Pentingnya Modal Sosial dalam Pembangunan Pasca Bencana

Oleh: Agnes Mawarni
Email: agnesmawarni@yahoo.com/HP 085292749059
Peneliti pada Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM

Salah satu dokumen mengatakan bahwa pembangunan perkotaan akan sustainable jika di dalamnya memberikan generasi mendatang income disertai opportunity pertumbuhan capital (minimal sama dengan generasi sekarang) yang dapat diperlihatkan dengan relatif lebih tinggi capital per kapita dibanding generasi sekarang. Modal-modal itu dapat dilukiskan sebagai human capital (investasi dalam pendidikan, kesehatan atau gizi), social capital (fungsi dan keberadaan kelembagaan dan budaya dalam masyarakat), natural capital (fungsi dan keberadaan sumber daya alam dan lingkungan) dan man-made capital (investasi yang umumnya terhitung dalam anggaran perekonomian) (dalam Majalah Prisma Volume 6 1997 – LP3ES Jakarta, hlm 6).

Modal sosial

Diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan peluang bagi daerah (kabupaten dan kota) untuk menciptakan kemandirian dalam rangka membangun daerahnya dengan berpijak pada prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi dan peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal. Lokal menurut pemahaman UU No. 22 Tahun 1999 adalah pada tataran mikro artinya istilah lokal untuk menyebut kawasan daerah tingkat satu/propinsi, daerah tingkat dua/kabupaten atau kota, dan dimungkinkan lokal untuk menyebut yang lebih spesifik yaitu kecamatan dan desa. Jadi institusi lokal merupakan asosiasi komunitas setempat yang bertanggung jawab atas proses kegiatan pembangunan setempat, seperti rukun tetangga, arisan trah, kelompok pengajian, kelompok ronda dan sejenisnya dan memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah setempat. Institusi lokal dalam komunitas harus dilihat sebagai suatu sistem yang saling silang menyilang dan institusi lokal telah menyediakan jaring pengaman sosial (sosial safety net) ketika komunitas lokal berada dalam situasi krisis. Kehadiran institusi lokal bukan atas kepentingan pribadi/individu tetapi atas kepentingan bersama, sehingga institusi lokal lama kelamaan menduduki posisi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Rasa saling percaya warga komunitas lokal yang digalang dan diasah melalui institusi ini semakin hari semakin didambakan sebagai modal sosial (sosial capital) (Drs. M. Pupu Saeful Rahmat M.Pd., Memupuk Institusi Lokal dan Modal Sosial dalam Kehidupan Bermasyarakat, posted on 29 Maret 2008).

Dalam pandangan ilmu ekonomi, modal adalah segala sesuatu yang dapat menguntungkan atau menghasilkan. Modal itu sendiri dapat dibedakan atas: (1) modal yang berbentuk material seperti uang, gedung atau barang; (2) modal budaya dalam bentuk kualitas pendidikan; kearifan budaya lokal; dan (3) modal sosial dalam bentuk kebersamaan, kewajiban sosial yang diinstitusionalisasikan dalam bentuk kehidupan bersama, peran, wewenang, tanggungjawab, sistem penghargaan dan keterikatan lainnya yang menghasilkan tindakan kolektif. Modal sosial menjadi perekat bagi setiap individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaring kerja sehingga terjadi kerja sama yang saling menguntungkan untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial juga dipahami sebagai pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki bersama oleh komunitas serta pola hubungan yang memungkinkan sekelompok individu melakukan satu kegiatan yang produktif. Menurut Lesser (2000), modal sosial ini sangat penting bagi komunitas karena (1) memberikan kemudahan dalam mengakses informasi bagi anggota komunitas; (2) menjadi media pembagian kekuasaan dalam komunitas; (3) mengembangkan solidaritas; (4) memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas; (5) memungkinkan pencapaian bersama; dan (6) membentuk perilaku kebersamaam dan berorganisasi komunitas. Modal sosial merupakan suatu komitmen dari setiap individu untuk saling terbuka, saling percaya, memberikan kewenangan bagi setiap orang yang dipilihnya untuk berperan sesuai dengan tanggungjawabnya. Sarana ini menghasilkan rasa kebersamaan, kesetiakawanan, dan sekaligus tanggungjawab akan kemajuan bersama.

Pengalaman Bencana

Gempa bumi pada tanggal 27 mei 2006 yang terjadi di Yogyakarta dan Jawa Tengah menjadi pusat liputan media massa lokal/daerah maupun nasional. Satu hari setelah gempa, seluruh media massa menempatkan peristiwa gempa sebagai headline. Hampir seluruh berita tentang gempa di hari itu meliput suasana saat gempa terjadi dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Liputannya secara luas mencakup paniknya masyarakat saat gempa terjadi, proses runtuhnya bangunan-bangunan, kegentingan dalam proses penyelamatan korban, penanganan korban dalam situasi darurat, rumah sakit yang kewalahan, tenaga medis dan obat-obatan kurang, para korban tewas maupun luka-luka, hancurnya rumah-rumah penduduk, rusaknya berbagai fasilitas umum, kekacauan akibat isu tsunami dan juga penjelasan-penjelasan ilimah (geologis) seputar gempa bumi.

