Arsip:

Artikel

Desaku yang Tak Permai Lagi (Kampung Ahmadiyah dalam Kepungan Kekerasan)

Oleh: Drs. Mochamad Sodik, S.Sos, M.Si.

Minggu berdarah (6-2-2011) di Cikeusik Banten yang menimpa warga Ahmadiyah sebenarnya adalah ledakan bom waktu, yang sudah didahului dengan serentetan peristiwa kekerasan di banyak daerah. Warga Ahmadiyah sudah mengalami ratusan kali intimidasi dan perlakuan kekerasan. Tragedi Cikeusik yang menewaskan tiga warga Ahmadiyah merupakan puncak dari safari intimidasi yang semoga merupakan lembaran buram yang terakhir dalam sejarah persekusi di Indonesia.

Serangkaian kekerasan terhadap Ahmadiyah dilakukan oleh sekelompok orang secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Tiga jenis kekerasan yang disebut oleh Ignas Kleden (2001) sebagai kekerasan fisik, struktural, dan kultural hadir di sana.

Sejumlah kampung Ahmadiyah yang dulu permai dan damai, kini tak lagi, seiring dengan minimnya ketegasan aparat keamanan dan absennya penegakan hukum serta hadirnya fundamentalisme Islam trans-nasional.

A. Kasus Kekerasan di Kampung Manislor

Manislor merupakan enclave Jemaat Ahmadiyah Qodian yang sangat populer di kalangan internal Ahmadiyah maupun dalam liputan media. Manislor merupakan sebuah desa di Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Di wilayah ini mayoritas penduduk menjadi pengikut Ahmadiyah dan kepala desanya dijabat oleh aktivis Ahmadiyah.

1. Kekerasan Kultural-Psikologis

Tipe a. Fatwa MUI

Tafsir kebencian menjadi model fatwa MUI, baik MUI tingkat Pusat maupun MUI Daerah, sebagaimana ditunjukkan oleh Fatwa MUI Kuningan No. 86/MUI-KFH/X/2004 tentang pelarangan Ahmadiyah. Fatwa ini dijadikan argumen oleh sebagian kelompok Islam untuk menyikapi keberadaan Ahmadiyah, yang seringkali dengan cara kekerasan.

Tipe b. Seruan dan Penegasan Terbuka kepada Ahmadiyah

Penegasan terakhir (11 Desember 2007) yang  suratnya ditujukan kepada Kajati Kuningan/Ketua PAKEM Kabupaten Kuningan, yang isinya antara lain:
1.Hentikan segera seluruh kegiatan Ahmadiyah sebelum Hari Raya Idhul Adha 1428 H.
2.Tutup/segel seluruh tempat kegiatan Ahmadiyah (1 masjid, 7 mushola, 1 Gedung Pertemuan, 1 rumah dinas, dan 1 tempat pengkaderan/pendidikan SMP Amal Bakti) serta berlakukan sanksi hukum.
3.Bongkar atau musnahkan seluruh tempat kegiatan Ahmadiyah apabila melanggar nomor 2.

Tipe c. Baliho Permanen Gerbang Utama Desa

Pada awalnya, ketika peneliti memasuki desa Manislor pada tahun 2006, hanya ada satu baliho (bagian atas) yang terpampang dengan tulisan “Melarang Ajaran dan Kegiatan Ahmadiyah di Wilayah Kabupaten Kuningan”.

Setahun berikutnya (2007), bersamaan dengan ramainya kasus Ahmadiyah dan membesarnya arus pembelaan Ahmadiyah, muncul satu baliho lagi (bagian bawah) dengan tulisan “Ahmadiyah Mutlak Bukan Islam, Ajarannya Sesat dan Merusak Islam, Orang Islam Mendukung Ahmadiyah = Murtad”. Atas desakan aparat keamanan, baliho tersebut diturunkan pada tahun 2008, pasca SKB 3 Menteri.

2. Kekerasan Struktural: Kebijakan Diskriminatif

SKB Pemda Kuningan tahun 2002 mengenai pelarangan Ahmadiyah berimplikasi pada pelarang pencatatan menikah bagi warga Ahmadiyah di Kantor Urusan Agama (KUA) wilayah Kabupaten Kuningan. Jika jemaat ingin melangsungkan pernikahan, mereka harus ke luar dari daerah Kuningan. Warga Ahmadiyah pada umumnya memilih KUA wilayah Cirebon untuk melangsungkan pernikahan mereka. Selain itu, mereka juga memilih wilayah lain yang dirasakan aman, seperti Jakarta, Bekasi, dan Tangerang.

3. Kekerasan Fisik: Perusakan dan Pembakaran Masjid, dan Penganiayaan

Sejumlah masjid/mushola dirusak dan dilempari batu oleh kelompok penyerang. Sebuah mushola telah dibakar massa, sekarang tinggal puing-puingnya saja.

Seiring dengan kejadian perusakan, 1 warga Ahmadiyah mengalami luka berat (terkena tusukan pisau) dan 6 warga luka ringan. Dalam penuturannya, korban tidak mengenal identitas pelaku karena mereka berasal dari luar daerah.

Kejadian tersebut merupakan “satu episode” dari serangkaian episode kekerasan yang dialami oleh warga Ahmadiyah. Mereka mengalami apa yang disebut Barkan dan Snowden (2001) sebagai collective violence.

B. Akar Masalah

Kita dapat meyebut teologi intoleransi merupakan akar masalah utama dari serangkaian kekerasan yang menimpa kelompok minoritas seperti Ahmadiyah. Teologi intoleransi beroperasi dalam beberapa tingkat. Pertama, pembentukan pengetahuan tentang pemahaman bahwa tafsir agamanya yang paling benar, sementara yang lain adalah sesat dan menyesatkan. Di sini awal mula munculnya tafsir kebencian. Kedua, sikap hidup yang merasa paling benar sendiri di hadapan Tuhan, dengan memandang yang lain sebagai lawan. Pada taraf ini, aturan negara seringkali dinomor sekiankan. Ketiga, penyerangan terhadap kelompok yang tidak sepaham merupakan pilihan yang dapat ditempuh. Pada tingkat ini konsep jihad secara fisik terhadap pihak lawan dipandang sebagai jalan suci. 

