Arsip:

Warta Pedesaan

Simalakama Inpres Beras

Oleh: Mochammad Maksum Machfoedz

Kondisi perberasan nasional sungguh amburadul meski harus diakui kekacauan itu sifatnya musiman. Ada titik waktu yang bisa dicatat sebagai masa krisis, antara lain bulan Desember dan masa rendengan yang dicirikan oleh panen minimal, sementara kebutuhan tidak pernah turun. Waktu lain adalah bulan puasa dan menjelang Idul Fitri. Membengkaknya kebutuhan karena menyambut Lebaran dan masa pembayaran zakat tentu sangat berpengaruh. Namun, lonjakan harga kali ini terjadi di tengah berbagai ironi dan pasca-Lebaran. Pertama, krisis terjadi justru ketika pemerintah, melalui Angka Ramalan (ARAM)-II menggembor- gemborkan bahwa tahun ini kita tidak sekadar swasembada, tetapi swasembada dengan surplus 5,8 juta ton beras.

Kedua, kalau ARAM-II bisa dipercaya, puncak krisis justru terjadi pada puncak surplus bulanan sepanjang 2010 dengan stok akhir Agustus 10,1 juta ton sampai stok akhir September 9,4 juta ton. Ketiga, krisis harga beras terjadi ketika otoritas pangan pemerintah dengan kekuasaan dan segala janjinya, mandul, tidak mampu membangun efektivitas pengendalian harga.

Spekulasi dan klarifikasi pemerintah tentang sebab musabab krisis teramat tidak meyakinkan. Setidaknya, ada dua kubu pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)-II yang sangat berbeda dalam penjelasannya. Satu kubu menuding spekulan sebagai penyebabnya, sementara kubu lain menyatakan spekulasi itu tidak mungkin mengingat kompetitifnya pasar beras. Tidak seorang pun berbesar hati mengakui kesalahan bahwa krisis tersebut akibat cetak biru tata niaga perberasan yang telah memperdaya presiden untuk menandatangani Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2009.

Inpres No 7/2009

Dalam upaya menjaga kepentingan produsen, konsumen, dan stabilisasi harga beras sebagai bahan pangan paling strategis, pemerintah selalu menyiapkan bingkai tata niaga yang disebut Inpres tentang Perberasan atau Inpres Beras, yang mengatur tata niaga dan fungsionalisasi otoritas pangan dalam pengendalian harga beras dan gabah.

Selama pemerintahan KIB, kita mengenal Inpres No 13/2005, Inpres No 3/2007, Inpres No 1/2008, Inpres No 8/2008, dan Inpres No 7/2009. Yang menonjol dalam inpres adalah amanat pengamanan harga beras, gabah kering panen (GKP), dan gabah kering giling (GKG) melalui patokan harga yang kemudian disebut harga pembelian pemerintah (HPP). Adalah mandat Bulog sebagai otoritas pangan untuk mengamankan harga di tingkat produsen pada besaran HPP menurut inpres yang berlaku untuk beras kualitas medium.

Inpres No 7/2009 yang diundangkan akhir Desember 2009 dan berlaku 1 Januari 2010 mematok HPP GKP, GKG, dan beras Rp 2.640, Rp 3.345, dan Rp 5.060 per kilogram. Janji kesejahteraan ini setara kenaikan 10 persen dibandingkan Inpres No 8/2008 yang digantikannya. Ajakan untuk melakukan introspeksi, menakar ulang kelayakan Inpres No 7/2009 dalam hal ini sudah tentu erat kaitannya dengan besaran HPP dan proporsionalitasnya.

Besaran HPP

Benar bahwa HPP sekarang sudah 10 persen lebih besar dibandingkan dengan HPP menurut Inpres No 8/2008. Hal ini berarti perbaikan ekonomis sudah dijanjikan bagi petani produsen padi. Persoalannya, apakah perbaikan ini cukup masuk akal atau tidak. Sebagian pihak mengatakan itu sudah bagus mengingat harga beras impor yang lebih murah. Suara ini terutama muncul dari pemerintah.

Sementara pihak lain melihat ini tak cukup berarti dan tidak pantas diukur dengan besaran harga dunia karena tingkat subsidi dan proteksi perberasan mereka yang sangat tinggi dibandingkan di Indonesia. Itu pun masih ditambah dengan pertimbangan sosial ekonomi Indonesia, dalam kaitannya dengan kesempatan kerja dan luasan pemilikan lahan.