Pelan tapi pasti, Yogyakarta sedang berduka, tidak hanya ke seluruh pelosok negeri tetapi juga ke seluruh dunia. Dalam waktu singkat, orang Yogya sibuk dengan dirinya sendiri: mencari sanak saudara yang hilang, mengurus yang terluka, mencari tempat berteduh/memasang tenda, menggelar tikar menaruh badan, mengurus perabotan, membuka dapur umum, menutup jalan-jalan kampung dan membuka posko bantuan. Jalan-jalan di kota Yogya bukan lagi tempat orang berjalan, tetapi berubah menjadi tempat tidur dan tinggal. Yogya di hari kedua dan hari-hari berikutnya berubah menjadi tempat pelayatan massal. Seluruh Yogya sedang berduka dan rasanya lumpuh tidak berdaya, semua rumah sakit luber tidak dapat lagi menampung tambahan orang sakit. Mayat, orang sakit, dan orang sedih tergolek dimana-mana seolah berbaur dalam satu ruang raksasa (Yogya).

Ada nilai kemanusiaan yang datang dari para relawan dan donatur ke Yogyakarta dan Jawa Tengah. Semangat tolong menolong dan bahu membahu nampak nyata di lokasi bencana ini, bantuan datang menggunakan jalur-jalur transportasi apapun selagi memungkinkan. Perhatian dari pemeritah pun tak kurang ditunjukkan dengan kesediaan presiden berkantor di Yogyakarta guna koordinasi tanggap bencana. Bantuan natura, in natura dan medis juga datang dari luar negeri yang menyemut di lokasi-lokasi korban bencana. Terlepas dari berita-berita tentang kelambatan bantuan mencapai para korban bencana maupun janji-janji rehabilitasi bencana yang mungkin belum lunas tercapai, namun nilai dan semangat tolong-menolong dan bantu-membantu antar sesama sangat kuat terasa dalam bencana ini.

Perbedaan dalam konteks agama, suku, golongan, kepentingan dan apapun terlihat membaur dalam situasi yang tidak mengenakkan ini. Persudaraan kembali kentara dan seperti menjadi penanda bagi bangsa lain bahwa persatuan itu memang mutlak diperlukan untuk selama-lamanya. Gotong royong yang selama ini nyaris hanya menjadi jargon semata, telah terbukti “ada” diantara jiwa para korban gempa. Tak berlama-lama larut dalam kesedihan, masyarakat bergotong royong, bahu membahu menyingsikan lengan baju bangkit menyongsong masa depan.

Bencana alam entah itu gempa bumi, tanah longsor, banjir, kekeringan dan puting beliung selalu mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Elemen-elemen yang yang beresiko terkena dampak bencana adalah infrastruktur, rumah, lahan pertanian, jalan dan aktivitas ekonomi. Dalam workshop kebencanaan yang diadakan oleh Pusat Studi Bencana Alam UGM di Yogyakarta 5 – 6 Agustus 2010, dalam presentasinya, salah satu narasumber mengatakan bahwa selama kurun waktu 1981-2007 (27 tahun) terjadi lebih dari 1.300 tanah longsor merusak  di pulau Jawa atau sama dengan 49 kejadian per tahun. Korban meninggal akibat gempa tanah longsor adalah 2.095 orang (77 orang/tahun) dan jumlah korban luka-luka adalah 550 orang atau 20 orang pertahun. Dari situ terlihat bahwa prosentase korban meninggal lebih besar dibanding korban luka-luka, dengan perbandingan 79 : 21. Dampak lain dari bencana tanah longsor di Jawa adalah sekitar 4.095 hektar lahan pertanian dan 13 kilometer jalan terpotong. Rumah rusak dan rumah hancur masing-masing hampir mencapai 10.000 unit dan 1800 unit, sedangkan jumlah bangunan yang rusak dan hancur diperkirakan 200 unit. (Dr. Danang Sri Hadmoko, S.Si., M.Sc., Peranan peta Risiko Bencana Tanah longsor dalam pengurangan risiko bencana, 2010). Bencana jebolnya tanggul Situ Gintung, Cirendeu, Kota Tangerang Selatan dengan korban yang sangat banyak mencerminkan sebuah fenomena perkembangan pembangunan kota yang tidak terkontrol, lemahnya mekanisme pemeliharaan fasilitas publik serta pelanggaran terhadap proses dan produk rencana tata ruang.

