Pos oleh :

PSPK UGM

Pengurangan Resiko Bencana: Perlukah?

“Pengurangan Resiko Bencana (PRB) merupakan program yang sangat mendesak untuk segera dilakukan oleh pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan seluruh komponen masyarakat karena sebagian besar rakyat Indonesia hidup di daerah yang memiliki potensi tinggi terjadinya bencana alam. Apabila program ini tidak segera dilaksanakan maka potensi jatuhnya korban, baik harta benda maupun nyawa akan sangat besar. Hal itu terjadi karena dari perspektif geologis Indonesia merupakan daerah yang terletak di titik pertemuan lempeng bumi, yaitu lempeng Eurasia dan Indo Australia, yang selalu bergerak sehingga berpotensi menimbulkan retakan/patahan yang dapat menyebabkan terjadinya gempa dan tsunami.” Demikian pernyataan pembicara dalam seminar bulanan yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada hari Kamis tanggal 4 Maret 2010. Seminar yang telah menjadi tradisi rutin setiap hari Kamis minggu pertama tersebut, pada kesempatan itu menampilkan pembicara, Dr. Ir. Dwikorita Karnawati seorang pakar kebencanaan dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dengan moderator Drs. Suharman, M.si, wakil kepala PSPK UGM. Topik yang diangkat pada seminar sore tersebut adalah “Pengurangan Resiko Bencana di Kawasan pedesaan”.

“Berbeda dengan paradigma yang selama ini dianut oleh pemerintah yang hanya memandang kegiatan pengurangan resiko bencana sebatas dari sisi teknis kebencanaan, pembicara bersama rekan-rekan dari Fakultas Teknik UGM telah mencoba untuk melaksanakan model baru PRB yaitu Pengurangan Resiko Bencana yang berbasis pendekatan holistik/menyeluruh. Program tersebut bukan hanya menyentuh aspek teknis tetapi juga aspek sosial ekonomi dan budaya. Pendekatan ini dikembangkan atas dasar kenyataan bahwa masyarakat yang memiliki ketahanan ekonomi baik ternyata juga memiliki ketahanan terhadap bencana yang baik pula. Kasus bencana gempa bumi yang melanda wilayah Chile yang menimbulkan jumlah korban yang jauh lebih sedikit dibanding dengan kasus bencana Gempa di Haiti merupakan salah satu fakta yang mendukung asumsi tersebut. Meskipun bencana gempa di Chile memiliki magnitudo lebih besar dari bencana gempa di Haiti, namun kejadian tersebut menimbulkan korban jiwa yang jauh lebih sedikit di banding dengan bencana gempa di Haiti. Kondisi sosial ekonomi warga masyarakat Chile yang lebih baik dari warga masyarakat di Haiti merupakan faktor penentu hal tersebut“, lanjut Dr Rita, yang pada saat ini menjabat sebagai ketua jurusan teknik geologi, Fakultas Teknik, UGM.  

Kesenjangan persepsi tentang bencana antara masyarakat dengan akademi merupakan kendala tersendiri dalam pelaksanaan kegiatan PRB. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa banyak anggota masyarakat yang enggan untuk meninggalkan suatu lokasi yang berdasarkan pandangan akademisi memiliki potensi tinggi terjadi bencana karena takut kehilangan sumber penghasilan keluarga. “Mereka enggan untuk meninggalkan lokasi karena takut tidak bisa makan.”, tegas pembicara. Bahkan ada sebagian masyarakat yang enggan untuk menerima program PRB, karena menganggap program tersebut hanya akan mengganggu kehidupan mereka. Kondisi tersebut apabila tidak diantisipasi dapat menyebabkan kegagalan program PRB. “Oleh karena itu dalam setiap pelaksanaan program PRB, kami selalu melibatkan ahli dari ilmu-ilmu sosial.”, papar penyaji. “Seperti yang pernah kami lakukan di Karanganyar dan Padang, kami melibatkan tim bukan hanya yang berasal dari ahli geologi tapi juga ahli sosiologi, antropologi dan psikologi. Para ilmuwan sosial tersebut bertugas untuk mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima program dengan baik, dengan mempelajari terlebih dahulu kondisi sosial budaya masyarakat.”

Dari kajian sosial budaya yang dilakukan oleh ilmuwan sosial diperoleh pemahaman bahwa masyarakat jauh lebih mementingkan ketahanan ekonomi dibandingkan dengan keselamatan dari bencana. Ada sebagian warga yang tinggal di lereng gunung yang memiliki potensi longsor tinggi, namun mereka enggan pindah dari lokasi tersebut karena sumber penghidupan mereka ada di lokasi tersebut. Ada pula warga masyarakat yang enggan menerima pemasangan alat deteksi bencana tanah longsor karena takut alat tersebut dapat mengganggu ternak mereka dan mengurangi ruang gerak. Di tempat lain, ada warga yang tega mencuri alat deteksi gempa dan tsunami yang baru dipasang hanya untuk dijual kembali ke pedagang rongsok. Kondisi ini menyadarkan kita semua bahwa PRB bukan hanya berkutat pada masalah teknis kebencanaan, tetapi juga mencakup aspek ekonomi. Disamping memperkuat ketahanan terhadap bencana, program PRB juga harus dapat memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat. Namun program ketahanan ekonomi juga harus memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat. Untuk kasus PRB di Karanganyar yang kami laksanakan berberapa bulan yang lalu, kami mencoba memadukan kegiatan teknis penanggulangan bencana dengan kegiatan peningkatan ekonomi keluarga melalui penanaman pohon albasia. Disamping dapat meningkatkan daya dukung lingkungan melalui penghijauan, kegiatan tersebut juga dapat meningkatkan penghasilan rumah tangga melalui penjualan kayu dan pemanfaatan  hijauan untuk pakan ternak. Sedangkan di daerah padang kami memadukan kegiatan teknis penanggulangan bencana dengan pengembangan enterpreneurship/jiwa kewirausahaan.

Salah satu keunikan dari model PRB yang kami laksanakan adalah dengan melibatkan mahasiswa melalui kegiatan KKN. Di dua lokasi tersebut, kami menerjunkan mahasiswa yang sebelumnya telah dibekali dengan berbagai pemahaman tentang penanggulangan bencana untuk membangun kesadaran di kalangan masyarakat akan arti pentingnya pengurangan resiko bencana. Hampir 2 bulan mereka live in di lokasi, hidup dan bergaul akrab bersama masyarakat. Para mahasiswa tersebut bukan hanya memberikan pengetahuan tentang pengurangan resiko bencana, tetapi juga membimbing masyarakat untuk melakukan simulasi penanggulangan bencana. Pemberian kesempatan yang seluas-luasnya pada masyarakat dalam kegiatan penanggulangan bencana, misalnya melibatkan mereka dalam pembuatan peta potensi bencana dan strategi penanggulangannya juga dilakukan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa masyarakat lokal, meskipun memiliki latar belakang pendidikan yang kurang memadai namun memiliki pemahaman yang cukup tentang bencana yang ada di daerahnya. Setiap masyarakat memiliki kearifan lokal tentang bencana yang ada dilingkungan tempat tinggalnya dan strategi penanggulangannya  yang sesuai atau tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh para akademisi.  

Terkait dengan materi yang dipaparkan oleh penyaji, terlontar berbagai pertanyaan dari peserta seminar. Antara lain pertanyaan tentang strategi yang ditempuh agar program yang telah dilaksanakan dapat tetap lestari/sustainabel. Menanggapai pertanyaan tersebut Dr. Rita menjelaskan bahwa tim telah memikirkan hal itu dengan tetap menjalin komunikasi intensif dengan warga dampingan. Meskipun kamib telah meninggalkan lokasi tersebut namun jalinan komunikasi di antara kami tetap dijaga. Mereka setiap saat dapat berkonsultasi dengan kami baik secara langsung maupun dengan alat komunikasi. Pertanyaan lain yang dilontarkan peserta, apakah program yang telah dilaksanakan tim dapat diterapkan pula di kampung Naga, Tasikmala, yang terkenal sebagai masyarakat yang tradisional dan sangat anti dengan semua hal yang bersifat modern (barang-barang modern). Sementara lingkungan tempat tinggal mereka juga berpotensi terjadi bencana. Menanggapi hal tersebut, Bu Rita menjelaskan bahwa pada prinsipnya program PRB dapat dilaksanakan dimanapun, namun dengan satu syarat, sebelum dilaksanakan harus dilakukan pengkajian terlebih dahulu karakter masyarakat di daerah terseut. Melalui pengkajian ini kita akan dapat memperoleh pemahaman tentang sifat atau karakter masyarakat sehingga dapat menyusun strategi agar program PRB dapat diterima oleh masyarakat tersebut. *** (dc)

Program Peningkatan Ketahanan Ekonomi dan Pemahaman terhadap Potensi Bencana Warga Masyarakat Korban Bencana Gempa di Klaten

Selama 8 bulan kedepan yaitu sejak bulan April hingga bulan November 2009, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM bekerjasama dengan Yogya Central Java Community Assistance Program (YCAP) melakukan program pendampingan pada masyarakat korban bencana gempa di Kabupaten Klaten. Program yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan ekonomi dan kesadaran terhadap potensi bencana warga masyarakat korban bencana gempa di daerah perdesaan tersebut akan dijabarkan dalam beberapa bentuk kegiatan, yaitu:

Pertama, pembentukan lembaga keuangan mikro (LKM) di tingkat Rukun Warga (RW). Kegiatan ini akan akan dijabarkan dalam beberapa sub kegiatan antara lain fasilitasi pembentukan LKM, pembentukan pengurus LKM, penyusunan AD/ART, pelatihan bagi pengurus LKM, penyediaan sarana penunjang, dan pengadaan modal LKM. Kegiatan ini dipilih atas dasar kenyataan bahwa hingga saat ini masih banyak warga masyarakat korban gempa yang belum mampu memulihkan sumber penghidupan mereka atau sudah mampu memulihkan sumber penghidupan mereka namun usaha tersebut belum mampu berkembang sesuai dengan harapan. Kendala utama yang dihadapi oleh warga masyarakat korban bencana gempa di daerah perdesaan untuk memulihkan kembali sumber penghidupan yang pernah ditekuni atau mengembangkan usaha yang ditekuni adalah keterbatasan modal usaha. Meskipun di sekitar mereka terdapat lembaga keuangan resmi (bank) yang memberikan fasilitas kredit, namun tidak semua warga masyarakat mampu untuk memanfaatkan fasilitas tersebut. Hal itu antara lain karena mereka tidak dapat memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh pihak bank. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka perlu adanya lembaga keuangan mikro (LKM) di desa yang mampu memberikan fasilitas kredit bagi warga masyarakat pedesaan secara cepat dan mudah. Pembentukan LKM di tingkat RW ini diharapkan akan dapat berjalan dengan lancar karena berdasarkan assesment yang telah dilakukan, sebagian besar RW di kedua desa calon penerima program telah memiliki pengalaman dalam melakukan pengelolaan dana bersama. Di setiap RW terdapat paguyuban RW yang memiliki kegiatan arisan dan simpan pinjam.

Kedua, pendampingan usaha pengolahan makanan skala rumah tangga yang akan dijabarkan dalam beberapa sub kegiatan, yaitu pelatihan peningkatan kualitas produksi, penanganan pasca produksi, dan penguatan akses pasar. Kegiatan ini selain bertujuan untuk melanjutkan fasilitasi bagi para pengrajin rambak di desa Gesikan yang pada program YCAP I telah mendapat pendampingan untuk memulihkan usaha namun belum dapat berkembang secara maksimal akibat berbagai kendala yang masih dihadapi, juga bertujuan untuk memfasilitasi usaha pengolahan makanan skala rumah tangga di desa Ceporan yang juga telah bangkit dari keterpurukan akibat gempa namun belum dapat berkembang secara maksimal akibat berbagai kendala yang juga masih dihadapi. Beberapa usaha pengolahan makanan skala rumah tangga yang akan difasilitasi melalui program ini antara lain usaha pembuatan krupuk rambak, usaha pembuatan emping mlinjo, usaha pembuatan kripik sukun, usaha pembuatan roti/kue kering, usaha pembuatan kripik belut, dll.

Ketiga, pembuatan peta rawan bencana desa dan sosialisasi peta rawan bencana beserta teknik penanggulangannya kepada seluruh warga masyarakat. Kegiatan ini didasari oleh kenyataan bahwa pada saat ini tingkat kewaspadaan warga masyarakat terhadap potensi bencana semakin menurun. Setelah lebih dari 2 (dua) tahun bencana gempa berlalu, kondisi psikologis warga masyarakat korban gempa telah pulih kembali. Kehidupan sosial masyarakat berjalan seperti pada saat sebelum bencana dan tingkat kewaspadaan warga masyarakat terhadap potensi bencana pun mulai menurun. Kondisi ini sangat berbahaya karena sewaktu-waktu bencana bisa terjadi kembali, dan tanpa adanya kewaspadaan warga masyarakat maka potensi jatuhnya korban niscaya akan sangat besar. Untuk mengatasi masalah tersebut maka perlu adanya upaya peningkatan pemahaman warga masyarakat akan potensi bencana yang ada di desa mereka melalui pembuatan peta rawan bencana desa secara partisipatif, yang dilanjutkan dengan sosialisasi secara intensif peta potensi bencana desa beserta teknik penanggulangannya kepada seluruh warga masyarakat.

Setelah pelaksanaan proyek, diharapkan ketahanan ekonomi warga masyarakat korban bencana gempa di daerah perdesaan akan semakin meningkat, berkat pulih dan berkembangnya sumber penghidupan yang mereka tekuni. Di samping itu, diharapkan pula semakin rendahnya potensi jatuh korban saat terjadi bencana di masa yang akan datang berkat meningkatnya kesadaran warga masyarakat korban bencana gempa terhadap potensi bencana yang ada di sekitar mereka. Indikator yang disepakati untuk melihat keberhasilan proyek ini adalah adanya LKM di tingkat RW (19 LKM) yang mampu memberikan fasilitas kredit kepada warga masyarakat korban bencana gempa secara cepat dan mudah, terciptanya produk usaha pengolahan makanan yang berkualitas sehingga dapat menembus pasar modern, dan tersedianya 2 (dua) buah peta potensi bencana desa, yaitu peta potensi bencana desa Ceporan dan peta potensi bencana desa Gesikan, yang tersosialisasi dengan baik pada seluruh warga masyarakat.

Lokasi proyek ini mencakup dua desa, yakni Desa Ceporan dan Desa Gesikan yang keduanya berada dalam wilayah administratif kecamatan yang sama, yakni Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten. Manfaat dari proyek yang dapat dirasakan oleh warga masyarakat korban bencana gempa di daerah perdesaan adalah peningkatan ketahanan ekonomi karena pulih dan berkembangnya sumber penghidupan mereka, berkat adanya kesempatan untuk memanfaatkan fasilitas kredit yang disediakan oleh LKM, berkembangnya usaha pengolahan makanan yang dijalankan oleh warga masyarakat berkat pendampingan usaha yang dilakukan baik dalam aspek produksi maupun pasca produksi, kesempatan kerja baru bagi warga masyarakat berkat terciptanya sumber penghidupan baru, dan adanya informasi tentang potensi bencana dan teknik penanggulangannya bagi warga masyarakat korban bencana gempa di daerah perdesaan.

Berdasarkan assesment yang telah dilakukan pada saat penyusunan perencanaan program, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan maka masyarakat akan memberikan kontribusi terhadap proyek yang berupa waktu, tenaga dan pikiran. Berkaitan dengan waktu warga masyarakat penerima proyek akan menyediakan waktu yang dimiliki untuk mengikuti semua kegiatan yang akan dilaksanakan, misalnya pertemuan rutin, pelatihan, sosialisasi, dll. Berkaitan dengan tenaga warga masyarakat penerima proyek bersedia untuk menyumbangkan tenaga yang dimiliki untuk membantu kelancaran pelaksanaan proyek, misalnya ikut membantu menyiapkan tempat pertemuan, dll. Sedangkan berkaitan dengan pikiran warga masyarakat penerima proyek bersedia menyumbangkan pemikiran mereka untuk kelancaran pelaksanaan proyek, misalnya ikut aktif dalam mempersiapkan AD/ART LKM, pemetaan potensi bencana secara partisipatif, dll.

Kemiskinan Pedesaan dan Perkembangan Pendidikan Anak Usia Dini

“Meskipun ada beberapa kasus dimana anak yang berasal dari keluarga yang miskin/kurang mampu pada saat dewasa dapat menjadi orang yang berhasil/sukses, namun hal itu tidak meruntuhkan anggapan yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat bahwa anak yang berasal dari keluarga yang miskin tidak akan mampu mengembangkan diri secara maksimal. Selain karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki orang tua untuk memenuhi biaya pendidikan anak, anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu akan cenderung mengalami keterlambatan pertumbuhan kemampuan kognisi, afeksi dan psikomotorik dibandingkan anak yang berasal dari keluarga sejahtera.” Demikian pernyataan penyaji dalam seminar bulanan yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada pada hari Kamis, tanggal 14 Oktober 2010. Seminar yang telah menjadi agenda rutin setiap bulan tersebut, pada kesempatan itu menghadirkan seorang penyaji Amelia Maika, S.Sos, M.A, dosen jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM sekaligus konsultan masalah kemiskinan pedesaan Bank Dunia (World Bank), dengan moderator Dra. Agnes Mawarni, peneliti PSPK UGM. Topik yang dibahas dalam seminar yang dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan, antara lain akademisi, LSM, masyarakat umum tersebut adalah “Kemiskinan di Pedesaan dan Perkembangan Pendidikan Anak Usia Dini”.

