Kehendak Memperbaiki: Refleksi 2 Tahun Pasca Erupsi Merapi

“Meskipun bencana erupsi Gunung Merapi telah terjadi pada tahun 2010, namun dampaknya masih terasa hingga saat ini. Bukan hanya dampak kerusakan fisik, yaitu hancurnya rumah dan sarana pemukiman warga serta lahan pertanian yang hingga saat ini masih belum dibangun/dipulihkan kembali, tetapi juga dampak sosial yaitu belum pulihnya kehidupan sosial ekonomi warga masyarakat korban bencana erupsi merapi. Hingga saat ini kehidupan mereka belum pulih seperti sedia kala karena masih harus tinggal di barak pengungsian/hunian sementara yang berada diluar kampung halaman mereka.”, demikian paparan penyaji dalam seminar bulanan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK UGM) pada hari Kamis, tanggal 8 November 2012. Seminar yang diselenggarakan pada sore hari tersebut menghadirkan seorang narasumber, Sukamto S Partono, seorang tokoh masyarakat dari desa Balerante yang juga menjadi korban bencana erupsi merapi tahun 2010. Seminar yang dimoderatori oleh Drs. Suharman M.Si, wakil kepala PSPK, tersebut mengangkat topik “Kehendak Memperbaiki: Refleksi 2 Tahun Erupsi Merapi”.

Bagi orang yang tidak tinggal di lereng Merapi, erupsi merapi yang menelan korban nyawa dan harta benda tersebut dipandang sebagai bencana, bahkan bencana yang sangat mengerikan, namun bagi mereka yang tinggal di lereng Merapi hal tersebut tidak dipandang sebagai bencana. Bagi mereka, erupsi Merapi merupakan kehendak/karya sang gunung yang harus dihormati, karena hal itu merupakan pertanda bahwa sang gunung sedang memiliki hajad “lagi duwe gawe”. Bagi warga masyarakat yang tinggal di lereng Merapi bila gunung Merapi sedang mempunyai hajad, sikap yang paling pas adalah “membantu” hajad tersebut bila ia mampu, namun bila tidak mampu “membantu” maka ia akan menerima hal itu dengan iklas meskipun harta benda yang dimiliki menjadi korban.Sikap tersebut didasari oleh pandangan bahwa selama ini sang gunung telah banyak berjasa bagi kelangsungan hidup mereka, telah memberi sumber penghidupan bagi mereka. Oleh karena itu, mereka harus menghormati dan menerima dengan iklas bila gunung Merapi sedang “nduwe gawe”.

Menurut penyaji, peristiwa erupsi Merapi tahun 2010 berdampak langsung pada 165 KK di daerah Balerante. Mereka harus meninggalkan rumah dan harta mereka, dan harus tinggal di barak-barak pengungsian. Meskipun semua rumah hancur tersapu lahar dan awan panas namun masyarakat Balerante masih bersyukur karena peristiwa tersebut tidak menimbulkan korban jiwa. Hal ini tidak lepas dari peran tokoh masyarakat yang dengan sigap turut membantu kelancaran proses evakuasi dengan menyediakan sarana transportasi secara swadaya.

Meski bencana erupsi Merapi telah berlalu hampir 2 tahun, namun kehidupan sosial warga belum pulih sepenuhnya. Hingga saat ini mereka belum bisa kembali ke rumah masing-masing karena rumah mereka telah hancur dan belum dapat dibangun kembali. Pemerintah telah mencoba membangun hunian sementara (huntara) bagi para warga korban erupsi Merapi namun banyak huntara yang dibiarkan kosong terbengkalai karena tidak dihuni. Berdasarkan pendapat penyaji, warga tidak suka tinggal di huntara karena tidak adanya kegiatan ekonomi yang bisa dilakukan. Mereka yang terbiasa memanfaatkan waktu yang dimiliki dengan bekerja, merasa jenuh tinggal di huntara karena tidak dapat bekerja. Akhirnya mereka pulang ke bekas rumah mereka masing-masing, dan harus membangun sendiri gubuk/rumah sementara sebagai tempat tinggal mereka yang baru.

