Jati Diri UGM: Masihkah Dipegang Teguh?

“Seiring dengan cita-cita yang dicanangkan oleh KementErian Pendidikan Nasional untuk menjadikan universitas yang ada di negeri ini sebagai universitas riset berkelas internasional (World Class Riset University), Universitas Gadjah Mada sebagai salah satu universitas terbesar di Indonesia tidak ingin ketinggalan untuk dapat ikut serta mewujudkan diri sebagai universitas yang menyandang predikat tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah untuk dapat menyandang predikat tersebut UGM harus menanggalkan/meninggalkan jati diri universitas yang telah dimilikinya sejak kelahirannya? Ataukah predikat tersebut dapat diwujudkan oleh UGM tanpa harus meninggalkan jati dirinya?”, demikian lontaran pernyataan penyaji dalam seminar bulanan yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada yang diselenggarakan pada hari Kamis, tanggal 23 Februari 2012. Seminar yang telah menjadi tradisi setiap bulan tersebut, pada kesempatan itu menampilkan seorang narasumber, yaitu Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sc guru besar pada Fakultas Teknologi Pertanian UGM sekaligus anggota Senat Akademik Universitas Gadjah Mada, dengan moderator Drs. Suharman, M.Si wakil kepala PSPK UGM. Topik yang dibahas pada seminar tersebut adalah “Menggugat Peran UGM Sebagai Penyelenggara Pendidikan Kerakyatan”.

Cita-cita untuk mewujudkan diri sebagai universitas riset berkelas internasional merupakan cita-cita yang luhur karena akan dapat mengharumkan nama bangsa dan negara di kancah internasional. Namun cita-cita tersebut dapat melunturkan jati diri universitas yang selama ini disandang apabila upaya atau kebijakan yang ditempuh untuk mewujudkannya tidak didasari oleh nilai-nilai kearifan yang dimiliki oleh UGM sebagai warisan luhur yang ditinggalkan oleh para founding father. Sebagai sebuah otokritik, kita harus mengakui bahwa selama ini kita cenderung mengabaikan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh para pendiri UGM, hanya demi status sebagai universitas riset berkelas internasional. Kita harus jujur bahwa selama ini kita telah menterjemahkan upaya untuk mewujudkan cita-cita tersebut dalam berbagai kebijakan yang kurang pas, yang akhirnya justru melunturkan jatidiri UGM yang selama ini telah disandangnya.

Sebagai salah satu contoh kebijakan yang tidak pas dalam upaya mewujudkan cita-cita UGM sebagai universitas riset berkelas internasional adalah pembukaan kelas internasional. Kita memiliki anggapan bahwa dengan membuka kelas internasional yaitu kelas yang diperuntukkan bagi mahasiswa asing kita sudah menjadi universitas yang bertaraf internasional, sebuah kebijakan yang kontraproduktif karena tanpa diimbangi dengan penyediaan sumber daya dan fasilitas yang memadai sehingga justru memperberat beban dosen. Kita tidak menyadari bahwa sebenarnya predikat internasional tidak harus diwujudkan dengan cara tersebut. Tanpa adanya kebijakan khusus, yaitu pembukaan kelas internasional sebenarnya kita bisa mewujudkan predikat tersebut, dengan catatan kita harus mau meningkatkan kualitas pendidikan yang selama ini telah diterapkan, misalnya dengan meningkatkan kualitas dosen, meningkatkan fasilitas penunjang pendidikan, dan meningkatkan kualitas sumber daya yang dimiliki oleh UGM.

Kebijakan lain yang telah ditempuh oleh UGM yang justru bersifat kontraproduktif karena melunturkan jati diri yang dimiliki misalnya kebijakan penelitian. Guna meningkatkan prestise universitas, kita cenderung mengkonsentrasikan sumber daya yang dimiliki hanya untuk melakukan riset atau penelitian yang memiliki prestise tinggi, meskipun hasil riset tersebut kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Banyak penelitian yang telah dilakukan oleh civitas akademika UGM yang ternyata hanya tersimpan di perpustakaan dan kurang memiliki manfaat bagi masyarakat banyak. Masalah lain terkait persoalan penelitian/riset adalah belum adanya manajemen riset yang baik. Banyak penelitian yang dilakukan oleh civitas akademi yang tidak diketahui oleh institusi sehingga terjadi kesimpangsiuran dalam mengambil kebijakan ketika penelitian tersebut memunculkan masalah. “Pernah ada penelitian yang menimbulkan masalah hingga masuk dalam proses hukum. Lucunya dari satu institusi (UGM) tampil dua pihak yang berada dalam posisi saling berseberangan. Sama-sama dari UGM namun posisi mereka berbeda, satu pihak sebagai terdakwa, sedangkan di lain pihak menjadi konsultan pihak penuntut.”

Kebijakan dalam pengelolaan program studi di tingkat pascasarjana yang dilakukan oleh UGM juga menimbulkan permasalahan tersendiri. Selama ini UGM menerapkan kebijakan untuk pengelolaan program studi monodisiplin diserahkan ke fakultas, sedangkan untuk program studi multidisiplin diserahkan ke sekolah pascasarjana. Yang menjadi permasalahan adalah siapa yang mengawasi kebijakan yang dilaksanakan oleh pengelola sekolah pasca sarjana? Karena disana tidak ada senat akademik. Pembukaan program studi yang tidak terkontrol juga menjadi masalah tersendiri bagi Universitas Gadjah Mada. Pada saat ini Sekolah Pascasarjana telah mengelola lebih dari dua puluh program studi dan jumlah itu akan terus bertambah karena hampir setiap tahun ada pembukaan program studi baru. Hal itu tentu akan menimbulkan persoalan karena setiap pembukaan program studi baru menuntut adanya penyediaan sumber daya dan fasilitas. Sementara kemampuan kita untuk memenuhi tuntutan tersebut relatif rendah. Akhirnya program studi tersebut diselenggarakan secara asal-asalan.