Ada baiknya mencermati pandangan kelompok kedua ini, yang juga mengingatkan indikasi rendahnya HPP dilihat dari tingginya harga GKP, GKG, dan beras di pasar yang jauh dari HPP. Maknanya, mekanisme pasar dianggap sudah menetapkan (setting) harga lebih baik bagi petani dan karena itu fungsi pengadaan Bulog tak dijalankan. Haram hukumnya bagi Bulog untuk membeli lebih tinggi dari HPP.

Inilah simalakama pertama. Harga pasar yang tinggi sering dibanggakan sebagai sukses pengendalian harga. Padahal, itulah indikasi terlalu rendahnya HPP. Sebagai bukti, andai saja HPP diturunkan lagi, niscaya pengadaan Bulog akan nihil, tidak ada pengadaan jalur HPP karena harga gabah dan beras yang lebih rendah dari HPP.

Ini mengakibatkan terbatasnya cadangan Bulog sehingga tak mampu mengendalikan harga melalui operasi pasar, seperti terjadi akhir-akhir ini. Simalakama berikutnya berupa keputusan pemerintah untuk impor 500.000 ton beras. Keputusan yang disampaikan Menteri Pertanian dalam rapat koordinasi stabilisasi harga pangan pasca-Lebaran, Senin (20/9), itu pasti memiliki dampak domestik berkepanjangan terhadap sistem produksi beras dalam negeri.

Proporsionalitas

Rendemen adalah rasio teknis antara beras yang dihasilkan dari gabah sebagai bahan bakunya dalam proses penggilingan. Inpres No 7/2009 menyiratkan bahwa beras yang HPP-nya Rp 5.060 per kilogram ternyata nilainya setara dengan harga 1,5127 kilogram GKG dengan HPP Rp 3.345 per kilogram.

Kesetaraan ini menunjukkan bahwa proporsi HPP hanya masuk akal ketika proses penggilingan memiliki rendemen 66 persen dan gratis, tanpa ongkos giling. Dalam dunia nyata, dua hal ini tidak pernah terjadi pada proses penggilingan beras kualitas medium yang dicirikan oleh 20 persen beras patah.

Makna berikutnya, 66 persen adalah optimisme yang tidak memiliki pembenaran, apalagi ketika ditambah ongkos giling Rp 200-Rp 400 per kilogram. Kesetaraan HPP beras Rp 5.060 per kilogram dengan sejumlah gabah senilai yang sama hanya terjadi pada rendemen 68 persen, sesuatu yang tak pernah ada di dunia untuk beras kualitas medium dan itulah simalakama lainnya.

Angka ini jauh menyimpang dari data rendemen Balitbang Pertanian (2008) yang maksimal 64,67 persen dengan konfigurasi gilingan lima tahap Cleaner-Husker-Separator-Polisher-Grader, yang canggih dan supermahal.

HPP beras Rp 5.060 per kilogram itu teramat tidak masuk akal. Berdasarkan rasionalitas rendemen dan biaya giling, untuk GKG Rp 3.345 per kilogram mestinya HPP beras adalah Rp 6.000 per kilogram. Kalau ini patokan HPP-nya, lonjakan harga sampai 20-25 persen tentu masih sangat wajar adanya. Sudah waktunya merombak pola pikir bagi pembenahan Inpres Beras karena landasan legal ini sangat problematik dan telah memunculkan ironi sepanjang sejarah: surplus 9-10 juta ton tetapi impor 500.000 ton. Berangkat dari sinilah kisruh perberasan berakar dan harus diselesaikan. (*Penulis adalah Staf Peneliti PSPK, Guru Besar Sosial Ekonomi Agroindustri, FTP UGM, sumber: Kompas, 22 September 2010).

Bunga Rampai Pemikiran Pedesaan 2002-2008

Desa merupakan fenomena yang telah ada di Indonesia jauh sebelum NKRI ini diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan “Dalam teritori Negara Indonesia terdapat +250 “Zelfbesturende landschappen” dan ”Volksgemeenschappen”, seperti deso di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Sampai dengan awal kemerdekaan, desa atau nama lain yang setingkat dengan itu, secara nyata menunjukan karakteristiknya sebagai desa-desa asli yang otonom dan mampu mengurus dirinya sendiri (Rahardjo, 2005).

Buku Seri Warta Pedesaan ini berisi kumpulan makalah Seminar Bulanan yang merupakan pemikiran dari para pakar berbagai disiplin ilmu dan memiliki focus of interest pada masalah pedesaan di Indonesia. Ragam persoalan  yang membelit masyarakat pedesaan jelas memerlukan banyak perhatian dan pemikian agar dapat diperoleh solusi alternatif yang sesuai dengan kebutuhan, aspirasi, dan harapan masyarakat pedesaan.