Keterlambatan perkembangan kemampuan kognisi, afeksi, dan psikomotorik anak dari keluarga miskin tersebut terjadi karena dua faktor, yaitu pertama, kekeliruan orang tua dalam pola pengasuhan anak, dan kedua, ketidak mampuan orang tua memberikan pendidikan yang baik kepada anak usia dini. Dalam hal pengasuhan anak, akibat keterbatasan pengetahuan tentang tahapan tumbuh kembang bayi/anak banyak orang tua dari kalangan keluarga miskin yang memiliki pemahaman bahwa bayi/anak yang menangis berarti dia lapar. Untuk mencegah agar bayi/anak tidak menangis maka banyak orang tua yang memberi makanan tambahan berupa nasi atau makanan lain kepada bayi meskipun umur bayi tersebut kurang dari 6 bulan. Hal ini jelas bertentangan dengan pola pengasuhan bayi/anak yang dianjurkan oleh para dokter/ahli pertumbuhan anak karena sebelum berusia 6 bulan seyogyanya anak tidak diberi makanan tambahan dan hanya diberi asi saja. Dalam hal pendidikan anak usia dini, akibat keterbatasan kemampuan ekonomi dan kesibukan orang tua mencari nafkah banyak orang tua dari kalangan keluarga miskin yang tidak mampu melaksanakan pendidikan yang dibutuhkan anak pada usia dini. Untuk dapat mencapai pertumbuhan kemampuan intelegensi yang optimal, pada saat usia dini anak membutuhkan pendidikan yang dapat memberikan stimulasi yang mampu merangsang pertumbuhan otak mereka. Menurut para pakar pertumbuhan anak, pendidikan yang dapat merangsang pertumbuhan otak bayi adalah kebiasaan orang tua untuk membacakan buku pada anak, kebiasaan untuk mendongeng/bercerita bagi anak, dan kebiasaan bermain bersama dengan anak. Orang tua yang berasal dari keluarga kurang mampu/miskin tidak dapat melakukan hal-hal tersebut, sementara orang tua dari keluarga yang memiliki latar belakang ekonomi mapan dapat melakukan hal tersebut. Oleh karena itu wajar apabila tingkat pertumbuhan intelegensi anak dari keluarga kurang mampu jauh lebih lambat dibandingkan anak yang berasal dari keluarga mampu.

Pandangan yang menganggap bahwa anak yang berasal dari keluarga yang miskin akan mengalami pertumbuhan kecerdasan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga yang mapan didukung oleh hasil penelitian yang baru-baru ini dilaksanakan oleh penyaji. Penelitian yang disponsori oleh beberapa lembaga internasional tersebut dilaksanakan dengan menggunakan metode survey. Peneliti mengambil beberapa daerah di Indonesia sebagai sample penelitian.

Dari penelitian tersebut penyaji dapat memperoleh data yang memberi pembenaran/dukungan pada anggapan/pandangan yang selama ini berkembang di tengah-tengah masyarakat bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin mengalami tingkat pertumbuhan kecerdasan yang lebih lambat dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga mapan. Hasil penelitian itu juga menunjukkan bahwa anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu memiliki peluang yang lebih besar untuk tidak naik kelas, drop out, dan menikah dalam usia dini dibandingkan anak yang berasal dari keluarga mampu.

Terkait dengan materi yang dipaparkan oleh penyaji, seorang peserta yang berasal dari sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) melontarkan tanggapan bahwa penelitian tentang dampak kemiskinan pada pertumbuhan anak di usia dini ini cukup menarik dan ia sependapat dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penyaji yang menyimpulkan bahwa anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu akan mengalami pertumbuhan kecerdasan yang jauh lebih rendah dibandingkan anak yang berasal dari keluarga mampu. Namun berdasarkan pengamatannya keterlambatan pertumbuhan kecerdasan anak yang berasal dari keluarga miskin terjadi bukan hanya karena ketidak mampuan orang tua memberikan asupan gisi yang baik pada anak (kekeliruan pola asuh) atau ketidakmampuan orang tua memberikan pendidikan usia dini yang baik bagi anak, tetapi juga karena terjadinya tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang tua kepada anak.

Berdasarkan pemberitaan yang dilakukan oleh media massa kita dapat mengetahui bahwa dari waktu ke waktu jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia semakin meningkat. Kekerasan tersebut tidak hanya berupa kekerasan psikis yang berupa bentakan /kata-kata keras tetapi juga kekerasan pisik yang berupa siksaan yang menyebabkan anak mengalami cidera bahkan ada yang meninggal. Berdasarkan penelusuran sejumlah pihak, salah satu penyebab yang mendorong orang tua tega melakukan tindak kekerasan pada anak adalah karena faktor ekonomi yaitu kemiskinan yang menghimpit mereka.  

Melihat kenyataan bahwa kemiskinan merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada kelambatan perkembangan kecerdasan anak, maka seorang peserta yang berasal dari kalangan perguruan tinggi melontarkan usulan untuk memecahkan permasalahan tersebut. Ia mengusulkan pada penyaji untuk mendorong pemerintah agar segera melaksanakan penanggulangan kemiskinan yang dialami oleh sebagian rakyat Indonesia. Hal yang dibutuhkan oleh anak-anak dari keluarga miskin agar dapat mengalami perkembangan kecerdasan secara optimal bukan program-program yang bersifat parsial dan karitatif semata, misalnya program pemberian makanan tambahan atau program pendidikan anak usia dini, tetapi program yang dapat menuntaskan permasalahan hingga ke akar-akarnya.

Faktor utama yang menyebabkan sebagian anak Indonesia mengalami keterlambatan perkembangan kecerdasan adalah kemiskinan yang dialami oleh sebagian keluarga di Indonesia, oleh karena itu peserta tersebut mengusulkan agar pemerintah segera mengentaskan keluarga-keuarga tersebut dari jurang kemiskinan. Pemerintah harus menghilangkan kemiskinan dari bumi Indonesia ini. Saya memiliki keyakinan bahwa apabila keluarga-keluarga di Indonesia telah terangkat dari jurang kemiskinan maka mereka akan dapat memberikan asuhan dan pendidikan yang baik bagi anak-anak mereka.

”Bagaimana mungkin seorang ibu dapat memberikan ASIi secara eksklusif kepada bayinya selama 6 bulan penuh apabila ia sendiri mengalami kekurangan asupan gisi. Bagaimana mungkin mereka dapat membacakan buku bagi anak mereka apabila di rumah tersebut sama sekali tidak ada buku karena mereka tidak mampu membeli buku. Bagaimana mungkin mereka dapat mendongeng/bercerita bagi anak mereka apabila sebagian besar waktu mereka dipergunakan untuk bekerja keras memeras keringat dan membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga?” lontar sang peserta.

Berkaitan dengan berbagai pertanyaan dan tanggapan yang dilontarkan oleh para peserta, penyaji menyampaikan terima kasih. Namun ia kurang sependapat dengan usulan bahwa ia harus menyampaikan usulan kepada pemerintah untuk mengatasi persoalan kemiskinan. “Yang berkewajiban untuk menyampaikan saran dan usulan kepada pemerintah bukan hanya saya yang kebetulan pada saat ini menjadi penyaji dalam seminar ini, namun semua pihak yang memiliki kepeduliaan pada permasalahan tersebut, baik yang berasal dari kalangan akademis, lembaga swadaya masyarakat maupun masyarakat umum, termasuk anda para hadirin yang pada saat ini duduk menjadi peserta seminar pada sore hari ini” terang penyaji.

”Namun secara jujur perlu kita akui bahwa untuk menyampaikan usulan pada pemerintah agar lebih meningkatkan kepedulian pada kemiskinan yang dialami oleh sebagian rakyat Indonesia, bukan merupakan persoalan yang mudah. Untuk melakukan itu dibutuhkan perjuangan yang tidak ringan karena kita mengetahui bahwa prioritas utama pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah pertumbuhan ekonomi yang setingi-tingginya dan belum menyentuh aspek pemerataan kemakmuran. Kita mengetahui bahwa baik pemerintah pusat maupun  pemerintah daerah lebih senang melaksanakan program pembangunan yang bersifat fisik karena lebih mudah diukur capaian keberhasilannya dibandingkan program pengentasan  kamiskinan yang bersifat non fisik, meskipun sebenarnya program tersebut kurang bermanfaat bagi upaya penanggulangan kemiskinan.” Terang penyaji sesaat sebelum seminar sore tersebut ditutup.*(dc)

Pentingnya Modal Sosial dalam Pembangunan Pasca Bencana

Oleh: Agnes Mawarni
Email: agnesmawarni@yahoo.com/HP 085292749059
Peneliti pada Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM

Salah satu dokumen mengatakan bahwa pembangunan perkotaan akan sustainable jika di dalamnya memberikan generasi mendatang income disertai opportunity pertumbuhan capital (minimal sama dengan generasi sekarang) yang dapat diperlihatkan dengan relatif lebih tinggi capital per kapita dibanding generasi sekarang. Modal-modal itu dapat dilukiskan sebagai human capital (investasi dalam pendidikan, kesehatan atau gizi), social capital (fungsi dan keberadaan kelembagaan dan budaya dalam masyarakat), natural capital (fungsi dan keberadaan sumber daya alam dan lingkungan) dan man-made capital (investasi yang umumnya terhitung dalam anggaran perekonomian) (dalam Majalah Prisma Volume 6 1997 – LP3ES Jakarta, hlm 6).

Modal sosial

Diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan peluang bagi daerah (kabupaten dan kota) untuk menciptakan kemandirian dalam rangka membangun daerahnya dengan berpijak pada prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi dan peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal. Lokal menurut pemahaman UU No. 22 Tahun 1999 adalah pada tataran mikro artinya istilah lokal untuk menyebut kawasan daerah tingkat satu/propinsi, daerah tingkat dua/kabupaten atau kota, dan dimungkinkan lokal untuk menyebut yang lebih spesifik yaitu kecamatan dan desa. Jadi institusi lokal merupakan asosiasi komunitas setempat yang bertanggung jawab atas proses kegiatan pembangunan setempat, seperti rukun tetangga, arisan trah, kelompok pengajian, kelompok ronda dan sejenisnya dan memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah setempat. Institusi lokal dalam komunitas harus dilihat sebagai suatu sistem yang saling silang menyilang dan institusi lokal telah menyediakan jaring pengaman sosial (sosial safety net) ketika komunitas lokal berada dalam situasi krisis. Kehadiran institusi lokal bukan atas kepentingan pribadi/individu tetapi atas kepentingan bersama, sehingga institusi lokal lama kelamaan menduduki posisi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Rasa saling percaya warga komunitas lokal yang digalang dan diasah melalui institusi ini semakin hari semakin didambakan sebagai modal sosial (sosial capital) (Drs. M. Pupu Saeful Rahmat M.Pd., Memupuk Institusi Lokal dan Modal Sosial dalam Kehidupan Bermasyarakat, posted on 29 Maret 2008).

Dalam pandangan ilmu ekonomi, modal adalah segala sesuatu yang dapat menguntungkan atau menghasilkan. Modal itu sendiri dapat dibedakan atas: (1) modal yang berbentuk material seperti uang, gedung atau barang; (2) modal budaya dalam bentuk kualitas pendidikan; kearifan budaya lokal; dan (3) modal sosial dalam bentuk kebersamaan, kewajiban sosial yang diinstitusionalisasikan dalam bentuk kehidupan bersama, peran, wewenang, tanggungjawab, sistem penghargaan dan keterikatan lainnya yang menghasilkan tindakan kolektif. Modal sosial menjadi perekat bagi setiap individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaring kerja sehingga terjadi kerja sama yang saling menguntungkan untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial juga dipahami sebagai pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki bersama oleh komunitas serta pola hubungan yang memungkinkan sekelompok individu melakukan satu kegiatan yang produktif. Menurut Lesser (2000), modal sosial ini sangat penting bagi komunitas karena (1) memberikan kemudahan dalam mengakses informasi bagi anggota komunitas; (2) menjadi media pembagian kekuasaan dalam komunitas; (3) mengembangkan solidaritas; (4) memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas; (5) memungkinkan pencapaian bersama; dan (6) membentuk perilaku kebersamaam dan berorganisasi komunitas. Modal sosial merupakan suatu komitmen dari setiap individu untuk saling terbuka, saling percaya, memberikan kewenangan bagi setiap orang yang dipilihnya untuk berperan sesuai dengan tanggungjawabnya. Sarana ini menghasilkan rasa kebersamaan, kesetiakawanan, dan sekaligus tanggungjawab akan kemajuan bersama.

Pengalaman Bencana

Gempa bumi pada tanggal 27 mei 2006 yang terjadi di Yogyakarta dan Jawa Tengah menjadi pusat liputan media massa lokal/daerah maupun nasional. Satu hari setelah gempa, seluruh media massa menempatkan peristiwa gempa sebagai headline. Hampir seluruh berita tentang gempa di hari itu meliput suasana saat gempa terjadi dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Liputannya secara luas mencakup paniknya masyarakat saat gempa terjadi, proses runtuhnya bangunan-bangunan, kegentingan dalam proses penyelamatan korban, penanganan korban dalam situasi darurat, rumah sakit yang kewalahan, tenaga medis dan obat-obatan kurang, para korban tewas maupun luka-luka, hancurnya rumah-rumah penduduk, rusaknya berbagai fasilitas umum, kekacauan akibat isu tsunami dan juga penjelasan-penjelasan ilimah (geologis) seputar gempa bumi.

Pelan tapi pasti, Yogyakarta sedang berduka, tidak hanya ke seluruh pelosok negeri tetapi juga ke seluruh dunia. Dalam waktu singkat, orang Yogya sibuk dengan dirinya sendiri: mencari sanak saudara yang hilang, mengurus yang terluka, mencari tempat berteduh/memasang tenda, menggelar tikar menaruh badan, mengurus perabotan, membuka dapur umum, menutup jalan-jalan kampung dan membuka posko bantuan. Jalan-jalan di kota Yogya bukan lagi tempat orang berjalan, tetapi berubah menjadi tempat tidur dan tinggal. Yogya di hari kedua dan hari-hari berikutnya berubah menjadi tempat pelayatan massal. Seluruh Yogya sedang berduka dan rasanya lumpuh tidak berdaya, semua rumah sakit luber tidak dapat lagi menampung tambahan orang sakit. Mayat, orang sakit, dan orang sedih tergolek dimana-mana seolah berbaur dalam satu ruang raksasa (Yogya).

Ada nilai kemanusiaan yang datang dari para relawan dan donatur ke Yogyakarta dan Jawa Tengah. Semangat tolong menolong dan bahu membahu nampak nyata di lokasi bencana ini, bantuan datang menggunakan jalur-jalur transportasi apapun selagi memungkinkan. Perhatian dari pemeritah pun tak kurang ditunjukkan dengan kesediaan presiden berkantor di Yogyakarta guna koordinasi tanggap bencana. Bantuan natura, in natura dan medis juga datang dari luar negeri yang menyemut di lokasi-lokasi korban bencana. Terlepas dari berita-berita tentang kelambatan bantuan mencapai para korban bencana maupun janji-janji rehabilitasi bencana yang mungkin belum lunas tercapai, namun nilai dan semangat tolong-menolong dan bantu-membantu antar sesama sangat kuat terasa dalam bencana ini.

Perbedaan dalam konteks agama, suku, golongan, kepentingan dan apapun terlihat membaur dalam situasi yang tidak mengenakkan ini. Persudaraan kembali kentara dan seperti menjadi penanda bagi bangsa lain bahwa persatuan itu memang mutlak diperlukan untuk selama-lamanya. Gotong royong yang selama ini nyaris hanya menjadi jargon semata, telah terbukti “ada” diantara jiwa para korban gempa. Tak berlama-lama larut dalam kesedihan, masyarakat bergotong royong, bahu membahu menyingsikan lengan baju bangkit menyongsong masa depan.

Bencana alam entah itu gempa bumi, tanah longsor, banjir, kekeringan dan puting beliung selalu mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Elemen-elemen yang yang beresiko terkena dampak bencana adalah infrastruktur, rumah, lahan pertanian, jalan dan aktivitas ekonomi. Dalam workshop kebencanaan yang diadakan oleh Pusat Studi Bencana Alam UGM di Yogyakarta 5 – 6 Agustus 2010, dalam presentasinya, salah satu narasumber mengatakan bahwa selama kurun waktu 1981-2007 (27 tahun) terjadi lebih dari 1.300 tanah longsor merusak  di pulau Jawa atau sama dengan 49 kejadian per tahun. Korban meninggal akibat gempa tanah longsor adalah 2.095 orang (77 orang/tahun) dan jumlah korban luka-luka adalah 550 orang atau 20 orang pertahun. Dari situ terlihat bahwa prosentase korban meninggal lebih besar dibanding korban luka-luka, dengan perbandingan 79 : 21. Dampak lain dari bencana tanah longsor di Jawa adalah sekitar 4.095 hektar lahan pertanian dan 13 kilometer jalan terpotong. Rumah rusak dan rumah hancur masing-masing hampir mencapai 10.000 unit dan 1800 unit, sedangkan jumlah bangunan yang rusak dan hancur diperkirakan 200 unit. (Dr. Danang Sri Hadmoko, S.Si., M.Sc., Peranan peta Risiko Bencana Tanah longsor dalam pengurangan risiko bencana, 2010). Bencana jebolnya tanggul Situ Gintung, Cirendeu, Kota Tangerang Selatan dengan korban yang sangat banyak mencerminkan sebuah fenomena perkembangan pembangunan kota yang tidak terkontrol, lemahnya mekanisme pemeliharaan fasilitas publik serta pelanggaran terhadap proses dan produk rencana tata ruang.

Partisipasi Masyarakat

Pemerintah daerah termasuk perencana kota/pemukiman harus segera mempertimbangkan proses tata kelola kota/wilayah yang terencana baik dan tidak hanya berdasarkan pesanan. Kepentingan ekonomi publik dan kerjasama organisasi termasuk didalamnya modal sosial mempengaruhi kinerja produktivitas perkotaan. Semakin besar jumlah organisasi memberi peluang spesialisasi, kerjasama dan koordinasi untuk memanfaatkan aktivitas ekonomi perkotaaan. Tingkat pengambilan keputusan desentralisasi memberi peluang mobilisasi organisasi untuk menjalankan aktifitas ekonomi. Dalam hubungan ini governance merupakan titik awal dari pengelolaan sumber daya perkotaan, menentukan peranan private sector, dan mengoperasikan pelayanan dan infrastruktur perkotaan. Kerjasama non formal juga diperlukan untuk membangun kota/wilayah termasuk membangun kota pasca bencana (Iwan Nugroho, 1997, Modal Sosial dan Perkembangan Kota, Prisma volume 6 : 3 – 13).

Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan kota pasca bencana selama ini masih belum maksimal. Pemerintah daerah masih lebih banyak mengacu pada pesanan pemberi bantuan/dana untuk pembangunan fisik di wilayahnya seperti rumah tinggal, rumah sakit, puskesmas, pasar dan tempat pelayanan publik lainnya. Akibatnya tidak sedikit bangunan fisik yang dibangun pasca bencana kurang sesuai dengan budaya dan kondisi lokal masyarakat. Salah satu bangunan mesjid di Kabupaten Klaten misalnya, awalnya bangunannya sederhana dan cukup untuk komunitas setempat. Setelah bencana gempa, masjid tersebut menjadi besar dan bergaya turki/arab. Rumah-rumah di pedesaan di Jawa biasanya berbentuk limasan atau joglo atau ada semacam teras yang biasanya dipakai untuk bercengkerama antar penduduk yang juga berfungsi sebagai tempat menjemur gabah. Bangunan rumah setelah gempa biasanya menjadi rumah modern, tidak ada lagi teras luas untuk tempat pertemuan warga. Demikian pula halnya dengan bangunan pasar dan sekolah, menjadi lebih modern dan banyak yang kemudian menjadi bangunan bertingkat. Pemerintah setempat kemungkinan akan kesulitan mengadakan perbaikan apabila terjadi kerusakan pada bangunan pasar yang berkonstruksi baja ringan, karena disamping tidak sederhana juga mahal. Tidak sedikit komunitas setempat dibuat kaget dengan munculnya satu bangunan di lokasi umum, seperti bangunan WC umum bisa berdiri di pojok lapangan sepak bola di salah satu desa di Yogyakarta tanpa melibatkan pengurus RT/RW setempat dalam proses perencanaanya.

Melihat fenomena tersebut, dalam pengalaman pembangunan kota pasca bencana, masyarakat berpartisipasi secara pasif, karena mereka hanya menjadi penerima program. Sebenarnya sangat dimungkinkan masyarakat berpartisipasi aktif yang berarti terlibat dalam berbagai kesempatan, meskipun solusi tetap datang dari pihak luar – mengingat budaya lokal pedesaan yang menjunjung musyawarah dan gotong royong. Kalau ada partisipasi aktif masyarakat dalam membangun perkotaan pasca bencana tentulah bangunan puskesmas tidak akan seperti saat ini, terlalu luas dan banyak ruang meskipun jumlah tenaga medisnya masih sama dengan sebelum bencana, sehingga puskesmas terlihat kosong kurang mencerminkan itu suatu tempat pelayanan umum. Partisipasi masyarakat tidak hanya terbatas pada pengadaan kembali bangunan pasca gempa, namun juga tindakan-tindakan penyelamatan bila terjadi gempa. Untuk mengurangi dampak burung bencana dari Gunung Merapi misalnya, masyarakat kemudian diberi pendidikan tentang cara penyelamatan yang meliputi jalur evakuasi dan tempat evakuasi jika terjadi bencana. Bantuan yang masuk dikelola oleh pemerintah daerah dan organisasi swasta untuk memperkecil dampak buruk bencana gunung merapi. Partisipasi masyarakat tidak hanya dalam standar partisipasi pasif atau parsipasi aktif saja, namun sudah pada ukuran partisipasi interaktif yang artinya masyarakat terlibat mulai perencanaan sampai dengan evaluasi.

Diberlakukannya otonomi daerah semakin memberi peluang untuk mempertimbangkan modal sosial yang ada di komunitas lokal dalam membangun kota/wilayah pasca bencana. Kegiatan yang diselenggarakan dan bangunan yang diadakan akan menjadi tepat dan terpelihara karena masyarakat merasa memiliki kegiatan /bangunan tersebut, mereka ikut dalam semua proses pengadaannya.

Yogyakarta, 27 September 2010

Syawalan Keluarga Besar PSPK UGM

Pada hari Selasa, tanggal 21 September 2010 keluarga besar PSPK UGM mengadakan kegiatan syawalan. Kegiatan yang dimulai pukul 10.00 WIB dihadiri oleh seluruh jajaran PSPK UGM, baik pimpinan, staff peneliti dan karyawan PSPK UGM. Hadir pula dalam acara itu para sesepuh PSPK UGM.

Dalam sambutannya, Dr. Ir. Dyah Ismoyowati selaku kepala PSPK mengajak seluruh hadirin untuk selalu mengucap syukur kepada Allah atas segala berkah yang telah dilimpahkan kepada seluruh jajaran PSPK sehingga bisa menghadiri acara yang sangat baik ini. Meskipun acara syawalan pada tahun ini diselenggarakan dalam suasana penuh kesederhanaan, namun mudah-mudahan hal itu tidak mengurangi kemuliaan yang terkandung dalam acara ini, yaitu kesempatan baik bagi kita semua untuk saling bermaaf-maafan, saling memohon dan memberi maaf atas segala kesalahan yang telah kita lakukan dalam 1 tahun terakhir. Pada kesempatan yang baik ini kami selaku pribadi dan juga mewakili seluruh pimpinan PSPK juga memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh jajaran PSPK. 

Sementara itu Ihsanuddin, M.Ag, pengajar dari pondok pesantren Al-Munawir, Krapyak, dalam tausiahnya mengajak seluruh hadirin untuk meningkatkan keimanan kepada Allah. Bulan Syawal merupakan bulan bagi seluruh umat Islam untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Seorang muslim dikatakan berhasil meraih keberhasilan dalam melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan apabila setelah bulan Ramadan berakhir ia dapat mempertahankan amalan yang telah dilakukan selama bulan Ramadhan, bahkan mampu meningkatkan pada bulan-bulan berikutnya. Namun apabila setelah bulan Ramadan berakhir dan ia tidak mampu mempertahankan atau meningkatkan amalan yang telah dilakukan selama bulan Ramadan maka ia belum dapat dikatakan berhasil. 

Setelah penyampaian tausiah, acara syawalan dilanjutkan dengan kegiatan berjabat tangan antar peserta syawalan dan dilanjutkan dengan kegiatan makan bersama seluruh hadirin. ***

Buka Bersama Keluarga PSPK UGM

Pada hari Kamis tanggal 2 September 2010 keluarga Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada mengadakan acara buka bersama. Acara yang dimulai pukul 16.30 WIB tersebut dihadiri oleh seluruh anggota keluarga PSPK UGM, baik dari jajaran pimpinan, staf peneliti maupun karyawan. Acara diawali dengan sambutan oleh wakil ketua PSPK UGM, Drs Suharman, M.Si. Di dalam sambutannya, beliau mengajak semua hadirin untuk melakukan refleksi atas perjalanan lembaga selama satu tahun terakhir. Meski pada saat ini lembaga berada dalam suasana yang kurang kondusif akibat berbagai faktor eksternal yang ada di luar kemampuan lembaga untuk menanggulanginya, misalnya aturan pemerintah yang melarang kalangan perguruan tinggi untuk mengikuti tender, namun pak Harman mengajak semua hadirin untuk selalu optimis bahwa di masa yang akan datang PSPK akan tetap mampu mengukir prestasi. “Pada saat ini kita mengadakan acara berbuka puasa bersama dalam suasana penuh kesederhanaan, namun itu tidak akan mengurangi rasa syukur kita pada Allah yang selalu memberi berkah pada kita semua. dan kita yakin bahwa Allah akan selalu melimpahkan rahmatnya kepada kita semua dan juga kepada lembaga yang kita cintai ini”, kata pak Harman.

Sementara dalam tausiahnya, Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, peneliti senior PSPK UGM dan ketua PB NU, mengajak para hadirin untuk memperbarui kembali pemahaman kita tentang makna ketakwaan. Mendasarkan pada salah satu ayat Al Qur’an, Prof Maksum memberikan pemahaman baru bahwa tanda orang takwa kepada Allah bukanlah orang yang dahinya tebal dan hitam karena rajin sholat, namun tanda orang tagwa adalah orang yang mampu menghargai adanya keanekaragaman dalam kehidupan ini, termasuk dalam beragama. Islam menjunjung tinggi dan menghargai pluralisme, yaitu paham bahwa di dunia ini ada kelompok lain yang berbeda dengan kelompok kita, dan kita wajib menghargai kelompok tersebut. Selain itu, tanda lain dari orang yang bertagwa adalah orang yang beriman kepada kitab-kitab yang telah diturunkan sebelum Al Qur’an. “Ini juga mengajarkan kepada kita semua bahwa kita tidak boleh menghilangkan berbagai kebaikan yang ada di dalam kitab terdahulu dan menghormati orang yang mengikuti ajaran yang termuat dalam kitab terdahulu.” kata Prof Maksum.

Selesai penyampaian tausiah, acara ditutup dengan doa penutup dan dilanjutkan dengan makan bersama seluruh haridin. Dalam suasana yang penuh keakraban seluruh hadirin menikmati hidangan yang telah disiapkan seraya mensyukuri betapa besar nikmat yang telah dilimpahkan Allah kepada kita semua.

Kunjungan Keluarga Besar Prof. Wertheim ke PSPK UGM

Pada hari Kamis, tanggal 29 Juli 2010, PSPK UGM menerima kunjungan keluarga besar Prof. Wertheim dari negeri Belanda. Rombongan yang berjumlah 6 orang, terdiri dari putra-putri, cucu dan cicit Prof. Wertheim, dan di bawah koordinasi Ibu Anne-Ruth Wertheim (putri Prof. Wertheim) tiba di PSPK UGM sekitar pukul 10.00 WIB, disambut oleh Dr. Ir. Dyah Ismoyowati (kepala PSPK UGM).

Tujuan dari kunjungan rombongan keluarga besar Prof. Wertheim ke PSPK UGM adalah untuk melihat pengelolaan buku-buku koleksi Prof. Wertheim yang telah dihibahkan oleh keluarga ke PSPK UGM pada tahun 2002. Sedikit informasi, setelah Prof. Wertheim wafat pada tahun 1998, keluarga besar Prof Wertheim menghibahkan lebih dari 3.000 buah buku koleksi Prof. Wertheim ke PSPK UGM. Tindakan tersebut didasari oleh keinginan keluarga besar Prof. Wertheim agar buku-buku yang selama ini menjadi koleksi pribadi Prof. Wertheim dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Melalui koleksi buku Prof. Wertheim yang sekarang dikelola oleh perpustakaan PSPK UGM dan dikelompokkan dalam “Wertheim Collection” tersebut diharapkan para cendekiawan Indonesia (peneliti/mahasiswa) dapat menggali ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat bagi kemajuan Bangsa Indonesia.

Prof. Wertheim adalah ilmuwan berkebangsaan Belanda yang memiliki kecintaan secara khusus pada Indonesia. Selama hidupnya Prof. Wertheim mencurahkan perhatian, waktu, dan tenaganya bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang terkait dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Wujud kecintaan Prof. Wertheim pada bangsa Indonesia antara lain terwujud dalam sikapnya selama masa penjajahan beliau memiliki sikap yang berbeda dengan sebagian besar warga negara Belanda. Pada masa itu sebagian besar warga Belanda menginginkan agar Indonesia tetap menjadi bagian (jajahan) dari negeri Belanda, namun Prof. Wertheim sangat mendukung upaya dari rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Setelah Indonesia mencapai kemerdekaan, beliau mewujudkan kecintaannya pada Indonesia dengan menjadi guru besar tamu di Institut Pertanian Bogor pada tahun 1956-1957. Setelah wafat, Prof. Wertheim mewujudkan kecintaannya pada Indonesia dengan menghibahkan semua koleksi bukunya bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia melalui PSPK UGM.

WERTHEIM COLLECTION yang pengelolaannya berada di bawah tanggung jawab perputakaan PSPK UGM pada saat ini memiliki koleksi buku lebih dari 3000 buah, yang terdiri dari 1980 buah buku berbahasa Belanda, 1094 buah buku berbahasa Inggris, dan 272 buah buku berbahasa Indonesia. Wertheim Collection terbuka bagi semua kalangan baik akademisi maupun masyarakat umum yang ingin mendapatkan data/bahan untuk penelitian maupun warga masyarakat umum yang sekedar ingin menambah pengetahuan. Pelayanan dilaksanakan dengan sistem 5 hari kerja, dari Senin hingga Jumat dan dari pukul 08.00 hingga pukul 16.00. “Bagi akademisi dan masyarakat yang ingin memanfaatkan buku-buku koleksi Prof. Wertheim, dipersilahkan datang ke Wertheim Collection.’ demikian undangan Munazah Farindi selalu penanggung jawab perpustakaan PSPK UGM yang turut mendampingi kepala PSPK menyambut kedatangan keluarga besar Prof. Wertheim di PSPK UGM. *(dc)

Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat: Sebuah Ketidakberdayaan Para Pihak Melawan Konstruksi Neoliberalisme

WORKING PAPER oleh Prof. Dr. Susetiawan
Ditulis untuk Studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM serta Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM

Pendahuluan

Pembangunan di negara-negara berkembang, tidak terkecuali di Indonesia, berlangsung setelah usai Perang Dunia II. Negara berkembang yang semula adalah negara bekas jajahan, saat itu mulai bangkit melakukan perlawanan terhadap penjajah. Selanjutnya mereka menetapkan diri dan mendapatkan pengakuan dunia internasional sebagai negara merdeka (independent nations), meskipun beberapa diantaranya, seperti beberapa negara di Asia Tenggara dan Selatan, posisinya adalah sebagai negara commonwealth, yakni Malaysia, Singapura dan India. Realitas kebangkitan itu tidak sama antara satu dengan yang lain walaupun semuanya disponsori oleh hutang-hutang luar negeri dalam periode pembangunannya. Di Asia Tenggara, Singapura lebih dulu diakui oleh dunia internasional sebagai salah satu dari the Newly Industrializing Countries. Namun sebagian besar dari negara berkembang di Asia, hingga kini belum ada yang menyamai kemajuan negara-negara Barat yang mengklaim diri sebagai negara modern, kecuali empat negara yang disebut sebagai the Newly Industrializing Countries, yakni Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura. Tentu ada berbagai penjelasan. Selain penjelasan sosial budaya juga penjelasan politik, yang berkaitan dengan strategi politik Barat saat menghadapi perang dingin. Sesungguhnya hal ini perlu uraian tersendiri, yang dalam tulisan ini tidak akan diulas. Tulisan ini hendak memahami secara khusus konteks pembangunan dan kesejahteraan di Indonesia selama berlangsungnya periode pembangunan bangsa.

Sebuah pertanyaan yang tidak pernah ada hentinya hingga saat ini, sekurang-kurangnya dibenak penulis pribadi, ada apa dengan pembangunan bangsa Indonesia yang telah berlangsung hampir empat puluh tahun, selalu diliputi hutang di setiap tahunnya? Saat awal pembangunan nasional dimulai pada tahun 1970an, isu yang diangkat adalah membangun ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan menuju masyarakat sejahtera. Pada umumnya pemikiran tentang pembangunan di negara-negara belum berkembang (underdevelopment) selalu meletakkan kemiskinan sebagai isu sentralnya. Ada perbedaan pendekatan dalam pembangunan untuk memahami orang miskin. Disatu pihak ada yang memahami bahwa kemiskinan itu karena kemalasan, sedang dipihak lain memahami ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Selanjutnya pemikiran seperti ini diterjemahkan menjadi kurangnya pendapatan, ketidakmampuan untuk memuaskan kebutuhan dasar atau kemampuan untuk menuntun dirinya menjadi manusia seutuhnya (Levine and Rizvi, 2005:41).

Akan tetapi, cerita tentang kemiskinan juga tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu, bahkan sejak reformasi, setiap pergantian kepemimpinan nasional, isu pengentasan kemiskinan dan pencapaian kesejahteraan masyarakat menjadi agenda pertarungan kepentingan partai politik, terutama menjelang pileg (pemilihan legislatif) dan pilpres (pemilihan presiden). Misalnya pada saat menjelang pemilihan anggota DPR, pemerintah mengumumkan bahwa Indonesia telah mencapai swasembada pangan. Ekspor beras dibesar-besarkan oleh partai politik dalam kampanye untuk menunjukkan sukses pemerintah dalam menangani pangan. Ironisnya, diakhir bulan April 2009, Menteri Perdagangan RI telah menandatangani MoU perpanjangan impor beras dari Vietnam sampai dengan 2011 (Maksum, 2009).

Dapat disaksikan, fakta kemiskinan dan kesejahteraan juga tidak kunjung terselesaikan. Jumlah penduduk miskin menurut BPS sepuluh tahun terakhir (1996-2008) rata-rata 18,9%. Tabel.1 di bawah tentu menarik untuk disimak, ada kenaikan jumlah hutang pemerintah mulai dari tahun 1996, akan tetapi angka kemiskinan tidak menunjukkan penurunan yang berarti. Sebagaimana diketahui bahwa hutang luar negeri Pemerintah Indonesia juga sebagian digunakan untuk pengentasan kemiskinan. Angka kemiskinan di desa (21,77%) bahkan lebih tinggi dari total rata-rata angka kemiskinan di Indonesia. Pertanyaannya, apakah memang kemiskinan dan kesejahteraan ini adalah sudah menjadi “merek dagang” program-program pembangunan bangsa?

Kalau jawaban atas pertanyaan ini adalah “ya”, maka konsekuensi logis dari jawaban itu : “program pembangunan  akan terus berlangsung dan menjadi syah adanya, kalau isu kemiskinan dan rendahnya tingkat kesejahteraan juga tidak pernah berakhir.” Hal ini menjadi lebih menarik lagi, meskipun angka kemiskinan tidak banyak mengalami perubahan dari waktu ke waktu, akan tetapi mereka tidak banyak yang mati karena digolongkan sebagai orang miskin. Pada hemat penulis, isu kemiskinan dan rendahnya kesejahteraan perlu disimak kembali. Benarkah bahwa pembangunan itu adalah realitas pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat? Siapa sesungguhnya yang memiliki dominasi untuk mengkonstruksikan pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan?

