Arsip:

Warta Pedesaan

Kesempatan Kerja dan Peluang Usaha Bagi Warga Masyarakat Lokal di Kawasan Industri Morowali

Keberadaan kawasan industri pertambangan di wilayah Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah telah membawa dampak penciptaan kesempatan kerja yang sangat besar, baik bagi tenaga kerja lokal maupun tenaga kerja dari luar daerah.  Pada saat ini di kawasan industri seluas 3.000 ha tersebut telah ada 16 perusahaan yang menyerap tenaga kerja sebanyak 25.447 orang pekerja terdiri dari 3.121 orang pekerja asing dan 22.326 orang pekerja dalam negeri. Selain pekerja yang langsung bekerja di perusahaan-perusahaan yang ada di kawasan industri, ada pula pekerja yang bekerja secara tidak langsung yaitu pekerja yang terserap dalam industri pendukung seperti supplier, kontraktor, dan sebagainya. Jumlah pekerja tidak langsung mencapai 53.500 orang, sehingga total pekerja yang bekerja di kawasan industri  (pekerja langsung dan pekerja tidak langsung) mencapai 82.000 orang. Di masa depan, seiring dengan semakin bertambahnya jumlah perusahaan yang beroperasi di kawasan industri Bahodopi maka jumlah pekerja yang terserap di kawasan industri akan semakin meningkat.

Meskipun jumlah lowongan kerja di perusahaan-perusahaan yang ada di kawasan industri Bahodopi masih relatif banyak namun berdasarkan informasi dari lapangan diketahui bahwa pada saat ini banyak warga (pencari kerja) di desa-desa di sekitar kawasan industri yang mengalami kesulitan untuk menjadi pekerja di perusahaan-perusahaan yang ada di kawasan industri tersebut. Salah satu faktor yang menyebabkan banyak pencari kerja lokal kesulitan untuk masuk menjadi pekerja di perusahaan yang ada di kawasan industri adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM). Meskipun rata-rata pencari kerja lokal memiliki latar belakang pendidikan yang memadai (SMA), namun umumnya mereka tidak memiliki ketrampilan khusus yang dibutuhkan oleh perusahaan, seperti ketrampilan las, kelistrikan, operator alat berat, dll.

Relatif banyaknya jumlah pencari kerja di desa-desa sekitar kawasan industri Bahodopi yang tidak dapat memanfaatkan peluang kerja yang ada di perusahaan apabila dibiarkan berlangsung terus menerus maka akan menyebabkan terjadinya kemiskinan di kalangan warga masyarakat di desa-desa sekitar kawasan industri. Sebuah kondisi yang sangat ironis, karena di satu sisi ada kemakmuran (di lingkungan perusahaan) dan di sisi lain ada kemiskinan (di desa-desa yang ada di sekitar kawasan industri). Untuk  menanggulangi agar kondisi tersebut tidak terjadi maka perlu ada upaya agar para pencari kerja lokal bisa memanfaatkan secara maksimal peluang kerja yang ada di perusahaan-perusahaan industri pertambangan yang ada di kawasan industri. Karena kendala yang menghambat para pencari kerja lokal untuk dapat mengakses kesempatan kerja adalah kualitas SDM, maka perlu ada upaya untuk meningkatkan kualitas SDM pencari kerja lokal yaitu dengan pelatihan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan oleh perusahaan, misalnya ketrampilan pengelasan, kelistrikan, dan operator alat berat.

Selain ketrampilan yang terkait langsung dengan kebutuhan perusahaan-perusahaan industri pertambangan yang ada di kawasan industri, ada ketrampilan lain yang juga perlu diberikan kepada tenaga kerja di desa-desa sekitar kawasan industri, yaitu pelatihan ketrampilan pertukangan, baik tukang kayu maupun tukang batu dan pelatihan ketrampilan perbengkelan/montir. Pelatihan keterampilan pertukangan juga sangat penting bagi tenaga kerja lokal karena hingga saat ini kebutuhan tenaga tukang batu dan tukang kayu di kawasan industri Bahodopi masih tinggi. Hal itu karena hingga saat ini kegiatan konstruksi atau pembangunan pabrik di kawasan industri tersebut masih berlangsung.

Selain akibat masih berlangsungnya proses konstruksi/pembangunan pabrik di kawasan industri, tingginya kebutuhan tenaga tukang juga terjadi akibat maraknya pembangunan rumah kos dan bangunan warung atau tempat usaha lainnya di desa-desa sekitar kawasan industri. Banyaknya warga pendatang yang bekerja di perusahaan-perusahaan yang ada di kawasan industri Bahodopi telah menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan tempat tinggal dan sarana pendukung lainnya. Hal itu dimanfaatkan oleh warga untuk membangun rumah kos dan bangunan untuk tempat usaha. Maraknya pembangunan rumah kos dan tempat usaha telah menyebabkan meningkatnya kebutuhan tenaga tukang. Namun karena jumlah tenaga tukang di desa-desa seputar kawasan industri relatif terbatas maka kebutuhan tersebut tidak tercukupi sehingga akhirnya terjadi kesulitan dalam mencari tenaga tukang.

Karena sulit mencari tenaga tukang lokal maka warga masyarakat di desa-desa seputar kawasan industri harus mendatangkan tenaga tukang dari luar daerah. Meskipun kesempatan untuk bekerja sebagai tukang sangat tinggi dan upah tenaga tukang juga relatif tinggi yaitu mencapai 250.000 rupiah/hari masih ditambah makan dan rokok, namun banyak tenaga kerja lokal yang tidak mampu mengakses kesempatan kerja tersebut karena mereka belum memiliki ketrampilan pertukangan. Untuk mengatasi persoalan tersebut maka perlu ada pelatihan pertukangan bagi tenaga kerja di desa-desa sekitar kawasan industri agar mereka mampu mengakses kesempatan kerja tersebut.

Ketrampilan lain yang juga banyak dibutuhkan di desa-desa sekitar kawasan industri Bahodopi adalah ketrampilan perbengkelan (montir). Akibat banyaknya pekerja perusahaan industri pertambangan di kawasan industri yang membawa kendaraan bermotor (motor) sendiri untuk mobilitas dari dan ke tempat kerja dan banyaknya warga di desa-desa sekitar kawasan industri yang memiliki kendaraan bermotor (motor & mobil) maka banyak muncul bengkel perawatan kendaraan bermotor di desa-desa sekitar kawasan industri. Hal itu menyebabkan kebutuhan tenaga kerja yang ahli dibidang perbengkelan/montir mengalami peningkatan. Namun kesempatan kerja tersebut juga belum banyak dimanfaatkan tenaga kerja lokal karena keterbatasan ketrampilan tenaga kerja lokal di bidang tersebut. Untuk mengatasi kendala tersebut maka perlu ada pelatihan ketrampilan perbengkelan/montir bagi tenaga kerja lokal.

Berbagai ketrampilan yang diperoleh oleh tenaga kerja lokal dari pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh pihak terkait (perusahaan, pemda, desa, dan LSM, dan lain-lain) selain bermanfaat untuk bekal mendaftar kerja di perusahaan-perusahaan industri pertambangan yang ada di kawasan industri, perusahaan sub kontraktor, dan bengkel-bengkel motor yang ada di wilayah Kecamatan Bahodopi, juga bermanfaat sebagai bekal ketika tenaga kerja lokal tersebut ingin membuka usaha sendiri,  misalnya usaha bengkel motor, usaha pengelasan, usaha jasa kelistrikan, dll.

Usaha jasa perbengkelan motor di desa-desa sekitar kawasan industri sangat prospektif berkat banyaknya pekerja perusahaan industri pertambangan di kawasan industri dan warga masyarakat yang memiliki motor. Usaha pengelasan juga sangat prospektif berkat banyaknya warga masyarakat yang membangun rumah baik untuk tempat tinggal maupun untuk rumah kos. Pada umumnya mereka meminta tukang las untuk membuatkan pagar besi/gerbang besi, teralis, dan lain-lain untuk melengkapi rumah yang baru mereka bangun. Usaha jasa kelistrikan juga prospektif karena maraknya pembangunan rumah tinggal/rumah kos juga membutuhkan tenaga terampil di bidang kelistrikan untuk menata jaringan listrik di rumah tersebut.

Kemampuan warga masyarakat di desa-desa sekitar kawasan industri untuk memanfaatkan kesempatan kerja dan kesempatan usaha yang muncul berkat perkembangan industri di daerah mereka, warga lokal juga dapat memperoleh kesejahteraan hidup, sehingga tidak tertinggal dibandingkan dengan para pendatang yang dapat meraih kesejahteraan hidup berkat perkembangan industri di kawasan Morowali. [Mulyono]

Sinergi Pemerintah – Perusahaan Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Desa – Desa Area Lingkar Tambang Morowali

Keberadaan kawasan industri pertambangan dan industri pengolahan hasil tambang di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali telah menyebabkan terjadinya dualisme tingkat kesejahteraan  di wilayah tersebut. Di satu sisi ada lingkungan yang memiliki tingkat kesejahteraan tinggi yaitu lingkungan yang ada di dalam kawasan industri Morowali, namun di sisi lain ada pula lingkungan yang memiliki tingkat kesejahteraan yang masih relatif rendah, yaitu lingkungan pedesaan yang ada di sekitar kawasan industri tersebut.

Keberadaan kawasan industri Morowali telah membawa dampak positif pada peningkatan kesejahteraan para pekerja yang bekerja dan tinggal di kawasan industri tersebut. Hal itu terjadi selain karena para pekerja tersebut mendapatkan hak berupa upah/gaji yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka juga mendapatkan fasilitas penunjang lainnya, misalnya fasilitas tempat tinggal, fasilitas kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Di kawasan industri Morowali terdapat fasilitas tempat tinggal bagi karyawan, khususnya karyawan asing dan karyawan level menengah dan atas. Fasilitas tempat tinggal tersebut sangat representatif karena setiap ruang/kamar dilengkapi dengan AC. Selain itu mes pekerja tersebut juga dilengkapi dengan kantin, arena olah raga dan sarana hiburan. Di kawasan industri Morowali juga terdapat fasilitas kesehatan dan pendidikan yang bisa dimanfaatkan oleh para pekerja dan keluarganya untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dan pendidikan.

Selain itu, perusahaan juga menyediakan fasilitas transportasi yang bisa dimanfaatkan oleh para pekerja untuk melakukan mobilitas. Namun kemakmuran/kualitas pelayanan dasar yang tinggi yang ada di dalam kawasan industri Morowali tidak terjadi di desa-desa yang ada di sekitar kawasan industri tersebut. Meskipun keberadaan kawasan industri Morowali telah meningkatkan kemakmuran/kualitas pelayanan dasar bagi warga masyarakat di desa-desa yang ada di sekitarnya, namun  apabila dibandingkan dengan kondisi di dalam lingkungan kawasan industri Morowali maka peningkatan tersebut masih belum signifikan. Apabila dualisme kondisi kemakmuran antara lingkungan yang ada di dalam kawasan industri Morowali dengan lingkungan di desa-desa sekitar kawasan industri Morowali tidak segera diatasi maka berpotensi untuk menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan. Untuk mengatasi persoalan tersebut maka perlu ada sinergi antara pemerintah daerah dengan perusahaan.

Kesejahteraan di Lingkungan Kawasan Industri Morowali

Dalam suatu proses produksi baik barang maupun jasa, pekerja merupakan salah satu faktor yang memegang peran penting. Untuk mencapai proses produksi yang optimal diperlukan pekerja yang memiliki produktivitas yang tinggi, dan untuk memiliki produktivitas yang tinggi maka kesejahteraan hidup pekerja merupakan hal yang sangat menentukan. Pekerja yang hidup sejahtera akan memiliki produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan pekerja yang hidup miskin.

Salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada kesejahteraan pekerja adalah upah dan fasilitas kerja yang diterima dari perusahaan. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 mengamanatkan bahwa setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sedangkan PP No. 78 Tahun 2015 mendefinisikan penghasilan yang layak sebagai jumlah penerimaan atau pendapatan buruh atau pekerja dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar. Selain penghasilan yang layak, PP No. 78 Tahun 2015 juga mengatur bahwa perusahaan dapat menyediakan fasilitas kerja bagi pekerja dalam jabatan/pekerjaan tertentu atau seluruh pekerja atau buruh. Namun apabila fasilitas kerja bagi pekerja tidak tersedia atau tidak mencukupi perusahaan dapat memberikan uang pengganti fasilitas kerja.