Kemiskinan Pedesaan dan Perkembangan Pendidikan Anak Usia Dini

“Meskipun ada beberapa kasus dimana anak yang berasal dari keluarga yang miskin/kurang mampu pada saat dewasa dapat menjadi orang yang berhasil/sukses, namun hal itu tidak meruntuhkan anggapan yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat bahwa anak yang berasal dari keluarga yang miskin tidak akan mampu mengembangkan diri secara maksimal. Selain karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki orang tua untuk memenuhi biaya pendidikan anak, anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu akan cenderung mengalami keterlambatan pertumbuhan kemampuan kognisi, afeksi dan psikomotorik dibandingkan anak yang berasal dari keluarga sejahtera.” Demikian pernyataan penyaji dalam seminar bulanan yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada pada hari Kamis, tanggal 14 Oktober 2010. Seminar yang telah menjadi agenda rutin setiap bulan tersebut, pada kesempatan itu menghadirkan seorang penyaji Amelia Maika, S.Sos, M.A, dosen jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM sekaligus konsultan masalah kemiskinan pedesaan Bank Dunia (World Bank), dengan moderator Dra. Agnes Mawarni, peneliti PSPK UGM. Topik yang dibahas dalam seminar yang dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan, antara lain akademisi, LSM, masyarakat umum tersebut adalah “Kemiskinan di Pedesaan dan Perkembangan Pendidikan Anak Usia Dini”.

Keterlambatan perkembangan kemampuan kognisi, afeksi, dan psikomotorik anak dari keluarga miskin tersebut terjadi karena dua faktor, yaitu pertama, kekeliruan orang tua dalam pola pengasuhan anak, dan kedua, ketidak mampuan orang tua memberikan pendidikan yang baik kepada anak usia dini. Dalam hal pengasuhan anak, akibat keterbatasan pengetahuan tentang tahapan tumbuh kembang bayi/anak banyak orang tua dari kalangan keluarga miskin yang memiliki pemahaman bahwa bayi/anak yang menangis berarti dia lapar. Untuk mencegah agar bayi/anak tidak menangis maka banyak orang tua yang memberi makanan tambahan berupa nasi atau makanan lain kepada bayi meskipun umur bayi tersebut kurang dari 6 bulan. Hal ini jelas bertentangan dengan pola pengasuhan bayi/anak yang dianjurkan oleh para dokter/ahli pertumbuhan anak karena sebelum berusia 6 bulan seyogyanya anak tidak diberi makanan tambahan dan hanya diberi asi saja. Dalam hal pendidikan anak usia dini, akibat keterbatasan kemampuan ekonomi dan kesibukan orang tua mencari nafkah banyak orang tua dari kalangan keluarga miskin yang tidak mampu melaksanakan pendidikan yang dibutuhkan anak pada usia dini. Untuk dapat mencapai pertumbuhan kemampuan intelegensi yang optimal, pada saat usia dini anak membutuhkan pendidikan yang dapat memberikan stimulasi yang mampu merangsang pertumbuhan otak mereka. Menurut para pakar pertumbuhan anak, pendidikan yang dapat merangsang pertumbuhan otak bayi adalah kebiasaan orang tua untuk membacakan buku pada anak, kebiasaan untuk mendongeng/bercerita bagi anak, dan kebiasaan bermain bersama dengan anak. Orang tua yang berasal dari keluarga kurang mampu/miskin tidak dapat melakukan hal-hal tersebut, sementara orang tua dari keluarga yang memiliki latar belakang ekonomi mapan dapat melakukan hal tersebut. Oleh karena itu wajar apabila tingkat pertumbuhan intelegensi anak dari keluarga kurang mampu jauh lebih lambat dibandingkan anak yang berasal dari keluarga mampu.

Pandangan yang menganggap bahwa anak yang berasal dari keluarga yang miskin akan mengalami pertumbuhan kecerdasan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga yang mapan didukung oleh hasil penelitian yang baru-baru ini dilaksanakan oleh penyaji. Penelitian yang disponsori oleh beberapa lembaga internasional tersebut dilaksanakan dengan menggunakan metode survey. Peneliti mengambil beberapa daerah di Indonesia sebagai sample penelitian.