Teologi intoleransi dapat bersifat pasif dan aktif. Intoleransi pasif pada umumnya hanya berhenti pada tafsir kebencian, tidak lebih dari itu. Bersifat pasif, karena ia berhenti ketika ada rambu-rambu aturan negara yang mesti ditaati. Intoleransi pasif dapat bergerak menjadi aktif jika ada dorongan terus menerus dari luar dirinya seiring dengan menurunnya kepercayaan umat terhadap aparatus dan institusi negara.

Teologi intoleransi sangat mudah ditumpangi oleh beragam kepentingan, baik politk maupun ekonomi. Bagaikan api, tinggal menyiramkan bensin di atasnya. Pada saat yang sama, aparatus negara terlambat mengantisipasi keadaan, bahkan terkesan ada pembiayaran.

Lemahnya saling kepercayaan sosial dan tingkat kesenjangan ekonomi yang semakin lebar menjadi taman persemaian bagi tumbuhnya teologi intoleransi. Absennya penegakan hukum menjadi pupuk penyuburnya. Lengkap sudah sejumlah prasyarat bagi pertumbuhan teologi intoleransi di negeri ini.

Sejumlah peristiwa kekerasan yang terjadi sebelumnya, baik di tempat yang sama maupun tempat lainnya, tidak menjadi pelajaran yang berarti. Nyawa dan harta benda kelompok minoritas seakan tak berharga. Jika peritiwa berdarah terjadi, maka korban yang justru seringkali disalahkan. Aparatus negara terjebak dalam logika kuasa umat mayoritas, sehingga cenderung menyalahkan minoritas yang menjadi korban kekerasan. Inilah victimisasi sistemik: korban jatuh tertimpa tangga dan tertusuk paku pula.

Dalam kepungan kekerasan semacam itu, warga Ahmadiyah lebih memilih jalan damai, silaturahmi, dan advokasi untuk mempertahankan eksistensi mereka. Selebihnya, mereka berdo’a: Allahummahdi qaumii fainnahum laa ya’lamuun” (Ya Allah berilah petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka belum mengerti).

C. Sikap Kita?

Kita perlu merumuskan sikap tegas terhadap keberadaan Ahmadiyah. Pertama, kita sebagai warga negara yang taat hukum harus memandang warga Ahmadiyah sebagai bagian dari warga negara Indonesia. Hukum negara yang seharusnya mengatur tentang keberadaan Ahmadiyah, bukan hukum agama. Kedua, sebagai umat manusia yang beradab, kita memandang wilayah teologi merupakan wilayah hati nurani manusia yang tidak dapat tunduk oleh kekuatan eksternal ataupun paksaan pihak manapun. Pilihan opsi untuk pembubaran Ahamadiyah atau memaksa mereka menbentuk agama baru dapat menabrak hak dasar warga negara Indonesia yang dijamin oleh konstitusi. Ketiga, segenap aparatus negara wajib melakukan pencegahan dini terhadap setiap gelagat yang mengarah kepada tindak kekerasan. Keempat, penegakan hukum secara adil dan beradab harus diterapkan kepada siapapun. Kelima, bagi umat Islam yang menganggap Ahmadiyah sebagai aliran sesat, adalah tugasnya untuk mengingatkan dengan penuh hikmah, santun, dialogis, dan dalam suasana kedamaian. Keenam, jika warga Ahmadiyah tetap memilih jalan yang diyakininya, anggap saja mereka tersesat di jalan yang benar. Wallahu a’lam bish-shawab.

Desa dalam Kekuasaan Supra Desa: Pembangunan di Desa vs Pembangunan Desa

Oleh: Sudir Santoso (Ketua Presidium Parade Nusantara)

“Desaku yang kucinta, pujaan hatiku. Tempat ayah dan bunda, dan handai taulanku..” adalah sepotong syair yang melukiskan bagai orang memandang desa, dengan cara pandang yang romantis. Kenyataannya bagi orang desa sendiri, desa tentu saja tidaklah seromantis itu. Sebagai mantan kepala desa, saya justru merasakan bahwa desa sesungguhnya telah lama tidak menjadi dirinya sendiri (baca: otonom), melainkan desa hanyalah imaginasi dari berbagal pihak yang merupakan supra desa. Mereka adalah pemerintah pusat, para pengusaha, tengkulak, bupati, camat, mungkin juga LSM, dan lain‑lain.

Pemerintah Pusat pada masa orde baru merasa terancam dengan desa sebagai wilayah politik yang dinamis, tempat pertarungan riil dari kepentingan ekonomi secara riil oleh kaum tani/buruh tani, serta pertarungan demokrasi oleh partai‑partai politik. Lalu mereka berimajinasi bahwa stabilitas ekonomi dan politik versi orde baru hanya dapat dilakukan jika desa berhasil ditundukkan. Maka keluarlah UU No 5 Tahun 1979 tentang Desa, yang sesungguhnya berisi kontrol negara sepenuhnya kepada desa. Desa ada di dalam genggaman Camat dan juga Bupati. Partai-partai menyingkir dari desa, kecuali tentu saja Golkar, lalu diperkuat dengan Babinsa. Semua aktivitas di Desa berada sepenuhnya di tangan supra desa tersebut. Urusan pertanian yang menjadi aktivitas sehari‑hari masyarakat desa dikontrol, benih yang akan ditanam, pupuk yang digunakan semua dikontrol oleh aparatur negara dengan segala jenisnya. Bahkan urusan reproduksi masyarakat desa pun menjadi urusan ‘negara’, misalnya dalam program KB.

Kepala Desa menjadi figur sentral di desa, budaya patronase dikukuhkan untuk menguatkan sentralisme kekuasaan kepala desa. Semua akses terkumpul melalui kepala desa, sebab kepala desa adalah jembatan yang memfasilitasi semua kepentingan supra desa di desa.