Untuk mendorong agar para pekerja memiliki produktivitas yang tinggi maka perusahaan industri pertambangan dan industri pengolahan hasil tambang yang ada di kawasan industri Morowali  memberi upah pokok sesuai dengan upah minimum sektoral. Upah pokok yang diberikan oleh oleh perusahaan industri pertambangan bagi pekerja dengan masa kerja 0-12 bulan pada tahun 2018 rata-rata mencapai Rp2.900.000,-.  Penghasilan tersebut akan mengalami peningkatan apabila pekerja melakukan kerja lembur, baik kerja lembur wajib maupun kerja lembur sukarela. Dengan melakukan kerja lembur maka penghasilan pekerja di perusahaan industri pertambangan di wilayah Kecamatan Bahodopi dalam satu bulan bisa mencapai Rp5 juta.

Bagi pekerja dalam jabatan/pekerjaan tertentu industri pertambangan yang ada di wilayah Kecamatan Bahodopi menyediakan asrama atau mess pekerja dan rusunawa. Sebagai contoh, PT IMIP menyediakan mess pekerja berupa satu kompleks yang berada di sudut kawasan PT IMIP. Di lokasi itu ada sekitar 12 bangunan bercat cokelat dengan bentuk yang sama. Namun bangunan tersebut tidak semuanya digunakan untuk mess, tapi ada juga untuk perkantoran, kantin untuk tenaga kerja asing, dan sarana olahraga.

Untuk menunjang kenyamanan bagi para penghuninya, di setiap kamar mess terdapat fasilitas televisi dan pendingin ruangan (AC). Satu kamar digunakan oleh satu hingga empat orang sesuai dengan jabatan pekerja. Mereka yang jabatannya tinggi menempati satu kamar untuk 1 orang, sedangkan pekerja yang jabatannya rendah menempati satu kamar mess bersama tiga orang pekerja lain (1 kamar untuk 4 orang pekerja).

Selain menyediakan mess, perusahaan juga menyediakan rusunawa bagi para pekerjanya. Saat ini ada 11 tower rusunawa yang dapat menampung pekerja sebanyak 5.000 orang. Selain atas prakarsa sendiri, peruasahaan juga menggandeng Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk ikut berpartisipasi dalam membangun rusunawa bagi para pekerja PT IMIP. Dari 11 tower rusunawa, 8 tower dibangun oleh PT IMIP dan 3 tower dibangun oleh Kementeriaan PUPR.

Meskipun umumnya industri pertambangan yang ada di kawasan industri di wilayah Kecamatan Bahodopi sudah menyediakan fasilitas tempat tinggal bagi para pekerja berupa mess dan rusunawa, namun karena relatif besarnya jumlah pekerja di perusahaan industri pertambangan yang ada di wilayah Kecamatan Bahodopi maka tidak semua pekerja bisa menikmati fasilitas tempat tinggal yang disediakan oleh perusahaan tersebut. Masih banyak pekerja yang terpaksa tinggal di rumah-rumah penduduk. Bagi mereka yang tidak menempati mess dan rusunawa, perusahaan industri pertambangan umumnya memberikan tunjangan tempat tinggal dan tunjangan transportasi.

Untuk menunjang mobilitas pekerja dari tempat tinggal ke lokasi kerja di kawasan industri pertambangan yang ada di wilayah Kecamatan Bahodopi, perusahaan menyediakan fasilitas angkutan karyawan. Meskipun fasiliatas angkutan tersebut masih sangat terbatas, namun cukup membantu bagi para pekerja dalam melakukan mobilitas di kawasan industri Morowali. Bagi pekerja yang tidak bisa menikmati fasilitas transportasi yang disediakan oleh perusahaan maka perusahaan memberikan tunjangan transportasi yang besarnya Rp.250.000,-

Untuk penunjang kebutuhan kesehatan para pekerja dan keluarganya, perusahaan di lingkungan kawasan industri Morowali menyediakan fasilitas kesehatan berupa klinik yang memberikan pelayanan gratis bagi para pekerja dan keluarganya.  Pelayanan kesehatan di poliklinik milik perusahaan ini

Guna memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak dari para pekerja yang ada di lingkungan kawasan industri Morowali, perusahaan menyediakan fasilitas pendidikan anak usia dini, yang dilengkapi dengan tenaga pendamping dan sarana penunjang pendidikan yang memadai. Meskipun pada saat ini fasilitas pendidikan yang disediakan oleh perusahaan masih sebatas fasilitas pendidikan anak usia dini, namun fasilitas tersebut cukup membantu pekerja dan keluarganya dalam memenuhi kebutuhan pendidikan anak. Mereka tidak perlu lagi menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang lokasinya jauh dari tempat tinggal mereka.

Kondisi Desa-Desa di Area Lingkar Tambang Morowali

Berbeda dengan kondisi lingkungan di dalam kawasan industri Morowali yang relatif makmur dengan dibuktikan oleh tersedianya berbagai fasilitas penunjang untuk pemenuhan kebutuhan dasar, kondisi di desa-desa di sekitar kawasan industri Morowali relatif lebih tertinggal. Terdapat beberapa persoalan yang muncul di desa-desa sekitar kawasan industri Morowali, antara lain keterbatasan infrastruktur jalan, fasilitas pendidikan, kesehatan, dll.

Hampir sama dengan kondisi desa-desa di Indonesia, desa-desa di sekitar kawasan industri Morowali juga mengalami keterbatasan kualitas dan kuantitas infrastruktur sarana prasarana fisik. Peningkatan pembangunan infrastruktur di desa-desa di sekitar kawasan industri Morowali cenderung lebih lambat dari kota-kota atau wilayah pusat perekonomian, termasuk lingkungan di kawasan industri Morowali. Banyak faktor yang mempengaruhi, dan beberapa faktor yang penting adalah keterbatasan anggaran pembangunan, kelembagaan pemerintahan dan berbagai sumber daya di tingkat lokal pendukung pembangunan perdesaan.

Meskipun sebenarnya desa-desa di Indonesia, termasuk desa-desa di sekitar kawasan industri Morowali mempunyai peluang untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur berkat terbitnya Undang-undang Desa No. 6 Tahun 2014 yang memberikan jaminan desa memiliki DD yang relatif cukup besar namun tingginya kebutuhan untuk pembangunan infrastruktur di desa-desa menyebabkan anggaran Dana Desa yang diterima oleh desa tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan infrastruktur desa.

Persoalan keterbatasan infrastruktur yang banyak dirasakan oleh masyarakat di desa-desa sekitar kawasan industri Morowali, antara lain kerusakan jalan, air bersih,  dan sanitasi lingkungan. Selain kuantitas jalan yang masih kurang, persoalan kerusakan jalan juga terjadi di semua desa yang ada di sekitar kawasan industri Morowali. Kerusakan tersebut terjadi akibat banyaknya kendaraan berat milik perusahaan-perusahaan sub kontraktor yang memanfaatkan jalan di desa-desa tersebut untuk melakukan mobilitas. Infrastruktur jalan di desa-desa sekitar kawasan industri Morowali mudah rusak karena umumnya jalan desa tersebut masih berupa jalan sirtu yang becek pada saat musim hujan dan berdebu pada saat musim kemarau.

Persoalan terkait dengan fasilitas air bersih bagi pemenuhan kebutuhan hidup keluarga-keluarga di desa-desa di sekitar kawasan industri Morowali timbul akibat pencemaran limbah pertambangan. Di beberapa desa, sumur warga tidak dapat dimanfaatkan lagi untuk memenuhi kebutuhan air bersih akibat pencemaran limbah pertambangan, dan sebagian yang lain mengalami kekeringan akibat kegiatan pertambangan yang dilaksanakan oleh perusahaan. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih sebagian besar warga di desa-desa sekitar kawasan industri Morowali mengandalkan air mineral yang dijual oleh para pedagang.

Persoalan sanitasi lingkungan menjadi persoalan baru di desa-desa sekitar kawasan industri Morowali. Seiring dengan maraknya pembangunan bangunan kos bagi para pekerja perusahaan yang berasal dari luar daerah, muncul persoalan sanitasi lingkungan dan sampah. Persoalan sanitasi lingkungan terjadi karena pada umumnya pembangunan bangunan kos di desa-desa sekitar kawasan industri Morowali tidak dilengkapi dengan instalasi pembuangan air limbah keluarga. Hal itu menyebabkan di sekitar pemukiman warga banyak terdapat genangan limbah cair yang dihasilkan oleh keluarga. Sedangkan persoalan sampah terjadi karena pertambahan jumlah penduduk di desa-desa sekitar kawasan industri Morowali tidak diimbangi dengan pembangunan fasilitas pembuangan sampah yang memadai, sehingga sampah berserakan di sembarang tempat karena warga membuang sampah sembarangan.

Di desa-desa di sekitar kawasan industri pertambangan memang telah tersedia fasilitas pendidikan berupa sekolah. Di semua desa telah ada sekolah dasar (SD) yang bisa dimanfaatkan oleh anak-anak di desa tersebut untuk mencari ilmu, dan ada beberapa desa yang telah memiliki sekolah menengah (SMP/SMA). Namun secara umum kondisi prasarana dan sarana pendidikan di sekolah-sekolah tersebut masih perlu peningkatan. Dari sisi prasarana fisik banyak gedung sekolah yang dalam kondisi rusak dan perlu perbaikan, sedangkan dari sisi sarana pendidikan sekolah-sekolah tersebut rata-rata kekurangan alat peraga pendidikan, misalnya buku paket. Jumlah tenaga pengajar juga sangat terbatas.

Di kota Kecamatan Bahodopi memang telah terdapat sebuah puskesmas dan di semua desa yang ada di Kecamatan Bahodopi terdapat polindes, namun menurut penuturan warga fasilitas tersebut belum cukup untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada warga masyarakat. Salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah masih adanya keterbatasan sarana dan prasarana di fasilitas kesehatan tersebut. Menurut penuturan seorang warga kondisi instalasi rawat inap di Puskesmas Morowali sangat memprihatinkan. Selain karena ruangan sempit, di ruang tersebut banyak nyamuk sehingga sangat mengganggu pasien. Untuk fasilitas kesehatan di desa, memang di setiap desa di sekitar kawasan PT IMIP sudah ada polindes namun umumnya belum memiliki gedung dan kebanyakan masih meminjam ruangan milik desa. Jumlah petugas yang melayani warga di polindes pun hanya satu.

Secara umum jumlah tenaga guru di sekolah-sekolah yang ada di desa-desa di sekitar kawasan industri pertambangan masih kurang. Di setiap sekolah umumnya jumlah guru yang berstatus PNS sedikit dan lebih banyak guru yang berstatus honorer. Bahkan ada sekolah negeri yang status kepala sekolahnya masih tenaga honorer. Kondisi tersebut tentu akan menurunkan kualitas proses belajar mengajar sehingga akhirnya akan menurunkan pula kualitas pendidikan di sekolah tersebut

Pesatnya pertumbuhan bangunan untuk kos dan bangunan untuk usaha jasa dan perdagangan di kawasan pantai di wilayah Kecamatan Bahodopi, khususnya di desa Morowali, Keurea, Fatufia telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem pantai. Kawasan pantai yang asalnya merupakan habitat tanaman dan binatang pantai (pohon bakau/ ikan, dll) berubah menjadi lahan untuk mendirikan bangunan. Akibat rusaknya ekosistem kawasan pantai dan hilangnya keseimbangan lingkungan maka ada potensi terjadinya bencana, misalnya banjir, intrusi air laut, dan lain-lain.