Dari penelitian tersebut penyaji dapat memperoleh data yang memberi pembenaran/dukungan pada anggapan/pandangan yang selama ini berkembang di tengah-tengah masyarakat bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin mengalami tingkat pertumbuhan kecerdasan yang lebih lambat dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga mapan. Hasil penelitian itu juga menunjukkan bahwa anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu memiliki peluang yang lebih besar untuk tidak naik kelas, drop out, dan menikah dalam usia dini dibandingkan anak yang berasal dari keluarga mampu.

Terkait dengan materi yang dipaparkan oleh penyaji, seorang peserta yang berasal dari sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) melontarkan tanggapan bahwa penelitian tentang dampak kemiskinan pada pertumbuhan anak di usia dini ini cukup menarik dan ia sependapat dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penyaji yang menyimpulkan bahwa anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu akan mengalami pertumbuhan kecerdasan yang jauh lebih rendah dibandingkan anak yang berasal dari keluarga mampu. Namun berdasarkan pengamatannya keterlambatan pertumbuhan kecerdasan anak yang berasal dari keluarga miskin terjadi bukan hanya karena ketidak mampuan orang tua memberikan asupan gisi yang baik pada anak (kekeliruan pola asuh) atau ketidakmampuan orang tua memberikan pendidikan usia dini yang baik bagi anak, tetapi juga karena terjadinya tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang tua kepada anak.

Berdasarkan pemberitaan yang dilakukan oleh media massa kita dapat mengetahui bahwa dari waktu ke waktu jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia semakin meningkat. Kekerasan tersebut tidak hanya berupa kekerasan psikis yang berupa bentakan /kata-kata keras tetapi juga kekerasan pisik yang berupa siksaan yang menyebabkan anak mengalami cidera bahkan ada yang meninggal. Berdasarkan penelusuran sejumlah pihak, salah satu penyebab yang mendorong orang tua tega melakukan tindak kekerasan pada anak adalah karena faktor ekonomi yaitu kemiskinan yang menghimpit mereka.  

Melihat kenyataan bahwa kemiskinan merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada kelambatan perkembangan kecerdasan anak, maka seorang peserta yang berasal dari kalangan perguruan tinggi melontarkan usulan untuk memecahkan permasalahan tersebut. Ia mengusulkan pada penyaji untuk mendorong pemerintah agar segera melaksanakan penanggulangan kemiskinan yang dialami oleh sebagian rakyat Indonesia. Hal yang dibutuhkan oleh anak-anak dari keluarga miskin agar dapat mengalami perkembangan kecerdasan secara optimal bukan program-program yang bersifat parsial dan karitatif semata, misalnya program pemberian makanan tambahan atau program pendidikan anak usia dini, tetapi program yang dapat menuntaskan permasalahan hingga ke akar-akarnya.

Faktor utama yang menyebabkan sebagian anak Indonesia mengalami keterlambatan perkembangan kecerdasan adalah kemiskinan yang dialami oleh sebagian keluarga di Indonesia, oleh karena itu peserta tersebut mengusulkan agar pemerintah segera mengentaskan keluarga-keuarga tersebut dari jurang kemiskinan. Pemerintah harus menghilangkan kemiskinan dari bumi Indonesia ini. Saya memiliki keyakinan bahwa apabila keluarga-keluarga di Indonesia telah terangkat dari jurang kemiskinan maka mereka akan dapat memberikan asuhan dan pendidikan yang baik bagi anak-anak mereka.

”Bagaimana mungkin seorang ibu dapat memberikan ASIi secara eksklusif kepada bayinya selama 6 bulan penuh apabila ia sendiri mengalami kekurangan asupan gisi. Bagaimana mungkin mereka dapat membacakan buku bagi anak mereka apabila di rumah tersebut sama sekali tidak ada buku karena mereka tidak mampu membeli buku. Bagaimana mungkin mereka dapat mendongeng/bercerita bagi anak mereka apabila sebagian besar waktu mereka dipergunakan untuk bekerja keras memeras keringat dan membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga?” lontar sang peserta.

Berkaitan dengan berbagai pertanyaan dan tanggapan yang dilontarkan oleh para peserta, penyaji menyampaikan terima kasih. Namun ia kurang sependapat dengan usulan bahwa ia harus menyampaikan usulan kepada pemerintah untuk mengatasi persoalan kemiskinan. “Yang berkewajiban untuk menyampaikan saran dan usulan kepada pemerintah bukan hanya saya yang kebetulan pada saat ini menjadi penyaji dalam seminar ini, namun semua pihak yang memiliki kepeduliaan pada permasalahan tersebut, baik yang berasal dari kalangan akademis, lembaga swadaya masyarakat maupun masyarakat umum, termasuk anda para hadirin yang pada saat ini duduk menjadi peserta seminar pada sore hari ini” terang penyaji.