Namun yang perlu disadari bahwa kekuasaan di desa yang dianggap berpusat di tangan kepala desa sesungguhnya hanyalah pseduo (semu), sebab kekuasaan tersebut hanyalah perpanjangan tangan aparatur negara di atasnya. Kepala Desa pun menjadi pion bagi kekuasaan untuk melegitimasi segala sesuatu yang dikehendaki para aktor pemegang kekuasaan di atasnya. Hari‑hari kepala desa sibuk untuk menyelamatkan dirinya dari kemarahan kekuasaan aparatur di atasnya, maka benar tulisan Hans Antlov “Negara dalam Desa” yang melukiskan aktivitas kesibukan Pak Kades, bukan mengurus warga di desa melainkan sibuk mondar‑mandir ke kecamatan atau kabupaten. Pak Kades pun memfasilitasi semua kepentingan supra desa di desa, tanda tangan tanpa banyak protes untuk pendirian pabrik, perkebunan, dan lain‑lain, semua atas nama kepatuhan kepada negara. Demikianlah orde baru menundukkan desa, kita menyebutnya sebagai Hegemoni.

Perubahan politik 1998, membawa angin segar di desa, dengan harapan di desa segera ada perubahan. Dan sekali lagi supra desa berimajinasi bahwa demokratisasi di desa perlu ditumbuhkan kembali, sebagal upaya untuk mengembalikan kepasitas politik rakyat desa dan mendorong pemerataan distribusi sumber‑sumber ekonomi desa kepada masyarakat agar tak mengumpulkan pada segolongan kecil di desa. Oleh karena itu, disusunlah UU No 22 Tahun 1999 yang mencabut UU No 5 Tahun 1979 tentang desa. Dalam imaginasi supra desa, demokratisasi dapat dijalankan jika ada sharing kekuasaan antara kepala desa dengan Badan Perwakilan Desa.

Rupanya gagasan itu tak bertahan lama, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengembalikan peran Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan Desa. Namun itu tidak berarti dengan serta‑merta kekuasaan di desa kembali terpusat kepada Kepala Desa. Negara rupanya masih mau mencuri kembali kekuasaan di desa, dengan menyisipkan pasal mengenai Sekretaris Desa diangkat menjadi PNS, dengan harapan negara masih mengambil kontrol atas adminitrasi desa ketika Sekdes menjadi perpanjangan tangan birokrasi. Apa Yang terjadi kemudian? Pasal ini memancing prahara lebih besar di desa. Kini beramai‑ramai perangkat desa lainnya menginginkan menjadi PNS. Harapannya tidak lain dan tidak bukan adalah jaminan kesejahteraan bagi perangkat desa.

Demikianlah, saya ingin mengatakan bahwa sesungguhnya segala keributan, keramaian yang terjadi di desa, adalah disebabkan karena imaginasi pihak‑pihak di luar desa. Yang selalu menganggu pikiran kami adalah mengapa mereka tidak bertanya kepada kami, kepada desa sendiri tentang imajinasi rakyat desa mengenai diri kami sendiri. Pertanyaan terbaru kami belakangan ini adalah apa imaginasi baru supra desa dalam hal ini pemerintah pusat kepada desa kali ini?

Kapasitas Yang Hilang Di Desa

Harus disadari bersama bahwa dengan datangnya perubahan, tidak serta merta kita bisa kembali ke romantisme masa lalu mengenai desa yang indah “tata titi tenteram kerta raharja“. Kenyataannya selama 32 tahun lebih selama Orde Baru berlangsung telah menghilangkan banyak kapasitas desa. Bahkan ketika otonomi daerah yang diterjemahkan dengan penguatan desentralisasi di kabupaten selama 10 tahunan ini, tidak serta‑merta dapat membangkitkan repolitisasi pedesaan yang berimplikasi pada redistribusi akses para pelaku‑pelaku di pedesaan.

Berikut ini adalah kapasitas‑kapasitas desa yang hilang selama kurun waktu Orba hingga kini: Pertama, rakyat desa kehilangan kapasitas politiknya. Ketika selama 32 tahun lebih segala organisasi yang ada di desa, baik pemuda, organisasi tani, bahkan organsiasi ibu‑ibu adalah bentukan negara, yang segala aktivitas organisasi wajib dilaporkan kepada negara. Tidak dengan serta‑merta kita dapat menumbuhkan organisasi baru dengan semangat baru dan pola organisasi yang lebih demokratis. Kenyataannya kemampuan rakyat berorganisasi telah lama memudar. Rakyat desa jelas‑jelas kehilangan kapasitasnya dalam berpotitik, mereka tidak sepenuhnya memahami cara dan mekanisme untuk melakukan tawar‑menawar bagi kepentingan aspirasinya secara sehat. Juga ditambah dengan kekecewaan berturut‑turut masyarakat desa dalam setiap kali pemilihan (legislatif, bupati, dll) yang biasanya melupakan janji mereka kepada rakyat usai dipilih.

Kedua, Aparatur Desa (Pemerintah desa) pun kehilangan kemampuannya di dalam menyelenggarakan pembangunan di desanya sendiri. Semua pembangunan infrastruktur diselenggarakan oleh pemerintah, dulu ketika Orba tentu dengan bantuan ABRI, kini pembangunan infrastruktur diserahkan kepada pelaksana proyek yang memenangkan tender pembangunan Infrastruktur.

Ketiga, desa (pemerintah desa) kehiliangan kemampuannya mengurus tata produksi desa. Bila dulu di setiap perdesaan Jawa, ulu‑ulu memegang peranan besar mengatur pengairan bagi pertanian warga, kini tidak lagi. Bila dulu di hampir setiap desa terdapat lumbung desa yang berfungsi menjaga stabilitas harga produk pertanian dan sebagai cadangan kebutuhan desa, kenyataannya sudah sangat lama lumbung desa menghilang, harga produk tak dapat dikontrol dan terus‑menerus jatuh apabila musim panen, desa‑desa kelaparan selama musim‑musim buruk yang menyebabkan gagal panen. Bila mana kita perhatikan, setiap selesai panen, di pinggir‑pinggir sawah para petani, pasti sudah standby di sana para tengkulak yang siap membeli hasil panen petani dengan harga rendah. Bulog terlalu jauh, petani tak mampu mengaksesnya, transportasi ke pasar jauh dan mahal, petani pun tak mampu menjangkaunya. Lembaga Desa tidak memfasilitasi urusan‑urusan tata produksi petani di desanya, malah kini bahkan lebih memalukan lagi, urusan kepala desa menjadi sekedar penyalur raskin, itu pun sering diprotes warga.

