Proses Industrialisasi telah terjadi di wilayah Jenu Tuban sejak beberapa puluh tahun yang lalu (era 1990-an). Proses tersebut ditandai dengan pembangunan beberapa pabrik industri, antara lain pabrik petrokimia milik Trans Pacific Petrocemical Industry (TPPI), pabrik pembangkit listrik (PLTU) milik PLN, Terminal Bahan Bakar Minyak milik Pertamina, dan yang masih dalam proses pembangunan adalah pabrik kilang minyak milik Pertamina Rosneff Petrokimia dan Pengolahan (PRPP). Terjadinya proses industrialisasi tentu membawa dampak bagi kehidupan masyarakat yang ada di wilayah Jenu, termasuk masyarakat yang tinggal di Desa Purworejo, salah satu desa di Kecamatan Jenu Tuban. Tulisan ini mencoba memaparkan dampak proses industrialisasi bagi kehidupan masyarakat desa, khususnya dalam aspek sosial dan keagamaan. Tulisan disusun berdasarkan studi lapangan dalam rangka “Kajian Harmonisasi Hidup Modern Kilang dengan Masyarakat di Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur Yang Berkearifan Lokal” kerjasama PSPK UGM, LAURA UGM, dan PT Pertamina Rosneff Petrokimia dan Pengolahan (PRPP). Ada beberapa temuan lapangan terkait dampak industrialisasi pada kehidupan masyarakat desa, khususnya dalam aspek sosial keagamaan antara lain modal sosial, kepemimpinan desa, kelembagaan sosial, tradisi keagamaan dan lembaga keagamaan.
Modal Sosial
Meskipun di desa Purworejo terdapat beberapa organisasi atau kelompok warga masyarakat, misalnya organisasi sosial kemasyarakatan seperti RT, RW, PKK, Karang Taruna, organisasi sosial keagamaan seperti Ranting NU, Muslimat, Fatayat, kelompok tahlil, organisasi sektoral seperti kelompok tani, gabungan kelompok tani (gapoktan), kelompok UMKM (pengrajin klobot, pengrajin batik, penjahit, kuliner), namun hingga saat ini warga yang menjadi anggota berbagai organisasi/kelompok tersebut belum dapat memanfaatkan keberadaan organisasi/kelompok untuk mengartikulasi berbagai kepentingan yang dimiliki ke pemerintah desa, selaku pemegang kuasa dalam pengambilan keputusan terkait berbagai program pembangunan yang akan dilaksanakan oleh desa.
Selama ini hanya organisasi RT/RW yang berfungsi dalam penyaluran aspirasi warga khususnya terkait usulan program pembangunan, sementara organisasi/kelompok yang laIn masih belum berfungsi. Biasanya RT menyalurkan aspirasi atau usulan melalui musrenbangdes. Meskipun dapat menyampaikan aspirasi dalam musrenbangdes, namun peran RT dalam musyawarah tsb masih sebatas menyampaikan usulan program. Organisasi RT/RW masih belum memiliki kekuatan untuk ikut berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan terkait program pembangunan yang akan dilaksanakan oleh desa. Pihak yang lebih dominan dalam memutuskan program pembangunan yang akan dipilih untuk dilaksanakan adalah pemerintah desa, khususnya elit desa.
Selain menitipkan aspirasi ke RT/RW media lain yang dipakai oleh warga masyarakat untuk menyalurkan aspirasi terkait kepentingan mereka ke pemerintah desa adalah melalui musyawarah desa. Namun media ini hanya khusus bagi warga yang mendapat undangan untuk mengikuti kegiatan musrenbangdes. Tidak semua warga mendapat kesempatan untuk hadir dalam musrenbangdes karena biasanya yang diundang untuk hadir dalam acara tersebut hanya perwakilan warga masyarakat.
Pada saat mendapat undangan untuk menghadiri musyawarah desa, mereka mendapat kesempatan untuk menyampaikan aspirasi terkait dengan kepentingan mereka ke pemerintah desa. Meskipun telah mendapat kesempatan untuk menyampaikan aspirasi, namun keputusan untuk memasukan aspirasi / usulan mereka ke dalam program pembangunan desa yang akan dilaksanakan oleh desa, berada di tangan pemerintah desa khususnya kepala desa. Mereka tidak memiliki kekuatan untuk ikut terlibat dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan pembangunan di tingkat desa.