”Namun secara jujur perlu kita akui bahwa untuk menyampaikan usulan pada pemerintah agar lebih meningkatkan kepedulian pada kemiskinan yang dialami oleh sebagian rakyat Indonesia, bukan merupakan persoalan yang mudah. Untuk melakukan itu dibutuhkan perjuangan yang tidak ringan karena kita mengetahui bahwa prioritas utama pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah pertumbuhan ekonomi yang setingi-tingginya dan belum menyentuh aspek pemerataan kemakmuran. Kita mengetahui bahwa baik pemerintah pusat maupun  pemerintah daerah lebih senang melaksanakan program pembangunan yang bersifat fisik karena lebih mudah diukur capaian keberhasilannya dibandingkan program pengentasan  kamiskinan yang bersifat non fisik, meskipun sebenarnya program tersebut kurang bermanfaat bagi upaya penanggulangan kemiskinan.” Terang penyaji sesaat sebelum seminar sore tersebut ditutup.*(dc)

Pentingnya Modal Sosial dalam Pembangunan Pasca Bencana

Oleh: Agnes Mawarni
Email: agnesmawarni@yahoo.com/HP 085292749059
Peneliti pada Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM

Salah satu dokumen mengatakan bahwa pembangunan perkotaan akan sustainable jika di dalamnya memberikan generasi mendatang income disertai opportunity pertumbuhan capital (minimal sama dengan generasi sekarang) yang dapat diperlihatkan dengan relatif lebih tinggi capital per kapita dibanding generasi sekarang. Modal-modal itu dapat dilukiskan sebagai human capital (investasi dalam pendidikan, kesehatan atau gizi), social capital (fungsi dan keberadaan kelembagaan dan budaya dalam masyarakat), natural capital (fungsi dan keberadaan sumber daya alam dan lingkungan) dan man-made capital (investasi yang umumnya terhitung dalam anggaran perekonomian) (dalam Majalah Prisma Volume 6 1997 – LP3ES Jakarta, hlm 6).

Modal sosial

Diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan peluang bagi daerah (kabupaten dan kota) untuk menciptakan kemandirian dalam rangka membangun daerahnya dengan berpijak pada prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi dan peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal. Lokal menurut pemahaman UU No. 22 Tahun 1999 adalah pada tataran mikro artinya istilah lokal untuk menyebut kawasan daerah tingkat satu/propinsi, daerah tingkat dua/kabupaten atau kota, dan dimungkinkan lokal untuk menyebut yang lebih spesifik yaitu kecamatan dan desa. Jadi institusi lokal merupakan asosiasi komunitas setempat yang bertanggung jawab atas proses kegiatan pembangunan setempat, seperti rukun tetangga, arisan trah, kelompok pengajian, kelompok ronda dan sejenisnya dan memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah setempat. Institusi lokal dalam komunitas harus dilihat sebagai suatu sistem yang saling silang menyilang dan institusi lokal telah menyediakan jaring pengaman sosial (sosial safety net) ketika komunitas lokal berada dalam situasi krisis. Kehadiran institusi lokal bukan atas kepentingan pribadi/individu tetapi atas kepentingan bersama, sehingga institusi lokal lama kelamaan menduduki posisi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Rasa saling percaya warga komunitas lokal yang digalang dan diasah melalui institusi ini semakin hari semakin didambakan sebagai modal sosial (sosial capital) (Drs. M. Pupu Saeful Rahmat M.Pd., Memupuk Institusi Lokal dan Modal Sosial dalam Kehidupan Bermasyarakat, posted on 29 Maret 2008).