TABEL 1

PERBANDINGAN ANTARA ANGKA KEMISKINAN

DAN JUMLAH HUTANG (1996-2008)

Prosentase Penduduk Miskin (%)

(Di bawah garis kemiskinan)

Hutang Pemerintah dan Swasta

Dalam Milyard $ US

Tahun

Kota

Desa

Kota+ Desa

Hutang Pemerintah (Milyard $)

Hutang Swasta (Milyard $)

Total Hutang (Milyard $)

1996

13,39

19,78

17,47

59,05

55,40

114,45

1997

**

**

**

63,46

73,96

137,42

1998

21,92

25,72

24,23

60,45

83,57

144,02

1999

19,41

26,03

23,43

75,86

72,23

148,09

2000

14,60

22,38

19,14

74,92

66,78

141,70

2001

9,76

24,84

18,41

71,38

61,69

133,07

2002

14,46

21,10

18,20

81,67

53,73

135,40

2003

13,57

20,23

17,42

82,73

54,30

137,03

2004

12,13

20,11

16,66

80,07

50,58

130,65

2005

11,68

19,98

15,97

75,81

52,93

128,74

2006

13,47

21,81

17,75

80,61

56,03

136,64

2007

12,52

20,37

16,58

80,61

56,03

136,64

2008

11,65

18,93

15,42

86,58

62,56

149,14

Rata-rata

14,05

21,77

18,39

74,86

 

61,52

 

136,38

 

Sumber:

1. Kemiskinan: BPS diolah dari data Susenas

2. Hutang: Bank Indonesia  BPS, berbagai terbitan dan tahun terbitan

3. **Data Kemiskinan tahun 1997 tidak diketemukan di Susenas

Apakah Negara memiliki kebebasan (nilai) untuk mengkonstruksikan konsep kemiskinan dan kesejahteraan yang tidak tergantung pada lembaga keuangan internasional? Apa yang sehari-hari dirasakan oleh masyarakat tentang hidup sejahtera (well being)? Pertanyaan ini akan menjadi pusat perhatian  selanjutnya dalam tulisan ini.

Pembangunan : Sebuah Alat Perluasan Pasar

Ketika pembangunan itu telah terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat dan menjadi pola budaya, kelihatannya semakin sedikit orang mempertanyakan asal-usul ide pembangunan. Pertanyaannya, ide siapakah sesungguhnya pembangunan itu, apakah pembangunan itu adalah ide murni negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, atau sungguhnya  pembangunan itu adalah idenya negara maju, yang jauh lebih dulu berkembang dengan paham kapitalis industrialnya (industrial capitalism), yang pada tahap tertentu paham tersebut membutuhkan perluasan pasar (market expantion)? Atau ide para elit politik keduanya, baik negara maju mapun berkembang. Lalu, apa hubungannya antara pembangunan di Indonesia dengan perluasan pasar negara industri?

Secara historis, kapitalisme industrial yang berkembang sejak  Revolusi Industri di Eropa waktu itu, kini perkembangan paham tersebut telah menembus batas-batas negara di seluruh dunia. Ide utama dari paham ini adalah mencetak produksi sebesar-besarnya (mass production) melalui teknologi permesinan guna menjawab kebutuhan hidup manusia. Ide tersebut tidak hanya berhenti sampai pada penemuan teknologi baru, memperbaiki organisasi produksi dan memperbaiki hubungan produksi, melainkan juga bagaimana pasar itu diperluas dan dibentuk. Konsekuensi perubahan teknologis ke arah permesinan ini mendorong kebangkitan produksi hasil pabrikan, yang selanjutnya mempengaruhi kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya (Susetiawan, 2000:7) Jika pasar dalam sebuah kawasan telah terpenuhi, sedang proses produksi melalui mesin berjalan terus, maka perluasan pasar merupakan syarat mutlak untuk menghindari kelebihan produksi (over production).

Proses produksi berkembang terus dengan logika melingkar. Artinya jika terjadi perubahan teknologi produksi maka perubahan itu juga menuntut perubahan pola konsumsi masyarakat. Sebaliknya, perkembangan pola konsumsi juga mendorong kreativitas perubahan teknologi produksi yang semakin berkembang untuk menciptakan produk produk baru dalam industri manufaktur. Perubahan itu tidak hanya berhenti sampai disini, pasar akan berkembang dengan baik kalau terjadi perubahan sosial ekonomi masyarakat guna menyongsong produk baru. Oleh sebab itu, agar perluasan pasar mampu menembus batas-batas negara di seluruh dunia maka kerja ekonomi saja tidak cukup, melainkan juga dibutuhkan kerja politik, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pada akhirnya kerja politiklah yang menjadi kunci penting dalam perluasan pasar. Tanpa kerja politik pasar sulit diciptakan. Herry Priyono (Wibowo dan Wahono, 2003:49) menyebutnya bahwa pasar itu merupakan hubungan sosial bentukan manusia, oleh karenanya membutuhkan tindakan politik. Ini adalah salah satu sisi perbedaan antara pemikiran liberal dan neoliberal. Pemikiran liberal membiarkan pasar bekerja secara bebas, akan tetapi para neoliberalis berpikir bahwa pasar harus diintervensi secara politik, dibentuk dan diarahkan sesuai dengan kepentingan untuk memenangkan persaingan. Negara sasaran perluasan pasar, selain padat penduduknya juga pendapatan per kapita penduduknya rendah seperti negara negara Afrika, Asia dan Amerika Latin. Oleh sebab itu upaya mempengaruhi para pemimpin politik negara berkembang untuk mengikuti prinsip perluasan pasar negara industri menjadi sangat penting dalam kerja politik.

Pada akhirnya perkembangan model produksi tidak hanya terbatas pada barang industri manufaktur, yang hak-hak patennya seperti hak-hak cipta dan intelektualnya, telah diatur dalam tata dunia internasional, yang mendahului kemajuan negara berkembang di era pembangunannya. Kerja politik berikutnya, uang tidak hanya sekedar berfungsi sebagai alat tukar. Uang telah berdiri sebagai produk, yang layak diperdagangkan sebagaimana produk industri manufaktur (Clarke, 2004:88). Baik produk industri manufaktur maupun uang posisinya telah diatur dalam tata organisasi internasional, yang keberadaannya jauh mendahului majunya negara-negara berkembang itu sendiri. Konstruksi kelembagaan untuk mengatur tata dunia dilakukan melalui organisasi internasional antara lain seperti WTO (World Trade Organization), GATT (General Agreement on Trade and Tariff), Bank Dunia (World Bank), IMF (Iternational Monetary Fund) dan berbagai lembaga lainnya (Tabb, 2001:73). Perluasan kontruksi pasar telah dipersiapkan secara matang, bahkan tata ekonomi politik global telah dipersiapkan mengikuti pola perkembangan paham kapitalisme industrial yang berwatak neoliberal.

Sangatlah disadari bahwa perluasan pasar bukan hal yang mudah sebab telah diketahui bahwa pasar yang akan menjadi sasarannya itu sebagian besar penduduknya berpendapatan per kapita rendah, yang sangat tidak mendukung perluasan pasar sebagaimana dikehendaki oleh negara industri maju. Itulah sebabnya pada umumnya pembangunan negara berkembang merupakan gagasan yang bukan lahir dari pemikiran negara-negara berkembang sendiri, akan tetapi pembangunan itu merupakan produk negara industri untuk mendukung perluasan pasar mereka, yang didukung oleh para elit politik negara berkembang yang pro pasar bebas. Pembangunan ekonomi negara berkembang yang dianggap sebagai obat mujarab untuk menyelesaikan persoalan keterbelakangan, semuanya disponsori oleh negara-negara maju dengan pola pinjaman luar negeri. Institusi keuangan ini telah dipersiapkan oleh lembaga-lembaga keuangan negara-negara maju. Bank Dunia merupakan organisasi ekonomi yang dipercaya oleh negara kaya untuk mempromosikan pembangunan di negara berkembang (Hancock, 2005:98). Bukan hanya sponsor finansial saja, ilmu pengetahuan, teknologi sampai dengan ukuran maju dan terbelakang, tradisional dan modern, kaya dan miskin, welfare dan illfare, dimana ukuran ini tidak lepas dari campurtangan para sponsor. Kalau saja mantan Presiden Soeharto sekarang ini masih ada diantara kita, betapa marahnya dia karena Bapak Pembangunan itu sesungguhnya bukan Soeharto akan tetapi George Sorros dan kawan-kawannya.

Oleh sebab itu, setiap kepemimpinan nasional dalam periode pembangunan, kemungkinan besar tidak akan lepas dari campur tangan para sponsor untuk melapangkan jalannya perluasan pasar. Di tingkat ini, negara, di bawah siapa pun kepemimpinan nasional terpilih, adalah sosok institusi yang tidakberdaya melawan konstruksi pasar yang dibangun oleh paham neoliberal. Dengan demikian semua persoalan masyarakat negara berkembang ditentukan melalui sistem keuangan internasional, dan bukan oleh keadaan regional maupun nasional. Ketika semua aturan ditentukan oleh lembaga keuangan internasional maka lembaga keuangan tersebut akan mengontrol pemberlakuannya dan penyeragamannya secara global tanpa peduli kondisi spesifik masyarakat (Hadar, 2004:13) Lembaga keuangan internasional seperti IMF pun menyediakan saran tentang stabilisasi ekonomi namun tidak menunjukkan cara bagaimana ekonomi itu tumbuh dengan baik. Pertumbuhan ekonomi itu membutuhkan stabilisasi untuk mendukung agenda neoliberal tentang privatisasi dan liberalisasi ekonomi di era pembangunan negara berkembang (Stiglitz, 2002:169). Tentu, dengan pembangunan yang telah berlangsung di Indonesia hingga sekarang ini, telah banyak terjadi perubahan materiil. Dibandingkan dengan empat puluh tahun silam, kemegahan, kemewahan dan kegemerlapan fasilitas publik yang serba modern dapat disaksikan sekarang ini.

Namun pembangunan telah menciptakan kesenjangan sosial ekonomi semakin lebar, lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa barang produksi yang dikonsumsi masyarakat Indonesia pada umumnya adalah barang produksi import. Kalau ada barang kebutuhan yang dapat diproduksi sendiri, bahan bakunya kebanyakan adalah import, mulai dari kebutuhan bahan makanan (kebutuhan primer) sampai kebutuhan sekunder yang lain tergantung pada import. Misalnya salah satu jenis makanan, Mie instan yang terlembagakan (institutionalized) pada diri anak-anak sebagai makanan fast food, bahan dasarnya adalah gandum, yang tidak ada di Indonesia. Lembaga perguruan tinggi semakin banyak jumlahnya dan fasilitasnya juga semakin bagus, namun eksistensinya lebih banyak mereproduksi ilmu pengetahuan dan teknologi import dari negara maju. Misalnya dibidang pertanian, ilmu dan teknologi macam apa yang dapat diklaim sebagai produk dalam negeri, tanpa ketergantunag pada import sehingga produk itu sebagai wujud kedaulatan bangsa Indonesia?. Sejauh penulis ketahui tentang Pembangunan Pertanian di Indonesia, yang praktis dimulai jaman Orba pada tahun 1970 an, sampai saat ini masyarakat belum banyak mengetahui produk baru macam apa yang telah dihasilkan dari pembangunan pertanian selain padi. Kalau dibandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand, negeri ini telah mampu menjual kebudayaan produksi pembangunan pertaniannya. Misalnya masyarakat Indonesia sekarang ini tidak asing dengan buah Jambu Bangkok, Durian Bangkok, Kelengkeng Bangkok dll. Bangsa Indonesia memiliki potensi sumber alam yang sama dengan Thailand, akan tetapi di periode pembangunan potensi itu semakin hilang dan tidak semakin berkembang. Salah satu contohnya adalah padi, yang semula bangsa ini memiliki varietas yang sangat kaya, akan tetapi  sekarang ini hampir punah dan posisinya digantikan oleh benih padi produksi hibrida (benih padi yang diproduksi oleh pabrik).

Kemudian, apa yang dapat dipetik dari pelajaran tentang perubahan seperti ini, mungkin saja secara tidak sadar, negara ini telah memasuki arena dimana terjadi kemiskinan konsep tentang pembangunan, yang selalu mereproduksi pembangunan untuk pengentasan kemiskinan secara berulang-ulang, yang tidak pernah akan habis dan tidak pernah mandiri. Kalau tidak dipikirkan secara serius, sepanjang hayat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tergantung, jika tidak pernah berani membongkar kemiskinan konsep pembangunannya. Apa yang telah berlangsung dalam periode pembangunan, ini hanya merupakan sebuah usaha untuk menaikkan daya beli masyarakat guna merespon barang produksi import.

Dengan demikian pembangunan hanya mempersiapkan masyarakat agar mereka dapat merespon pasar produk industrial dari negara maju. Misalnya, saat ini anak-anak jauh lebih suka makan Pizza Hut, McDonald dan Kentucky Fried Chicken (KFC) daripada Ayam Goreng mBok Sabar maupun Ny. Suharti. Inilah hubungan relasional antara perluasan pasar barang industri negara maju dengan pembangunan yang berlangsung di Indonesia. Lalu, apa yang diimpikan oleh bangsa ini tentang hidup sejahtera dalam situasi sosial, ekonomi dan politik seperti ini, atau kesejahteraan itu memang sebuah konsep yang utopis? Atau sejahtera itu, kalau orang mampu mengkonsumsi produk import? Berdasarkan pertanyaan ini, penulis akan mencoba memahami perkembangan masyarakat yang sedang berlangsung sekarang ini

Pembangunan dan Kesejahteraan dalam Arena Civil Society

Diskursus tentang kesejahteraan sudah cukup lama, bahkan pada jaman Yunani dan Romawi kuno pun diskursus seperti ini sudah banyak dilakukan oleh para filosof saat itu. Perdebatan tersebut berawal dari keyakinan para cerdik pandai tentang perubahan sosial yang tak pernah berhenti dalam kehidupan manusia. Perdebatan keyakinan tentang perubahan sosial tidak dapat dipisahkan dari pencapaian tujuan hidup yang dianggapnya lebih baik, tentangnya pada umumnya orang menyebutnya dengan  sejahtera (well being).

Secara umum terdapat dua penjelasan besar tentang perubahan sosial. Pertama, adanya  keyakinan bahwa perubahan sosial itu merupakan proses seleksi alam, yang berkembang secara linier dan progresif dari tahap satu ke tahap yang lain. Kedua, perubahan sosial itu akan berlangsung dengan baik dan menjamin semua kepentingan masyarakat kalau ada intervensi, dengan demikian terjadi perkembangan linier dan progressif. Perubahan yang berlangsung atas seleksi alam itu, kalau dibiarkan akan berakibat pada proses dehumanisasi. Baik keyakinan pertama maupun kedua, masing-masing berkembang dengan dinamikanya sendiri yang berbeda satu sama lain terutama  tentang penjelasan sebab terjadinya perubahan. Namun pada akhirnya keduanya mencapai titik yang sama, yakni masyarakat itu berkembang melalui proses bertahap menuju perkembangan yang lebih baik.

Pemikiran filosof awal, Heraklitus, menjelaskan bahwa proses perubahan alami itu terjadi secara dialektis. Perubahan merupakan benturan dari unsur-unsur yang berlawanan dalam kehidupan masyarakat, yang pada akhirnya membawa kematangan dalam kehidupan yang lebih baik. Penjelasan interventif diawali dari pemikiran Plato yang mengangankan tatanan masyarakat yang sempurna (utopia). Guna mencapai tujuan itu, intervensi kekuasaan diperlukan untuk mengatur perkembangan yang lebih baik dan manusiawi. Kedua pemikiran ini selanjutnya mewarnai pemikiran-pemikiran berikut tentang perubahan masyarakat yang diharapkan di masa datang. Para pemikir penganut keyakinan perubahan non interventif dapat dibagi menjadi dua. Pendapat pertama, perubahan linier progressif itu terjadi karena kehendak kekuatan alam yang diluar jangkauan manusia. Masyarakat itu selalu berubah secara dinamis, yakni ada, berevolusi menjadi dewasa (matang) lalu hancur dan berikutnya tumbuh lagi seperti perubahan dalam mikro organisme (Medgley, 2005:59)

Charles Darwin dan Herbert Spencer (Ritzer, 1983:26, Midgley, 2005:61) serta pengikutnya merupakan pemikir yang mempercayai bahwa seleksi alam akan menyisakan masyarakat yang terbaik dan mampu bertahan. Oleh sebab itu usaha intervensi dalam proses perubahan yang dilakukan oleh negara menuju tercapainya kesejahteraan, hal ini justru mengganggu dan melemahkan dan akhirnya menghancurkan masyarakat itu sendiri. Keyakinan Darwin dan Spencer dibangun atas asumsi bahwa masyarakat itu merupakan subyek dari hukum alam. Pendapat kedua, perubahan linier progresif itu bukan semata karena hukum alam seperti bekerjanya mikro organisme, akan tetapi masyarakat itu berubah karena benturan kepentingan. Dasar pemikiran ini lebih menjelaskan pada sebab terjadinya perubahan, yang dibangun oleh sebuah logika dialektis. Seorang Sosiolog Islam Afrika di abad 14, Ibnu Khaldun, ia meyakini bahwa sebab perubahan itu karena aktivitas manusia. Penjelasannya mulai masyarakat nomaden sampai dengan masyarakat menetap, dijelaskan dengan perspektif konflik kepentingan antarsuku. Penjelasan seperti ini juga diulangi oleh para pemikir selanjutnya (Midgley, 2005:61)

Georg Hegel dan Karl Marx (Ritzer, 1983:15, Brewer, 2000:6, Medgley, 2005:63) meskipun keduanya berada dalam logika berpikir yang sama, keduanya memiliki perbedaan penjelasan tentang terjadinya perubahan sosial. Hegel menekankan bahwa sebab perubahan itu adalah benturan perkembangan ide manusia, yang diekspresikan melalui benturan antara tesis dan antitesis yang kemudian menyatu dalam sintesis. Namun antitesis yang dikemukakan oleh Karl Marx untuk membantah pemikiran Hegel adalah sebaliknya Bukanlah benturan ide yang menyebabkan perubahan itu, akan tetapi karena konflik kepentingan materi. Tesis yang diajukannya adalah justru ide itu berubah karena ada perkembangan materi yang berubah (Susetiawan, 2000:11).