Keempat, lembaga desa kehilangan kapasitas penyelenggaraan layanan publik di desa. Bayangkan saat ini KTP saja sudah diambil menjadi urusan kabupaten, yang itu semakin menjauhkan akses rakyat desa terhadap urusan administrasi identitas yang sangat mendasar.

Fakta‑fakta tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya yang sedang terjadi selama ini adalah pembangunan di desa oleh supra desa, dengan menghilangkan kapasitas desa dalam membangun dirinya sendiri.

Persoalan‑persoalan di atas disebabkan sebab utamanya adalah karena minimnya alokasi anggaran untuk desa. Sekarang mari kita bayangkan bagaimana seorang kepala desa harus menjalankan pemerintahan desa yang meliputi banyak aspek dan layanan umum sampai tata produksi desa dan lain sebagainya, jika penerimaan di desa hanya terbatas. Sebagai gambaran adalah kondisi desa di Batang, Jateng sebagai berikut: desa menerima ADD per desa rata‑rata Rp 53 juta/tahun atau maksimal Rp 65 juta/tahun. Dana tersebut hanya dapat digunakan setelah diputuskan dalam Perdes mengenai penggunaan anggaran desa dan disesuaikan dengan Perda Kabupaten Batang. Dana tersebut digunakan untuk alokasi operasional rutin pemerintahan desa berupa ATK, administrasi desa, uang jalan, pemeliharaan inventaris desa seperti motor dan lain-lainnya, gaji kepala desa (rata‑rata Rp 500.000/bulan), gaji perangkat desa (rata‑rata Rp 200.000/bulan), LPMD, kegiatan karang taruna, honor guru TK, honor guru ngaji, dan pembangunan. Selain itu desa dapat saja mendapatkan dana stimulan dengan catatan kepala desanya harus pintar‑pintar me-lobby DPRD, besarnya bisa 5 juta sampai dengan 10 juta rupiah/tahun. Untuk pembangunan fisik seorang kepala desa harus menyusun proposal dan me-lobby dinas PU dan jikalau dapat me-lobby Bapermas (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, di tingkat propinsi).

Untuk kesejahteraan kepala desa dan perangkat desa, di pedesaan Jawa terdapat tanah bengkok desa, dengan catatan bahwa tak semua desa memiliki bengkok desa dan jikalau ada, luasannya sangat bervariasi. Di Batang, Jateng, bengkok desa bisa antara 2, 3 sampai dengan 5 ha bagi kepala desa maupun perangkatnya, luasnya variatif, juga kondisinya belum tentu di lahan yang subur.

Dengan gambaran riil sebagaimana disampaikan di atas, mari kita bayangkan bagaimana pemerintah desa dapat memiliki kapasitas menyelenggarakan pembangunan desa? Sangat mungkin pemerintah desa kehilangan kemampuannya untuk menjamin penyelenggaraan layanan umum mendasar dengan baik, apalagi kemampuannya menata tata produksi desa untuk berhadapan dengan para tengkulak yang memeras petani.

1 Milyar 1 Desa, 1 Undang‑undang tentang Desa

Kenyataan menunjukkan bahwa energi (sumber‑sumber ekonomi) desa diserap langsung tidak langsung secara terus‑menerus oleh pemerintah. Pajak PBB, pajak dalam setiap barang industri yang dibeli rakyat desa, sumber daya seperti hutan, lahan perkebunan dan tambang, baik yang diambil negara atau pengusaha sesungguhnya adalah energi ekonomi rakyat desa yang dibawa ke atas. Namun sebaliknya desa hanya mendapatkan setetes dana dari atas yang dikembalikan kepada rakyat desa untuk penyelenggaraan pembangunan desa.

Bisa dimengerti jika kemudian perangkat desa memilih menjadi PNS menyusul Sekdes yang telah diangkat sebelumnya menjadi PNS. Namun apakah kita hendak menuruti sekedar permintaan sebagian kecil elemen di desa (perangkat desa) sebagai gula‑gula, tetapi membiarkan sebagian terbesar masyarakat di desa dalam pemiskinan yang terus‑menerus. Ataukah kita mau berpikir dan memperjuangkan nasib semua warga desa, termasuk rakyat miskin di desa, petani, buruh tani, pemuda/pemudi desa, perangkat, dan kepala desa.

Persoalan desa yang mendasar adalah dana desa yang cukup signifikan, yang secara realistis mampu menumbuhkan daya hidup rakyat pedesaan. Bila negara memberikan alokasi anggaran desa 10% dari APBN, atau misal 1 desa 1 milyar per tahun, maka desa akan memiliki dana yang cukup, untuk menyelenggarakan pembangunan yang diperlukan oleh rakyat desa. Inislatif desa dapat ditumbuhkan kembali, tata produksi desa dapat dimaksimalkan kembali jika segala sarana infrastruktur pertanian yang dibutuhkan petani dapat dipenuhi oleh pemerintah desa tanpa harus menunggu cairnya proposal yang sebagaimana kita ketahui sering memakan waktu bertahun-tahun itu. Pasar‑pasar desa dapat kita tumbuhkan, dapat diperdekat aksesnya dengan petani, sehingga kita dapat memotong rantai perdagangan sehingga dapat membatasi peran para tengkulak. Bahkan layanan kredit untuk pembiayaan usaha rakyat desa dapat difasilitasi tanpa bunga yang tinggi dan persyaratan administrasi yang menyulitkan rakyat desa. Pemerintah desa pun dapat membangun sistem layanan umum mendasar yang dapat dengan mudah dan cepat diakses rakyat desa.

Menyadari pentingnya transparansi dan akuntabilitas, dan memahami bahwa desa masih harus belajar untuk membangkitkan kembali kapasitasnya membangun by desa sendiri, maka anggaran sebesar itu dapat diletakkan di kabupaten. Desa harus mematuhi mekanisme prosedur dalam mengambil dana dan melaporkan penggunaannya. Kabupaten dapat memberikan asistensi terhadap desa dalam melaksanakan program pembangunan desa dari dana tersebut.

