideal. Selama ini kita yang terkenal sebagai negara yang kaya dengan sumber daya alam/sumber energi, belum mampu mengelola kekayaan tersebut dengan baik sehingga kita selalu mengalami krisis energi. Selama ini kita belum memiliki sumber daya dan teknolOgi untuk meneliti/memantau sumber energi yang ada di bumi pertiwi dan kita masih tergantung dengan negara asing. Celakanya negara asing yang memiliki informasi tentang kekayaan sumber daya energi kita tidak akan mau memberikan informasi secara cuma-cuma. Mereka biasanya bersedia untuk memberikan informasi dengan catatan mereka diberi kompensasi untuk dapat melakukan eksplorasi sumber daya energi tersebut. Oleh karena itu wajar bila pada saat ini banyak ladang minyak/gas bumi/batu bara dan sumber daya energi lain yang ekploitasinya dikuasai oleh perusahaan asing. Kita hanya menerima bagian/persentase/fee dari sumber energi yang berhasil dieksploitasi oleh perusahaan asing tersebut.

Kelemahan kita dalam mengelola sumber daya energi yang kita miliki tersebut semakin diperparah oleh watak pengelola pemerintahan yang lebih suka memperoleh keuntungan sesaat. Karena inngin mendapatkan keuntungan sesaat, kita tidak menggunakan sumber energi yang kita peroleh dari hasil fee yang diberikan oleh perusahaan asing untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, melainkan untuk dijual ke pasar internasional. Hal itu mengakibatkan pasokan energi dalam negeri relatif terbatas dan sangat tergantung pada impor. Kita menjual hasil ekplorasi energi dalam negeri untuk mengimpor energi dari luar negeri. Merupakan pengelolaan energi yang tidak dapat dipahami karena hanya memikirkan keuntungan sesaat. Selama ini kita tidak mau belajar dari negara negara barat yang menyimpan cadangan energi yang dimiliki untuk kepentingan jangka panjang. Sebagai contoh, Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang memiliki sumber energi berlimpah, namun mereka tidak mau melakukan eksplorasi terhadap sumber energi dalam negeri tersebut, malah melakukan impor dari negara lain guna memenuhi kebutuhan dalam negeri. Mereka merencanakan untuk menggunakan cadangan energi tersebut bila sudah tidak mampu melakukan impor.

Terkait dengan materi yang dipaparkan oleh penyaji seorang peserta seminar menyatakan bahwa kebijakan pengurangan subsidi BBM tidak akan efektif apabila hal itu tidak dibarengi dengan upaya perubahan mentalitas masyarakat kita yang cenderung boros energi. Sebagian besar rakyat Indonesia lebih senang untuk naik kendaran bermotor daripada naik sepeda atau jalan kaki. Kita harus menyadarkan masyarakat akan pentingnya hemat energi karena suatu saat sumber energi kita pasti akan habis. Namun demikian kampanye hemat energi ini juga tidak akan berhasil apabila pemerintah tidak menyediakan alternatif lain yang bisa diambil oleh masyarakat. Sebagai contoh, kampanye untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi tidak akan terlaksana bila pemerintah tidak menyediakan fasilitas transportasi yang nyaman dan memadai.

Peserta seminar yang lain mengajukan tanggapan terkait dengan pernyataan pemerintah bahwa pemerintah masih harus menyediakan subsidi BBM meskipun harganya naik 1500 menjadi 6000 karena harga BBM dipasar internasional mencapai lebih dari 9000. Namun berdasarkan kalkukasi yang dilakukan oleh pakar dari UGM sebenarnya dengan kenaikan 1500 rupiah harga BBM dalam negeri telah sama dengan harga internasional sehingga pemerintah tidak perlu mengeluarkan sumsidi lagi. Terkait dengan pernyataan tersebut penyaji mengakui bahwa selama ini pemerintah tidak transparan dalam menghitung biaya produksi energi sehingga kita tidak mengetahui harga keekonomian dari BBM yang sebenarnya. Kondisi ini sangat sulit untuk dibenahi karena banyak kepentingan yang bermain di dalamnya. Demikian tanggapan penyaji sebelum seminar sore tersebut ditutup.*