Adam Smith ( Midgley, 2005:62, Rapley, 2007:15) merupakan orang yang pertama kali menyatakan bahwa perubahan sosial itu terjadi karena aktivitas ekonomi manusia. Perubahan masyarakat dari masyarakat berburu dan meramu sampai dengan masyarakat maju, yang ditandai oleh industri manufaktur dan perdagangan asing, yang berakibat kepada kesejahteraan manusia, semuanya ini adalah akibat dari aktivitas ekonomi manusia. Perekonomian itu diatur oleh hukum alam sehingga menjadi sistem yang mandiri dan mengatur dirinya sendiri. Pada awal revolusi industri, Smith menentang apa pun ide intervensi pemerintah yang berlebihan terhadap para merkantilis, bagaimana pun intervensi pemerintah harus minimalis, yakni menyediakan layanan yang tidak disediakan oleh pasar.

Tokoh-tokoh  ini semua melukiskan  perubahan sosial dengan menunjukkan tahap-tahap  perkembangannya, meskipun diantara mereka ada perbedaan cara penyampaiannya. Seluruh pemikiran Karl Marx mengkritik sistem ekonomi politik perkembangan kapitalisme liberal dimana basis pertarungan kepentingan materiil ini menghasilkan proses dehumanisasi. Dia hadir justru sebagai bentuk perlawanan dari para pemikir liberalis tentang perubahan sosial. Para pemikir penganut perubahan secara interventif ini secara tidak langsung merupakan sebuah antitesis terhadap pemikiran liberal. Intervensi pemerintah untuk mendorong perkembangan perekonomian sangat diperlukan. Kerjasama antara para aristokrat dan para borjuasi di Inggris pada awal revolusi industri justru memberikan bantuan kepada para merkantilis untuk mendorong perkembangan ekonomi. Para pemikir intervensionis ini bahkan menganjurkan bahwa pemerintah harus turun tangan untuk mendorong terciptanya kesejahteraan masyarakat. Para pemikir intervensionis, seperti Jean Babtiste Colbert pada abad 17 di Perancis, Alexander Halmiton di Amerika dan Frederich List pada pertengahan abad 19 di Jerman menunjukkan pentingnya intervensi pemerintah dalam membangun perekonomian dan mengangkat kesejahteraan masyarakat. Pada akhirnya intervensi negara juga meliputi bidang sosial untuk mengimbangi intervensi perkembangan ekonomi.

Di akhir abad sembilan belas, Otto von Bismarck mencanangkan asuransi sosial tenaga kerja untuk menjamin kesejahteraan mereka sekaligus untuk mendapat dukungan partai sosialis Jerman. Pemikir intervensionis ini juga berkembang selalu berhadap hadapan dengan para pemikir non intervensionis, John Maynerad Keynes merupakan pemikir neo-klasik yang mendukung pentingnya intervensionis. Pikiran ini menjadi legitimasi adanya negara kesejahteraan (welfare state) dan sejumlah intervensi pembangunan di negara berkembang oleh negara maju (Midgley, 2005:70).

Negara Kesejahteraan (welfare state) merupakan perwujudan para pemikir intervensionis dimana intervensi negara terhadap masyarakat akan membantu perkembangan ekonomi dan kesejahteraan mereka, meskipun ini mendapat kritik dari para neoliberal (Anderson, 2002:14). Pikiran mereka tidak menghapus negara kesejahteraan, akan tetapi para pemikir ini menyetujui intervensi negara kepada masyarakat hanya untuk mereka yang paling miskin (Midgley, 2005:62). Meskipun demikian halnya, kemunculan welfare state berbeda-beda di setiap negara (Rothstein, 2002:3). Perkembangan negara maju berlangsung dengan perdebatan tersendiri tentang kemajuan ekonomi politik dari dua pemikiran di atas. Bagaimana pun hasil perdebatan ini membuahkan hasil perbaikan kesejahteraan masyarakatnya hingga sekarang ini.

Pikiran interventif inilah jiwa dari pemikiran pembangunan yang berlangsung di negara berkembang. Keadaan yang berlangsung di negara berkembang agak berlainan. Intervensi negara dalam perencanaan pembangunan guna meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat hasilnya berbeda. Program dan proyek pembangunan dalam kenyatannya lebih menguntungkan para agen pembangunan, baik pemerintah, bisnis maupun organisasi sosial, dari pada masyarakat pada umumnya (Tabb, 2001:65). Meskipun para neoliberalis ini tidak menyukai intervensi negara secara berlebihan dalam perkembangan masyarakat modern di Eropa dan Amerika, akan tetapi sikap intervisonis para neoliberalis ini lebih banyak dimainkan terhadap negara berkembang, yang membuat negara berkembang semakin tergantung pada pola pembangunan yang disponsorinya melalui pendanaan hutang luar negeri. Bagaimana pun ini semua dilakukan atas dasar kepentingan perluasan pasar produk industrial yang telah diciptakan.

Kebijakan pembangunan di negara berkembang banyak dicampuri agar mengikuti kepentingan mereka, yang dikaitkan dengan kebijakan hutang luar negeri. Ada dua skema yang dilakukan untuk mempengaruhi kebijakan pembangunan di negara berkembang, yakni melalui pemberian hutang dan yang lain melalui pendanaan hibah lewat NGOs internasional yang bekerjasama dengan NGOs nasional dan regional. Isu dan program pembangunan negara berkembang disesuaikan dengan konseptualisasi mereka (Edward, 2004:15). Oleh sebab itu pikiran neoliberalis yang menguasai perekonomian dunia dan yang tergabung dalam perusahaan atau korporasi sejagad (Multi National Corporation dan Trans National Corporation) mendanai dan sekaligus menentukan konsep pembangunan.

Edelman (2006:1) menyebutkan bahwa pembangunan itu adalah terminologi yang tidak stabil.

Is it an Ideal, an immagined future toward which institutions and individual strive? Or is it destructive myth, an insidious, failed chapter in the history of Western Modernity (Escobar 1995) Conventionally ”development” may connote improvement in well being, living standards, and opportunities. It may also refer to historical process of commodification, industrialization, modernization, or globalization. It can be a legitimizing strategy for states, and its ambiguity lends itself to discourse of citizen entitlement as well as a state control.

Setiap orang yang mendefinisikan pembangunan memang cenderung normatif, sesuatu yang diharapkan terhadap perubahan kekinian maupun dimasa depan. Namun jika pembangunan itu mengakibatkan keadaan buruk yang tidak diharapkan, tidak menghasilkan perbaikan masyarakat secara berarti. Demikan juga terjadi pengkutuban hasil pembangunan oleh sebagian kecil warga negara yang kekayaannya melimpah sedang sebagian besar warga negara menikmati sebagian sisa dari apa yang telah dinikmati oleh orang kaya, akankah definisi normatif itu selalu dipuja-puja?

Dalam realitas seperti ini maka orang mengatakan bahwa pembangunan adalah sebuah bentuk eksploitasi milik publik ke dominasi individu atau kelompok tentang hasil pembangunan. Hal yang sama juga bisa dikatakan bahwa pembangunan itu adalah dominasi Barat atas negara-negara berkembang yang semula adalah daerah koloni mereka. Kalau dulu koloni adalah tempat pengambilan bahan baku, hasil perkebunan dan berbagai tambang untuk perdagangan internasional, kini keberadaan yang dahulu adalah koloni, negara itu secara yuridis adalah negara merdeka, akan tetapi pada umumnya mereka secara sosiologis tidak merdeka karena kekayaan dan pasarnya sudah dimiliki oleh negara yang mendanai pembangunan negara tersebut. Kebanyakan konsep pembangunan yang berlangsung di negara berkembang adalah berasal dari konseptualisasi pendonor pembangunan.

Para pemikir generasi kedua tentang teori ketergantungan mengatakan bahwa pembangunan tidak akan membebaskan negara berkembang dari ketergantungan mereka terhadap negara maju. Industrialisasi negara berkembang hanya diraih oleh sebagian kecil negara, itu pun tidak muncul dari pembangunan negara berkembang akan tetapi itu berasal dari negara maju. Ini semua adalah maksud dari perusahaan di negara maju untuk mendapat perlindungan pasar di negara berkembang dengan cara mendapatkan buruh murah atau negara maju akan mengekspor teknologi industri padat modal ke negara berkembang, yang sedikit menciptakan tenaga kerja  yang semuanya itu dilakukan oleh orang asing (Rapley, 2007:27). Di negara berkembang termasuk Indonesia, pembangunan adalah sebagai sebuah cara, sedang kesejahteraan adalah sebagai tujuan, faktanya telah terbelenggu atau terpasung oleh konstruksi kepentingan yang dibangun oleh negara maju. Siapa pun aktornya dalam masyarakat sipil, negara, bisnis dan organisasi sosial tidakberdaya (powerless) membangun kreativitas dalam perspektif pemikirannya sendiri. Ini adalah tantangan besar bagi Indosesia sebagai negara berkembang untuk mendapatkan kebebasan mengkonstruksikan sendiri kesejahteraan macam apa yang dipahami oleh masyarakat dan apa yang dibutuhkan, selanjutnya cara macam apa yang seharusnya dilakukan oleh para pihak untuk membangun bangsa sesuai dengan keinginan sendiri.

Kesejahteraan: Antara Konstruksi Organisasi Formal dan Institusi Sosial

Pembangunan, apa pun penjelasan ideologisnya, merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara sengaja (intervention) dan terencana dalam rangka mendapatkan hasil yang lebih baik dari kondisi kehidupan sebelumnya. Kondisi kehidupan yang lebih baik seperti apa yang diinginkan dalam proses perubahan itu, kata yang tidak pernah absen dari telinga setiap warga negara adalah kehidupan masyarakat yang sejahtera. Oleh sebab itu, perdebatan tentangnya berkembang menjadi perdebatan ideologis tentang bagaimana cara pencapaian perubahan dan hasil dari proses perubahan itu sendiri, yang berhubungan dengan kualitas kehidupan manusia. Kalau perubahan yang diharapkan lebih baik itu adalah sejahtera sebagai sebuah kondisi yang dapat dirasakan oleh masyarakat, pertanyaan tentangnya adalah berdasarkan basis apa hidup sejahtera itu  diletakkan, apakah sejahtera itu ditunjukkan oleh basis individu atau basis komunitas, atau bahkan keduanya (Goodin, 1988:363, Fitzpatrick, 2001:11).

Misalnya orang yang secara individual disebut kurang kecukupan dibanding yang lain dalam komunitasnya, bisa saja mereka merasakan hidup sejahtera karena komunitas dimana orang itu hidup menutup secara bersama-sama kekurangan mereka. Saling menjamin antara satu dengan lainnya dalam komunitas bisa mendatangkan perasaan sejahtera. Sebaliknya, orang yang secara individual kecukupan materi sedang komunitas tidak berurusan dengan kehidupannya, selalu tidak tenang karena khawatir kalau hartanya dirampok orang. Ini adalah sebuah kondisi yang menimbulkan perasaan ketidaksejahteraan. Perdebatan tentang kesejahteraan sengaja tidak disampaikan pada bagian ini sebab fokus utama bagian ini hendak menjelaskan tentang dominasi organisasi formal diluar masyarakat untuk mengkonstruksikan kesejahteraan dari pada institusi kesejahteraan yang berlangsung dalam masyarakat.

Rasa aman sekurangnya menjadi salah satu indikator yang menjadikan seseorang merasa sejahtera hidupnya. Singkat kata, di level mana kesejahteraan itu hendak diletakkan dalam sebuah keputusan politik, apakah hendak diletakkan pada kebijakan masyarakat (communitarian policy) atau kebijakan negara ( public and social policy). Artinya, rasa hidup sejahtera itu hendak dipikirkan atas konseptualisasi masyarakat itu sendiri sesuai dengan lingkungan sekitarnya, atau rasa hidup sejahtera itu ditentukan oleh keputusan politik negara yang indikatornya pun ditentukan oleh negara. Bisa saja terjadi, apa yang dirasakan oleh negara bahwa masyarakat kurang sejahtera oleh karenanya perlu intervensi program dan proyek pembangunan, akan tetapi apa yang dirasakan masyarakat bisa berbeda kebutuhannya. Misalnya masyarakat membutuhkan rasa aman dimana negara diharapkan mampu menjamin ketenteraman, tidak sering terjadi pencurian ternak peliharaannya, akan tetapi intervensi pembangunan justru menawarkan kredit ternak dengan bunga yang rendah. Masyarakat mengartikan sejahtera sangat kualitatif, yakni ada jaminan kemanan untuk mengamankan harta sapi mereka sehingga hidupnya tenang, akan tetapi negara justru sebaliknya, yakni pertambahan ternak sapi mereka yang diperoleh secara kredit sebagai indikasi semakin sejahtera hidup mereka. Sejahtera ditangkap sebagaimana memahami kemiskinan, yang diartikan karena ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan.

Pertanyaannya, apakah ketidaksejahteraan masyarakat itu identik dengan kemiskinan? Kelihatannya ada asumsi menyamakan keduanya, meskipun kemiskinan itu dapat merupakan salah satu indikasi ketidaksejahteraan. Akhir dari semua jawaban ini adalah peningkatan pendapatan perkapita, meskipun indikasi mutakhir tidak hanya dilihat pendapatan perkapita, melainkan juga terpenuhinya kebutuhan hidup minimum seperti kemampuan mengakses fasilitas kesehatan, pendidikan dan pemenuhan nutrisi.

Guna pemenuhan kebutuhan minimum ini, pada akhirnya masyarakat juga harus memiliki sejumlah uang yang cukup untuk itu. Indikator batas garis kemiskinan yang digunakan secara universal adalah 2 $. Orang yang pendapatannya kurang dari 2$ perhari disebut orang miskin. Kalau ukuran kemiskinan seperti ini digunakan, maka orang berpendapatan rendah di negara maju bisa saja dianggap kaya di negara berkembang. Namun tidaklah demikian bahwa ukuran angka kemiskinan tersebut di atas hanyalah diperuntukkan negara berkembang dan negara belum berkembang. Ilmu pengetahuan telah menempatkan standar ganda dalam pengukuran kemiskinan antara negara maju dan berkembang (Chrossudovsky, 2003:30) Demikian halnya jika ukuran ini digunakan untuk melihat standar pemenuhan kebutuhan hidup per keluarga, ini menjadi sangat problematik. Menstandardisasi pengukuran angka kemiskinan tidaklah mudah, yang semuanya ini membuka ruang perdebatan untuk memahami konsep kemiskinan. Perdebatan itu sekurangnya menempatkan paham tentang kemiskinan absolut (universal standart) dan kemiskinan relative. Kalau kemiskinan absolut dan relatif masih menekankan pada ukuran materiil, meskipun pada kemiskinan relative orang miskin diukur dengan cara membandingkan dengan orang, kelompok lain atau orang yang tinggal di wilayah tertentu dengan wilayah lain, namun ada yang meletakkan konsep kemiskinan berdasarkan atas pandangan yang bukan bersifat materiil. Miskin dilihat dari kemampuan kreativitas seseorang atau lembaga untuk melakukan kerja guna pemenuhan kebutuhan hidup, meskipun hal ini tidak harus mengabaikan kebutuhan dasar (Levine and Rizvi, 2005:76). Walaupun pendapatan perkapita seseorang itu rendah, dapatkah serta merta mereka dikatakan tidak sejahtera hidupnya?

Kesejahteraan masyarakat, istilah yang sering digunakan dalam terminologi akademik adalah kesejahteraan sosial, mengalami pergeseran dalam pemahaman dan penggunaannya. Kesejahteraan sosial itu menunjuk kondisi kehidupan yang baik, terpenuhinya kebutuhan materi untuk hidup, kebutuhan spiritual (tidak cukup mengaku beragama tetapi wujud nyata dari beragama seperti menghargai sesama), kebutuhan sosial seperti ada tatanan (order) yang teratur, konflik dalam kehidupan dapat dikelola, keamanan dapat dijamin, keadilan dapat ditegakkan dimana setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum, tereduksinya kesenjangan sosial ekonomi. Midgley (2005:21) mengkonseptualisasikan dalam tiga ketegori pencapaian tentang kesejahteraan, yakni pertama, sejauh mana masalah sosial itu dapat diatur. Kedua, sejauh mana kebutuhan dapat dipenuhi dan ketiga, sejauh mana kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dapat diperoleh. Semuanya ini bisa diciptakan dalam kehidupan bersama, baik ditingkat keluarga, komunitas maupun masyarakat secara luas.

Tentu, semua ini dapat berbeda di tingkat kehidupan sosial satu dengan lainnya. Indikator ini juga tidak dapat digeneralisasikan. Dalam realitas keseharian, kata kesejahteraan sosial menjadi bergeser penggunaannya, yakni sebagai kegiatan philantrophy (amal), program layanan sosial, bantuan publik yang dilakukan pemerintah untuk orang miskin dan terlantar serta program pelayanan sosial dari organisasi sosial yang bersifat formal berbadan hukum. Ketika kesejahteraan sosial bergeser maknanya dari kondisi well being  ke bentuk program layanan kesejahteraan sosial, lembaga publik menjadi sibuk berurusan membuat program pelayanan. Ketika program selesai dibuat dan diimplementasikan, keuangan bisa dipertanggungjawabkan maka selesailah sudah pekerjaan yang dilakukan berkaitan dengan kesejahteraan sosial.