Dalam pandangan ilmu ekonomi, modal adalah segala sesuatu yang dapat menguntungkan atau menghasilkan. Modal itu sendiri dapat dibedakan atas: (1) modal yang berbentuk material seperti uang, gedung atau barang; (2) modal budaya dalam bentuk kualitas pendidikan; kearifan budaya lokal; dan (3) modal sosial dalam bentuk kebersamaan, kewajiban sosial yang diinstitusionalisasikan dalam bentuk kehidupan bersama, peran, wewenang, tanggungjawab, sistem penghargaan dan keterikatan lainnya yang menghasilkan tindakan kolektif. Modal sosial menjadi perekat bagi setiap individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaring kerja sehingga terjadi kerja sama yang saling menguntungkan untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial juga dipahami sebagai pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki bersama oleh komunitas serta pola hubungan yang memungkinkan sekelompok individu melakukan satu kegiatan yang produktif. Menurut Lesser (2000), modal sosial ini sangat penting bagi komunitas karena (1) memberikan kemudahan dalam mengakses informasi bagi anggota komunitas; (2) menjadi media pembagian kekuasaan dalam komunitas; (3) mengembangkan solidaritas; (4) memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas; (5) memungkinkan pencapaian bersama; dan (6) membentuk perilaku kebersamaam dan berorganisasi komunitas. Modal sosial merupakan suatu komitmen dari setiap individu untuk saling terbuka, saling percaya, memberikan kewenangan bagi setiap orang yang dipilihnya untuk berperan sesuai dengan tanggungjawabnya. Sarana ini menghasilkan rasa kebersamaan, kesetiakawanan, dan sekaligus tanggungjawab akan kemajuan bersama.

Pengalaman Bencana

Gempa bumi pada tanggal 27 mei 2006 yang terjadi di Yogyakarta dan Jawa Tengah menjadi pusat liputan media massa lokal/daerah maupun nasional. Satu hari setelah gempa, seluruh media massa menempatkan peristiwa gempa sebagai headline. Hampir seluruh berita tentang gempa di hari itu meliput suasana saat gempa terjadi dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Liputannya secara luas mencakup paniknya masyarakat saat gempa terjadi, proses runtuhnya bangunan-bangunan, kegentingan dalam proses penyelamatan korban, penanganan korban dalam situasi darurat, rumah sakit yang kewalahan, tenaga medis dan obat-obatan kurang, para korban tewas maupun luka-luka, hancurnya rumah-rumah penduduk, rusaknya berbagai fasilitas umum, kekacauan akibat isu tsunami dan juga penjelasan-penjelasan ilimah (geologis) seputar gempa bumi.

Pelan tapi pasti, Yogyakarta sedang berduka, tidak hanya ke seluruh pelosok negeri tetapi juga ke seluruh dunia. Dalam waktu singkat, orang Yogya sibuk dengan dirinya sendiri: mencari sanak saudara yang hilang, mengurus yang terluka, mencari tempat berteduh/memasang tenda, menggelar tikar menaruh badan, mengurus perabotan, membuka dapur umum, menutup jalan-jalan kampung dan membuka posko bantuan. Jalan-jalan di kota Yogya bukan lagi tempat orang berjalan, tetapi berubah menjadi tempat tidur dan tinggal. Yogya di hari kedua dan hari-hari berikutnya berubah menjadi tempat pelayatan massal. Seluruh Yogya sedang berduka dan rasanya lumpuh tidak berdaya, semua rumah sakit luber tidak dapat lagi menampung tambahan orang sakit. Mayat, orang sakit, dan orang sedih tergolek dimana-mana seolah berbaur dalam satu ruang raksasa (Yogya).

Ada nilai kemanusiaan yang datang dari para relawan dan donatur ke Yogyakarta dan Jawa Tengah. Semangat tolong menolong dan bahu membahu nampak nyata di lokasi bencana ini, bantuan datang menggunakan jalur-jalur transportasi apapun selagi memungkinkan. Perhatian dari pemeritah pun tak kurang ditunjukkan dengan kesediaan presiden berkantor di Yogyakarta guna koordinasi tanggap bencana. Bantuan natura, in natura dan medis juga datang dari luar negeri yang menyemut di lokasi-lokasi korban bencana. Terlepas dari berita-berita tentang kelambatan bantuan mencapai para korban bencana maupun janji-janji rehabilitasi bencana yang mungkin belum lunas tercapai, namun nilai dan semangat tolong-menolong dan bantu-membantu antar sesama sangat kuat terasa dalam bencana ini.

Perbedaan dalam konteks agama, suku, golongan, kepentingan dan apapun terlihat membaur dalam situasi yang tidak mengenakkan ini. Persudaraan kembali kentara dan seperti menjadi penanda bagi bangsa lain bahwa persatuan itu memang mutlak diperlukan untuk selama-lamanya. Gotong royong yang selama ini nyaris hanya menjadi jargon semata, telah terbukti “ada” diantara jiwa para korban gempa. Tak berlama-lama larut dalam kesedihan, masyarakat bergotong royong, bahu membahu menyingsikan lengan baju bangkit menyongsong masa depan.