Bilamana gagasan di atas dapat dipenuhi, maka saya yakin yang terjadi berikutnya adalah pembangunan di desa oleh orang desa. Bukan lagi pembangunan di desa oleh supra desa. Persoalan‑persoalan yang berkaitan dengan kebutuhan pragmatis aparatur desa, pasti dengan sendirinya juga dapat diselesaikan. Dengan demikian, sesungguhnya kami hendak membawa arah perjuangan mengenai desa ini bagi kepentingan seluruh elemen yang ada di desa, bukan memperjuangkan sebagian kecil dari elemen desa. Jika desa dapat dikembalikan pada daya hidupnya, maka Parade Nusantara yakin pembangunan negeri ini juga dapat ditopang oleh kemampuan rakyatnya sendiri. Sebagaimana pepatah Jawa : “desa tata, mbangun kutho.”

Tantangannya adalah kemauan negara dalam hal ini Pemerintah Pusat untuk sungguh-sungguh membangun dari bawah, bukan sekedar memberi gula‑gula pada desa.

Selanjutnya, sebagaimana disampaikan di paragraf awal makalah ini, bahwa pasca perubahan 1998, UU No 5 Tahun 1979 tidak diberlakukan kembali, dan sebagai gantinya disusun UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan selanjutnya diubah kembali dengan UU No 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dua UU yang disusun pasca Orba tersebut ternyata hanya menaruh sedikit perhatian kepada Desa. Secara keseluruhan mengenai desa dimuat dalam UU NO 22 tahun 1999, dalam pasal 93 sd 111 atau 8 pasal dari 134 pasal. Sementara UU No 32 Tahun 2004, Desa dimuat dalam pasal 200 sampai dengan pasal 216, atau 16 pasal dari 240 pasal.

Dari segi kuantitatif saja, nampak sekali bahwa desa terlihat kecil dari kacamata negara (pemerintah pusat). UU tersebut juga lebih sibuk mengatur mengenai kelembagaan pemerintahan desa yaitu kepala desa dan Badan Perwakilan Desa (UU No 22/1999) atau kepala desa dengan Badan Permusyawaratan Desa (UU No 32/2004), masa jabatan kepala desa 10 tahun atau 2 kali masa jabatan 5 tahun (UU No 22/1999) atau 6 tahun dan dapat dipillh satu kali lagi (UU No 32/2004), Sekdes jadi PNS (UU No 32 / 2004), atau menyelipkan hubungan kerjasama antar desa dalam UU No 22 Tahun 1999, dengan kerjasama desa dengan pihak ketiga dalam UU No 32 Tahun 2004. Sementara mengenai political will pemerintah pusat di dalam menyerahkan otonomi desa, kekuasaan desa mengelola sumber daya desa, alokasi dana desa yang cukup untuk sungguh-sungguh membangun desa, tidak dimuat eksplisit dalam UU.

UU No 32 Tahun 2004 bahkan lebih sibuk mengatur detail persoalan Pilkada dibanding memasukkan ketentuan‑ketentuan mengenai desa. Desa diserahkan dalam kekuasaan eksekutif semata, melalui pengaturan dalam Peraturan Pemerintah (PP No 72 tahun 2005). Artinya bahwa desa dianggap bukan wilayah strategis bagi partai politik pula. Padahal desa adalah lumbung suara bagi semua partai politik. Hal ini perlu disadari oleh semua elite politik di negeri ini. Kondisi ini menunjukkan bahwa semua partai politik lalai bahwa potensi pemenangan dirinya ada pada kemampuan mereka merepolitisasi kembali wilayah pedesaan untuk kemenangannya. Harusnya sekarang inilah saatnya semua partai politik di DPR merasa berkepentingan pada pembahasan RUU mengenai Desa.

(Pahit) Pangan Pemicu Inflasi

Oleh: Moch. Maksum Machfoedz

Hari-hari ini mewabah pemberitaan tentang inflasi dalam headline beberapa media. Antara lain: beras dan cabai sumber inflasi, cabai memicu inflasi di Jakarta dan sebagainya. Tidak salah bahwa telah beberapa lama negara ini terseok-seok dalam mengendalikan inflasi yang katanya dipicu oleh kenaikan harga beberapa komoditas pangan yang akhir-akhir ini terjadi.

Kejadian pertama, ditunjukkan oleh gagalnya pengendalian harga beras sejak Agustus 2010 karena operasi pasar (OP) yang mandul total dan tidak pemah beres. Menjelang tutup tahun, Desember 2010, kinerja OP beras nampak agak memadai setelah adanya keputusan nekat: importasi beras. Itupun masih pula disertai dengan manipulasi pasar yang aman-aman saja dalam memanfaatkan marjin harga antara harga OP dan harga pasar normal.

Kejadian kedua, adalah munculnya tanda-tanda bahwa pasok gula kristal putih (GKP) dalam negeri mulai menipis dan cenderung berwatak inflationary, diramalkan akan menjadi sumber inflasi. Oleh karena itu, muncullah kemudian gagasan super kreatif untuk legalisasi masuknya gula kristal rafinasi (GKR) ke pasar umum konsumsi yang selama ini adalah hak sepenuhnya GKP dalam negeri.

Ketiga, eskalasi harga cabai yang memuncak dan nyaris menyentuh angka psikologis Rp 100.000/kg, telah dikeluhkan sangat memicu inflasi.

Sepintas, fakta itu menyimpulkan betapa potensialnya komoditas pertanian untuk memicu dan menjadi sumber inflasi daerah maupun nasional. Pada gilirannya, hal tersebut memunculkan pemikiran pada tingkat publik untuk mempertanyakan betapa tidak mampunya para pemikir, birokrasi dan akademisi pertanian, yang bisanya kemudian hanya merepotkan kinerja perekonomian makro dengan potensi inflasi yang awal tahun ini sangat mengkhawatirkan. Tentu saja, gosip jalan pintas itu perlu memperoleh klarifikasi mengapa dan bagaimana mekanismenya kok bisa-bisanya sektor pangan dan pertanian menjadi kambing hitam inflasi.

Ada beberapa fakta yang harus menjadi perhatian seksama di sebalik kontribusi nyata pangan terhadap inflasi, sebagaimana potensi itu dimiliki oleh beras, gula dan cabai. Pertama, ketersediaan komoditas pangan memang secara alamiah sangat musiman. Dalam perubahan musim dewasa ini fluktuasi tersebut cukup menonjol. Terlebih ketika negara tidak mampu menyajikan dan mengkomunikasikan informasi cuaca secara tepat dalam mutu dan waktu kepada rakyat tani produsen di pedesaan. Ini memicu ketidakpastian produksi.