Media lain yang dipakai oleh warga masyarakat untuk menyampaikan aspirasi terkait kepentingan mereka ke pemerintah desa adalah melalui kepala dusun atau kamitowo. Aspirasi tersebut biasanya tidak disampaikan secara formal dalam suatu musyawarah, melainkan bersifat informal misalnya pada saat mereka bertemu di jalan dengan bapak/ibu kamituwo (kadus). Ketika bertemu dengan kadus dan mereka merasa ada sesuatu yang perlu disampaikan atau diusulkan, misalnya jalan rusak maka mereka akan langsung menyampaikan hal itu kepada bapak /ibu kadus.
Berbagai aspirasi yang disampaikan oleh warga masyarakat biasanya ditampung oleh kepala dusun, dan kadus akan menyampaikan aspirasi/usulan warga tersebut ke pemerintah desa pada saat mendapat undangan untuk ikut musrenbangdes. Dalam forum musrenbangdes yang dihadiri oleh RT, RW, tokoh masyarakat/tokoh agama, perwakilan organisasi desa (BPD, LKMD, PKK, Karang Taruna) dan perwakilan pemerintah desa tersebut, Kadus menyampaikan berbagai usulan kegiatan yang telah diterima dari warga masyarakat.
Dalam forum musrenbangdes berbagai usulan kegiatan yang disampaikan oleh peserta musrenbangdes (RT,RW, tokoh masyarakat, perwakilan organisasi desa, kadus dan perangkat desa) dibuat skala prioritas. Apabila usulan program pembangunan yang sudah masuk dalam daftar skala prioritas disetujui oleh kepala desa maka usulan program tersebut akan dimasukkan dalam rencana kerja pemerintah desa. Hingga saat ini, peran kepala desa masih sangat dominan dalam menentukan usulan program kegiatan yang ada dalam daftar skala prioritas yang akan masuk dalam rencana kerja pemerintah desa.
Kepemimpinan Desa
Tokoh yang paling berperan dalam mengambil kebijakan terkait program pembangunan desa adalah kepala desa (Muksamiadi). Semua usulan program pembangunan yang masuk di musrenbangdes hanya bisa menjadi program pembangunan desa bila mendapat persetujuan kepala desa. Muksamiadi adalah kepala desa Purworejo yang pada saat ini menduduki jabatan kepala desa untuk periode yang ketiga. Kemampuan Muksamiadi untuk tampil sebagai kepala desa Purworejo hingga tiga periode selain berkat kekuatan ekonomi/modal keuangan yang dimiliki, kekuatan jaringan keluarga (jumlah keluarga di desa Purworejo banyak), juga berkat tingginya jiwa sosial. Ia terkenal sebagai orang yang suka membantu warga yang membutuhkan. Ia juga selalu hadir di berbagai acara yang diselenggarakan oleh warga desa, misalnya hajatan, tahlilan, dan takziah.
Tokoh formal lain yang juga memiliki peran dalam pengambilan keputusan di tingkat desa adalah sekretaris desa (Warjain). Ia adalah pamong desa yang sudah menjabat lebih dari 25 tahun. Ia telah menjadi sekretaris desa Purworejo dalam periode pemerintahan 3 orang kepala desa, yaitu sejak jabatan kepala desa dipegang oleh Bisri, Suharji, hingga Muksamiaji.
Tokoh formal yang juga cukup berperan dalam proses pengambilan keputusan di tingkat desa adalah Junaidi. Saat ini ia menjabat sebagai ketua BPD. Sejak muda Junaidi sudah aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti karang taruna.
Sementara itu tokoh informal yang berperan dalam proses pengambilan keputusan di desa adalah Saeful Huda. Seorang tokoh masyarakat, anak mantan kepala desa Purworejo dan saat ini menjadi pejabat di pemkab Tuban. Meski tidak memiliki posisi dalam pemerintahan desa namun ia disegani oleh warga masyarakat karena merupakan salah satu tokoh yang ada di Purworejo.
