Kemiskinan Pedesaan dan Perkembangan Pendidikan Anak Usia Dini

“Meskipun ada beberapa kasus dimana anak yang berasal dari keluarga yang miskin/kurang mampu pada saat dewasa dapat menjadi orang yang berhasil/sukses, namun hal itu tidak meruntuhkan anggapan yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat bahwa anak yang berasal dari keluarga yang miskin tidak akan mampu mengembangkan diri secara maksimal. Selain karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki orang tua untuk memenuhi biaya pendidikan anak, anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu akan cenderung mengalami keterlambatan pertumbuhan kemampuan kognisi, afeksi dan psikomotorik dibandingkan anak yang berasal dari keluarga sejahtera.” Demikian pernyataan penyaji dalam seminar bulanan yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada pada hari Kamis, tanggal 14 Oktober 2010. Seminar yang telah menjadi agenda rutin setiap bulan tersebut, pada kesempatan itu menghadirkan seorang penyaji Amelia Maika, S.Sos, M.A, dosen jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM sekaligus konsultan masalah kemiskinan pedesaan Bank Dunia (World Bank), dengan moderator Dra. Agnes Mawarni, peneliti PSPK UGM. Topik yang dibahas dalam seminar yang dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan, antara lain akademisi, LSM, masyarakat umum tersebut adalah “Kemiskinan di Pedesaan dan Perkembangan Pendidikan Anak Usia Dini”.

Keterlambatan perkembangan kemampuan kognisi, afeksi, dan psikomotorik anak dari keluarga miskin tersebut terjadi karena dua faktor, yaitu pertama, kekeliruan orang tua dalam pola pengasuhan anak, dan kedua, ketidak mampuan orang tua memberikan pendidikan yang baik kepada anak usia dini. Dalam hal pengasuhan anak, akibat keterbatasan pengetahuan tentang tahapan tumbuh kembang bayi/anak banyak orang tua dari kalangan keluarga miskin yang memiliki pemahaman bahwa bayi/anak yang menangis berarti dia lapar. Untuk mencegah agar bayi/anak tidak menangis maka banyak orang tua yang memberi makanan tambahan berupa nasi atau makanan lain kepada bayi meskipun umur bayi tersebut kurang dari 6 bulan. Hal ini jelas bertentangan dengan pola pengasuhan bayi/anak yang dianjurkan oleh para dokter/ahli pertumbuhan anak karena sebelum berusia 6 bulan seyogyanya anak tidak diberi makanan tambahan dan hanya diberi asi saja. Dalam hal pendidikan anak usia dini, akibat keterbatasan kemampuan ekonomi dan kesibukan orang tua mencari nafkah banyak orang tua dari kalangan keluarga miskin yang tidak mampu melaksanakan pendidikan yang dibutuhkan anak pada usia dini. Untuk dapat mencapai pertumbuhan kemampuan intelegensi yang optimal, pada saat usia dini anak membutuhkan pendidikan yang dapat memberikan stimulasi yang mampu merangsang pertumbuhan otak mereka. Menurut para pakar pertumbuhan anak, pendidikan yang dapat merangsang pertumbuhan otak bayi adalah kebiasaan orang tua untuk membacakan buku pada anak, kebiasaan untuk mendongeng/bercerita bagi anak, dan kebiasaan bermain bersama dengan anak. Orang tua yang berasal dari keluarga kurang mampu/miskin tidak dapat melakukan hal-hal tersebut, sementara orang tua dari keluarga yang memiliki latar belakang ekonomi mapan dapat melakukan hal tersebut. Oleh karena itu wajar apabila tingkat pertumbuhan intelegensi anak dari keluarga kurang mampu jauh lebih lambat dibandingkan anak yang berasal dari keluarga mampu.

Pandangan yang menganggap bahwa anak yang berasal dari keluarga yang miskin akan mengalami pertumbuhan kecerdasan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga yang mapan didukung oleh hasil penelitian yang baru-baru ini dilaksanakan oleh penyaji. Penelitian yang disponsori oleh beberapa lembaga internasional tersebut dilaksanakan dengan menggunakan metode survey. Peneliti mengambil beberapa daerah di Indonesia sebagai sample penelitian.

Dari penelitian tersebut penyaji dapat memperoleh data yang memberi pembenaran/dukungan pada anggapan/pandangan yang selama ini berkembang di tengah-tengah masyarakat bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin mengalami tingkat pertumbuhan kecerdasan yang lebih lambat dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga mapan. Hasil penelitian itu juga menunjukkan bahwa anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu memiliki peluang yang lebih besar untuk tidak naik kelas, drop out, dan menikah dalam usia dini dibandingkan anak yang berasal dari keluarga mampu.