Dualisme kondisi kesejahteraan yang terjadi di Kawasan Industri Morowali, yaitu antara lingkungan di dalam kawasan industri dengan lingkungan desa-desa sekitar kawasan industri perlu segera diatasi oleh semua pihak baik pemerintah maupun perusahaan, agar kondisi tidak menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial yang pada akhirnya akan berpotensi untuk memicu terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Salah satu langkah yang bisa ditempuh adalah dengan membangun sinergi antara pemerintah daerah dengan perusahaan-perusahaan yang ada di lingkungan kawasan industri Morowali. Sinergi antara pemerintah dengan perusahaan tersebut diharapkan akan mampu mengatasi persoalan yang selama ini menjadi kendala dalam upaya peningkatan kemakmuran warga masyarakat yang tinggal di desa-desa sekitar kawasan industri Morowali. Perusahaan-perusahaan yang ada di kawasan industri Morowali bisa menjadi mitra bagi pemerintah desa dalam upaya menyediakan fasilitas untuk penunjang pelayanan dasar bagi warga masyarakat melalui skema program CSR. [Mulyono]

Problematika Transportasi dan Komunikasi di Sekitar Kawasan Industri Morowali

Berbeda dengan kondisi pelayanan transportasi untuk karyawan di dalam kawasan industri Morowali yang relatif baik karena ada bus angkutan karyawan untuk mendukung mobilitas karyawan, pelayanan di bidang transportasi di desa-desa disekitar kawasan industri Morowali terlatif masih terbatas. Di desa-desa sekitar kawasan industri masih belum terdapat kelayakan sarana transportasi umum yang dikelola oleh pemerintah daerah maupun swasta. Di wilayah tersebut hanya ada sarana transportasi berupa bus karyawan untuk para karyawan di kawasan industri Morowali. Perusahaan yang ada di kawasan industri tersebut memang menyediakan sarana transportasi berupa bus karyawan namun jumlahnya relatif terbatas. Selain itu, bus karyawan tersebut hanya melayani satu jalur saja yaitu jalur halte rusunawa karyawan yang ada di desa Labota menuju gerbang kawasan industri Morowali.

Keterbatasan sarana transportasi umum di desa-desa sekitar kawasan industri Morowali menyebabkan banyak warga masyarakat dan karyawan Morowali yang tinggal di desa-desa sekitar kawasan industri tersebut menggunakan sarana transportasi milik pribadi baik berupa motor maupun mobil. Banyaknya jumlah warga dan karyawan Morowali yang memiliki sarana transportasi pribadi berupa mobil dan motor menyebabkan kondisi arus lalu lintas di desa-desa sekitar kawasan industri menjadi sangat padat. Kondisi tersebut diperparah dengan keterbatasan ruas jalan yang ada di wilayah tersebut.

Jumlah karyawan perusahaan industri yang tinggal di desa-desa sekitar kawasan industri Morowali, yang terpaksa menggunakan sarana transportasi milik pribadi berupa motor untuk menunjang mobilitas belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan jumlahnya mencapai puluhan ribu. Pada saat ini jumlah karyawan perusahaan yang beroperasi di kawasan industri Morowali yang tinggal di desa-desa sekitar kawasan industri Morowali sekitar 30.000 orang. Apabila dari jumlah tersebut hanya sekitar 5000 orang pekerja yang dapat memanfaatkan sarana transportasi bus karyawan, maka jumlah pekerja yang harus menggunakan kendaraan pribadi berupa motor dan mobil mencapai 25.000, Apabila tiap-tiap motor/mobil dipergunakan oleh dua orang pekerja (berboncengan) maka jumlah motor yang dipergunakan oleh karyawan Morowali sekitar 12.500 buah.  Jumlah tersebut masih ditambah dengan jumlah motor/mobil  milik warga masyarakat yang diperkirakan sekitar 2.500, sehingga total motor dan mobil yang ada di desa-desa sekitar kawasan industri Morowali mencapai 15.000 buah.

Besarnya jumlah motor dan mobil di desa-desa sekitar kawasan industri Morowali yang tidak didukung dengan ketersediaan infrastruktur jalan yang memadai menyebabkan arus lalu lintas di desa-desa sekitar kawasan industri Morowali, khususnya jalan Trans Sulawesi ruas Morowali menjadi sangat padat.  Kondisi tersebut menyebabkan sering terjadi kecelakaan lalu-lintas di ruas jalan tersebut. Berdasarkan informasi yang diperoleh di warga dapat diketahui bahwa hampir setiap hari di jalan Trans Sulawesi ruas Morowali selalu terjadi kecelakaan lalulintas yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa.

Dampak lain yang muncul dari banyaknya motor dan mobil di desa-desa di sekitar kawasan industri Morowali adalah tingginya angka pencurian motor. Hal itu terjadi karena banyak pekerja yang memarkir motor secara sembarangan, sebagai akibat dari terbatasnya prasarana tempat parkir yang disediakan oleh perusahaan. Karena area parkir perusahaan tidak mencukupi, banyak pekerja yang memarkir motor mereka di pinggir jalan atau di lahan kosong di dekat pabrik yang tidak terjamin keamanannya. Kondisi tersebut menyebabkan tingginya tingkat kerawanan pencurian kendaraan motor milik pekerja.

Pelayanan telekomunikasi

Pelayanan telekomunikasi di desa-desa sekitar kawasan industri Morowali sangat kurang. Meskipun di daerah tersebut sudah ada beberapa menara BTS milik perusahaan telekomunikasi, namun hal itu tidak menyebabkan pelayanan di bidang telekomunikasi menjadi lebih baik. Dari 12 desa yang ada di sekitar kawasan industri Morowali, hanya beberapa desa yang telah mendapat pelayanan telekomunikasi berbasis internet yaitu desa-desa yang posisinya dekat dengan kawasan industri tersebut. Sementara itu, di desa-desa yang letaknya relatif jauh dari kawasan industri belum ada layanan telekomunikasi berbasis internet.

Meskipun di desa-desa yang posisinya dekat dengan kawasan industri Morowali sudah ada layanan telekomunikasi berbasis internet, namun kondisinya sangat memprihatinkan. Selain akses internet sangat lambat, tidak semua titik lokasi di desa-desa tersebut bisa menangkap sinyal internet. Hanya titik-titik lokasi tertentu yang sinyal internetnya cukup bagus, sedangkan sebagian besar titik lokasi yang mampu menangkap sinyal internet di desa-desa tersebut daya tangkap sinyal internetnya lemah. Kondisi tersebut menyebabkan banyak titik lokasi yang sinyal internetnya bagus selalu dipadati oleh mereka yang akan melakukan komunikasi dengan basis internet.

Lemahnya pelayanan telekomunikasi berbasis internet di sebagian besar titik lokasi di desa-desa sekitar kawasan industri Morowali membawa dampak negatif, selain sangat mengganggu kenyamanan mereka yang akan memanfaatkan layanan komunikasi berbasis internet, juga menyebabkan perputaran ekonomi di wilayah tersebut menjadi lebih lambat. Banyak pelaku usaha yang mengalami kendala untuk melakukan transaksi karena komunikasi dengan mitra usaha tidak lancar. Banyak pula bangunan kos yang dibangun oleh warga yang tidak menarik minat konsumen (mereka yang akan kos) hanya karena di tempat tersebut tidak ada sinyal internet.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari lapangan, penyebab lemahnya pelayanan telekomunikasi berbasis internet di desa-desa sekitar kawasan industri Morowali terjadi karena adanya peraturan tentang batasan ketinggian menara BTS yang bisa dibangun oleh perusahaan telekomunikasi, yang dikeluarkan oleh otoritas pengelola bandara militer yang ada di dekat kawasan industri tersebut. Perusahaan telekomunikasi hanya boleh membangun menara BTS dengan ketinggian tertentu dengan tujuan agar tidak mengganggu kegiatan penerbangan pesawat di bandara tersebut. Hingga saat ini perusahaan telekomunikasi belum mencari solusi atas kondisi tersebut, sehingga layanan telekomunikasi berbasis internet di desa-desa sekitar kawasan industri Morowali  belum mengalami perbaikan.

Guna mengatasi permasalahan transportasi dan telekomunikasi di daerah sekitar kawasan industri Morowali agar tidak menyebabkan terjadinya permasalahan yang lebih kompleks yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan maka diperlukan sinergi antara pemerintah daerah dengan perusahaan-perusahaan yang ada di lingkungan kawasan industri Morowali. Perusahaan-perusahaan yang ada di kawasan industri Morowali bisa menjadi mitra bagi pemerintah dalam upaya menyediakan fasilitas untuk penunjang pelayanan dasar di bidang transportasi dan komunikasi bagi warga masyarakat. Skema yang bisa diterapkan oleh perusahaan antara lain skema CSR. [Mulyono]

Monitoring Pelaksanaan Livelihood Restoration Plan PT BPI

Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) bekerja sama dengan PT Bhimasena Power Indonesia (PT BPI) mengadakan kegiatan Studi Monitoring Livelihood Restoration Plan (LRP) yang telah dilaksanakan oleh PT BPI selama lima tahun terakhir. Program LRP merupakan program pemulihan sumber penghidupan warga terdampak pembangunan PLTU Jawa Tengah di Kabupaten Batang Jawa Tengah.

Program LRP yang dilaksanakan oleh PT BPI fokus pada tiga target utama yaitu terkait dengan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood), keterlibatan sosial (social engagement), dan manajemen keluhan (grievance management). Program sustainable livelihood dimaksudkan untuk menciptakan mata pencaharian tambahan untuk orang-orang yang terkena dampak langsung pembangunan PLTU Jawa Tengah sehingga mereka memiliki penghasilan. Social engagement dimaksudkan untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh PT BPI. Sementara, grievance management difokuskan untuk menangani beberapa masalah yang terjadi terkait dengan kegiatan konstruksi dan operasi PLTU Jawa Tengah.

Kegiatan monitoring program LRP ini dilaksanakan dengan tujuan  untuk menilai hasil dari program LRP yang telah dilaksanakan dan mengidentifikasi kendala atau hambatan selama pelaksanaan. Kendala atau hambatan ini kemungkinan mempengaruhi tingkat pencapaian program sehingga rencana tindakan lebih lanjut perlu ditentukan untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan program LRP di masa depan.

Metodologi yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan monitoring ini adalah survei kuantitatif yang didukung oleh wawancara mendalam informan kunci untuk melengkapi informasi. Data diperoleh melalui instrumen terstruktur dalam bentuk kuesioner. Target survei termasuk eks-pemilik tanah (Land Owner/LO), Petani Penggarap (Tenant Farmer/TF), Buruh Tani (Daily Farmer/DF) dan kelompok rentan/ kurang beruntung yang dipengaruhi oleh pergeseran fungsi lahan yang diikuti oleh hilangnya akses ke lahan pertanian. Target survei termasuk penduduk di 3 desa yang terkena dampak langsung: Ujungnegoro, Karanggeneng dan Ponowareng. Selain itu, informan kunci yang diwawancarai adalah mereka yang terdaftar sebagai penerima manfaat program LRP.

Hasil studi menunjukkan bahwa: Pertama, program LRP yang dilaksanakan oleh PT PBI telah menyebabkan terjadinya pemulihan sumber penghidupan warga terdampak pembangunan PLTU Jawa Tengah. Hal itu ditunjukkan dengan adanya peningkatan Indeks Sustainable Livelihood di semua kategori kelompok terdampak (DF, TF dan LO) di tiga desa terdampak pembangunan PLTU Jawa Tengah (Ujungnegoro, Karanggeneng dan Ponowareng). Kedua, tingkat partisipasi masyarakat dalam program social engagement yang difasilitasi oleh PT BPI di tahun-tahun terakhir mengalami penurunan dibandingkan pada tahun-tahun awal pembangunan PLTU akibat pandemi Covid-19. Ketiga, persepsi responden terkait kepuasan penanganan PT BPI dalam menanggapi berbagai pelaporan (pengajuan proposal, aspirasi, dan keluhan) dari masyarakat meningkat dibandingkan periode sebelumnya. Jumlah pelaporan dari masyarakat yang diterima tim grievance management PT BPI menurun dibandingkan periode sebelumnya.

Terkait dengan hasil monitoring maka PSPK UGM menyampaikan beberapa rekomendasi: Pertama, untuk memaksimalkan pencapaian tujuan program, maka PT BPI dapat merencanakan penyusunan program CSR sesuai dengan kebutuhan masyarakat melalui pengembangan kemitraan stakeholder. Kedua, penurunan keterlibatan masyarakat dalam berbagai kegiatan social engagement PT BPI akibat pandemi Covid-19 dapat ditingkatkan melalui penyampaian publikasi, komunikasi, dan hubungan ke masyarakat melalui media sosial seperti WhatsApp Group maupun semacamnya. Ketiga, mekanisme grievance management perlu diperkuat dengan pengembangan kanal komunikasi bagi masyarakat di setiap desa. Kanal komunikasi di setiap desa tersebut akan mempermudah warga dalam menyampaikan aspirasi dan keluhan ke PT BPI. [Mulyono]

Kontribusi Program CSR PT BPI Pada Penghidupan Warga Terdampak Pembangunan PLTU Jawa Tengah

Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) bekerja sama dengan PT Bhimasena Power Indonesia (PT BPI) mengadakan kegiatan “Studi Monitoring Kontribusi Program CSR PT BPI pada Sustainable Livelihood Warga Terdampak Pembangunan PLTU Jawa Tengah.” Selain melakukan kegiatan Livelihood Restoration Plan (LRP) , PT BPI juga melakukan berbagai program CSR yang dianggap memiliki kontribusi terhadap peningkatan livelihood masyarakat terdampak. Meskipun program CSR tersebut tidak menjadi bagian dari program LRP, namun salah satu tujuan pelaksanaan program CSR adalah mendukung program LRP agar memiliki dampak yang signifikan pada peningkatan livelihood masyarakat. Program-program CSR juga diarahkan untuk meningkatkan lima jenis kapital (modal) yang dimiliki oleh masyarakat terdampak, yakni natural capital (NC), financial capital (FC), human capital (HC), infrastruktur capital (IC), dan social capital (SC).