Konsep kesejahteraan sosial menjadi spesifik dan sempit, yang menjadi klaim pekerjaan tertentu dari departemen tertentu pemerintahan di Indonesia, seolah-olah ini telah menjadi urusan Departemen Sosial atau Menkokesra. Dalam UU Kesejahteraan Sosial pasal 4, Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Dalam pasal 5 ayat 2, penyelenggaraan kesejahteraan sosial itu diprioritaskan pada kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial (penyimpangan perilaku), korban bencana (bukankah yang terakhir ini sudah diatur di UU Penanganan Bencana?), korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

Penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi kegiatan rehabilitasi, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial. Semua ini dominasinya sektor publik, yang akan memberi legitimasi atau sahnya perencanaan dan program kegiatan. Dalam konteks ini konsep kesejahteraan adalah dominasi keputusan organisasi formal yang dilakukan baik oleh organisasi publik (negara), masyarakat maupun organisasi ekonomi dalam pelayanan kesejahteraan sosial dan bukan sebuah institusi kesejahteraan masyarakat (communitarian welfare) yang terpola dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.

Welfare pluralism pun menunjuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dilakukan oleh organisasi formal yang tidak hanya terbatas pada organisasi publik melainkan juga organisasi sosial dan ekonomi. Ini semua adalah organisasi penyelenggara program layanan sosial organisasional, yang sering kali berdiri diluar masyarakat yang dilayani. Pada umumnya organisasi itu bukan menunjuk sebuah institusi kesejahteraan masyarakat yang telah lama ada dan terpola di dalam masyarakat itu sendiri. Pendek kata perumusan tentang sejahtera adalah dominasi kepentingan penyelenggaraan layanan bantuan sosial dari luar masyarakat yang dilayani, sedang masyarakat sendiri menempati posisi subordinat dalam merumuskan apakah dirinya sejahtera atau tidak. Perilaku sejahtera seperti ini lah menjadi solusi system kesejahteraan yang dilakukan oleh organisasi formal, termasuk negara (Schiller, 2008:255), yang mampu memberi pelayanan akan tetapi tidak mampu menciptakan kondisi. Pertanyaannya mengapa konseptualisasi hidup sejahtera lebih didominasi oleh organisasi penyelenggara pelayanan sosial? Jawaban atas pertanyaan ini sangat erat kaitannya dengan hubungan relasional para pihak dalam masyarakat sipil (civil society), yang keberadaannya di negara berkembang banyak ditentukan oleh dominasi pandangan global yang berbasis pada paham neoliberal.

Oleh sebab itu, menurut hemat penulis,  ukuran kuantitatif seperti kemiskinan dan kesejahteraan oleh para pihak merupakan kreasi pikiran penguasa global dalam memfasilitasi program dan proyek pembangunan. Misalnya pemberdayaan (empowerment), gender, justice dll merupakan istilah baru dalam proyek pembangunan, yang tercipta dari rezim pendanaan internasional. Para pihak di negara Indonesia, baik organisasi publik, sosial dan bisnis, dalam arena civil society adalah pelaku dan pengimplementasi konsep dan program pembangunan. Konsep kesejahteraan sebagai tujuan akhir pembangunan didominasi oleh organisasi formal, yang fungsinya sebagai pelaksana pelayanan sosial dari gagasan penguasa global. Kelompok masyarakat sebagai sasaran program, tetap saja sebagai obyek, yang kehilangan kedaulatan untuk menempatkan dan menyatakan diri mereka sendiri dikancah ruang pembangunan bangsa.

Negara Indonesia: Kepatuhan terhadap Para “Pebisnis Pembangunan”

Isu kemiskinan (poverty), kesejahteraan (welfare), demokratisasi, desentralisasi, kesamaan hak laki-laki dan perempuan (gender), pemberdayaan (empowerment), keadilan (justice), tata kelola (governance), kemanusiaan (humanity), anti privatisasi dan seterusnya merupakan reaksi dari realitas yang sedang berlangsung di negara berkembang. Pada umumnya negara berkembang semasa membangun menghasilkan pembangunan yang tidak banyak membuahkan kesejahteraan masyarakatnya. Di Indonesia hal ini ditandai dengan tingkat kesenjangan, baik terjadi antarpenduduk maupun antarsektor (Pogge, 2002:2, Sumodiningrat, 2006 :30-31).

Diagram ini dikreasikan sendiri oleh penulis dengan mengambil bahan dari Yayasan Cindelaras dan hasil pemahaman penulis dari presentasi George Junus Aditjondro saat presentasi bedah buku Dewa Dewa Pencipta Kemiskinan.

Kritik NGO internasional terhadap berbagai isu seperti demokratisasi, privatisasi, ketidakadilan, ketimpangan, kerusakan lingkungan dan seterusnya di negara berkembang, yang bekerjasama dengan NGO nasional, adalah lebih banyak didanai oleh lembaga-lembaga bantuan internasional seperti USAID, AUSAID, SIDA dst. Ini adalah kaki kiri mereka, sedang kaki kanannya mendanai dengan skema hutang untuk mendorong negara berkembang agar menciptakan pertumbuhan ekonomi melalui pasar bebas, privatisasi, dan explotasi sumber alam besar-besaran dengan minim pelayanan sosial, sebab besarnya pelayanan sosial identik dengan pemborosan.

Para pelaku ekonomi lebih suka dengan perdagangan import yang menguntungkannya. Mereka kelihatannya tidak berkehendak mendorong kelahiran teknologi dan perkembangan industri lokal yang dirasa tidak banyak untungnya. Dalam posisi ini, para pihak (stakeholders) yakni baik negara, NGOs dan pelaku bisnis terasa takberdaya melawan konstruksi neoliberal yang semakin menguasai dunia, atau mungkin saja bahwa mereka adalah bagian dari neoliberalisme (komprador) itu sendiri. Mereka adalah pelaku bukan konseptor kegiatan, yang mengalir dan mengikuti kehendak kepentingan prisip ekonomi politik neoliberal. Ini semua menjadi sangat kuat ketika perguruan tinggi menjustifikasi perilaku pasar bebas, berusaha keras mengikuti arus internasionalisasi, privatisasi pendidikan, mendapatkan label ISO sebagai derajad kebanggaan tertinggi dari sebuah universitas di Indonesia. Perilaku kebijakan untuk pembangunan bangsa diwarnai oleh aktor yang sangat patuh terhadap prinsip neoliberalisme.

Seluruh investasi negara maju dan pengumpulan dana masyarakat melalui pajak, yang dialokasikan untuk bantuan pembangunan di negara berkembang, mendulang keuntungan yang luar biasa besar dari bisnis pembangunan. Bank dunia dan IMF mendapatkan keuntungan dari bisnis peminjaman, sedang NGO internasional mendapat untung besar dari bisnis bantuan. Di negara berkembang dimana negara itu sedang membangun infrastrukturnya seperti membangun dam, irigasi, jalan raya, pembangunan jembatan, pembangkit tenaga listrik, pembangunan rel kereta api, pelabuhan, pangkalan udara, pemberantasan hama, pabrik bibit, pabrik pupuk, bangunan sekolah, hotel, sarana kesehatan, peternakan, pabrik semen, proyek keluarga berencana, pembangunan rumah sakit, perbaikan institusi, perencanaan pembangunan nasional dll, semuanya itu tidak lepas dari bisnis pembangunan mereka yang dikelola oleh Bank Dunia, IMF dan berbagai lembaga keuangan internasional lainnya seperti ODA (Official Development Assistance) yang dananya berasal dari kurang lebih 18 negara maju (Hancock, 2005:94).

Salah satu contoh, dalam pelaksanaan pembangunan pertanian di negara berkembang, FAO melibatkan diri secara langsung dengan memberikan bantuan tenaga ahli, mengembangkan pendidikan dan pelatihan, mengembangkan dan mempraktekkan teknologi baru di bidang pertanian. Hampir semua lembaga internasional merupakan alatnya kapitalisme neoliberal. Organisasi internasional seperti ini memiliki kuasa yang sering kali membuat negara berkembang tidakberdaya. Mereka melakukan kontrol, jika dibantah maka solidaritas lembaga-lembaga internasional ini segera menghukum pembangkangan mereka. Ketika Amerika Serikat memerintahkan bahwa negara berkembang harus menghapus berbagai subsidi yang berlebihan, meniadakan pembatasan-pembatasan perdagangan maka negara maju lainnya seperti Perancis, Jerman, Jepang dan Italia juga akan meneriakkan suara yang sama. Negara negara ini akan mengikuti kepemimpinan Bank Dunia dan IMF. Jika ada negara berkembang yang menentang kebijakan baru mereka maka keduanya akan melakukan penekanan yang sama. Demikian juga lembaga keuangan lainnya juga akan melakukan tekanan yang sama termasuk negara-negara kaya (Chosssudovsky, 2003: 103, Hancock, 2005: 93-131).

Oleh sebab itu, sebagai  salah satu contoh, pembangunan pertanian di Indonesia yang dikenal dengan Revolusi Hijau, sejak awal pembangunan itu dimulai telah dikawal oleh FAO, baik secara konseptual maupun teknis. Pembangunan komersialisasi pertanian melalui revolusi hijau itu promosinya adalah meningkatkan produksi, peningkatan pendapatan petani dan kesejahteraan untuk memberantas kemiskinan. Seluruh model produksi lama telah dibongkar, baik mulai dari cara produksi, alat produksi sampai dengan hubungan produksinya. Tidak hanya sebatas pada model produksi, konseptualisasi kemiskinan dan kesejahteraan pun juga bergeser kearah konseptualisasi materiil semata, yang dibimbing oleh para ahli yang didatangkan dari negerinya para “pangeran pebisnis pembangunan” (the lords of development business). Pertanyaannya, apa yang telah diperoleh oleh para petani dari usaha pembangunan pertanian yang sudah berlangsung selama hampir empat puluh tahun?

Program pembangunan pertanian dengan Panca Usaha Tani, yakni pengolahan tanah dengan traktor, penggunaan bibit unggul produksi pabrik, pengunaan pupuk unorganik, pemberantasan hama dengan pestisida dan pembangunan irigasi yang menelan biaya sangat besar, biaya ini bukan hanya finansial melainkan juga biaya sosial ekonomi yang harus dipikul oleh masyarakat. Biaya yang bersifat materiil adalah jelas, semua alat produksi itu adalah alat produksi baru yang diperoleh oleh petani dengan cara membeli. Hal lain yang tidak terasa adalah hilangnya teknologi lokal yang semula dimiliki oleh petani dengan cara membuat sendiri seperti penyemaian bibit dan bukan membeli bibit, baik varietas benih padi yang semula banyak sekali variasinya kini telah lenyap. Kalaupun itu sekarang masih ada, jumlahnya sedikit, yakni benih yang dikembangkan oleh para petani tertentu sebagai reaksi kegagalan pembangunan pertanian tanaman pangan padi.

Benih tanaman selain padi seperti jagung dan kedelai menjadi langka. Benih baru berdatangan dari luar negeri. Pada umumnya petani  mengadopsi sistem baru ini dengan beban biaya yang cukup tinggi sebab semua alat produksi itu harus dibeli. Ironisnya, biaya produksi semakin mahal, meski ditunjukkan dengan adanya peningkatan produksi, akan tetapi pendapatan petani juga tidak meningkat. Tanaman pangan padi tidak akan mungkin menguntungkan petani sebab padi harus dipertahankan murah oleh pemerintah untuk memelihara stabilitas politik dan keamanan serta menjaga radikalisasi sosial bagi mereka yang kekurangan makan. Pembangunan pertanian yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pangan, kini pemenuhan bahan pangan banyak dipenuhi dengan cara import, misalnya bawang putih (90%), susu (70%),  kedelai ( 70%), garam (50%), gula (30%), daging sapi (25%), jagung (10%), beras (3,5%) (Maksum, 2009).

Ironisnya lagi berbagai bahan mentah yang telah diproduksi, selanjutnya diekspor. Kecenderungan untuk mendorong tumbuhnya industri sendiri sangat rendah sebab lebih menguntungkan berdagang dari pada berindustri. Misalnya antara lain minyak sawit, karet, cokelat, minyak bumi, Indonesia memasuki pasar export, namun kebutuhan ban mobil, bensin dsb, Indonesia harus import. Mulai perkebunan sampai tambang potensi exportnya besar, demikian juga kebutuhan produk industrial dari barang yang siap dikonsumsi diperoleh dengan cara import. Prinsip pencapaian pertumbuhan ekonomi tidaklah mutlak dilakukan dengan cara membuat industri manufaktur sendiri, melalui perdagangan dapat juga memberi kontribusi besar untuk perkembangan ekonomi. Namun ini semuanya lebih banyak menguntungkan para pedagang dari pada masyarakat pada umumnya. Hilangnya kedaulatan semakin tampak jelas bahwa bangsa ini adalah bangsa yang pemimpinnya patuh terhadap para “pangeran” pebisnis pembangunan. Di era pembangunan yang mendorong berkembangnya industri, negara Indonesia tidak menghasilkan para industriawan akan tetapi mencetak lebih banyak para pedagang atau para usahawan instant yang pekerjaannya lebih banyak pemburu rente.

Kini telah mulai berkembang pertanian organik (organic farming) yang dilakukan oleh petani. Pertanyaannya, apakah cara pertanian ini merupakan sebuah ide resistensi dari pembangunan pertanian yang tidak menguntungkan petani selama periode pembangunan, atau cara ini juga merupakan  ide dari negara maju sebab mereka telah mengembangkan jenis makanan yang tidak banyak tercemar oleh bahan kimia karena tuntutan pasar? Ini perlu kajian yang lebih dalam. Apa yang diimpikan untuk mendorong lahirnya kembali kedaulatan petani dalam pertanian organik, ternyata tak sepenuhnya ide perlawanan, akan tetapi ide kebutuhan pasar bebas juga. Meskipun itu didorong oleh kehendak pasar akan tetapi prinsip kedaulatan masih terjaga.

Guna membantu meringankan biaya produksi pertanian pangan, pemerintah telah memberikan subsidi pupuk melalui pabrik pupuk. Subsidi pupuk yang diberikan oleh pemerintah kepada petani juga tidak dinikmati oleh para petani. Para pengusaha perkebunan besar dapat memperoleh pupuk murah dari perusahaan yang seharusnya diberikan kepada petani. Ini lah kesulitan petani, ketika musim tanam tiba, sering kali tidak tersedia pupuk di pasaran dan kalau toh ada, harganya mahal. Fakta seperti ini menunjukkan bahwa pemerintah bukan mensubsidi petani gurem akan tetapi mensubsidi pengusaha perkebunan besar.

Ini semua bukan hanya persoalan Indonesia, pernyataan  Norman Uphoof, Milton J. Esman dan Anirudh Krishna (1998) dalam pengantar buku yang ditulis, yakni Reasons for Success, Learning from Instructive Experience in Rural Development, perlu disimak:

The majority of failure in rural development project and programs stem not, we are convinced, from any intrinsic incapacity among rural people but rather than from ways that governments, donor and international agencies, and some nongovernmental organizations usually proceed

Pembangunan sektor industri manufaktur untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja sebesar besarnya, sebagi konsekwensi komersialisasi pertanian tidak tumbuh dengan baik. Akibat selanjutnya adalah banyak angkatan kerja muda di desa bergeser ke kota dengan demikian bertambahnya pengangguran di kota tidak dapat dielakkan. Kalau dilihat dari angka pengangguran terbuka secara keseluruhan di Indonesia termasuk rendah (8,81%) per tahun. Akan tetapi jika angka pengangguran dilihat juga bagi mereka yang berstatus setengah pengaggur atau mungkin pengagguran musiman maka jumlahnya akan menjadi lebih besar dari itu.

TABEL. 2

ANGKA PENGANGGURAN DI INDONESIA

1999-2008

TAHUN

TOTAL

JUMLAH JUTA

%

1999

6,03

6,36%

2000

5,81

6,07%

2001

0,08

8,10%

2002

9,13

9,06%

2003

9,53

9,50%

2004

10,25

10,14%

2005

10,85

10,30%

2006

11,10

10,40%

2007

10,55

9,75%

2008

9,43

8,39%

Rata-rata 10 tahun terakhir

8,27

8,81%

Sumber data : BPS (1999-2008)

Akibat dari semua ini, solusi utama tentang kesejahteraan materiil dari hasil bekerja di berbagai sektor tidak banyak diperoleh oleh masyarakat. Dari segi ekonomi, sektor usaha yang menawarkan sebanyak banyaknya kesempatan kerja jumlahnya sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk pencari kerja. Kemunculan pekerjaan sektor informal yang semakin banyak adalah akibat dari tidak berkembangnya sektor riil yang diharapkan banyak menampung tenaga kerja. Jika kesejahteraan dan kemiskinan itu semata-mata dilihat dari ukuran materiil maka persoalan kemiskinan dan kesejahteraan hanya akan menjadi obyek pembangunan. Proyek pengentasan kemiskinan merupakan bentuk intervensi negara akibat ketidakmampuannya mendorong tumbuhnya sektor industri riil yang bisa menyerap banyak tenaga kerja.

Siapa yang diuntungkan dari kreativitas program pengentasan kemiskinan guna mencapai hidup sejahtera? Program program pembangunan itu dirancang baik indikator keberhasilannya maupun ukurannya ditentukan oleh organisasi formal yang menangani kemiskinan. Sejauh pengamatan penulis, kelihatannya belum ada indikator dan ukuran tentang kemiskinan maupun ukuran tentang kesejahteraan yang didefinisikan menurut masyarakat itu sendiri, lalu diadopsi oleh program pemerintah. Kalau hal itu dilakukan, ada kemungkinan bisa menggagalkan bisnis pembangunan. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa implikasi pembangunan seperti ini? Model pembangunan yang menekankan pencapaian ukuran materiil untuk menentukan kesejahteraan, dengan tidak terasa, telah terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat. Membangun masyarakat sama artinya dengan memberikan sesuatu yang bersifat materiil kepada masyarakat, sebuah pendekatan yang sangat bersifat filantrofis.