Terkait dengan materi yang dipaparkan oleh penyaji, seorang peserta yang berasal dari sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) melontarkan tanggapan bahwa penelitian tentang dampak kemiskinan pada pertumbuhan anak di usia dini ini cukup menarik dan ia sependapat dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penyaji yang menyimpulkan bahwa anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu akan mengalami pertumbuhan kecerdasan yang jauh lebih rendah dibandingkan anak yang berasal dari keluarga mampu. Namun berdasarkan pengamatannya keterlambatan pertumbuhan kecerdasan anak yang berasal dari keluarga miskin terjadi bukan hanya karena ketidak mampuan orang tua memberikan asupan gisi yang baik pada anak (kekeliruan pola asuh) atau ketidakmampuan orang tua memberikan pendidikan usia dini yang baik bagi anak, tetapi juga karena terjadinya tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang tua kepada anak.

Berdasarkan pemberitaan yang dilakukan oleh media massa kita dapat mengetahui bahwa dari waktu ke waktu jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia semakin meningkat. Kekerasan tersebut tidak hanya berupa kekerasan psikis yang berupa bentakan /kata-kata keras tetapi juga kekerasan pisik yang berupa siksaan yang menyebabkan anak mengalami cidera bahkan ada yang meninggal. Berdasarkan penelusuran sejumlah pihak, salah satu penyebab yang mendorong orang tua tega melakukan tindak kekerasan pada anak adalah karena faktor ekonomi yaitu kemiskinan yang menghimpit mereka.  

Melihat kenyataan bahwa kemiskinan merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada kelambatan perkembangan kecerdasan anak, maka seorang peserta yang berasal dari kalangan perguruan tinggi melontarkan usulan untuk memecahkan permasalahan tersebut. Ia mengusulkan pada penyaji untuk mendorong pemerintah agar segera melaksanakan penanggulangan kemiskinan yang dialami oleh sebagian rakyat Indonesia. Hal yang dibutuhkan oleh anak-anak dari keluarga miskin agar dapat mengalami perkembangan kecerdasan secara optimal bukan program-program yang bersifat parsial dan karitatif semata, misalnya program pemberian makanan tambahan atau program pendidikan anak usia dini, tetapi program yang dapat menuntaskan permasalahan hingga ke akar-akarnya.

Faktor utama yang menyebabkan sebagian anak Indonesia mengalami keterlambatan perkembangan kecerdasan adalah kemiskinan yang dialami oleh sebagian keluarga di Indonesia, oleh karena itu peserta tersebut mengusulkan agar pemerintah segera mengentaskan keluarga-keuarga tersebut dari jurang kemiskinan. Pemerintah harus menghilangkan kemiskinan dari bumi Indonesia ini. Saya memiliki keyakinan bahwa apabila keluarga-keluarga di Indonesia telah terangkat dari jurang kemiskinan maka mereka akan dapat memberikan asuhan dan pendidikan yang baik bagi anak-anak mereka.

”Bagaimana mungkin seorang ibu dapat memberikan ASIi secara eksklusif kepada bayinya selama 6 bulan penuh apabila ia sendiri mengalami kekurangan asupan gisi. Bagaimana mungkin mereka dapat membacakan buku bagi anak mereka apabila di rumah tersebut sama sekali tidak ada buku karena mereka tidak mampu membeli buku. Bagaimana mungkin mereka dapat mendongeng/bercerita bagi anak mereka apabila sebagian besar waktu mereka dipergunakan untuk bekerja keras memeras keringat dan membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga?” lontar sang peserta.

Berkaitan dengan berbagai pertanyaan dan tanggapan yang dilontarkan oleh para peserta, penyaji menyampaikan terima kasih. Namun ia kurang sependapat dengan usulan bahwa ia harus menyampaikan usulan kepada pemerintah untuk mengatasi persoalan kemiskinan. “Yang berkewajiban untuk menyampaikan saran dan usulan kepada pemerintah bukan hanya saya yang kebetulan pada saat ini menjadi penyaji dalam seminar ini, namun semua pihak yang memiliki kepeduliaan pada permasalahan tersebut, baik yang berasal dari kalangan akademis, lembaga swadaya masyarakat maupun masyarakat umum, termasuk anda para hadirin yang pada saat ini duduk menjadi peserta seminar pada sore hari ini” terang penyaji.

”Namun secara jujur perlu kita akui bahwa untuk menyampaikan usulan pada pemerintah agar lebih meningkatkan kepedulian pada kemiskinan yang dialami oleh sebagian rakyat Indonesia, bukan merupakan persoalan yang mudah. Untuk melakukan itu dibutuhkan perjuangan yang tidak ringan karena kita mengetahui bahwa prioritas utama pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah pertumbuhan ekonomi yang setingi-tingginya dan belum menyentuh aspek pemerataan kemakmuran. Kita mengetahui bahwa baik pemerintah pusat maupun  pemerintah daerah lebih senang melaksanakan program pembangunan yang bersifat fisik karena lebih mudah diukur capaian keberhasilannya dibandingkan program pengentasan  kamiskinan yang bersifat non fisik, meskipun sebenarnya program tersebut kurang bermanfaat bagi upaya penanggulangan kemiskinan.” Terang penyaji sesaat sebelum seminar sore tersebut ditutup.*(dc)