Metodologi yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan ini adalah survei persepsi terhadap warga terdamak pembangunan PLTU Jawa Tengah, yang didukung oleh wawancara mendalam informan kunci untuk melengkapi informasi. Data diperoleh melalui instrumen terstruktur dalam bentuk kuesioner. Target survei termasuk eks-Pemilik Tanah (Land Owner/LO), Petani Penggarap (Tenant Farmer/TF), Buruh Tani (Daily Farmer/DF) dan kelompok rentan/ kurang beruntung yang dipengaruhi oleh pergeseran fungsi lahan yang diikuti oleh hilangnya akses ke lahan pertanian. Target survei termasuk penduduk di 3 desa yang terkena dampak langsung: Ujungnegoro, Karanggeneng dan Ponowareng.

Sedangkan Informan yang diwawancarai adalah beberapa responden yang menilai tingkat kontribusi program CSR terhadap peningkatan livelihood. Pemilihan informan dilakukan dengan metode snowball, yaitu pemilihan informan berdasarkan petunjuk dari informan sebelumnya. Melalui wawancara semi terstruktur tersebut diharapkan dapat memperoleh informasi yang lebih mendalam, terutama terkait dengan hambatan dan tantangan dalam melaksanakan program, efektivitas program dan solusi yang tepat untuk pengembangan program CSR di masa depan.

Hasil studi  monitoring menunjukkan bahwa implementasi program CSR PT BPI memiliki kontribusi tinggi terhadap sejumlah indikator Sustainable Livelihood, antara lain:  peningkatan orientasi pendidikan, kerukunan antar tetangga, jaringan kekerabatan, orientasi kesehatan, penghasilan, keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan, kondisi sarana transportasi, akses jaminan kesehatan, kapasitas kerja, kepemilikan sarana transportasi, kepemilikan barang elektronik, akses bantuan sosial, jumlah dan jenis ketrampilan.

Program CSR yang memiliki kontribusi tinggi terhadap peningkatan SL adalah beberapa program yang terkait dengan peningkatan kesadaran masyarakat, seperti pengembangan kelompok usaha bersama (KUB), program kampung iklim, manajemen sampah, kegiatan aksi bersih, peningkatan kapasitas bagi tenaga kesehatan, pelayanan posyandu, kader dan FKD, sekolah adiwiyata, dan peningkatan literasi melalui perpustakaan desa.

Selain itu, program CSR yang terkait dengan peningkatan skala usaha dan ekonomi berkontribusi positif terhadap peningkatan SL, yakni pengembangan kelompok usaha bersama (KUB), pengembangan lembaga keuangan mikro (LKM), penciptaan lapangan kerja sementara melalui pekerjaan koveksi dan rinjing, kesempatan bekerja karyawan pabrik (apparel), dan perakitan box sarung wadimor.

Hasil survei persepsi ini mengindikasikan bahwa masyarakat sangat mengapresiasi keberadaan program kelompok usaha bersama (KUB), pengembangan lembaga keuangan mikro (LKM), penciptaan lapangan kerja sementara melalui pekerjaan koveksi dan rinjing, kesempatan bekerja karyawan pabrik (apparel), dan perakitan box sarung wadimor. Warga menilai program-program tersebut mampu menambah penghasilan mereka apalagi dalam masa pandemi ini.

Dalam bidang pendidikan dan kesehatan, warga cukup merasakan manfaat dari keberadaan sekolah adiwiyata, peningkatan kapasitas bagi tenaga kesehatan, kader, FKD, dan peningkatan kualitas kesehatan melalui pelayanan posyandu. Wajar jika kemudian masyarakat cukup mengenal dan ikut serta menyukseskannya. Dalam bidang sosial, budaya, dan lingkungan, warga juga cukup merasakan manfaat dari pelaksanaan program kampung iklim, manajemen sampah, kegiatan aksi bersih, kegiatan santunan sosial, donor darah, dan bantuan infrastruktur sarana umum seperti perbaikan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), masjid maupun mushola.

Terkait dengan hasil studi maka PSPK UGM menyampaikan rekomendasi, yaitu perlu adanya kajian Sosial Return on Investment (SROI). Kajian SROI akan mampu merepresentasikan keberhasilan program-program yang difasilitasi perusahaan secara langsung maupun tidak langsung di mata masyarakat terdampak dan masyarakat luas. [Mulyono]

Dampak Pembangunan PLTU Jawa Tengah Terhadap Penghidupan Nelayan Roban Barat, Batang

Pembangunan pabrik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa Tengah yang dilaksanakan oleh PT Bhimasena Power Indonesia (PT BPI) sejak tujuh tahun yang lalu membawa pengaruh pada kehidupan warga masyarakat, baik yang terdampak langsung pembangunan pabrik pembangkit listrik tersebut maupun warga yang tinggal di sekitarnya. Salah satu kelompok masyarakat yang mengalami dampak pembangunan PLTU Jawa tengah adalah kelompok nelayan yang tinggal di pedukuhan Roban Barat. Roban Barat merupakan pedukuhan yang letaknya relatif dekat dengan pabrik PLTU Jawa Tengah dengan mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan.

Hingga saat ini sebagian besar warga masyarakat Roban Barat masih menekuni usaha sebagai nelayan (penangkap ikan di laut) dan pengolah hasil tangkapan laut. Kegiatan menangkap ikan di laut dilakukan oleh kaum laki-laki, sedangkan kegiatan pengolahan hasil laut dilakukan oleh kaum perempuan. PLTU Jawa Tengah yang pada saat ini masih dalam tahap konstruksi berpengaruh pada sumber penghidupan warga masyarakat Roban Barat. Salah satu pengaruh PLTU Jawa Tengah pada usaha penangkapan ikan adalah bertambahnya jarak dan waktu tempuh nelayan Roban Barat yang hendak menangkap ikan ke perairan Pekalongan.

Keberadaan PLTU Jawa Tengah beserta fasilitas pendukungnya seperti dermaga/jetty telah menyebabkan para nelayan Roban Barat yang akan melakukan penangkapan ikan ke arah barat (Pekalongan) harus sedikit memutar menghindari perairan dekat  komplek PLTU Jawa Tengah. Konsekuensi dari hal tersebut adalah terjadinya peningkatan kebutuhan BBM dan berkurangnya usia pakai mesin kapal akibat waktu penggunaan yang relatif lebih lama.

Persoalan lain yang dialami oleh nelayan di Roban Barat adalah penurunan hasil tangkapan, khususnya udang. Penurunan hasil tangkapan nelayan berpengaruh pada para pengolah hasil laut, yaitu menyebabkan penurunan jumlah produksi akibat terjadinya penurunan pasokan bahan baku. Konsekuensi logis dari kondisi tersebut adalah terjadinya penurunan penghasilan.

Karena penghasilan tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan, khususnya kebutuhan modal usaha maka ada beberapa nelayan dan pengolah hasil laut yang meminjam uang, baik kepada teman/tetangga, pedagang, tengkulak, penyedia kredit harian, maupun lembaga keuangan/bank.  Pinjaman tersebut akan dikembalikan dengan hasil tangkapan yang diperoleh oleh nelayan. Apabila hasil tangkapan berlimpah maka hutang tersebut dapat dibayar, namun bila hasil tangkapan sedikit maka tidak akan cukup untuk membayar hutang sehingga jumlah hutang semakin bertambah banyak.

Persoalan lain yang juga dialami oleh nelayan adalah kerusakan jaring penangkap ikan akibat lumpur dan batu limbah pekerjaan pengerukan laut untuk pembangunan dermaga dan fasilitas pendukungnya. Selain itu kerusakan jaring juga terjadi akibat tersangkut besi untuk menambatkan jangkar kapal. Nelayan Roban Barat sering tersesat masuk ke perairan pelabuhan akibat hilangnya penanda batas perairan pelabuhan.

Adanya larangan untuk memancing ikan di perairan PLTU juga menyebabkan beberapa nelayan Roban Barat mengalami kerugian. Ada beberapa nelayan Roban Barat yang alih profesi sebagai nelayan pancing karena kemampuan mesin kapal mereka sudah menurun sehingga tidak bisa dipakai untuk menangkap ikan di area perairan yang jauh. Ada pula nelayan Roban Barat yang menyewakan perahu untuk para pemancing. Namun usaha tersebut sering mengalami gangguan akibat adanya larangan melakukan aktivitas memancing di perairan komplek PLTU. Pada saat memancing mereka sering dirazia oleh polairud, bahkan alat kerja dan hasil pancingan mereka sering di sita oleh polairud.

Melihat berbagai persoalan yang dialami oleh para nelayan Roban Barat tersebut PT BPI selaku pemrakarsa pembangunan PLTU Jawa Tengah telah melaksanakan beberapa program CSR untuk mengatasi persoalan yang dihadapi oleh para nelayan Roban Barat tersebut. Untuk mengatasi persoalan jarak dan waktu tempuh yang meningkat, serta adanya larangan memancing ikan di perairan komplek PLTU maka PT BPI melaksanakan program pembuatan rumah ikan di perairan Roban Barat. Melalui program ini diharapkan populasi ikan dan udang di wilayah tersebut meningkat sehingga nelayan Roban Barat tidak perlu jauh-jauh saat mencari ikan dan udang.

Untuk mengurangi biaya yang harus dikeluarkan oleh nelayan pada saat mengalami kerusakan peralatan kerja, maka PT BPI telah memfasilitasi pembentukan bengkel kerja bidang pengelasan yang beranggotakan nelayan di Roban Barat. Selain memberikan pelatihan ketrampilan PT BPI juga memberikan bantuan modal kerja berupa peralatan bengkel. Di bengkel kerja tersebut para nelayan Roban Barat yang membutuhkan perbaikan alat kerja dapat memanfaatkan jasa yang disedakan di bengkel.tersebut dengan biaya yang relatif lebih murah dibandingkan di bengkel yang lain, bahkan gratis bila nelayan tersebut bisa melakukanperbaikan sendiri.

Sementara untuk mengatasi persoalan kerusakan jaring penangkap ikan akibat lumpur, batu dan besi penambat jangkar kapal maka PT BPI memfasilitasi para nelayan untuk mengajukan klaim ganti rugi kerusakan. Para nelayan dipersilahkan untuk mengajukan klaim ganti rugi ke PT BPI melalui Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan PT BPI akan menyampaikan klaim tersebut ke perusahaan kontraktor yang menjadi mitra kerja PT BPI dalam melaksanakan pekerjaan pembangunan dermaga dan fasilitas pendukungnya.

Untuk mengatasi persoalan penurunan penghasilan yang dialami oleh nelayan dan pengolah hasil laut maka PT BPI menginisiasi terbentuknya kelompok usaha bersama (KUB) yaitu KUB simpan pinjam. Pada saat ini telah terbentuk 5 KUB di wilayah Roban Barat, yaitu 3 KUB yang beranggotakan pelaku usaha pengolahan hasil laut dan 2 KUB beranggotakan nelayan. Selain memberikan pendampingan berupa pelatihan ketrampilan, PT BPI juga telah memberikan bantuan sejumlah dana untuk modal kerja KUB. Dana tersebut disalurkan oleh KUB ke anggota sebagai pinjaman/kredit dan anggota memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut dengan cara menganggur dalam jangka waktu tertentu.