Tokoh informal lain yang juga berperan dalam proses pengambilan keputusan di desa adalah Rohmat Syafei. Ia memiliki kekuatan karena dekat dengan massa baik perempuan maupun pemuda. Ia adalah pengurus masjid/takmir masjid Jami’ desa Purworejo. Rohmat Syafei adalah tokoh yang terkenal vokal dalam menyampaikan aspirasi, ide dan gagasan di berbagai forum musyawarah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa. Ia juga pernah ditunjuk sebagai ketua tim khusus penyalur tenaga kerja yang dibentuk oleh pemerintah desa, yang bertugas untuk menyampaikan informasi lowongan pekerjaan ke masyarakat, dan memfasilitasi warga yang ingin mengajukan lamaran pekerjaan ke perusahaan industri yang membuka lowongan pekerjaan tersebut.
Tokoh massa (elite) yang mempunyai pengaruh dalam pengambilan keputusan di desa adalah H. Ahmad Dhofir. Ia memiliki pengaruh karena seorang tokoh agama yang sering memimpin acara tahlil di desa. Ia juga sering diundang untuk mengisi pengajian di perusahaan-perusahaan industri karena duduk dalam kepengurusan NU dan MUI baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Tokoh massa kedua yang ada di desa Purworejo adalah Cahyo Purnomo. Ia memiliki kekuatan/pengaruh karena menjadi takmir masjid, seorang guru dan perintis tradisi ngaji di Purworejo.
Kelembagaan Sosial
Hingga saat ini keguyuban dan kerukunan warga masyarakat desa Purworejo masih berjalan, misalnya tradisi tilik, takziah, buwoh dan anjengan, dan gugur gunung. Pada saat tilik ke orang sakit atau takaziah ke keluarga yang berduka, warga membawa sumbangan berupa beras, gula dan mie instan. Jumlah sumbangan tersebut tergantung kerelaan masing-masing pribadi, namun standart minimal sumbangan yang diberikan warga masyarakat di desa Purworejo adalah 3 kg beras, 3 kg gula dan beberapa bungkus mie instan.
Pada saat menghadiri undangan hajatan misalnya kitan dan manten, warga membawa buwoh (sumbangan) yang berupa beras, gula dan kopi. Selain itu, warga khususnya bapak juga membawa anjengan yaitu sumbangan berupa uang yang dimasukan dalam amplop. Besarnya sumbangan untuk buwoh dan anjengan yang diberikan oleh warga kepada warga yang memiliki hajatan juga tergantung kerelaan dari masing-masing warga. Namun besarnya sumbangan untuk buwoh dan anjengan akan menentukan jumlah yang harus dikembalikan oleh penerima sumbangan kepada sang penyumbang pada saat ia menyelenggarakan hajatan.
Ketika menerima sumbangan dalam jumlah relatif banyak maka penerima sumbangan memiliki kewajiban untuk mengembalikan sumbangan dalam jumlah yang sama banyaknya kepada penyumbang pada saat penyumbang menyelenggarakan hajatan. Demikian pula sebaliknya ketika ia menerima sumbangan dalam jumlah relatif sedikit maka ia memiliki kewajiban untuk mengembalikan sumbangan dalam jumlah yang sama sedikitnya dengan jumlah sumbangan yang telah diberikan oleh penyumbang pada saat ia menyelenggarakan hajatan. Untuk mengingat jukah sumbangan buwoh dan anjengan yang pernah diterima dari seseorang maka penerima sumbangan akan mencacat jumlah sumbangan yang telah diterima dari seseorang.
Untuk tradisi gugur gunung atau royongan juga masih dilakukan oleh warga khususnya warga dalam satu pedukuhan. Kegiatan tersebut dilakukan pada saat menjelang bulan Ramadhan atau menjelang agustusan. Antusiasme warga pedukuhan untuk terlibat dalam kegiatan gugur gunung bersih makom saat menjelang bulan Ramadhan tidak lepas dari semangat untuk berbakti kepada leluhur yang dimakamkan di makom tersebut. Sedangkan semangat warga untuk melaksanakan gugur gunung bersih lingkungan menjelang agustusan tidak lepas dari semangat untuk menjaga kerukunan dan keguyuban warga masyarakat.