Semangat untuk Bangkit Kembali

Meskipun rumah dan harta benda hilang akibat erupsi Merapi, namun hal itu tidak mematahkan semangat warga masyarakat korban erupsi Merapi untuk bangkit, menata hidup kembali. Dengan mengandalkan kekuatan sendiri ditambah dengan dukungan berbagai pihak, kehidupan sosial ekonomi warga Balerante mulai tertata kembali.

“Perubahan sosial ekonomi yang terasa menonjol di daerah Balerante pasca erupsi Merapi adalah tumbuhnya kembali semangat untuk bergotong royong. Dahulu sebelum terjadi erupsi Merapi masyarakat agak enggan untuk bergotong royong. Namun saat ini semangat gotong royong mereka sangat tinggi. Mereka rela bergotong royong berbulan-bulan untuk membantu warga yang ingin membangun rumah atau melakukan keperluan lainnya.”, jelas penyaji. “Kondisi ini sungguh sangat membanggakan.”, lanjutnya.

Hal lain yang muncul setelah erupsi Merapi tahun 2010 adalah kebiasaan menabung warga dalam program “tabungan ternak”. Dengan dikoordinasi oleh pengurus RW setiap warga diwajibkan untuk menambung setiap bulan di “tabungan ternak”. Dana yang terkumpul dalam program tersebut disimpan di rekening bank dan hanya bisa diambil pada saat terjadi bencana erupsi Merapi. Di Balerante juga berkembang kelompok simpan pinjam yang memfasilitasi warga untuk menabung atau meminjam modal untuk melakukan kegiatan usaha. Bagi mereka yang meminjam modal dari kelompok, diwajibkan untuk mengangsur pinjaman dengan memberi jasa secara sukarela. Motor penggerak dari kelompok simpan pinjam ini sebagian besar adalah kaum perempuan.

Di bidang ekonomi, pasca erupsi Merapi di daerah Balerante mulai muncul berbagai aktivitas ekonomi yang dijalankan oleh warga. Pada saat ini bukan hanya ternak sapi yang ada, tetapi juga ternak cacing, ayam petelur dan domba. Hal ini jelas semakin merangsang perputaran roda ekonomi di daerah Balerante karena dapat menampung tenaga kerja dan merangsang munculnya profesi baru, yaitu pedagang telur/domba, dll. Berkat pendampingan dari pemerintah dan LSM di daerah Balerante juga mulai muncul industri pengolahan makanan, misalnya industri pembuatan kripik nangka, kripik pisang, dll. Usaha tersebut selain dapat menciptakan peluang kerja juga dapat menambah nilai jual komoditas tersebut. Hasil prosuk pertanian yang pada mulanya kurang bernilai menjadi memiliki nilai jual tinggi setelah diolah menjadi berbagai produk makanan olahan.

Pasca erupsi Merapi, untuk meningkatkan kesiapsiagan warga masyarakat menghadapi bencana erupsi, di daerah Balerante dibentuk Forum Pengurangan Resiko Bencana yang bekerja sama dengan BNPB mengantisipasi segala kemungkinan terkait dengan kondisi merapi. Forum tersebut dibentuk di tingkat desa, namun di tingkat Rw dibentuk relawan yang selalu bertugas mengamati kondisi Merapi. Setiap kejadian di puncak Merapi yang terdeteksi oleh para relawan selalu dikomunikan dengan BPPTK, agar bisa segera diantisipasi.

“Perkembangan baik yang saat ini ada di masyarakat Balerante, mudah-mudahan dapat membuat warga masyarakat di daerah tersebut semakin siaga dan dapat mengantisipasi berbagai hal yang mungkin terjadi akibat erupsi Merapi. Sehingga erupsi Merapi tidak menimbulkan korban yang tidak diharapkan.”, harap penyaji sebelum seminar sore tersebut ditutup.*