Kedua, peran pangan menjadi besar dalam inflasi karena kegagalan negara dalam penanggulangan kemiskinan. Nalarnya? Karena besarnya penduduk miskin dan hampir miskin yang cunsumption bundle, peta konsumsinya terkonsentrasi di sektor pangan, maka sedikit gejolak pada harga pangan langsung memicu inflasi. Ini sama sekali bukan salah harga yang melonjak-lonjak musiman, tetapi watak konsumsi mayoritas yang amat peka terhadap pangan.

Ketiga, krisis beras sebagai pemicu inflasi 2010 itu karena memblenya pengelolaan harga pasar yang ditunjukkan oleh gagal total OP menurunkan harga & akhirnya OP berbasis impor. Keempat, khusus untuk cabai yang kali ini sangat ekstrem inflation share-nya. Pola produksi yang sangat terganggu cuaca dan didukung lemahnya sistem informasi cuaca, tidak ketemu dengan pola konsumsi yang sampai hari ini sangat mengandalkan produk segar.

Satu hal yang tidak bisa dikesampingkan adalah munculnya efek domino akibat dari naiknya harga komoditas tertentu, karena strategisnya telah memicu kenaikan harga produk-produk lain, meski lebih banyak nampak sebagai efek psikologis, dibandingkan efek teknis finansial. Hal ini mudah dipahami karena pertimbangan nilai tukar komoditas. Harga cabai mahal, masak sih kangkung saya harus tetap murah pak? Begitu petani kangkung berujar.

Fenomena ini bisa berkenaan dengan komoditas pangan apapun pada saat berposisi strategis di suatu waktu tertentu dalam peta konsumsi masyarakat kebanyakan, poor and near poor. Maka jalan terbaiknya sudah barang tentu mengelola perimbangan pasar untuk komoditas apapun yang peka cuaca melalui pengembangan teknologi usaha tani, pengembangan sistem informasi usaha tani, teknologi pasca panen, tetapi pola konsumsi dan tata kelola pangan antarwaktu. Yang kesemuanya itu dalam upaya mendekatkan relasi penawaran-permintaan pangan dalam jumlah, waktu, wujud dan mutu pangan.

Kalau negara nampak begitu takutnya dengan inflasi dua digit akibat eskalasi harga pangan, maka hanya cara-cara itu yang harus dilakukan. Tentu Negara perlu melakukan pemetaan persoalan pangan nasional secara cermat dan menyelesaikan secara cermat pula. Hal ini penting sekali karena, seperti diajarkan oleh sebutir gabah dan sebatang cabai, relasi pangan dengan kinerja perekonomian nasional memang teramat dekat. Tuntutan ini pula yang mengingatkan Negara untuk tidak sembrana dan menganak-tirikan sektor pertanian seperti selama ini terjadi: sekadar ditempatkan sebagai sumber pangan murah.

Jangan pula negara semakin berlebihan berkonsentrasi hanya mengurus bercocok-tanam beras. Karena terbukti bahwa kinerja perekonomian nasional bisa kacau-balau hanya karena sebuah biji cabe, setetes jlantah, dan sebutir gula pasir. Sungguh memprihatinkan ketika kisruh yang sama akan kembali dan kembali berulang karena kebodohan para pengambil keputusan yang tidak peduli terhadap tanda-tanda zaman. (Penulis adalah Ketua PBNU, Guru Besar TIP FTP-UGM dan Peneliti PSPK-UGM)

~~Warta Pedesaan Edisi Januari 2011

Beras: Porak-porandakan Kinerja Ekonomi Makro

“Hari-hari ini beras sebagai pangan pokok utama Bangsa Indonesia sungguh telah menyadarkan Negara betapa besar kesaktian yang dimiliki dan sangat berpengaruh terhadap kinerja makroekonomi RI. Untuk ke sekian kalinya kesaktian tersebut ditunjukkan beras melalui kontribusinya yang sangat signifikan dalam angka inflasi tahunan 2010, yang menurut kalkulasi mutakhir Biro Pusat Statistik, BPS, sebesar 6,96 persen.” Demikian pernyataan penyaji dalam seminar bulanan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) pada hari Rabu, tanggal 19 Januari 2011. Seminar yang telah menjadi tradisi setiap bulan itu, pada kesempatan tersebut menghadirkan seorang narasumber, Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, M.Sc, guru besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM sekaligus peneliti senior PSPK, dengan moderator Dr. Agnes Mawarni. Topik yang diangkat pada seminar yang dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan tersebut adalah “Beras: Porak-porandakan Kinerja Ekonomi Makro”.

“Angka inflasi tersebut didominasi oleh bahan makanan dan makanan jadi, masing-masing sebesar 3,5 dan 1,23 persen. Tempat ke-tiga adalah perumahan, air, dan listrik sebesar 1,01 persen. Secara keseluruhan kontribusi makanan yang totalnya 4,73 persen ini setara dengan inflation share sebesar 68 persen. Artinya, dari angka inflasi nasional sebesar 6.96 persen tersebut, 68 persen merupakan pengaruh bahan makanan maupun makanan jadi. Data inflasi yang dipublikasikan BPS menunjukkan berturut-turut dominasi 5 besar dalam angka inflasi, yaitu: (i) beras dengan kontribusi 1,29 persen, (ii) tarif listrik 0,36 persen, (iii) cabai merah 0,32 persen, (iv) emas perhiasan 0,27 persen, dan (v) bawang merah 0,25. Angka-angka tersebut setara dengan sumbangan absolut sebesar: 18,5%, 5,3%, 4,6%, 3,9%, dan 3,9%, berturut-turut untuk beras, listrik, cabai merah, emas perhiasan, dan bawang merah. Berlebihankah kalau menyebut beras ini telah memporak-porandakan kinerja makroekonomi Indonesia? Mari kita lihat lebih lanjut bagaimana potensi sesungguhnya.” ucap Prof. Maksum.