Bencana alam entah itu gempa bumi, tanah longsor, banjir, kekeringan dan puting beliung selalu mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Elemen-elemen yang yang beresiko terkena dampak bencana adalah infrastruktur, rumah, lahan pertanian, jalan dan aktivitas ekonomi. Dalam workshop kebencanaan yang diadakan oleh Pusat Studi Bencana Alam UGM di Yogyakarta 5 – 6 Agustus 2010, dalam presentasinya, salah satu narasumber mengatakan bahwa selama kurun waktu 1981-2007 (27 tahun) terjadi lebih dari 1.300 tanah longsor merusak  di pulau Jawa atau sama dengan 49 kejadian per tahun. Korban meninggal akibat gempa tanah longsor adalah 2.095 orang (77 orang/tahun) dan jumlah korban luka-luka adalah 550 orang atau 20 orang pertahun. Dari situ terlihat bahwa prosentase korban meninggal lebih besar dibanding korban luka-luka, dengan perbandingan 79 : 21. Dampak lain dari bencana tanah longsor di Jawa adalah sekitar 4.095 hektar lahan pertanian dan 13 kilometer jalan terpotong. Rumah rusak dan rumah hancur masing-masing hampir mencapai 10.000 unit dan 1800 unit, sedangkan jumlah bangunan yang rusak dan hancur diperkirakan 200 unit. (Dr. Danang Sri Hadmoko, S.Si., M.Sc., Peranan peta Risiko Bencana Tanah longsor dalam pengurangan risiko bencana, 2010). Bencana jebolnya tanggul Situ Gintung, Cirendeu, Kota Tangerang Selatan dengan korban yang sangat banyak mencerminkan sebuah fenomena perkembangan pembangunan kota yang tidak terkontrol, lemahnya mekanisme pemeliharaan fasilitas publik serta pelanggaran terhadap proses dan produk rencana tata ruang.

Partisipasi Masyarakat

Pemerintah daerah termasuk perencana kota/pemukiman harus segera mempertimbangkan proses tata kelola kota/wilayah yang terencana baik dan tidak hanya berdasarkan pesanan. Kepentingan ekonomi publik dan kerjasama organisasi termasuk didalamnya modal sosial mempengaruhi kinerja produktivitas perkotaan. Semakin besar jumlah organisasi memberi peluang spesialisasi, kerjasama dan koordinasi untuk memanfaatkan aktivitas ekonomi perkotaaan. Tingkat pengambilan keputusan desentralisasi memberi peluang mobilisasi organisasi untuk menjalankan aktifitas ekonomi. Dalam hubungan ini governance merupakan titik awal dari pengelolaan sumber daya perkotaan, menentukan peranan private sector, dan mengoperasikan pelayanan dan infrastruktur perkotaan. Kerjasama non formal juga diperlukan untuk membangun kota/wilayah termasuk membangun kota pasca bencana (Iwan Nugroho, 1997, Modal Sosial dan Perkembangan Kota, Prisma volume 6 : 3 – 13).

Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan kota pasca bencana selama ini masih belum maksimal. Pemerintah daerah masih lebih banyak mengacu pada pesanan pemberi bantuan/dana untuk pembangunan fisik di wilayahnya seperti rumah tinggal, rumah sakit, puskesmas, pasar dan tempat pelayanan publik lainnya. Akibatnya tidak sedikit bangunan fisik yang dibangun pasca bencana kurang sesuai dengan budaya dan kondisi lokal masyarakat. Salah satu bangunan mesjid di Kabupaten Klaten misalnya, awalnya bangunannya sederhana dan cukup untuk komunitas setempat. Setelah bencana gempa, masjid tersebut menjadi besar dan bergaya turki/arab. Rumah-rumah di pedesaan di Jawa biasanya berbentuk limasan atau joglo atau ada semacam teras yang biasanya dipakai untuk bercengkerama antar penduduk yang juga berfungsi sebagai tempat menjemur gabah. Bangunan rumah setelah gempa biasanya menjadi rumah modern, tidak ada lagi teras luas untuk tempat pertemuan warga. Demikian pula halnya dengan bangunan pasar dan sekolah, menjadi lebih modern dan banyak yang kemudian menjadi bangunan bertingkat. Pemerintah setempat kemungkinan akan kesulitan mengadakan perbaikan apabila terjadi kerusakan pada bangunan pasar yang berkonstruksi baja ringan, karena disamping tidak sederhana juga mahal. Tidak sedikit komunitas setempat dibuat kaget dengan munculnya satu bangunan di lokasi umum, seperti bangunan WC umum bisa berdiri di pojok lapangan sepak bola di salah satu desa di Yogyakarta tanpa melibatkan pengurus RT/RW setempat dalam proses perencanaanya.