Selain melaksanakan program CSR, guna meningkatkan penghasilan nalayan PT BPI membuka kesempatan kerja dan peluang usaha bagi warga Roban Barat. Pelaksanaan kegiatan pembangunan PLTU dan fasilitas penunjangnya telah membuka kesempatan kerja bagi warga Roban Barat untuk menjadi pekerja di proyek tersebut. Selain itu, ada sebagian warga yang memanfaatkan kesempatan usaha yang muncul berkat pembangunan fasilitas penunjang PLTU, yaitu usaha persewaan perahu/kapal dan usaha pemasokan air bersih untuk kapal-kapal di proyek tersebut.

Pendampingan yang dilakukan oleh PT BPI kepada kelompok  Siaga Bencana Berbasis Masyarakat (SIBAT) di Roban Barat berupa pelatihan dan pemberian bantuan dana untuk kegiatan pembibitan juga telah mendatangkan manfaat bagi warga masyarakat Roban Barat. Berkat bantuan dana tersebut, kelompok SIBAT dapat membangun tempat untuk melakukan kegiatan pembibitan berbagai macam pohon dan melakukan penataan kawasan pantai menjadi destinasi wisata. Banyak warga masyarakat Roban Barat yang terlibat dalam kedua kegiatan tersebut.

Peran serta kelompok SIBAT dalam menyediakan kesempatan kerja bagi nelayan dan pengolah hasil laut semakin meningkat pada saat PT BPI memberdayakan kelompok SIBAT Roban Barat dengan menggandeng mereka untuk menjadi pemasok bibit tanaman penghijauan yang dibutuhkan oleh PT BPI. Sejak beberapa tahun yang lalu, PT BPI telah melakukan kegiatan penghijauan kawasan sekitar PLTU dan pemberian bantuan bibit pohon tenaman penghijauan ke sekolah-sekolah yang menjadi dampingan PT BPI. Peningkatan jumlah permintaan bibit tanaman tersebut menyebabkan kelompok SIBAT harus memproduksi bibit dalam jumlah yang lebih banyak. Hal itu menyebabkan meningkatnya kebutuhan tenaga kerja yang harus terlibat dalam kegiatan produksi bibt tersebut, sehingga akhirnya kesempatan kerja yang tercipta bagi nelayan dan pengolah hasil laut juga meningkat. [Mulyono]

Desa dalam Kekuasaan Supra Desa: Pembangunan di Desa vs Pembangunan Desa

Oleh: Sudir Santoso (Ketua Presidium Parade Nusantara)

“Desaku yang kucinta, pujaan hatiku. Tempat ayah dan bunda, dan handai taulanku..” adalah sepotong syair yang melukiskan bagai orang memandang desa, dengan cara pandang yang romantis. Kenyataannya bagi orang desa sendiri, desa tentu saja tidaklah seromantis itu. Sebagai mantan kepala desa, saya justru merasakan bahwa desa sesungguhnya telah lama tidak menjadi dirinya sendiri (baca: otonom), melainkan desa hanyalah imaginasi dari berbagal pihak yang merupakan supra desa. Mereka adalah pemerintah pusat, para pengusaha, tengkulak, bupati, camat, mungkin juga LSM, dan lain‑lain.

Pemerintah Pusat pada masa orde baru merasa terancam dengan desa sebagai wilayah politik yang dinamis, tempat pertarungan riil dari kepentingan ekonomi secara riil oleh kaum tani/buruh tani, serta pertarungan demokrasi oleh partai‑partai politik. Lalu mereka berimajinasi bahwa stabilitas ekonomi dan politik versi orde baru hanya dapat dilakukan jika desa berhasil ditundukkan. Maka keluarlah UU No 5 Tahun 1979 tentang Desa, yang sesungguhnya berisi kontrol negara sepenuhnya kepada desa. Desa ada di dalam genggaman Camat dan juga Bupati. Partai-partai menyingkir dari desa, kecuali tentu saja Golkar, lalu diperkuat dengan Babinsa. Semua aktivitas di Desa berada sepenuhnya di tangan supra desa tersebut. Urusan pertanian yang menjadi aktivitas sehari‑hari masyarakat desa dikontrol, benih yang akan ditanam, pupuk yang digunakan semua dikontrol oleh aparatur negara dengan segala jenisnya. Bahkan urusan reproduksi masyarakat desa pun menjadi urusan ‘negara’, misalnya dalam program KB.

Kepala Desa menjadi figur sentral di desa, budaya patronase dikukuhkan untuk menguatkan sentralisme kekuasaan kepala desa. Semua akses terkumpul melalui kepala desa, sebab kepala desa adalah jembatan yang memfasilitasi semua kepentingan supra desa di desa.

Namun yang perlu disadari bahwa kekuasaan di desa yang dianggap berpusat di tangan kepala desa sesungguhnya hanyalah pseduo (semu), sebab kekuasaan tersebut hanyalah perpanjangan tangan aparatur negara di atasnya. Kepala Desa pun menjadi pion bagi kekuasaan untuk melegitimasi segala sesuatu yang dikehendaki para aktor pemegang kekuasaan di atasnya. Hari‑hari kepala desa sibuk untuk menyelamatkan dirinya dari kemarahan kekuasaan aparatur di atasnya, maka benar tulisan Hans Antlov “Negara dalam Desa” yang melukiskan aktivitas kesibukan Pak Kades, bukan mengurus warga di desa melainkan sibuk mondar‑mandir ke kecamatan atau kabupaten. Pak Kades pun memfasilitasi semua kepentingan supra desa di desa, tanda tangan tanpa banyak protes untuk pendirian pabrik, perkebunan, dan lain‑lain, semua atas nama kepatuhan kepada negara. Demikianlah orde baru menundukkan desa, kita menyebutnya sebagai Hegemoni.

Perubahan politik 1998, membawa angin segar di desa, dengan harapan di desa segera ada perubahan. Dan sekali lagi supra desa berimajinasi bahwa demokratisasi di desa perlu ditumbuhkan kembali, sebagal upaya untuk mengembalikan kepasitas politik rakyat desa dan mendorong pemerataan distribusi sumber‑sumber ekonomi desa kepada masyarakat agar tak mengumpulkan pada segolongan kecil di desa. Oleh karena itu, disusunlah UU No 22 Tahun 1999 yang mencabut UU No 5 Tahun 1979 tentang desa. Dalam imaginasi supra desa, demokratisasi dapat dijalankan jika ada sharing kekuasaan antara kepala desa dengan Badan Perwakilan Desa.

Rupanya gagasan itu tak bertahan lama, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengembalikan peran Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan Desa. Namun itu tidak berarti dengan serta‑merta kekuasaan di desa kembali terpusat kepada Kepala Desa. Negara rupanya masih mau mencuri kembali kekuasaan di desa, dengan menyisipkan pasal mengenai Sekretaris Desa diangkat menjadi PNS, dengan harapan negara masih mengambil kontrol atas adminitrasi desa ketika Sekdes menjadi perpanjangan tangan birokrasi. Apa Yang terjadi kemudian? Pasal ini memancing prahara lebih besar di desa. Kini beramai‑ramai perangkat desa lainnya menginginkan menjadi PNS. Harapannya tidak lain dan tidak bukan adalah jaminan kesejahteraan bagi perangkat desa.

Demikianlah, saya ingin mengatakan bahwa sesungguhnya segala keributan, keramaian yang terjadi di desa, adalah disebabkan karena imaginasi pihak‑pihak di luar desa. Yang selalu menganggu pikiran kami adalah mengapa mereka tidak bertanya kepada kami, kepada desa sendiri tentang imajinasi rakyat desa mengenai diri kami sendiri. Pertanyaan terbaru kami belakangan ini adalah apa imaginasi baru supra desa dalam hal ini pemerintah pusat kepada desa kali ini?

Kapasitas Yang Hilang Di Desa

Harus disadari bersama bahwa dengan datangnya perubahan, tidak serta merta kita bisa kembali ke romantisme masa lalu mengenai desa yang indah “tata titi tenteram kerta raharja“. Kenyataannya selama 32 tahun lebih selama Orde Baru berlangsung telah menghilangkan banyak kapasitas desa. Bahkan ketika otonomi daerah yang diterjemahkan dengan penguatan desentralisasi di kabupaten selama 10 tahunan ini, tidak serta‑merta dapat membangkitkan repolitisasi pedesaan yang berimplikasi pada redistribusi akses para pelaku‑pelaku di pedesaan.

Berikut ini adalah kapasitas‑kapasitas desa yang hilang selama kurun waktu Orba hingga kini: Pertama, rakyat desa kehilangan kapasitas politiknya. Ketika selama 32 tahun lebih segala organisasi yang ada di desa, baik pemuda, organisasi tani, bahkan organsiasi ibu‑ibu adalah bentukan negara, yang segala aktivitas organisasi wajib dilaporkan kepada negara. Tidak dengan serta‑merta kita dapat menumbuhkan organisasi baru dengan semangat baru dan pola organisasi yang lebih demokratis. Kenyataannya kemampuan rakyat berorganisasi telah lama memudar. Rakyat desa jelas‑jelas kehilangan kapasitasnya dalam berpotitik, mereka tidak sepenuhnya memahami cara dan mekanisme untuk melakukan tawar‑menawar bagi kepentingan aspirasinya secara sehat. Juga ditambah dengan kekecewaan berturut‑turut masyarakat desa dalam setiap kali pemilihan (legislatif, bupati, dll) yang biasanya melupakan janji mereka kepada rakyat usai dipilih.

Kedua, Aparatur Desa (Pemerintah desa) pun kehilangan kemampuannya di dalam menyelenggarakan pembangunan di desanya sendiri. Semua pembangunan infrastruktur diselenggarakan oleh pemerintah, dulu ketika Orba tentu dengan bantuan ABRI, kini pembangunan infrastruktur diserahkan kepada pelaksana proyek yang memenangkan tender pembangunan Infrastruktur.

Ketiga, desa (pemerintah desa) kehiliangan kemampuannya mengurus tata produksi desa. Bila dulu di setiap perdesaan Jawa, ulu‑ulu memegang peranan besar mengatur pengairan bagi pertanian warga, kini tidak lagi. Bila dulu di hampir setiap desa terdapat lumbung desa yang berfungsi menjaga stabilitas harga produk pertanian dan sebagai cadangan kebutuhan desa, kenyataannya sudah sangat lama lumbung desa menghilang, harga produk tak dapat dikontrol dan terus‑menerus jatuh apabila musim panen, desa‑desa kelaparan selama musim‑musim buruk yang menyebabkan gagal panen. Bila mana kita perhatikan, setiap selesai panen, di pinggir‑pinggir sawah para petani, pasti sudah standby di sana para tengkulak yang siap membeli hasil panen petani dengan harga rendah. Bulog terlalu jauh, petani tak mampu mengaksesnya, transportasi ke pasar jauh dan mahal, petani pun tak mampu menjangkaunya. Lembaga Desa tidak memfasilitasi urusan‑urusan tata produksi petani di desanya, malah kini bahkan lebih memalukan lagi, urusan kepala desa menjadi sekedar penyalur raskin, itu pun sering diprotes warga.

Keempat, lembaga desa kehilangan kapasitas penyelenggaraan layanan publik di desa. Bayangkan saat ini KTP saja sudah diambil menjadi urusan kabupaten, yang itu semakin menjauhkan akses rakyat desa terhadap urusan administrasi identitas yang sangat mendasar.

Fakta‑fakta tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya yang sedang terjadi selama ini adalah pembangunan di desa oleh supra desa, dengan menghilangkan kapasitas desa dalam membangun dirinya sendiri.

Persoalan‑persoalan di atas disebabkan sebab utamanya adalah karena minimnya alokasi anggaran untuk desa. Sekarang mari kita bayangkan bagaimana seorang kepala desa harus menjalankan pemerintahan desa yang meliputi banyak aspek dan layanan umum sampai tata produksi desa dan lain sebagainya, jika penerimaan di desa hanya terbatas. Sebagai gambaran adalah kondisi desa di Batang, Jateng sebagai berikut: desa menerima ADD per desa rata‑rata Rp 53 juta/tahun atau maksimal Rp 65 juta/tahun. Dana tersebut hanya dapat digunakan setelah diputuskan dalam Perdes mengenai penggunaan anggaran desa dan disesuaikan dengan Perda Kabupaten Batang. Dana tersebut digunakan untuk alokasi operasional rutin pemerintahan desa berupa ATK, administrasi desa, uang jalan, pemeliharaan inventaris desa seperti motor dan lain-lainnya, gaji kepala desa (rata‑rata Rp 500.000/bulan), gaji perangkat desa (rata‑rata Rp 200.000/bulan), LPMD, kegiatan karang taruna, honor guru TK, honor guru ngaji, dan pembangunan. Selain itu desa dapat saja mendapatkan dana stimulan dengan catatan kepala desanya harus pintar‑pintar me-lobby DPRD, besarnya bisa 5 juta sampai dengan 10 juta rupiah/tahun. Untuk pembangunan fisik seorang kepala desa harus menyusun proposal dan me-lobby dinas PU dan jikalau dapat me-lobby Bapermas (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, di tingkat propinsi).