Pengaruh Makro

Inflasi memang hanyalah merupakan satu dari banyak sekali indikator perekonomian makro yang lebih kurang terdeninisikan sebagai turunnya nilai atau daya beli uang. Dalam kerangka agregatif dan nasional, sudah barang tentu angka ini terhitung sebagai rerata tertimbang yang dipengaruhi oleh rerata tertimbang volume konsumsi penduduk dan besaran harga masing-masing barang konsumsinya. Inflasi hanyalah daya beli uang yang melemah.

Sebagai indikator makroekonomi, inflasi ini bisa disebut sebagai yang paling penting karena dia akan berpengaruh terhadap indikator makro lainnya seperti: pertumbuhan ekonomi, nilai upah dan gaji, ketenagakerjaan, nilai bunga permodalan, beaya produksi nasional, kemerataan ekonomi, dan indikator makro lainnya. Segala ukuran nominal kinerja ekonomi makro secara otomatis harus direvisi berdasarkan besaran inflasi menjadi angka-angka riel.

Besaran inflasi ini tidak hanya berkait dengan daya beli publik semata, terutama rakyat miskin yang porsi konsumsi pangannya mendominasi anggaran belanja harian, consumption bundlenya. Pada gilirannya, inflasi ini berpengaruh langsung terhadap nilai UMR yang menjadi di bawah minimum dan harus dinaikkan, biaya produksi juga akan terpengaruh oleh kenaikan UMR, dan selanjutnya kenaikan UMR yang tidak terbendung akan berakibat PHK.

Oleh karena itu, sungguh tidak mengherankan ketika karena kekuatannya yang sangat inflationary metakhir ini bahan makanan seringkali naik kelas, mewarnai banyak sekali perhelatan dan percakapan, resmi maupun tidak resmi, mulai dari Sidang Kabinet Indonesia bersatu jilid II, rapat-rapat kerja Pemerintahan, lokakarya dan seminar, bahkan sampai perbincangan warung kopi serta sego kucing yang semakin tidak terasa pedasnya.

Kegelisahan Beras Terlambat

Kalau cabai yang hanya berkekuatan kurang dari 5 persen saja bisa merubah pola konsumsi dan perubahan harga di warung-warung, sudah barang tentu beras yang semakin sakti dengan pengaruh 18.5 persen lebih menggelisahkan dalam pandangan KIB-II. Sayangnya, kegelisahan ini selalu saja datang terlambat sementara indikasi dari besarnya potensi beras untuk mendongkrak inflasi ini telah terdeteksi sejak sangat dini, Februari 2010.

Indikasi pertama adalah gejala jeleknya kualitas panen yang ditunjukkan oleh mulainya musim panen yang awal 2010 masa panen beras selalu diwarnai oleh bulan basah karena pengaruh perubahan iklim terjadi ditengah bulan-bulan basah. Indikasi kedua ditunjukkan oleh rendahnya pengadaan dalam negeri (ADA-DN) yang dilakukan oleh Negara (BULOG) dalam pengadaan stok sebagai akibat dari terlalu rendahnya angka-angka HPP dalam Inpres 7/2009.

Dua hal ini telah menghasilkan data awal bahwa sampai dengan akhir April 2010 ADA-DN baru berhasil sejumlah 663.000 Ton dari target pengadaan sebesar 3,2 juta ton untuk tahun 2010. Data ini diperkuat data lain yang dikeluarkan awal juni 2010, bahwa dari target tahunan tersebut baru berhasil dikumpulkan sejumlah 60 persen. Sementara itu, jelas sekali bahwa pengadaan besar-besaran selepas Juni sangat sulit karena semakin jauh dari panen raya, dan ini merupakan pertanda nyata akan mandulnya kekuatan pengendalian harga.

Angka 60 persen ini jelas sekali sangat jauh dari harapan. Banyak pihak mempersalahkan BULOG karena gagal melakukan pengadaan untuk melakukan target prognoisanya sendiri sejumlah 3,2 juta ton untuk 2010. Akan tetapi, kecuali faktor kelambanan dalam pengadaan, ada soal lain yang memayungi kinerja otoritas pangan apapun bahwa secara operasional mereka semua harus tunduk kepada Inpres 7/2009 sebagai landasan.

Benar dugaannya, bahwa sejak Juni-Juli itulah krisis beras terasakan dan semakin berkepanjangan, diawali dengan Operasi Pasar yang dilakukan 17 Juli 2010, sampai beberapa bulan berikutnya. Alhasil, karena kekuatan beras yang bukan main dan terus saja menakutkan bagi terjaganya kinerja makroekonomi, sinyal importasi dilontarkan justru ketika Bangsa ini sedang beroleh berkah beras dengan cadangan nasional maksimal sepanjang sejalah: 9,6 sampai 10,1 juta ton setara beras pada awal bulan Agustus dan September 2010.

Akhirnya, pasar beras awal tahun ini agak tidak bergejolak, meski pengendalian harga dilakukan dengan sangat tidak masuk akal: OP Berbasis Import.

OP Berbasis Import

Ironi yang ke sekian telah terjadi dalam perberasan nasional RI. Pada saat surplus cadangan maksimal sepanjang sejarah terjadi, Agustus-September 2010, eskalasi harga beras ternyata semakin menjadi-jadi. Harapan akan normalisasi harga beras akan terjadi selepas Iedul Fitri, ternyata isapan jempol belaka. OP dan apapun upaya untuk mengembalikan normalitas harga beras selalu saja memperoleh perlawanan dengan fakta beras tetap mahal.

KIB-II sebenarnya juga selalu kontroversial untuk importasi, karena menurut BPS, 2010 bukan sekedar swasembada tetapi swasembada dengan surplus 2010 sebesar 5,6 juta ton beras menurut ARAM-II dan direvisi sedikit menjadi 3,9 juta ton beras menurut ARAM-III. Ini jumlah surplus tahunan yang belum pernah terjadi. Akan tetapi, ironisnya, sukses ini juga disertai dengan rekor hebat dengan pengaruh inflasi yang semakin mengkhawatirkan. Dalam kekalutan itulah diputuskan penggelontoramn pasar, OP berbasis import.

Reorintasi Segera

Kali ini rekor kontributif dipersembahkan oleh beras. Akan tetapi, hiruk pikuk di penghujung tahun 2010 justru dihentakkan oleh cabe merah yang mampu menebus angka Rp 100.000 per kilogram, sementara, gula pasir sudah antri untuk menggusur posisi beras dengan indikasi sudah munculnya pemikiran lagalisasi masuknya gula rafiniasi ke dalam pasar konsumsi yang selama ini disediakan khusus bagi GKP, gula krital putih dalam negeri.