Melihat fenomena tersebut, dalam pengalaman pembangunan kota pasca bencana, masyarakat berpartisipasi secara pasif, karena mereka hanya menjadi penerima program. Sebenarnya sangat dimungkinkan masyarakat berpartisipasi aktif yang berarti terlibat dalam berbagai kesempatan, meskipun solusi tetap datang dari pihak luar – mengingat budaya lokal pedesaan yang menjunjung musyawarah dan gotong royong. Kalau ada partisipasi aktif masyarakat dalam membangun perkotaan pasca bencana tentulah bangunan puskesmas tidak akan seperti saat ini, terlalu luas dan banyak ruang meskipun jumlah tenaga medisnya masih sama dengan sebelum bencana, sehingga puskesmas terlihat kosong kurang mencerminkan itu suatu tempat pelayanan umum. Partisipasi masyarakat tidak hanya terbatas pada pengadaan kembali bangunan pasca gempa, namun juga tindakan-tindakan penyelamatan bila terjadi gempa. Untuk mengurangi dampak burung bencana dari Gunung Merapi misalnya, masyarakat kemudian diberi pendidikan tentang cara penyelamatan yang meliputi jalur evakuasi dan tempat evakuasi jika terjadi bencana. Bantuan yang masuk dikelola oleh pemerintah daerah dan organisasi swasta untuk memperkecil dampak buruk bencana gunung merapi. Partisipasi masyarakat tidak hanya dalam standar partisipasi pasif atau parsipasi aktif saja, namun sudah pada ukuran partisipasi interaktif yang artinya masyarakat terlibat mulai perencanaan sampai dengan evaluasi.

Diberlakukannya otonomi daerah semakin memberi peluang untuk mempertimbangkan modal sosial yang ada di komunitas lokal dalam membangun kota/wilayah pasca bencana. Kegiatan yang diselenggarakan dan bangunan yang diadakan akan menjadi tepat dan terpelihara karena masyarakat merasa memiliki kegiatan /bangunan tersebut, mereka ikut dalam semua proses pengadaannya.

Yogyakarta, 27 September 2010

Syawalan Keluarga Besar PSPK UGM

Pada hari Selasa, tanggal 21 September 2010 keluarga besar PSPK UGM mengadakan kegiatan syawalan. Kegiatan yang dimulai pukul 10.00 WIB dihadiri oleh seluruh jajaran PSPK UGM, baik pimpinan, staff peneliti dan karyawan PSPK UGM. Hadir pula dalam acara itu para sesepuh PSPK UGM.

Dalam sambutannya, Dr. Ir. Dyah Ismoyowati selaku kepala PSPK mengajak seluruh hadirin untuk selalu mengucap syukur kepada Allah atas segala berkah yang telah dilimpahkan kepada seluruh jajaran PSPK sehingga bisa menghadiri acara yang sangat baik ini. Meskipun acara syawalan pada tahun ini diselenggarakan dalam suasana penuh kesederhanaan, namun mudah-mudahan hal itu tidak mengurangi kemuliaan yang terkandung dalam acara ini, yaitu kesempatan baik bagi kita semua untuk saling bermaaf-maafan, saling memohon dan memberi maaf atas segala kesalahan yang telah kita lakukan dalam 1 tahun terakhir. Pada kesempatan yang baik ini kami selaku pribadi dan juga mewakili seluruh pimpinan PSPK juga memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh jajaran PSPK. 

Sementara itu Ihsanuddin, M.Ag, pengajar dari pondok pesantren Al-Munawir, Krapyak, dalam tausiahnya mengajak seluruh hadirin untuk meningkatkan keimanan kepada Allah. Bulan Syawal merupakan bulan bagi seluruh umat Islam untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Seorang muslim dikatakan berhasil meraih keberhasilan dalam melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan apabila setelah bulan Ramadan berakhir ia dapat mempertahankan amalan yang telah dilakukan selama bulan Ramadhan, bahkan mampu meningkatkan pada bulan-bulan berikutnya. Namun apabila setelah bulan Ramadan berakhir dan ia tidak mampu mempertahankan atau meningkatkan amalan yang telah dilakukan selama bulan Ramadan maka ia belum dapat dikatakan berhasil. 

Setelah penyampaian tausiah, acara syawalan dilanjutkan dengan kegiatan berjabat tangan antar peserta syawalan dan dilanjutkan dengan kegiatan makan bersama seluruh hadirin. ***