Perubahan kecil yang terjadi dalam kelembagaan sosial masyarakat desa Purworejo (tradisi tilik, takziah, dan gugur gunung) akibat proses industrialisasi adalah terkait bentuk sumbangan. Dahulu masyarakat desa Purworejo menyumbang ke tetangga yang mempunyai hajatan dalam bentuk natura misalnya beras, gula, kopi, dll, namun saat ini ada kecenderungan selain membawa bawaan dalam bentuk natura juga membawa amplop yang berisi uang (anjengan). dalam tradisi tilik warga yang sakit dan takziah ke warga yang meninggal hingga saat ini tetap dilaksanakan oleh warga. Meskipun untuk warga yang bekerja di industri, karena kesibukan kerja sebagai karyawan pabrik mereka melakukan tilik atau takziah di waktu yang berbeda dengan warga/tidak bareng dengan warga yang lain
Sedangkan perubahan yang terjadi dalam tradisi takziah adalah, dulu saat takziah warga masyarakat membawa sumbangan yang dimasukan ke dalam amplop untuk dimasukkan ke dalam kotak sumbangani, dengan tujuan untuk meringankan beban keluarga yang mengalami kedukaan. Pada saat ini tradisi tersebut berubah. bukan pelayat yang membawa sumbangan tetapi keluarga yang mengalami kedukaan yang justru memberi amplop berisi uang kepada para pelayat, sebagai bentuk sodakoh atas nama orang yang meninggal. Selain itu keluarga yang mengalami kedukaan juga menyembelih sapi untuk dibagikan ke tetangga dan untuk menjamu tamu yang datang saat upacara slametan/tahlilan.
Tradisi dalam keguyuban dan kerukunan warga yang saat ini hilang adalah tradisi gugur gunung atau gotong royong baik dalam ranah keluarga maupun masyarakat di tingkat desa. Dahulu untuk membangun rumah dan menggarap lahan pertanian ada tradisi sayan, yaitu pertukaran tenaga saat saling membutuhkan bantuan. Pada saat ini tradisi tersebut sudah hilang dan digantikan dengan tenaga kerja yang dibayar.
Salah satu penyebab hilangnya tradisi sayan adalah banyaknya warga yang bekerja di sektor industri yang terikat waktu kerja sehingga menyebabkan mereka tidak dapat ikut sayan. Kondisi tersebut menyebabkan terjadi kekurangan tenaga kerja untuk membangun rumah atau menggarap lahan. Untuk mengatasi persoalan tersebut maka akhirnya dipergunakan tenaga yang dibayar.
Tradisi nutu beras yaitu tradisi saling membantu untuk menumbuk beras, yang dahulu ada, sekarang juga sudah menghilang. Hal itu disebabkan munculnya mesin seleb padi. yang membuat proses pengupasan gabah menjadi lebih cepat dan lebih hemat.
Kegiatan gugur gunung atau gotong royong untuk kepentngan umum di tingkat desa yang dahulu ada, sekarang juga sudah menghilang. Salah satu penyebab hilangnya tradisi gugur gunung di tingkat desa adalah adanya dana desa dan program CSR dari perusahaan. Warga memiliki anggapan adanya dana desa dan program CSR dapat dimanfaatkan untuk membayar orang untuk memelihara fasilitas umum. Warga enggan untuk melakukan gugur gunung dan lebih senang pekerjaan yang akan dikerjakan diselesaikan oleh tenaga yang dibayar dengan anggaran dari dana desa atau melalui program CSR
Terkait dengan konflik hingga saat ini di Purworejo belum pernah terjadi konflik khususnya antar warga masyarakat. Hal itu terjadi karena warga merasa sungkan bila terlibat konflik dengan warga yang lain. Untuk konflik dengan perusahaan, dahulu pada saat jabatan kepala desa dipegang oleh Suharji pernah terjadi konflik antara warga dengan perusahaan (TPPI). Konflik itu terjadi akibat pelaksanaan kebijakan perusahaan tidak memasukan desa Purworejo dalam ring 1 PT TPPI. Akibat kebijakan tersebut, desa Purworejo tidak tidak mendapat prioritas dalam perekrutan tenaga kerja yang dilaksanakan oleh perusahaan.