Syarat lain yang harus dipenuhi oleh universitas yang ingin menyandang status sebagai universitas riset bertaraf internasional adalah jumlah publikasi ilmiah setiap tahun. Namun harus diakui bahwa jumlah karya ilmiah yang telah dipublikasikan oleh civitas akademika UGM masih relatif rendah. Untuk itu, UGM telah melakukan berbagai upaya guna meningkatkan jumlah tersebut. Namun yang hingga saaat ini belum dilakukan oleh UGM adalah upaya untk meningkatkan jumlah citasi terhadap karya ilmilah yang dipublikasikan. Universitas nampaknya belum memiliki strategi khusus untuk hal itu. “Banyaknya jumlah karya ilmiah yang dipublikasikan belum dapat menjamin bahwa hal itu otomatis akan meningkatkan sitasi terhadap karya ilmiah tersebut. oleh karena itu perlu pemikiran khusus agar karya ilmiah yang kita publikasikan juga banyak disitasi/dirujuk oleh para pembaca.

Terkait dengan pelaksanakaan kegiatan pengabdian terhadap masyarakat penyaji menyampaikan informasi bahwa ia baru saja mendapat masukan dari seorang mantan walikota yang menyatakan bahwa pelaksanakan kegiatan KKN yang selama ini dilaksanakan oleh UGM belum dapat memberikan kontribusi nyata pada upaya pemecahan masalah yang dihadapi oleh masyarakata. Kendala utama yang dihadapi oleh para peserta KKN adalah rendahnya kemampuan komunikasi mereka dengan masyarakat. Jangankan para mahasiswa, para dosen pembimbing lapangan pun masih banyak yang mengalami kendala dalam berkomunikasi dengan masyarakat. Kesulitan dalam berkomunikasi ini menyebabkan para mahasiswa tidak mampu menggali data/informasi tentang persoalan yang dihadapi oleh masyarakat sehingga program kegiatan yang mereka laksanakan juga kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Akhir-akhir ini, Universitas Gadjah Mada dituduh telah kehilangan jati diri sebbagai universitas kerakyatan akibat mahalnya biaya pendidikan yang dibutuhkan di UGM. Terkait dengan tuduhan tersebut, penyaji menyatakan bahwa sebenarnya munculnya tuduhan tersebut merupakan hal yang wajar karena kenyataannya biaya kuliah di UGM, khususnya pada saat menyandang predikat BHMN, relatif mahal. Meskipun tidak dapat dipungkiri pula bahwa UGM juga menyediakan berbagai fasilitas beasiswa bagi mahasiswa yang kurang mampu, namun hal itu tidak dapat menghilangkan kesan yang terlanjur muncul ditengah-tengah masyarakat bahwa biaya pendidikan di UGM relatif mahal. Tingginya biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh para mahasiswa UGM bukan sepenuhnya kesalahan pengelola universitas karena untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas memang membutuhkan sokongan dana yang tidak sedikit. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa UGM membebankan sebagian biaya tersebut kepada mahasiswa? Apakah tidak ada cara lain yang bisa ditempuh untuk menghimpun dana bagi upaya mewujudkan pendidikan yang berkualitas tanpa harus memberatkan mahasiswa, yang akhirnya merugikan UGM sendiri karena melunturkan identitas UGM sebagai univeritas kerakyatan?

Terkait dengan topik yang dibahas muncul tanggapan dari seorang peserta seminar. Ia mengeluhkan kebijakan yang ditempuh UGM yang cenderung pilih kasih. Sebagai gambaran, ia merasa kesulitan untuk mendapatkan dukungan dana dari universitas guna membiaya kegiatan UKM yang dikelolanya, sementara ia mengetahui bahwa ada kelompok mahasiswa lain yang kegiatannya didukung fasilitas pendanaan yang luar biasa banyaknya, hanya karena program kegiatan yang dilaksanakan lebih bisa mendatangkan prestis bagi universitas. Menanggapi keluhan tersebut penyaji menyatakan bahwa idealnya universitas mendukung semua kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa, baik yang prestisius maupun kurang prestisius asalkan kegiatan tersebut bersifat positif.

Peserta lain menyatakan bahwa kelemahan yang dimiliki UGM adalah tidak adanya desain untuk mewujudkan jati dirinya. Kita tahu bahwa jati diri yang dimiliki oleh UGM adalah by product. Jati diri tersebut muncul karena kerja/kiprah perseorangan. UGM terkenal sebagai universias kerakyatan berkat pemikiran Prof. Mubyarto, Prof. Masri, dll. Jati diri tersebut muncul by product sehingga ketika tokoh-tokoh tersebut sudah tiada maka hilang pula identitas tersebut. Idealnya UGM mulai membuat desain yang jelas/strategi yang jelas untuk membangun jati dirinya sehingga identitas atau jati diri itu tidak akan hilang meskipun civitas akademika UGM silih berganti.*