Untuk kesejahteraan kepala desa dan perangkat desa, di pedesaan Jawa terdapat tanah bengkok desa, dengan catatan bahwa tak semua desa memiliki bengkok desa dan jikalau ada, luasannya sangat bervariasi. Di Batang, Jateng, bengkok desa bisa antara 2, 3 sampai dengan 5 ha bagi kepala desa maupun perangkatnya, luasnya variatif, juga kondisinya belum tentu di lahan yang subur.

Dengan gambaran riil sebagaimana disampaikan di atas, mari kita bayangkan bagaimana pemerintah desa dapat memiliki kapasitas menyelenggarakan pembangunan desa? Sangat mungkin pemerintah desa kehilangan kemampuannya untuk menjamin penyelenggaraan layanan umum mendasar dengan baik, apalagi kemampuannya menata tata produksi desa untuk berhadapan dengan para tengkulak yang memeras petani.

1 Milyar 1 Desa, 1 Undang‑undang tentang Desa

Kenyataan menunjukkan bahwa energi (sumber‑sumber ekonomi) desa diserap langsung tidak langsung secara terus‑menerus oleh pemerintah. Pajak PBB, pajak dalam setiap barang industri yang dibeli rakyat desa, sumber daya seperti hutan, lahan perkebunan dan tambang, baik yang diambil negara atau pengusaha sesungguhnya adalah energi ekonomi rakyat desa yang dibawa ke atas. Namun sebaliknya desa hanya mendapatkan setetes dana dari atas yang dikembalikan kepada rakyat desa untuk penyelenggaraan pembangunan desa.

Bisa dimengerti jika kemudian perangkat desa memilih menjadi PNS menyusul Sekdes yang telah diangkat sebelumnya menjadi PNS. Namun apakah kita hendak menuruti sekedar permintaan sebagian kecil elemen di desa (perangkat desa) sebagai gula‑gula, tetapi membiarkan sebagian terbesar masyarakat di desa dalam pemiskinan yang terus‑menerus. Ataukah kita mau berpikir dan memperjuangkan nasib semua warga desa, termasuk rakyat miskin di desa, petani, buruh tani, pemuda/pemudi desa, perangkat, dan kepala desa.

Persoalan desa yang mendasar adalah dana desa yang cukup signifikan, yang secara realistis mampu menumbuhkan daya hidup rakyat pedesaan. Bila negara memberikan alokasi anggaran desa 10% dari APBN, atau misal 1 desa 1 milyar per tahun, maka desa akan memiliki dana yang cukup, untuk menyelenggarakan pembangunan yang diperlukan oleh rakyat desa. Inislatif desa dapat ditumbuhkan kembali, tata produksi desa dapat dimaksimalkan kembali jika segala sarana infrastruktur pertanian yang dibutuhkan petani dapat dipenuhi oleh pemerintah desa tanpa harus menunggu cairnya proposal yang sebagaimana kita ketahui sering memakan waktu bertahun-tahun itu. Pasar‑pasar desa dapat kita tumbuhkan, dapat diperdekat aksesnya dengan petani, sehingga kita dapat memotong rantai perdagangan sehingga dapat membatasi peran para tengkulak. Bahkan layanan kredit untuk pembiayaan usaha rakyat desa dapat difasilitasi tanpa bunga yang tinggi dan persyaratan administrasi yang menyulitkan rakyat desa. Pemerintah desa pun dapat membangun sistem layanan umum mendasar yang dapat dengan mudah dan cepat diakses rakyat desa.

Menyadari pentingnya transparansi dan akuntabilitas, dan memahami bahwa desa masih harus belajar untuk membangkitkan kembali kapasitasnya membangun by desa sendiri, maka anggaran sebesar itu dapat diletakkan di kabupaten. Desa harus mematuhi mekanisme prosedur dalam mengambil dana dan melaporkan penggunaannya. Kabupaten dapat memberikan asistensi terhadap desa dalam melaksanakan program pembangunan desa dari dana tersebut.

Bilamana gagasan di atas dapat dipenuhi, maka saya yakin yang terjadi berikutnya adalah pembangunan di desa oleh orang desa. Bukan lagi pembangunan di desa oleh supra desa. Persoalan‑persoalan yang berkaitan dengan kebutuhan pragmatis aparatur desa, pasti dengan sendirinya juga dapat diselesaikan. Dengan demikian, sesungguhnya kami hendak membawa arah perjuangan mengenai desa ini bagi kepentingan seluruh elemen yang ada di desa, bukan memperjuangkan sebagian kecil dari elemen desa. Jika desa dapat dikembalikan pada daya hidupnya, maka Parade Nusantara yakin pembangunan negeri ini juga dapat ditopang oleh kemampuan rakyatnya sendiri. Sebagaimana pepatah Jawa : “desa tata, mbangun kutho.”

Tantangannya adalah kemauan negara dalam hal ini Pemerintah Pusat untuk sungguh-sungguh membangun dari bawah, bukan sekedar memberi gula‑gula pada desa.

Selanjutnya, sebagaimana disampaikan di paragraf awal makalah ini, bahwa pasca perubahan 1998, UU No 5 Tahun 1979 tidak diberlakukan kembali, dan sebagai gantinya disusun UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan selanjutnya diubah kembali dengan UU No 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dua UU yang disusun pasca Orba tersebut ternyata hanya menaruh sedikit perhatian kepada Desa. Secara keseluruhan mengenai desa dimuat dalam UU NO 22 tahun 1999, dalam pasal 93 sd 111 atau 8 pasal dari 134 pasal. Sementara UU No 32 Tahun 2004, Desa dimuat dalam pasal 200 sampai dengan pasal 216, atau 16 pasal dari 240 pasal.

Dari segi kuantitatif saja, nampak sekali bahwa desa terlihat kecil dari kacamata negara (pemerintah pusat). UU tersebut juga lebih sibuk mengatur mengenai kelembagaan pemerintahan desa yaitu kepala desa dan Badan Perwakilan Desa (UU No 22/1999) atau kepala desa dengan Badan Permusyawaratan Desa (UU No 32/2004), masa jabatan kepala desa 10 tahun atau 2 kali masa jabatan 5 tahun (UU No 22/1999) atau 6 tahun dan dapat dipillh satu kali lagi (UU No 32/2004), Sekdes jadi PNS (UU No 32 / 2004), atau menyelipkan hubungan kerjasama antar desa dalam UU No 22 Tahun 1999, dengan kerjasama desa dengan pihak ketiga dalam UU No 32 Tahun 2004. Sementara mengenai political will pemerintah pusat di dalam menyerahkan otonomi desa, kekuasaan desa mengelola sumber daya desa, alokasi dana desa yang cukup untuk sungguh-sungguh membangun desa, tidak dimuat eksplisit dalam UU.

UU No 32 Tahun 2004 bahkan lebih sibuk mengatur detail persoalan Pilkada dibanding memasukkan ketentuan‑ketentuan mengenai desa. Desa diserahkan dalam kekuasaan eksekutif semata, melalui pengaturan dalam Peraturan Pemerintah (PP No 72 tahun 2005). Artinya bahwa desa dianggap bukan wilayah strategis bagi partai politik pula. Padahal desa adalah lumbung suara bagi semua partai politik. Hal ini perlu disadari oleh semua elite politik di negeri ini. Kondisi ini menunjukkan bahwa semua partai politik lalai bahwa potensi pemenangan dirinya ada pada kemampuan mereka merepolitisasi kembali wilayah pedesaan untuk kemenangannya. Harusnya sekarang inilah saatnya semua partai politik di DPR merasa berkepentingan pada pembahasan RUU mengenai Desa.

(Pahit) Pangan Pemicu Inflasi

Oleh: Moch. Maksum Machfoedz

Hari-hari ini mewabah pemberitaan tentang inflasi dalam headline beberapa media. Antara lain: beras dan cabai sumber inflasi, cabai memicu inflasi di Jakarta dan sebagainya. Tidak salah bahwa telah beberapa lama negara ini terseok-seok dalam mengendalikan inflasi yang katanya dipicu oleh kenaikan harga beberapa komoditas pangan yang akhir-akhir ini terjadi.

Kejadian pertama, ditunjukkan oleh gagalnya pengendalian harga beras sejak Agustus 2010 karena operasi pasar (OP) yang mandul total dan tidak pemah beres. Menjelang tutup tahun, Desember 2010, kinerja OP beras nampak agak memadai setelah adanya keputusan nekat: importasi beras. Itupun masih pula disertai dengan manipulasi pasar yang aman-aman saja dalam memanfaatkan marjin harga antara harga OP dan harga pasar normal.

Kejadian kedua, adalah munculnya tanda-tanda bahwa pasok gula kristal putih (GKP) dalam negeri mulai menipis dan cenderung berwatak inflationary, diramalkan akan menjadi sumber inflasi. Oleh karena itu, muncullah kemudian gagasan super kreatif untuk legalisasi masuknya gula kristal rafinasi (GKR) ke pasar umum konsumsi yang selama ini adalah hak sepenuhnya GKP dalam negeri.

Ketiga, eskalasi harga cabai yang memuncak dan nyaris menyentuh angka psikologis Rp 100.000/kg, telah dikeluhkan sangat memicu inflasi.

Sepintas, fakta itu menyimpulkan betapa potensialnya komoditas pertanian untuk memicu dan menjadi sumber inflasi daerah maupun nasional. Pada gilirannya, hal tersebut memunculkan pemikiran pada tingkat publik untuk mempertanyakan betapa tidak mampunya para pemikir, birokrasi dan akademisi pertanian, yang bisanya kemudian hanya merepotkan kinerja perekonomian makro dengan potensi inflasi yang awal tahun ini sangat mengkhawatirkan. Tentu saja, gosip jalan pintas itu perlu memperoleh klarifikasi mengapa dan bagaimana mekanismenya kok bisa-bisanya sektor pangan dan pertanian menjadi kambing hitam inflasi.

Ada beberapa fakta yang harus menjadi perhatian seksama di sebalik kontribusi nyata pangan terhadap inflasi, sebagaimana potensi itu dimiliki oleh beras, gula dan cabai. Pertama, ketersediaan komoditas pangan memang secara alamiah sangat musiman. Dalam perubahan musim dewasa ini fluktuasi tersebut cukup menonjol. Terlebih ketika negara tidak mampu menyajikan dan mengkomunikasikan informasi cuaca secara tepat dalam mutu dan waktu kepada rakyat tani produsen di pedesaan. Ini memicu ketidakpastian produksi.

Kedua, peran pangan menjadi besar dalam inflasi karena kegagalan negara dalam penanggulangan kemiskinan. Nalarnya? Karena besarnya penduduk miskin dan hampir miskin yang cunsumption bundle, peta konsumsinya terkonsentrasi di sektor pangan, maka sedikit gejolak pada harga pangan langsung memicu inflasi. Ini sama sekali bukan salah harga yang melonjak-lonjak musiman, tetapi watak konsumsi mayoritas yang amat peka terhadap pangan.

Ketiga, krisis beras sebagai pemicu inflasi 2010 itu karena memblenya pengelolaan harga pasar yang ditunjukkan oleh gagal total OP menurunkan harga & akhirnya OP berbasis impor. Keempat, khusus untuk cabai yang kali ini sangat ekstrem inflation share-nya. Pola produksi yang sangat terganggu cuaca dan didukung lemahnya sistem informasi cuaca, tidak ketemu dengan pola konsumsi yang sampai hari ini sangat mengandalkan produk segar.

Satu hal yang tidak bisa dikesampingkan adalah munculnya efek domino akibat dari naiknya harga komoditas tertentu, karena strategisnya telah memicu kenaikan harga produk-produk lain, meski lebih banyak nampak sebagai efek psikologis, dibandingkan efek teknis finansial. Hal ini mudah dipahami karena pertimbangan nilai tukar komoditas. Harga cabai mahal, masak sih kangkung saya harus tetap murah pak? Begitu petani kangkung berujar.