Hal itu menyebabkan warga desa Purworejo dan pemerintah desa Purworejo melakukan protes dalam bentuk demo ke TPPI. Salah satu tindakan yang dilaksanakan dalam demo tersebut adalah memblokir jalan utama TPPI dengan cara membangun gubuk di tengah jalan. Konflik antara warga desa Purworejo dengan TPPI tersebut dapat diselesaikan melalui musyawarah yang melibatkan perwakilan warga masyarakat, pemerintah desa dan perusahaan (TPPI). Musyawarah tersebut menghasilkan kesepakatan antara perusahaan dengan pemerintah desa dan perwakilan warga masyarakat desa Purworejo, yaitu keputusan untuk merubah kebijakan perusahaan dengan memasukkan desa Purworejo dalam ring 1 TPPI. Berkat perubahan kebijakan tersebut, maka warga desa Purworejo juga diprioritaskan dalam proses penerimaan tenaga kerja yang diselenggarkan oleh perusahaan (TPPI).
Sebagai tindak lanjut dari perubahan kebijakan perusahaan tersebut maka pemerintah desa membentuk tim khusus penyaluran tenaga kerja ke perusahaan. Pada saat perusahaan membutuhkan tenaga kerja, maka informasi lowongan pekerjaan tersebut disampaikan ke pemerintah desa. Oleh pemerintah desa informasi tersebut disampaikan ke tim khusus penyaluran tenaga kerja untuk disebarkan ke masyarakat. Warga masyarakat yang berminaat untuk memanfaatkan lowongan kerja tersebut mengajukan lamaran ke perusahaan melalui tim khusus penyaluran tenaga kerja. Warga yang mengajukan lamaran tanpa melalui tim khusus tersebut maka tidak akan diterima di perusahaan.
Tadisi Keagamaan
Sebagian besar warga masyarakat di Desa Purworejo adalah pemeluk agama Islam. Umat Islam di Desa Purworejo adalah penganut ajaran kyai / ulama NU yang identik dengan Islam tradisionalis dan inklusif yang selalu berusaha untuk menjaga harmoni. Dalam menghadapi perubahan akibat terjadinya proses industrialisasi di wilayah mereka, umat Islam di Desa Purworejo bersikap terbuka dan menyambut perubahan tersebut. Selain tidak bersikap menentang terhadap proses industrialisasi yang sedang berlangsung, umat Islam di Desa Purworejo juga memiliki keinginan untuk turut berpartisipasi dalam proses industrialisasi, antara lain dengan menjadi pekerja di perusahaan industri. Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan, pada saat ini hampir 40% umat Islam di Desa Purworejo telah bekerja di sektor industri, yaitu menjadi pekerja di perusahaan industri yang ada di sekitar wilayah desa Purworejo, antara lain di perusahaan TPPI, TBBM, dan Semen Indonesia.
Meskipun telah menjadi pekerja di sektor industri yang memiliki aturan kerja yang mengikat dan harus ditaati oleh semua pekerja, termasuk pekerja dari Desa Purworejo, namun hingga saat ini belum ada perubahan yang signifikan terkait kebiasaan beragama umat Islam di desa Purworejo, khususnya yang menjadi pekerja di perusahaan industri. Sebagian besar umat Islam yang bekerja di perusahaan industri masih menjalankan ibadah seperti yang diajarkan oleh agama. Memang pada saat bekerja mereka tidak bisa ikut sembahyang berjamaah di masjid/langgar yang ada di dekat tempat tinggal mereka. Namun ketika mereka tidak terikat jam kerja, mereka tetap melaksanakan sembahyang berjamaah di masjid atau langgar yang ada di dekat tempat tinggal mereka.
Mereka yng menjadi pengurus masjid/takmir masjid tetap menjalankan tugas mereka sebagai pengurus /takmir masjid. Apabila tugas tersebut tidak dapat dilaksanakan siang hari karena mereka bekerja di perusahaan industri, maka pekerjaan tersebut dilaksanakan pada malam hari.