Seorang pemimpin politik untuk mendapatkan dukungan masyarakat dalam pemilu pun melakukan hal yang sama, yakni mengobral uang (money politics) untuk mendapatkan dukungan. Money politics seperti ini menunjukkan tidak adanya kepastian hukum yang seringkali memunculkan political violence, yang menghambat stabilitas ekonomi (Kerbo, 2006:120).  Kalau sekarang masyarakat selalu menuntut pembangunan fisik maupun uang terhadap siapa saja yang datang untuk memfasilitasi pembangunan, ini akibat pembangunan yang salah urus dari para pemimpinnya. Selanjutnya, cara pemimpin untuk mendapatkan simpati dari masyarakatnya adalah dengan cara transaksional, setelah transaksi selesai, urusan pemimpin adalah mencari sesuatu untuk dirinya sendiri sebab biaya materiil yang dikeluarkan untuk dipilih oleh rakyat sangat besar jumlahnya. Jika cara ini terinstitusionalisasikan menjadi sebuah kebudayaan, kepemimpinan nasional akan diperoleh dengan cara transaksional materiil. Pada tingkat ini, bangsa Indonesia akan mendapatkan pemimpin nasional yang lebih bersifat pedagang dari pada negarawan.

Kesejahteraan: Sebuah Konstruksi Komunitas

Sebelum sampai pada uraian tentang bagaimana antara negara dan pada umumnya masyarakat untuk memandang kesejahteraan, perlu disimak beberapa contoh negara lain. Dibalik kemajuan sebuah bangsa yang selalu diukur oleh ukuran yang serba materiil, terutama negara-negara Eropa, Andorra merupakan sebuah negara kecil yang terletak antara Perancis dan Spanyol, sebelah timur pegunungan Pyrenees. Negara ini rara-rata tingkat harapan hidup (life expectancy) penduduknya 83.5 tahun dan beberapa dari mereka hidup hingga 90 tahun. Negara ini sudah tujuh abad tidak pernah konflik dengan negara luar dan oleh karenanya tidak memiliki tentara. Penduduknya gemar berolah raga, memelihara udara bersih, makan sedikit daging atau daging yang tak berlemak, banyak makan sayuran, mengkonsumsi minyak zaitun dan memelihara kesehatan yang baik. Barang kali salah satu rahasia hidup adalah tingkat strees yang rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 30% ada faktor genetis yang menyebabkan hidup panjang, namun 70% diperkirakan dari gaya hidup (lifestyle) mereka. Negara yang dilihat terisolasi dari negara Eropa itu penduduknya sangat damai. Setelah dewasa orang hidup harus berpasangan dan harus menjaganya, memiliki kewajiban membantu satu dengan lainnya, memiliki hak yang sama untuk menjamin ketahanan sosial (Henley, 2008, BBC News)

Ini tidak hanya terjadi di satu negara melainkan juga terjadi dalam beberapa masyarakat dibeberapa negara. Di Sardinia  Itali, di Okinawa Jepang dan di Loma Linda California AS, adalah contoh dimana terdapat penduduk yang rata-rata hidupnya berumur panjang di atas 80 tahun. Dari beberapa wilayah yang terpisah ini umumnya terdapat kebiasaan yang serupa, meskipun ada perbedaan latar belakang dan keyakinannya. Rata-rata rahasia hidup berumur panjang itu karena gaya hidup mereka. Pada umumnya mereka hidup dengan gaya tradisional, mengutamakan keluarga, ramah dengan orang lain, menghargai antar sesama atau mencintai sesama dan mengutamakan pergaulan dalam kehidupan, selain itu juga tidak pernah menggerutu. Pada umumnya mereka gemar berolahraga dan berkegiatan. Merawat dan memelihara orang tua dalam satu keluarga dan bukan mengirimkannya ke rumah jompo. Mereka pada umumnya gemar makan sayuran dan buah-buahan dan tidak merokok, bahkan orang Lomba Linda di Kalifornia hidup dengan tidak menyantap daging sapi, kambing dan babi yang dianggap tidak suci menurut Agama Advent Hari Ketujuh. Orang Okinawa, agama menjadi bagian penting meskipun agama yang dianutnya berbeda dengan orang Lomba Linda, yakni berkeyakinan Khong Hu Cu (National Geographic Indonesia: 2005).

Tingginya harapan hidup merupakan salah satu indikasi kesejahteraan. Apa yang dapat dipetik dari pelajaran mengenai masyarakat dibeberapa negara ini? Sejahtera bukan lah satu satunya diukur atas capaian materiil. Kalau dilihat dari apa yang telah dicapai oleh penelitian tentang beberapa masyarakat tersebut di atas, sejahtera juga dipahami secara sosial, psikologis, hiegenis, dan terpeliharanya kebugaran tubuh (George, 1995:1). Dari segi sosial, mereka ramah dengan orang lain, mengutamakan keluarga dan menghindari konflik. Meskipun tidak tampak dari cerita di atas, kemungkinan keadilan distributive (just distribution) menjadi komponen yang dipertimbangkan juga.  Secara psikologis, mereka diikat oleh keyakinan dan tidak menggerutu. Secara hiegenis, makanan yang dikonsumsi tidak mengandung unsur lemak tinggi, secara fisik, mereka pada umumnya tidak pernah berhenti berkegiatan dan berolah raga. Orang-orang ini hidup dalam masyarakat, yang tidak terpengaruh oleh kehidupan modern. Kalau disimak, mereka pada umumnya memiliki cara perumusan sejahtera yang amat berbeda dengan ukuran sejahteranya konstruksi modernitas dimana kesejahteraan itu lebih banyak dilihat dari pemenuhan kebutuhan materiil yang dikonstruksikan oleh pasar.

Barangkali rasa sejahtera seperti ini, dilihat dari pandangan masyarakat modern, merupakan cara hidup tradisional sebab banyak hal yang sulit diukur secara kuantitatif sebagaimana pencapaian kesejahteraan secara individual dengan ukuran materiil. Bagaimana ketenteraman, pemahaman keyakinan hidup, keramahan dan sikap tidak menggerutu dalam kehidupan adalah menjadi bagian perasaan yang terdalam dalam hidup sejahtera.  Indikator seperti ini kemungkinan besar terdapat juga dalam masyarakat Indonesia meskipun kehidupan seperti ini adalah bagian yang tersisa dari kehidupan masa lalu. Cara hidup seperti ini sangat lazim dalam masyarakat tradisional di desa, dimana tidak ditandai oleh gaya hidup kelimpahan materiil dan sangat sederhana. Komunitas memegang peranan penting bahwa kesejahteraan seseorang sangat ditentukan oleh bagaimana komunitas mengelola institusi kesejahteraan yang menjamin para anggotanya. Pada masa lalu desa-desa di Jawa memiliki lumbung padi. Lumbung ini menjadi cadangan pangan bagi penduduk desa tatkala paceklik terjadi. Lumbung padi yang dihimpun dari pengumpulan padi setiap penduduk esensinya adalah ketahanan komunitas, yakni kedaulatan pangan (food sovereignity) sekaligus adalah ketahanan pangan (food security) bagi penduduk desa. Tentu dalam kehidupan bersama, desa selalu memiliki institusi resolusi konflik. Harmoni menjadi bagian yang didambakan untuk memahami kesejahteraan. Saling menjamin antartetangga jika terjadi kesulitan. Konsep Patron-Klien (pattern client relationships) dalam konseptualisasi pikiran materiil dan individualis adalah sebuah bentuk eksploitasi dari patron ke klien, namun institusi seperti ini adalah hubungan yang saling menjamin antara pemilik tanah luas dan tak bertanah (landless). James C. Scott (1976:41) mengatakan bahwa keduanya saling memiliki kewajiban moral (moral obligations), seperti orang yang numpang tinggal ditanahnya orang kaya “ngindung” memiliki kewajiban moral terhadap yang ditumpangi, demikian sebaliknya.

Di tengah masyarakat Indonesia yang sedang berubah dimana kesejahteraan ditentukan atas ukuran individual yang ditandai oleh peningkatan pendapatan dan pemilikan, institusi kesejahteraan yang berbasis komunitas (community welfare) dalam beberapa hal masih tampak di pedesaan maupun kampung pinggiran kota. Kerangka ini tidak dapat ditangkap oleh kerangka organisasi formal pelayanan kesejahteraan sosial (Narayan, 2007:141).  Institusi itu  antara lain adalah kematian, sakit, hajatan dan berbagai bentuk kegiatan untuk kepentingan bersama yang dipikul secara bersama-sama. Perilaku sosial seperti ini juga diamanatkan oleh agama sebagai kepedulian terhadap kemanusiaan (Barusch, 2005:131)

Misalnya kematian, sekarang ini orang mati pun harus membayar ketika hendak dikuburkan. Biaya yang dikeluarkan oleh sanak keluarga mulai dari bedah bumi sampai dengan menjamu para pelayat tidak bisa lepas dari biaya ekonomi dari para keluarga. Namun orang yang meninggal tatkala mereka masih hidup telah mengasuransikan hidupnya kepada komunitas dengan cara ikut menyumbang ketika ada tetangganya yang meninggal. Ini lah yang disebut dengan community insurance (Banerjee, 2006:369). Dalam struktur masyarakat modern yang berbasis kepada kepentingan individu, kegiatan seperti ini ditangkap sebagai kegiatan pemborosan. Orang ketika dilihat dari ukuran materiil adalah miskin namun dalam kehidupan sosialnya masih membagi-bagikan apa yang dimiliki untuk menjamin keberlangsungan komunitas (shared poverty). Konsep membagi kemiskinan dikemukakan oleh salah satu Indonesianis, yakni Clifford Geertz yang menyoroti tentang perkembangan masyarakat Indonesia saat memasuki modernisasi dimana perubahan itu ditunjukkan ada perkembangan namun perkembangan itu tidak menunjukkan peningkatan (involution). Tentu, kerangka konseptualnya untuk menyebutkan shared poverty terhadap perkembangan masyarakat Indonesia karena ia melihatnya dari cara pandang capitalist mode of production.

Keluarga besar yang diikat oleh komunitas masih berlangsung ditengah perkembangan masyarakat yang sudah mulai individualis atas konstruksi kapitalisme. Keluarga besar, dalam pengertian ikatan komunitas ini, merupakan institusi yang membawa masyarakat itu tetap exist, meskipun banyak pihak dalam institusi kesejahteraan modern menganggapnya komunitas itu miskin. Salah satu contoh masyarakat Gunung Kidul, ketika mereka menengok sanak keluarganya atau tetangganya yang sedang menderita sakit dan harus dirawat di rumah sakit, mereka tidak membawa roti, buah buahan atau sejenis makanan lain seperti layaknya orang kota sebagai kepedulian untuk ikut sependeritaan. Mereka satu persatu menyisihkan uangnya untuk diberikan kepada sisakit atau keluarganya. Ini adalah sebuah rasionalitas dimana penderitaan dipikul secara bersama-sama oleh anggota komunitas. Kiranya banyak hal yang ditegakkan oleh komunitas ini sebagai sebuah institusi kesejahteraan.

Bagi anak-anak desa atau kampung biaya pendidikan seringkali juga dibantu oleh keluarga yang mampu. Pada pedagang kecil, kemajuan usaha kalau diukur dari pertambahan akumulasi keuntungan materiil yang diperoleh, barang kali ini tidak akan tampak, sejak dulu berjualan untuk mempertahankan kehidupan hanya itu itu saja, akan tetapi kemampuan mereka untuk menyekolahkan anak, membiayai kesehatan, ketika sakit, adalah bentuk akumulasi kapital sosial (sosial capital) dan bukan diwujudkan sebagai kapital materiil. Kiranya tidak hanya terjadi di Okinawa, Sardina dan Loma Linda bahwa tingkat harapan hidup masyarakat itu tinggi, melainkan juga sebagian orang-orang desa di Indonesia yang hidupnya panjang karena kesederhanaan gaya hidup masih banyak jumlahnya. Ini perlu kajian sampai seberapa jauh kesederhanaan mereka memberikan kontribusi terhadap life expectancy. Mereka adalah orang orang yang hidupnya tidak terlalu terpengaruh oleh keinginan yang disuguhkan oleh pasar. Sekarang ini, pekerjaan di sektor pertanian diisi oleh para petani yang usianya lanjut. Meskipun demikian, mereka masih mencangkul, merokok walau pun usianya sudah 80 tahun. Sebuah realitas yang perlu diperhatikan, institusi kesejahteraan yang dijamin oleh komunitas itu menyediakan indikator sosial seperti ketenteraman, asuransi sosial, ketahanan sosial dalam keluarga dan komunitas.

Perubahan gaya hidup materiil dan lebih individualis dialami oleh ibu-ibu muda yang memutuskan untuk bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Meskipun rentan perlindungan ketenagakerjaan, ini tidak menyurutkan tekadnya menjadi TKW keluar negeri. Tentu hasil ekonomi yang diperoleh jauh lebih baik dibandingkan dengan bekerja di Indonesia. Kiranya tidak sedikit bagi para ibu yang telah mampu membangun rumahnya. Kepergian kerja dalam waktu lama juga ada biaya sosial yang harus dibayar (social opportunity cost), yakni keretakan berumah tangga, perceraian, perselingkuhan ketika para suami ditinggal istri, anak-anak mereka frustrasi dan terjerumus narkoba. Apakah ini sebuah indikasi hidup sejahtera? Kebutuhan materi sudah tentu tidak bisa diabaikan, akan tetapi well being bukan satu satunya ukuran materiil, kebutuhan sosial, kebutuhan psikologis, kebutuhan kebugaran fisik menjadi bagian yang terdapat di dalamnya.

Pada umumnya kondisi kehidupan seperti ini dalam masyarakat Indonesia justru menjamin asuransi sosial yang seharusnya dipikul oleh negara. Dapat dibayangkan, seandainya kondisi seperti ini tidak ada, ditengah krisis ekonomi yang berakibat pada rasionalisasi ketenagakerjaan diperusahaan besar, radikalisasi sosial akan mengakibatkan stabilitas sosial politik akan goncang ketika negara tidak mampu mengatasi pemutusan hubungan kerja. Keuntungan terbesar dari kondisi kehidupan masyarakat tradisional yang tersisa masih mampu menjamin sanak keluarga untuk hidup bersama ketika ada pemutusan hubungan kerja. Mereka pulang ke desa masih disapa dan diterima untuk sementara waktu sebelum mendapat pekerjaan baru. Tentu ini akan sulit di negara maju karena negara harus melakukan intervensi besar-besaran untuk biaya sosial disaat terjadi krisis.

Kebebasan (freedom) dan Pencapaian Pembangunan Sosial

Kelihatannya belum banyak orang mendiskusikan pembangunan sekaligus dengan apa yang hendak dicapainya. Sebagaimana dikemukakan di atas, pemikiran konvensional tentang pembangunan tidak melepaskan diri dari identifikasi bahwa pembangunan itu identik dengan pertumbuhan pendapatan nasional bruto, munculnya tingkat pendapatan penduduk, tumbuhnya industrialisasi dan teknologi atau modernisasi sosial. Akan tetapi apakah ketika pencapaian pendapatan nasional itu tinggi atau pendapatan masyarakat itu tinggi, hal ini telah identik dengan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Bukan berarti semua diatas itu tidak penting, namun ketika realitas sosial menunjukkan sebaliknya kemungkinan kesalahan macam apa yang perlu direfleksi?

Bila kesejahteraan itu adalah tujuan akhir dari perkembangan masyarakat maka pembangunan adalah cara pencapaiannya. Dua kata ini sering dibicarakan secara terpisah, pembangunan lebih menunjuk pada persoalan teknis (instrument) bagaimana mendorong dan memfasilitasi masyarakat agar mereka maju sedang kesejahteraan menjadi terminologi tertentu yang artinya tidak lebih dari kegiatan pelayanan masyarakat sebagaimana di kemukakan di atas. Oleh sebab itu kesejahteraan macam apa yang dikehendaki oleh sebuah komunitas, selanjutnya cara pembangunan macam apa yang dilakukan untuk memfasilitasi mereka. Ketika keduanya itu tidak menjadi kesatuan logika berfikir maka masing-masing berdiri sendiri sendiri untuk kepentingan praktis. Artinya, pembangunan berdiri sebagai rasionalitas instrumental tanpa mengindahkan nilai (value) macam apa yang hendak dicapai dan dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya. Demikian pula tentang kesejahteraan, tidak disadari bahwa keberadaannya sebagai sebuah nilai yang ingin dicapai adalah kehilangan “ruh” sehingga terjebak dalam rasionalitas instrumental juga. Sejahtera seolah sebuah ukuran materiil tentang pencapaian dan mengabaikan pencapaian tujuan non materiil. Sejahtera bukan lagi menunjuk keadaan masyarakat yang mampu memperoleh atau mendapatkan kenikmatan dalam dunia kehidupan baik materiil maupun non materiil menurut dirinya sendiri.

Absennya logika berfikir seperti ini dalam sebuah negara yang sedang membangun membuat negara itu kehilangan eksistensi sebagai sebuah bangsa, sebab pembangunan yang dilakukan tidak terasa adalah sebuah alat kepentingan dari prinsip perluasan pasar dari perkembangan negara maju. Keadaan seperti ini menunjukkan sebagai sebuah pembangunan yang terperangkap (development trapped). Disebut terperangkap karena pembangunan itu ternyata menguntungkan orang lain dan bangsa yang sedang membangunan itu tidak lebih sebagai perluasan pasar mereka. Relasi antara pembangunan dan kesejahteraan tidak hanya sekedar hubungan relasional tanpa membawa prinsip nilai yang dijadikan sebagai guiding perspective dalam proses perubahan. Amartya Sen (2000) meletakkan kebebasan (freedom) sebagai prinsip nilai sebagaimana di kemukakan di atas.