Fenomena ini bisa berkenaan dengan komoditas pangan apapun pada saat berposisi strategis di suatu waktu tertentu dalam peta konsumsi masyarakat kebanyakan, poor and near poor. Maka jalan terbaiknya sudah barang tentu mengelola perimbangan pasar untuk komoditas apapun yang peka cuaca melalui pengembangan teknologi usaha tani, pengembangan sistem informasi usaha tani, teknologi pasca panen, tetapi pola konsumsi dan tata kelola pangan antarwaktu. Yang kesemuanya itu dalam upaya mendekatkan relasi penawaran-permintaan pangan dalam jumlah, waktu, wujud dan mutu pangan.

Kalau negara nampak begitu takutnya dengan inflasi dua digit akibat eskalasi harga pangan, maka hanya cara-cara itu yang harus dilakukan. Tentu Negara perlu melakukan pemetaan persoalan pangan nasional secara cermat dan menyelesaikan secara cermat pula. Hal ini penting sekali karena, seperti diajarkan oleh sebutir gabah dan sebatang cabai, relasi pangan dengan kinerja perekonomian nasional memang teramat dekat. Tuntutan ini pula yang mengingatkan Negara untuk tidak sembrana dan menganak-tirikan sektor pertanian seperti selama ini terjadi: sekadar ditempatkan sebagai sumber pangan murah.

Jangan pula negara semakin berlebihan berkonsentrasi hanya mengurus bercocok-tanam beras. Karena terbukti bahwa kinerja perekonomian nasional bisa kacau-balau hanya karena sebuah biji cabe, setetes jlantah, dan sebutir gula pasir. Sungguh memprihatinkan ketika kisruh yang sama akan kembali dan kembali berulang karena kebodohan para pengambil keputusan yang tidak peduli terhadap tanda-tanda zaman. (Penulis adalah Ketua PBNU, Guru Besar TIP FTP-UGM dan Peneliti PSPK-UGM)

~~Warta Pedesaan Edisi Januari 2011

Beras: Porak-porandakan Kinerja Ekonomi Makro

“Hari-hari ini beras sebagai pangan pokok utama Bangsa Indonesia sungguh telah menyadarkan Negara betapa besar kesaktian yang dimiliki dan sangat berpengaruh terhadap kinerja makroekonomi RI. Untuk ke sekian kalinya kesaktian tersebut ditunjukkan beras melalui kontribusinya yang sangat signifikan dalam angka inflasi tahunan 2010, yang menurut kalkulasi mutakhir Biro Pusat Statistik, BPS, sebesar 6,96 persen.” Demikian pernyataan penyaji dalam seminar bulanan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) pada hari Rabu, tanggal 19 Januari 2011. Seminar yang telah menjadi tradisi setiap bulan itu, pada kesempatan tersebut menghadirkan seorang narasumber, Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, M.Sc, guru besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM sekaligus peneliti senior PSPK, dengan moderator Dr. Agnes Mawarni. Topik yang diangkat pada seminar yang dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan tersebut adalah “Beras: Porak-porandakan Kinerja Ekonomi Makro”.

“Angka inflasi tersebut didominasi oleh bahan makanan dan makanan jadi, masing-masing sebesar 3,5 dan 1,23 persen. Tempat ke-tiga adalah perumahan, air, dan listrik sebesar 1,01 persen. Secara keseluruhan kontribusi makanan yang totalnya 4,73 persen ini setara dengan inflation share sebesar 68 persen. Artinya, dari angka inflasi nasional sebesar 6.96 persen tersebut, 68 persen merupakan pengaruh bahan makanan maupun makanan jadi. Data inflasi yang dipublikasikan BPS menunjukkan berturut-turut dominasi 5 besar dalam angka inflasi, yaitu: (i) beras dengan kontribusi 1,29 persen, (ii) tarif listrik 0,36 persen, (iii) cabai merah 0,32 persen, (iv) emas perhiasan 0,27 persen, dan (v) bawang merah 0,25. Angka-angka tersebut setara dengan sumbangan absolut sebesar: 18,5%, 5,3%, 4,6%, 3,9%, dan 3,9%, berturut-turut untuk beras, listrik, cabai merah, emas perhiasan, dan bawang merah. Berlebihankah kalau menyebut beras ini telah memporak-porandakan kinerja makroekonomi Indonesia? Mari kita lihat lebih lanjut bagaimana potensi sesungguhnya.” ucap Prof. Maksum.

Pengaruh Makro

Inflasi memang hanyalah merupakan satu dari banyak sekali indikator perekonomian makro yang lebih kurang terdeninisikan sebagai turunnya nilai atau daya beli uang. Dalam kerangka agregatif dan nasional, sudah barang tentu angka ini terhitung sebagai rerata tertimbang yang dipengaruhi oleh rerata tertimbang volume konsumsi penduduk dan besaran harga masing-masing barang konsumsinya. Inflasi hanyalah daya beli uang yang melemah.

Sebagai indikator makroekonomi, inflasi ini bisa disebut sebagai yang paling penting karena dia akan berpengaruh terhadap indikator makro lainnya seperti: pertumbuhan ekonomi, nilai upah dan gaji, ketenagakerjaan, nilai bunga permodalan, beaya produksi nasional, kemerataan ekonomi, dan indikator makro lainnya. Segala ukuran nominal kinerja ekonomi makro secara otomatis harus direvisi berdasarkan besaran inflasi menjadi angka-angka riel.

Besaran inflasi ini tidak hanya berkait dengan daya beli publik semata, terutama rakyat miskin yang porsi konsumsi pangannya mendominasi anggaran belanja harian, consumption bundlenya. Pada gilirannya, inflasi ini berpengaruh langsung terhadap nilai UMR yang menjadi di bawah minimum dan harus dinaikkan, biaya produksi juga akan terpengaruh oleh kenaikan UMR, dan selanjutnya kenaikan UMR yang tidak terbendung akan berakibat PHK.

Oleh karena itu, sungguh tidak mengherankan ketika karena kekuatannya yang sangat inflationary metakhir ini bahan makanan seringkali naik kelas, mewarnai banyak sekali perhelatan dan percakapan, resmi maupun tidak resmi, mulai dari Sidang Kabinet Indonesia bersatu jilid II, rapat-rapat kerja Pemerintahan, lokakarya dan seminar, bahkan sampai perbincangan warung kopi serta sego kucing yang semakin tidak terasa pedasnya.

Kegelisahan Beras Terlambat

Kalau cabai yang hanya berkekuatan kurang dari 5 persen saja bisa merubah pola konsumsi dan perubahan harga di warung-warung, sudah barang tentu beras yang semakin sakti dengan pengaruh 18.5 persen lebih menggelisahkan dalam pandangan KIB-II. Sayangnya, kegelisahan ini selalu saja datang terlambat sementara indikasi dari besarnya potensi beras untuk mendongkrak inflasi ini telah terdeteksi sejak sangat dini, Februari 2010.

Indikasi pertama adalah gejala jeleknya kualitas panen yang ditunjukkan oleh mulainya musim panen yang awal 2010 masa panen beras selalu diwarnai oleh bulan basah karena pengaruh perubahan iklim terjadi ditengah bulan-bulan basah. Indikasi kedua ditunjukkan oleh rendahnya pengadaan dalam negeri (ADA-DN) yang dilakukan oleh Negara (BULOG) dalam pengadaan stok sebagai akibat dari terlalu rendahnya angka-angka HPP dalam Inpres 7/2009.

Dua hal ini telah menghasilkan data awal bahwa sampai dengan akhir April 2010 ADA-DN baru berhasil sejumlah 663.000 Ton dari target pengadaan sebesar 3,2 juta ton untuk tahun 2010. Data ini diperkuat data lain yang dikeluarkan awal juni 2010, bahwa dari target tahunan tersebut baru berhasil dikumpulkan sejumlah 60 persen. Sementara itu, jelas sekali bahwa pengadaan besar-besaran selepas Juni sangat sulit karena semakin jauh dari panen raya, dan ini merupakan pertanda nyata akan mandulnya kekuatan pengendalian harga.

Angka 60 persen ini jelas sekali sangat jauh dari harapan. Banyak pihak mempersalahkan BULOG karena gagal melakukan pengadaan untuk melakukan target prognoisanya sendiri sejumlah 3,2 juta ton untuk 2010. Akan tetapi, kecuali faktor kelambanan dalam pengadaan, ada soal lain yang memayungi kinerja otoritas pangan apapun bahwa secara operasional mereka semua harus tunduk kepada Inpres 7/2009 sebagai landasan.

Benar dugaannya, bahwa sejak Juni-Juli itulah krisis beras terasakan dan semakin berkepanjangan, diawali dengan Operasi Pasar yang dilakukan 17 Juli 2010, sampai beberapa bulan berikutnya. Alhasil, karena kekuatan beras yang bukan main dan terus saja menakutkan bagi terjaganya kinerja makroekonomi, sinyal importasi dilontarkan justru ketika Bangsa ini sedang beroleh berkah beras dengan cadangan nasional maksimal sepanjang sejalah: 9,6 sampai 10,1 juta ton setara beras pada awal bulan Agustus dan September 2010.

Akhirnya, pasar beras awal tahun ini agak tidak bergejolak, meski pengendalian harga dilakukan dengan sangat tidak masuk akal: OP Berbasis Import.

OP Berbasis Import

Ironi yang ke sekian telah terjadi dalam perberasan nasional RI. Pada saat surplus cadangan maksimal sepanjang sejarah terjadi, Agustus-September 2010, eskalasi harga beras ternyata semakin menjadi-jadi. Harapan akan normalisasi harga beras akan terjadi selepas Iedul Fitri, ternyata isapan jempol belaka. OP dan apapun upaya untuk mengembalikan normalitas harga beras selalu saja memperoleh perlawanan dengan fakta beras tetap mahal.

KIB-II sebenarnya juga selalu kontroversial untuk importasi, karena menurut BPS, 2010 bukan sekedar swasembada tetapi swasembada dengan surplus 2010 sebesar 5,6 juta ton beras menurut ARAM-II dan direvisi sedikit menjadi 3,9 juta ton beras menurut ARAM-III. Ini jumlah surplus tahunan yang belum pernah terjadi. Akan tetapi, ironisnya, sukses ini juga disertai dengan rekor hebat dengan pengaruh inflasi yang semakin mengkhawatirkan. Dalam kekalutan itulah diputuskan penggelontoramn pasar, OP berbasis import.

Reorintasi Segera

Kali ini rekor kontributif dipersembahkan oleh beras. Akan tetapi, hiruk pikuk di penghujung tahun 2010 justru dihentakkan oleh cabe merah yang mampu menebus angka Rp 100.000 per kilogram, sementara, gula pasir sudah antri untuk menggusur posisi beras dengan indikasi sudah munculnya pemikiran lagalisasi masuknya gula rafiniasi ke dalam pasar konsumsi yang selama ini disediakan khusus bagi GKP, gula krital putih dalam negeri.

Intisari ajarannya adalah, secara bergiliran mulai awal tahun 2010 terjadi gangguan pasar yang disebabkan oleh bergejolaknya komoditas pangan, mulai dari produksi kedele yang merosot, gula kristal putih yang tergusur dari pasar, kelangkaan cabe merah yang menonjol di pertengahan tahun dan muncul lagi penghujung 2010, rusaknya harga daging sapi, beras yang sudah mendera sejak pertengahan 2010, dan balada pangan lainnya awal 2011 ini.

Secara bergantian komoditas itu menyibukkan KIB-II. Sayangnya, hiruk-pikuk yang sudah senantiasa mentradisi itu tidak pernah diperhatikan sebagai pelajaran berharga bahwa itulah sederet kenyataan yang mengingatkan Bangsa ini untuk tidak lagi main-main dengan pembangunan pangan dan pertanian. Faktanya, banyak yang justru memunculkan kritik jalan pintas dengan mencaci-maki pembangunan pertanian yang tidak bisa mengendalikan produksi.

Peran pangan menjadi besar dalam inflasi karena kegagalan Negara dalam penanggulangan kemiskinan. Nalarnya? Karena besarnya penduduk miskin dan hampir miskin yang cunsumption bundle, peta konsumsinya terkonsentrasi di sektor pangan, maka sedikit gejolak pada harga pangan langsung memicu inflasi. Ini sama sekali bukan salah harga yang melonjak-lonjak musiman, tetapi watak konsumsi mayoritas yang amat peka terhadap pangan.