Partisipasi Masyarakat

Pemerintah daerah termasuk perencana kota/pemukiman harus segera mempertimbangkan proses tata kelola kota/wilayah yang terencana baik dan tidak hanya berdasarkan pesanan. Kepentingan ekonomi publik dan kerjasama organisasi termasuk didalamnya modal sosial mempengaruhi kinerja produktivitas perkotaan. Semakin besar jumlah organisasi memberi peluang spesialisasi, kerjasama dan koordinasi untuk memanfaatkan aktivitas ekonomi perkotaaan. Tingkat pengambilan keputusan desentralisasi memberi peluang mobilisasi organisasi untuk menjalankan aktifitas ekonomi. Dalam hubungan ini governance merupakan titik awal dari pengelolaan sumber daya perkotaan, menentukan peranan private sector, dan mengoperasikan pelayanan dan infrastruktur perkotaan. Kerjasama non formal juga diperlukan untuk membangun kota/wilayah termasuk membangun kota pasca bencana (Iwan Nugroho, 1997, Modal Sosial dan Perkembangan Kota, Prisma volume 6 : 3 – 13).

Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan kota pasca bencana selama ini masih belum maksimal. Pemerintah daerah masih lebih banyak mengacu pada pesanan pemberi bantuan/dana untuk pembangunan fisik di wilayahnya seperti rumah tinggal, rumah sakit, puskesmas, pasar dan tempat pelayanan publik lainnya. Akibatnya tidak sedikit bangunan fisik yang dibangun pasca bencana kurang sesuai dengan budaya dan kondisi lokal masyarakat. Salah satu bangunan mesjid di Kabupaten Klaten misalnya, awalnya bangunannya sederhana dan cukup untuk komunitas setempat. Setelah bencana gempa, masjid tersebut menjadi besar dan bergaya turki/arab. Rumah-rumah di pedesaan di Jawa biasanya berbentuk limasan atau joglo atau ada semacam teras yang biasanya dipakai untuk bercengkerama antar penduduk yang juga berfungsi sebagai tempat menjemur gabah. Bangunan rumah setelah gempa biasanya menjadi rumah modern, tidak ada lagi teras luas untuk tempat pertemuan warga. Demikian pula halnya dengan bangunan pasar dan sekolah, menjadi lebih modern dan banyak yang kemudian menjadi bangunan bertingkat. Pemerintah setempat kemungkinan akan kesulitan mengadakan perbaikan apabila terjadi kerusakan pada bangunan pasar yang berkonstruksi baja ringan, karena disamping tidak sederhana juga mahal. Tidak sedikit komunitas setempat dibuat kaget dengan munculnya satu bangunan di lokasi umum, seperti bangunan WC umum bisa berdiri di pojok lapangan sepak bola di salah satu desa di Yogyakarta tanpa melibatkan pengurus RT/RW setempat dalam proses perencanaanya.

Melihat fenomena tersebut, dalam pengalaman pembangunan kota pasca bencana, masyarakat berpartisipasi secara pasif, karena mereka hanya menjadi penerima program. Sebenarnya sangat dimungkinkan masyarakat berpartisipasi aktif yang berarti terlibat dalam berbagai kesempatan, meskipun solusi tetap datang dari pihak luar – mengingat budaya lokal pedesaan yang menjunjung musyawarah dan gotong royong. Kalau ada partisipasi aktif masyarakat dalam membangun perkotaan pasca bencana tentulah bangunan puskesmas tidak akan seperti saat ini, terlalu luas dan banyak ruang meskipun jumlah tenaga medisnya masih sama dengan sebelum bencana, sehingga puskesmas terlihat kosong kurang mencerminkan itu suatu tempat pelayanan umum. Partisipasi masyarakat tidak hanya terbatas pada pengadaan kembali bangunan pasca gempa, namun juga tindakan-tindakan penyelamatan bila terjadi gempa. Untuk mengurangi dampak burung bencana dari Gunung Merapi misalnya, masyarakat kemudian diberi pendidikan tentang cara penyelamatan yang meliputi jalur evakuasi dan tempat evakuasi jika terjadi bencana. Bantuan yang masuk dikelola oleh pemerintah daerah dan organisasi swasta untuk memperkecil dampak buruk bencana gunung merapi. Partisipasi masyarakat tidak hanya dalam standar partisipasi pasif atau parsipasi aktif saja, namun sudah pada ukuran partisipasi interaktif yang artinya masyarakat terlibat mulai perencanaan sampai dengan evaluasi.

Diberlakukannya otonomi daerah semakin memberi peluang untuk mempertimbangkan modal sosial yang ada di komunitas lokal dalam membangun kota/wilayah pasca bencana. Kegiatan yang diselenggarakan dan bangunan yang diadakan akan menjadi tepat dan terpelihara karena masyarakat merasa memiliki kegiatan /bangunan tersebut, mereka ikut dalam semua proses pengadaannya.

Yogyakarta, 27 September 2010