Selanjutnya, Sen menyebutnya agensi atau aktor yang mendapat kemerdekaan atau kebebasan itu adalah individu. Kemerdekaan individu (individual freedom) adalah sebagai komitmen sosial (social commitment) yang menjadi dasar untuk memahami hubungan antara pembangunan dan kesejahteraan. Perluasan kebebasan individu dilihat sebagai pencapaian tujuan utama, sedang perluasan kebebasan itu dilihat juga sebagai instrument utama pembangunan. Pembangunan itu terdiri dari pemusnahan bermacam-macam tipe ketidakbebasan yang tinggal di sanubari orang (people) dengan sedikit pilihan dan minimnya kesempatan untuk melakukan sesuatu. Pemusnahan ketidakbebasan substansial itu adalah konstitutif pembangunan. Hemat penulis kebebasan manusia adalah sebagai nilai pembangunan yang menonjol. Kurangnya kebebasan untuk mencapai kesempatan ekonomi, kebebasan politik, kekuatan sosal termasuk kurangnya pencapaian kesehatan yang baik pendidikan yang baik adalah bentuk kemiskinan pembangunan. Sebagai ilustrasi hubungan antara pendapatan dan kebebasan individual untuk menentukan hidup lebih panjang dan lebih baik. Ini bukan berarti bahwa tingkat GNP yang tinggi pada suatu negara terjadi harapan hidup yang lebih baik ditingkat individu. Misalnya Brasil adalah lebih kaya, yakni dengan GNP tinggi dan pendapatan perkapita individunya juga tinggi dibandingkan dengan negara seperti Sri Langka, Cina dan India, namun negara negara ini bahkan memiliki tingkat harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan di Brasil. Di tingkat ini pendapatan bukan sebagai penentu untuk menentukan well being, akan tetapi kebebasan individu itu sendiri untuk menentukan well being sehingga tingkat harapan hidup itu tinggi. Pendek kata pembangunan itu adalah pemusnahan ketidakbebasan yang membuat penduduk terbelenggu.

Sen tidak melihat negara, organisasi sosial dan pelaku bisnis sebagai aktor yang berhubungan langsung dengan kondisi yang membuat mereka tidak bebas dan ketergantungan. Hubungan antara para pihak dalam sebuah negara berkembang dengan negara maju dapat dianalogikan dengan pemikiran ini. Negara berkembang sebagai mana dikemukakan di atas, jika dilihat dari pembangunan sebagai sebuah kebebasan maka kondisi yang terjadi dalam negara berkembang termasuk Indonesia adalah penuh ketidakbebasan substantive. Oleh sebab itu pembangunan seharusnya merupakan alat untuk pemusnahan terhadap belenggu yang membuat ketidak bebasan. Dengan demikian maka negara itu memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya sendiri tidak tergantung pada ketentuan yang dipersyaratkan oleh konstruksi kepentingan paham neoliberal. Arti penting selanjutnya adalah bahwa pembangunan itu terdiri dari pemusnahan bermacam-macam tipe ketidakbebasan yang tinggal di sanubari aktor kelembagaan dengan sedikit pilihan dan minimnya kesempatan untuk melakukan sesuatu. Keberanian memusnahkan konstruksi kehidupan yang didesain oleh paham neoliberalis diganti oleh pembangunan sebagai kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri menjadi penting dilakukan agar tidak masuk dalam lingkungan development trapped. Pada tingkat ini tujuan pembangunan ekonomi seimbang dengan tujuan sosialnya. Pada posisi ini pembangunan sosial yang berusaha menyeimbangkan antara tujuan ekonomi dan sosial harus meletakkan prinsip nilai bahwa pembangunan sebagai sebuah kebebasan.

Wasana Kata

Keterpasungan konsep kesejahteraan masyarakat bukan karena masyarakat tidak memiliki kreativitas untuk merumuskan dan menentukan dirinya sendiri, akan tetapi masyarakat selalu menjadi obyek organisasi formal, baik negara, LSM Internasional dan organisasi bisnis. Potret mereka tentang kemiskinan dan ketidaksejahteraan masyarakat selalu dilihat dari kerangka pemikiran dimana masyarakat negara berkembang dianggap tidak maju secara materiil. Oleh karenanya, berbagai bentuk pelayanan masyarakat dalam program pembangunan adalah dominasi pendefinisian organisasi-organisasi tersebut. Organisasi pemerintah maupun organisasi sosial dalam penyelenggaraan pelayanan sangat tergantung terhadap rezim pendanaan internasional yang berakibat pada posisi ketergantungan bagi orang yang dilayani maupun yang melayani. Konsep utama tentang jenis, substansi, pengukuran pelayanan sangat tergantung oleh rezim tersebut. Inilah bentuk ketidakberdayaan dimana paham neoliberal telah menata semuanya ini dalam skala dunia.

Di tengah situasi ketidakberdayaan, ide untuk membangkitkan kembali kekuatan komunitas sangat diperlukan. Membangun institusi sosial (pattern of social relationship) yang dianggap mendukung kesejahteraan bagi komunitas menjadi sangat penting artinya untuk pembangunan bangsa, dan bukan menghilangkan institusi tradisional yang berbasis komunitas menjadi berbasis individu. Perlu ada kajian mendalam institusi sosial macam apa yang sekarang ini masih tersisa dan efektif untuk menjamin ketahanan sosial masyarakat termasuk apa yang mereka pikirkan tentang sejahtera, selanjutnya menguatkan kembali cara komunitas untuk menjaga kehidupan bersama. Atas dasar kajian yang mendalam baik pemerintah maupun organisasi non pemerintah seharusnya mampu meyakinkan siapapun rezim pendanaan internasionalnya untuk mengikuti pola pelayanan yang sangat diharapkan oleh masyarakat sesuai dengan konsep yang mereka konstruksikan sendiri menurut basis komunitasnya. Institusi sosial tentang kesejahteraan ini ternyata tidak hanya berlangsung di Indonesia saja melainkan juga di beberapa wilayah negara maju, yang masyarakatnya tidak sepenuhnya mengikuti rasionalitas yang dicetak oleh konseptualisasi modernitas untuk kepentingan pasar.

Daftar Pustaka

Andersen, Gosta Esping with (Duncan Gallie, Anton Hemerijck and John Myles) (2002),Why We Need a New Welfare State. OXFORD University Press Inc, New York

_____(1999), The Three World of Welfare Capitalim, Polity Press, Cambridge.

Banerjee, Abhijit Vinayak: (Roland Benabou, and Dilip Mookherjee) (2006), Understanding Poverty, OXFORD University Press Inc, New York

Barusch. Amanda Smith (2003), Foundation of Social Policy; Social Justice in Human Perspective, Thomson Brooks/Cole, Canada.

Brewer, Anthony (2000), Kajian Kritis, Das Kapital Karl Marx, teplok Press, cetalkan kedua, Jakarta.

Buettneer, Dan and David McLain (2005), Rahasia Umur Panjang, Jurnal  National Geographic Indonesia, Vol 1, No 8, PT.Gramedia Percetakan, Jakarta.

Chossudovsky, Michel  (2003),  The Globalization of Poverty and the New World Order, Center Research on Globalization (CRG), Montreal, Canada.

Clark, John (2004), Changing Welfare Changing States; New Direction in Social Policy, SAGE Publications, London.

Edelman, Marc and Angelique Hangerud. 2006,  The Anthropology of Development and Globalization;  From Classical Political Economy to Contemporary Neoliberalism. Blackwell Publishing, Malden MA USA, Victoria, Australia

Edwards, Michael. (2007),Civil Society:  Polity Press in association with Blackwell Publishing Ltd, Malden, MA 02148, USA

Fitzpatrick, Tony (2001), Welfare Theory: An Introduction, PALGRAVE, New York.

Goodin, Robert E. (1988), Reasons For Welfare:The Political Theory of the the Welfare State. Princeton University Press, New Jersey.

George, Vic and Robert Page (1995), Modern Thinkers on Welfare, Prentice Hall, New York.

Gunawan Sumodiningrat. (2006), Responsi Pemerintah Terhadap Kesenjangan Ekonomi; Studi Empiris Pada Kebijaksanaan dan Program Pembangunan. Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat di Indonesia. Penerbit PerPod Jakarta, Jakarta.

Hadar, Ivan A (2004), Utang, Kemiskinan, dan Globalisasi;Pencarian Solusi Alternatif. Percetakan Pustaka Jogja Mandiri, Yogyakarta.

Hancock, Graham, (2005), “Dewa-Dewa” Pencipta Kemiskinan; Kekuasaan, Prestise, dan Korupsi Bisnis Bantuan Internasional, Penerbit Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas (CPRP), Sleman.

Henley, Paul (2008), Andorra Longvity, Recognation of same-sex union in Andora, BBC News, 15 Oktober, Published 12:00 GMT

Kerbo, Harold R. (2005) World Poverty; Global inequality and the Modern World System. California Polytechnic State University. California.

Lang, Kevin. (2007), Poverty and Discrimination Princeton University Press, Princeton.

Levine, David  P and Abu Turab Rizvi. (2005), Paverty Work Freedom; Political Economy and the Moral Order, hal. 41 Cambridge University Press, Cambridge.

Maksum, Mohamad (2009), Kedaulatan Rakyat Tani: Kunci Keadilan, Keberlanjutan dan Kesejahteraan, Makalah Seminar Hari Bumi ke 29, Satu Nama, Yogyakarta 22 April.

____________(2009), Pagi Impor Sore Impor, Analisis Harian KR, Rabu Pahing 29 April, Yogyakarta

Midgley, James (2005), Pembangunan Sosial; Perspektif Pembangunan dalam Kesejahteraan Sosial, Deperta Depag RI, Jakarta.

Narayan, Deepa and Patti Petesch. (2007),  Moving Out of Poverty;Cross-Disciplinary Perspektives on Mobility. A copublication of the World Bank and Palgrave Macmillan, New York

Pogge, Thomas, (2002),  World Poverty and Human Rights; Cosmopolitan Responsibilities and Reforms. Polity Press in association with Blackwell Publishing Ltd, Maldon MA USA, Cambridge UK

Repley, John (2007), Understanding Development, Theory and Practice in The Third World, United Press of America, Colorado.

Ritzer, George (1983), Sociological Theory, Alfred A. Knoff Inc, First Edition, New York USA

Rothstein, Bo and Sven Steinmo. (2002), Restructuring The Welfare State: Political Institution and Policy Change. Palgrave MacMillan, New York.

Schiller, Bradley R. (2008), The Economic of Poverty and Discrimination. Tenth Edition. Pearson Education, Inc, New Jarsey.

Scott Jamaes C (1976) Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subbsistensi di Asia Tenggara, LP3ES, Jakarta

Sen, Amartya, Development As Freedom, Anchor Books, A division of Random House Inc, New York.

Stiglitz, Yoseph.E. (2002), Globalization and Its Discontents, Penguin Groups, London

Susetiawan (2000) Konflik Sosial, Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan dan Negara di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Tabb, William K (2003)  Tabir Politik Globalisasi,  Percetakan  Lafandel Pustaka, Yogyakarta.

Uphoff, Norman, Milton J.Esman dan Anirudh Krishna (1998), Reason For Success: Learning From Instructive experiences in rural development, Kumarian Press Inc, West Harford, Connecticut, USA

Wibowo I dan Francis Wahono (ed) (2003) Neoliberalisme, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta.

Selayang Pandang

Selamat Bergabung dengan Pemikiran Kerakyatan
bersama Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan
(Center for Rural and Regional Development Studies)
Universitas Gadjah Mada

Sekilas Tentang PSPK UGM

Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan  Universitas Gadjah Mada  (PSPK UGM)  merupakan lembaga yang bernaung di bawah Universitas Gadjah Mada. PSPK UGM mengemban misi dan komitmen terhadap pengembangan pedesaan serta memiliki kompetensi yang tinggi untuk memainkan peranan yang spesifik dalam mengakomodasi pelbagai disiplin ilmu yang saling berkaitan yang mendukung studi-studi tentang pengembangan pedesaan dan kawasan melalui Pusat Studi ini. Dengan demikian, lembaga ini mengemban misi strategis untuk membantu pemerintah dan masyarakat dalam mengkritisi, mengembangkan, dan merumuskan kebijakan-kebijakan serta program-program pengembangan pedesaan.

PSPK UGM juga berfungsi sebagai elemen pelaksana Universitas Gadjah Mada sebagai universitas penelitian, yang bertugas memelihara serta mengembangkan ilmu dan teknologi melalui penelitian-penelitian yang dilakukannya. Dalam kapasitas sebagai  lembaga ilmu pengetahuan, melalui interaksi inter dan antar disiplin, lembaga ini telah berhasil melakukan konsolidasi sumber daya manusia di Universitas Gadjah Mada yang berasal dari berbagai macam disiplin ilmu untuk melakukan aktivitas penelitian secara terpadu.

Aktivitas-aktivitas baik inter maupun antardisiplin ilmu terefleksi melalui hasil kerjanya selama tahun-tahun keberadaannya; di antaranya adalah: Evaluasi terhadap Pengembangan Kawasan Terpadu – PKT, Desain Greenbelt pada Waduk Sermo, Pemodelan Pemukiman Kembali (Resettlement), Studi Evaluasi tentang Model Pengelolaan Hutan MR (Management Regime), Kajian pada CSOs (Organisasi-organisasi Masyarakat Madani), Pengembangan Kawasan Berbasis Sungai Bawah Tanah, Studi Kelembagaan Area Pengembangan Lahan Gambut, Studi tentang Pengembangan Pertanian Kawasan Pantai, dan Program-program Pengembangan Masyarakat (Community Development) pada masyarakat sekitar industri-industri pertambangan, perkebunan kelapa sawit, dan lain sebagainya.

Cakupan Kegiatan

Selaras dengan statusnya sebagai elemen pelaksana universitas, PSPK UGM memiliki tugas utama untuk mendorong kemajuan serta pengembangan ilmu dan teknologi melalui penelitian-penelitian yang dilakukannya, yang terefleksi melalui program-program utama dalam bentuk:

  • Melakukan penelitian-penelitian inter maupun antar disiplin serta mempelajari hal-hal yang terkait dengan keterbelakangan, kemiskinan, pengembangan masyarakat dan hak-hak manusia yang terkait dengan pengembangan kawasan dan pedesaan
  • Melaksanakan misi-misi strategis untuk membantu pemerintah dan masyarakat dalam penyediaan kebijakan-kebijakan serta program-program pengembangan kawasan dan pedesaan.

Kegiatan-kegiatan penting yang dilakukan oleh PSPK UGM dalam aktualisasi program dan tugas utama tersebut dapat dikelompokkan ke dalam:

  • Penelitian dan Pengembangan
  • Konsultasi-konsultasi pengembangan
  • Penyebaran serta sosialisasi hasil-hasil penelitian melalui seminar, semiloka, publikasi, jumpa pers, dan sebagainya
  • Advokasi pengembangan
  • Pelatihan pengembangan bagi institusi, birokrasi, serta pekerja pengembangan masyarakat pedesaan.

Kepala PSPK

Sebagai sebuah institusi yang berada di bawah naungan Universitas Gadjah Mada, dalam perjalanan sejarahnya, PSPK UGM selalu dipimpin oleh pakar/ilmuwan dari lingkungan Universitas Gadjah Mada yang tidak diragukan lagi kredibilitas dan kompetensinya. Mereka adalah para guru besar dan doktor yang dimiliki oleh Universitas Gadjah Mada. Beberapa ilmuwan yang pernah memimpin PSPK UGM adalah:

1973 – 1981

Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo

1981 – 1982

Prof. Dr. Moeljarto Tjokrowinoto.

1982 – 1983

Prof. Dr. Soetatwo Hadiwigeno.

1983 – 1994

Prof. Dr. Murbyarto.

1984 – 1999

Prof. Dr. Loekman Soetrisno.

   

1999 – 2005

Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, M.Sc.

2005 – 2009

Prof. Dr. Susetiawan, S.U.

2010 – 2012

Dr. Ir. Dyah Ismoyowati, M. Sc.

2013 – 2015

Dr. Bambang Hudayana, MA.

2016 – 2019

Prof. Dr. Susetiawan, S.U.

2019 – sekarang

Dr. Suharko 

Mitra Kerja Sama

PSPK UGM telah mampu menciptakan kegiatan-kegiatan yang berbasis pada sumber daya internal sejak awal pendiriannya. Akan tetapi, untuk lebih mengefektifkan peranan serta tanggung jawabnya pada kegiatan-kegiatan tersebut, PSPK UGM telah mampu mengundang serta menciptakan kerja sama inter-institusional dengan beberapa institusi antara lain:

  • Pemerintah Pusat: Kementerian Transmigrasi, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Koperasi, Kementerian Agama, Kementerian ESDM, Kementerian Pendidikan Nasional.
  • Pemerintah daerah: Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Riau, Jawa Tengah, Kabupaten Ngawi, Kulonprogo, Kota Yogyakarta, Jambi dan beberapa pemerintah daerah tingkat provinsi/kabupaten lainnya..
  • Institusi pemerintah yang lain: Bulog, Bank Indonesia, Bappenas, BPS, universitas, dan komite nasional JPS.
  • Lembaga-lembaga internasional: ILO, APO, UNDP, ROCKEFELLER FOUNDATION, FORD FOUNDATION, USAID, IDRC, TAD, PKAK, SEARCA, KAS, APPEC, THE ASIA FOUNDATION, RIO TINTO FOUNDATION, FADO, BORDA, JICA, JCIE, WORLD BANK. IWMI, ADB, DAN DFID.
  • Lembaga-lembaga non-pemerintah: YISS, AEKI, MUI,  Yayasan Bina Swadaya, CIDES, NGO FORUM, KIKIS, Yayasan  Indonesia Sejahtera (YIS) dan KEHATI.
  • Perusahaan-perusahaan nasional dan internasional: Perum Jasa Tirta, PT Indra Karya, Sarana Yogya Ventura, Perum Perhutani, Freeport Indonesia Mining Company, Kelian Equatorial Mining Company, Pt Caltex, Rio Tinto, PLAN, DAN UICO, ASIAN AGRI, EXXON MOBIL LIMITED, YCAP-AIP, dan lain sebagainya.