Untuk ibadah yang bersifat sosial seperti zakat, infaq dan sodakoh, dan ibadah yang bersifat individual seperti menunaikan ibadah haji, hingga saat ini belum ada perubahan yang signifikan. Meskipun sebagian umat Islam di desa Purworejo telah bekerja di sektor industri dengan penghasilan yang relatif lebih tinggi dibandingkan penghasilan di sektor pertanian, namun hingga saat ini belum terjadi peningkatan yang signifikan. Untuk nilai zakat. infaq dan sodakoh memang ada peningkatan di era industrialisasi ini, dibandingkan dahulu sebelum era industrialisasi. Namun peningkatan tersebut tidak siknifikan. Demikian pula dengan antusiasme umat Islam untuk menunaikan ibadah haji juga belum menunjukan terjadinya kenaikan yang signifikan. Hingga sat ini, penghasilan umat Islam di Desa Purworejo dari bekerja di perusahaan industri masih dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga misalnya membeli mobil.
Antusiasme umat Islam di Desa Purworejo untuk menyambut perubahan yang terjadi akibat adanya proses industrialisasi tidak lepas dari peran ulama. Pada masa menjelang terjadinya perubahan akibat proses industrialisasi dan pada saat awal terjadinya proses perubahan, para ulama di Desa Purworejo selalu mengajak umat Islam untuk menyambut perubahan tersebut. Menurut para ulama, perubahan merupakan suatu keniscayaan. Tidak ada orang yang bisa menghalangi terjadinya perubahan kalau perubahan tersebut sudah menjadi agenda pemerintah. Tugas umat Islam adalah menyambut perubahan tersebut dan mempersiapkan diri agar dapat mengambil manfaat dari proses industrialisasi tersebut. Selain itu dalam setiap ceramah ulama juga selalu menyampaikan manfaat yang bisa diperoleh dari perkembangan industri. bukan hanya kesempatan kerja di sektor industri, tetapi juga kesempatan usaha, seperti warung, dan kos bagi pekerja.
Untuk mendorong umat agar dapat berpartisipasi dalam proses industrialisasi yang terjadi di wilayah Purworejo, maka para ulama di Desa purworejo dalam era industrialisasi melakukan aktualisasi materi dakwah mereka. Selain mengajak umat untuk selalu berbuat kebaikan, menjaga keharmonisan dan kerukunan, menjaga etika dengan tidak mengumpat pemimpin, dan berperilaku yang baik, di era industrialisasi ulama juga mengajak umat untuk mencari ilmu yang dapat dijadikan bekal untuk bekerja di sektor industri. Ilmu tersebut bisa berupa ketrampilan atau keahlian yang dibutuhkan di sektor industri, sehingga ketika ada pembukaan kesempatan kerja di perusahaan-perusahaan industri umat Islam di Desa Purworejo dapat memanfaatkan kesempatan kerja tersebut.
Lembaga keagamaan
Di desa Purworejo ada organisasi keagamaan, yaitu ranting NU, Muslimat dan fatayat NU. Hingga saat ini urusan kesejahteraan umum yang dilakukan oleh organisasi keagamaan tersebut sebatas memberi santunan/bantuan biaya pendidikan bagi anaka-anak sekolah dari keluarga kurang mampu dan memberi bantuan kepada keluarga miskin yang sedang mengalami musibah. Dana yang dipergunakan untuk melaksanakan program bantuan pendidikan kepada siswa yang berasal dari keluarga miskin dan duafa dan bantuan kepada keluarga miskin diambilkan dari dana yang terkumpul dari gerakan koin nahdliyin yang dilaksanakan oleh ranting NU. Untuk penyelanggaraan program kesejahteraan umum lain di bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan dan ekonomi belum dapat dilaksanakan. Salah satu faktor penyebab adalah keterbatasan dana yang dimiliki oleh organisasi.
Hingga saat ini kegiatan yang dilakukan oleh Muslimat dan Fatayat NU masih sebatas pengajian dan membaca tahlil dan yasin, sedangkan kegiatan dalam urusan kesejahteraan umum seperti penyelenggaraan pelayanan pendidikan, kesehatan, lingkungan dan ekonomi masih belum dapat dilaksanakan. Kendala yang dihadapi untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut adalah keterbatsan sumber daya, khususnya dana.