Mengingat bahwa penomena ini bisa berkenaan dengan komoditas pangan apapun pada saat berposisi strategis di suatu waktu tertentu dalam peta konsumsi masyarakat kebanyakan, poor and near poor, maka jalan terbaiknya sudah barang tentu mengelola perimbangan pasar untuk komoditas apapun yang peka cuaca melalui pengembangan teknologi usahatani, pengembangan sistem informasi usaha tani, teknologi pasca panen, terapi pola konsumsi, dan tata kelola pangan antar waktu, semuanya itu dalam upaya mendekatkan relasi penawaran-permintaan pangan dalam jumlah, waktu, wujud dan mutu pangan.

Kalau Negara nampak begitu takutnya dengan inflasi akibat eskalasi harga pangan, maka hanya cara-cara itu yang harus dilakukan dengan konsisten dan lebih sungguh-sungguh oleh Negara melalui pemetaan persoalan pangan nasional secara cermat dan menyelesaikan secara cermat pula. Sementara itu untuk soal daya beli harus diatasi dengan upaya: penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan, dan terapi OPK yang hanya untuk komunitas, waktu dan kasus yang sangat emergency dan bukan sebagai terapi abadi seperti selama ini.

“Jangan pula Negara semakin berlebihan berkonsentrasi hanya mengurus bercocok-tanam beras melulu, karena telah terbukti bahwa kinerja perekonomian nasional bisa kacau-balau hanya karena sekeping biji cabe, setetes jlantah, dan sebutir gula pasir… Sungguh memprihatinkan ketika kisruh yang sama akan kembali berulang karena kelambanan pengambil keputusan yang tidak pernah peduli terhadap tanda-tanda jaman… na’udzu billah…” kata penyaji sebelum seminar sore tersebut ditutup.

~~Warta Pedesaan Edisi Januari 2011

UU Desa: Mengembalikan Kedaulatan Menuju Pembangunan Desa Berkelanjutan

Oleh: Susetiawan

Pengantar

Desa itu menunjuk wilayah, yang didiami oleh masyarakat, yang di dalamnya terdapat sumber-sumber produksi, yang didalamnya juga memiliki tata kelola (governance), diikat oleh aturan main yang disepakati bersama oleh masyarakatnya dan ada pengaturan untuk menegakkan aturan, yang sering disebut dengan istilah pemerintahan. Dalam konteks ini, dulu desa itu adalah negara. Sebelum negara monarchi atau sekarang bergeser menjadi negara kesatuan yang mengintegrasikan berbagai wilayah itu ada, desa sudah ada lebih dulu. Oleh sebab itu desa sudah sejak lahirnya merupakan wilayah yang bersifat otonom. Misalnya pada jaman kerajaan, pemerintahan pusat (kerajaan) tidak banyak campur tangan dalam pengaturan desa, namun hal penting yang hendak diperoleh dari proses pengintegrasian ini adalah pusat mendapatkan upeti dari wujud kesetiaan masyarakat yang terintegrasi terhadap negara.

Dalam proses panjang, ketika pembangunan itu dilakukan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, kondisinya menjadi berbalik, desa menjadi bagian dari pemerintahan pusat dengan posisi pinggiran dan kehilangan otonomi. Selanjutnya desa menjadi obyek pembangunan semua lembaga pemerintahan di atasnya sehingga tidak memiliki kewenangan dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Pusat menjadi sangat kokoh, melakukan sentralisasi, mendominasi pengaturan segala macam sumber yang terletak di desa dan lebih dari itu, yakni mengambil alih pemilikan desa menjadi pemilikan pusat. Salah satu contoh, UU pertambangan bernuansa pusat dari pada daerah.

Desa tidak hanya termarjinalisasi oleh pusat melainkan juga oleh determinasi kepentingan negara-negara industri yang telah dan sedang memperluas pasar barang industrialnya. Posisi negara menjadi sulit dipertangungangjawabkan, ketika negara melakukan proses integrasi nasional maka pertanyaannya, demi kepentingan siapa negara melakukan pengintegrasian lokal ke dalam nasional? Pengintegrasian lokal (desa) untuk kepentingan kesatuan bangsa atau untuk kepentingan perluasan pasarnya negara maju yang menyediakan ruang untuk pasar global? Pertanyaan ini sungguh merisaukan sebab posisi desa sekarang ini sudah menjadi bagian wilayah yang didominasi oleh kepentingan perluasan pasar global. Perjuangan macam apa yang harus dilakukan agar desa berkembang, berdaulat dan memiliki hak-hak yang mampu menjamin kesejahteraan masyarakatnya?

Kerusakan Lingkungan dan Kemiskinan Desa

Pembangunan desa yang telah dilakukan selama 40 tahun tidak banyak merubah wajah desa menjadi makmur. Sistem komersialisasi pertanian tanaman pangan memang mampu meningkatkan jumlah produksi per areal lahan pertanian pangan, namun peningkatan jumlah produksi tidak diikuti oleh pertambahan jumlah pendapatan perkapita masyarakat, bahkan jumlah biaya produksi dalam system pertanian pangan komersial menjadi meningkat. Saprodi seperti pupuk, pestisida dan bibit harus dibeli, yang harganya setiap tahun selalu meningkat. Persoalan lain, kondisi kerusakan tanah akibat pupuk kimia juga semakin tinggi dan ketergantungan tanah terhadap pupuk kimia juga semakin tinggi pula. Desa, yang dulunya, kaya akan teknologi dan jenis benih padi sekarang banyak hilang lantaran diganti dengan benih padi produksi pabrik. Sumber-sumber ekonomi produksi desa, yang dulu dapat dikelola oleh lembaga desa, kini dikuasai oleh para industriawan terutama berkaitan dengan hasil tambang yang berada di wilayah desa. Desa yang seharusnya kaya kini menjadi miskin, baik miskin pengetahuan dan teknologi lokal yang semula dimiliki, hak dan kedaulatan untuk menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan kebutuhan yang ingin dicapainya. Pembangunan membawa degradasi lingkungan dan menuju proses pemiskinan justru karena miskinnya konsep pembangunan desa.

Perkembangan Desa Menjadi Ciri Pertumbuhan Nasional

Tesis masa lalu, kuatnya pemerintah pusat sebagai actor pengintegrasian lokal, secara otomatis akan menjawab kuatnya perkembangan lokal. Sama halnya, kuatnya pertumbuhan ekonomi nasional diasumsikan akan menjawab perkembangan kesejahteraan lokal melalui proses trickledown effect. Asumsi ini gagal menjelaskan perkembangan masyarakat desa. Keadaan yang berlangsung sebaliknya, yakni kuatnya pusat justru melakukan apropriasi atau pengabilalihan lokal oleh pusat. Pikiran paradigmatic ini garus doitinggalkan dan diganti sebaliknya, kuatnya pertumbuhan dan perkembangan lokal (desa) akan menjadi ciri pertumbuhan dan perkembangan nasional. Kesulitan terbesar untuk melakukan pembaharuan ini karena pusat memiliki kepentingan untuk menjadikan desa sebagai obyeknya dalam proses pembangunan. Watak aparatur negara tidak berubah bahkan masuk ke dalam ruang dimana mereka miskin konsep pembangunan dan hanya menjalankan pertanggungjawaban keuangan proyek, yang akan merasa selesai kalau keuangannya tidak dipersoalkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Perilaku ini sulit dibendung dan dipatahkan, kalau ada perubahan hanya terbatas pada wacana akan tetapi perilakunya tidak banyak mengalami perubahan. Keadaan ini semua dapat terjadi karena desa tidak memiliki jamanan perlindungan dari siapa pun yang hendak memiliki kepentingan terhadap desa seperti birokrasi pemerintahan pusat yang dilakukan oleh departemen tekni, para pebisnis dan kemungkinan besar lembaga swadaya masyarakat, meskipun tidak semua Lembaga Swadatya Masyarakat itu sama. Ini lah sebabnya sehingga desa kehilangan kedaulatan dan kemandirian untuk mengatur dan mengkreasikan sumber dan potensi yang tersedia sesuai dengan kepentingannya. Desa justru mengabdi kepada kepentingan lain karena merekalah yang memiliki dan mengimplementasikan program pembangunan pemerintah pusat.

Undang Undang Desa Sebagai Sebuah Perlindungan dan Jaminan Hak Kedaulatan

Kalau cara pandang tentang pembangunan itu diubah, yakni bukan memperkuat nasional akan tetapi memperkuat lokal sebagai ciri perkembangan nasional maka ini membutuhkan jaminan. Satu-satunya jaminan untuk mengembalikan kedaulatan desa adalah undang-undang. Inilah perlunya UU Desa. UU desa tidak hanya sekedar mengatur tentang pemerintahan desa akan tetapi mengatur secara keseluruhan tentang hak dan kewajiban desa dalam penyelenggaraan dan pengaturan rumah tangganya sendiri. Dengan demikian, UU ini juga tidak dapat dijadikan sebagai alat oleh para elit desa, yang semakin lama ada kecenderungan berpikir parsial untuk berpikir tentang perutnya sendiri dan bukan untuk kepentingan kemaslahatan umat.

Jika pikiran-pikiran parsial yang berkembang untuk membela kepentingannya sendiri seperti para perangkat tidak berfikir secara keseluruhan tentang desa dan hanya berpikir parsial seperti memperjuangkan kelompok perangkatnya sendiri maka perjuangan untuk meraih kedaulatan desa akan mengalami kegagalan. Oleh sebab itu, lahirnya undang-undang yang memberikan ruang kedaulatan serta hak kewajiban desa menjadi perlu dikawal dengan agenda advokasi guna mencapai kepentingan bersama yang lebih besar. Undang-undang dibuat untuk mengatur hak dan kewajiban dan bukan sebagai alatnya elit untuk membela kepentingannya sendiri. Jika tidak, desa setelah lepas dari “mulut buaya” lalu masuk ke “mulut singa”. Artinya dari marjinalisasi satu pindah ke marjinalisasi yang lain. Sekali lagi, UU Desa bukan mengatur kepentingan elit akan tetapi mengatur agar desa memiliki kedaulatan dan mendorong kemakmuran masyarakatnya (community welfare).

Keberlanjutan Pembangunan Desa: Bukan Kepanjangtanganan Global

Pembangunan desa yang berkelanjutan merupakan pembangunan desa yang tidak merusak lingkungan, memberikan hak kedaulatan untuk mengatur dirinya sendiri. Pembangunan desa yang berkelanjutan bukan berpijak kepada konsep model produksi kapitalis dimana desa hanya sebagai ajang pasarnya alat-alat pertanian yang diproduksi oleh industri alat pertanian yang membebani masyarakat. Jika keliru dalam memaknai terbentuknya UU Desa maka desa akan masuk perangkat keberlanjutanya pasar global dan bukan keberlanjutan kedaulatannya sendiri.

Oleh sebab itu dasar filosofi memberikan pentingnya pengaturan desa melalui UU menjadi sangat vital, yakni UU Desa itu diwujudkan untuk membela kepentingan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Jika hal ini tidak dipahami maknanya, maka pembangunan desa akan memasuki ruang yang kurang lebih sama dengan proses pembangunan masa lalu, dimana desa sudah diserahkan kepada kepentingan global, sedang negara sebagai agen atau kepanjangtanganan kepentingan model produksi kapilaisme global yang wataknya neoliberal. Pasar bebas menjadi alatnya untuk menguasai sumber-sumber produksi yang hampir semuanya terletak di pedesaan. Paha ini sangat anti terhadap perlindungan negara, kalau perlu negara menjadi alatnya bisnis. Fungsi negara bukan mengatur bisnis akan tetapi negara diatur bahkan alatnya bisnis. Kegagalan negara membangun bangsa karena negara tidak mampu mengatur para pebisnis.

Kesimpulan

UU Desa harus dipikirkan untuk memberikan kedaulatan desa dan bukan sebagai alat kekasaan pusat untuk melakukan pengambil alihan pusat terhadap daerah atau unit terkecil masyarakat, yakni desa. Pengaturan ini dilakukan guna mendorong proses pembangumam desa yang berkelanjutan dan kelestarian lingkungan.

Tesis : Kuatnya pusat akan merembes atau menetes, baik secara ekonomi, politik maupun budaya, ke daerah sampai dengan desa (pikiran ini hingga sekarang masih berlangsung demikian perilaku birokratnya). Desa yang kuat, akan menjadi ciri pertumbuhan nasional yang kuat dan kokoh.

Yogyakarta, 23 Desember 2010