Intisari ajarannya adalah, secara bergiliran mulai awal tahun 2010 terjadi gangguan pasar yang disebabkan oleh bergejolaknya komoditas pangan, mulai dari produksi kedele yang merosot, gula kristal putih yang tergusur dari pasar, kelangkaan cabe merah yang menonjol di pertengahan tahun dan muncul lagi penghujung 2010, rusaknya harga daging sapi, beras yang sudah mendera sejak pertengahan 2010, dan balada pangan lainnya awal 2011 ini.

Secara bergantian komoditas itu menyibukkan KIB-II. Sayangnya, hiruk-pikuk yang sudah senantiasa mentradisi itu tidak pernah diperhatikan sebagai pelajaran berharga bahwa itulah sederet kenyataan yang mengingatkan Bangsa ini untuk tidak lagi main-main dengan pembangunan pangan dan pertanian. Faktanya, banyak yang justru memunculkan kritik jalan pintas dengan mencaci-maki pembangunan pertanian yang tidak bisa mengendalikan produksi.

Peran pangan menjadi besar dalam inflasi karena kegagalan Negara dalam penanggulangan kemiskinan. Nalarnya? Karena besarnya penduduk miskin dan hampir miskin yang cunsumption bundle, peta konsumsinya terkonsentrasi di sektor pangan, maka sedikit gejolak pada harga pangan langsung memicu inflasi. Ini sama sekali bukan salah harga yang melonjak-lonjak musiman, tetapi watak konsumsi mayoritas yang amat peka terhadap pangan.

Mengingat bahwa penomena ini bisa berkenaan dengan komoditas pangan apapun pada saat berposisi strategis di suatu waktu tertentu dalam peta konsumsi masyarakat kebanyakan, poor and near poor, maka jalan terbaiknya sudah barang tentu mengelola perimbangan pasar untuk komoditas apapun yang peka cuaca melalui pengembangan teknologi usahatani, pengembangan sistem informasi usaha tani, teknologi pasca panen, terapi pola konsumsi, dan tata kelola pangan antar waktu, semuanya itu dalam upaya mendekatkan relasi penawaran-permintaan pangan dalam jumlah, waktu, wujud dan mutu pangan.

Kalau Negara nampak begitu takutnya dengan inflasi akibat eskalasi harga pangan, maka hanya cara-cara itu yang harus dilakukan dengan konsisten dan lebih sungguh-sungguh oleh Negara melalui pemetaan persoalan pangan nasional secara cermat dan menyelesaikan secara cermat pula. Sementara itu untuk soal daya beli harus diatasi dengan upaya: penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan, dan terapi OPK yang hanya untuk komunitas, waktu dan kasus yang sangat emergency dan bukan sebagai terapi abadi seperti selama ini.

“Jangan pula Negara semakin berlebihan berkonsentrasi hanya mengurus bercocok-tanam beras melulu, karena telah terbukti bahwa kinerja perekonomian nasional bisa kacau-balau hanya karena sekeping biji cabe, setetes jlantah, dan sebutir gula pasir… Sungguh memprihatinkan ketika kisruh yang sama akan kembali berulang karena kelambanan pengambil keputusan yang tidak pernah peduli terhadap tanda-tanda jaman… na’udzu billah…” kata penyaji sebelum seminar sore tersebut ditutup.

~~Warta Pedesaan Edisi Januari 2011

UU Desa: Mengembalikan Kedaulatan Menuju Pembangunan Desa Berkelanjutan

Oleh: Susetiawan

Pengantar

Desa itu menunjuk wilayah, yang didiami oleh masyarakat, yang di dalamnya terdapat sumber-sumber produksi, yang didalamnya juga memiliki tata kelola (governance), diikat oleh aturan main yang disepakati bersama oleh masyarakatnya dan ada pengaturan untuk menegakkan aturan, yang sering disebut dengan istilah pemerintahan. Dalam konteks ini, dulu desa itu adalah negara. Sebelum negara monarchi atau sekarang bergeser menjadi negara kesatuan yang mengintegrasikan berbagai wilayah itu ada, desa sudah ada lebih dulu. Oleh sebab itu desa sudah sejak lahirnya merupakan wilayah yang bersifat otonom. Misalnya pada jaman kerajaan, pemerintahan pusat (kerajaan) tidak banyak campur tangan dalam pengaturan desa, namun hal penting yang hendak diperoleh dari proses pengintegrasian ini adalah pusat mendapatkan upeti dari wujud kesetiaan masyarakat yang terintegrasi terhadap negara.

Dalam proses panjang, ketika pembangunan itu dilakukan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, kondisinya menjadi berbalik, desa menjadi bagian dari pemerintahan pusat dengan posisi pinggiran dan kehilangan otonomi. Selanjutnya desa menjadi obyek pembangunan semua lembaga pemerintahan di atasnya sehingga tidak memiliki kewenangan dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Pusat menjadi sangat kokoh, melakukan sentralisasi, mendominasi pengaturan segala macam sumber yang terletak di desa dan lebih dari itu, yakni mengambil alih pemilikan desa menjadi pemilikan pusat. Salah satu contoh, UU pertambangan bernuansa pusat dari pada daerah.

Desa tidak hanya termarjinalisasi oleh pusat melainkan juga oleh determinasi kepentingan negara-negara industri yang telah dan sedang memperluas pasar barang industrialnya. Posisi negara menjadi sulit dipertangungangjawabkan, ketika negara melakukan proses integrasi nasional maka pertanyaannya, demi kepentingan siapa negara melakukan pengintegrasian lokal ke dalam nasional? Pengintegrasian lokal (desa) untuk kepentingan kesatuan bangsa atau untuk kepentingan perluasan pasarnya negara maju yang menyediakan ruang untuk pasar global? Pertanyaan ini sungguh merisaukan sebab posisi desa sekarang ini sudah menjadi bagian wilayah yang didominasi oleh kepentingan perluasan pasar global. Perjuangan macam apa yang harus dilakukan agar desa berkembang, berdaulat dan memiliki hak-hak yang mampu menjamin kesejahteraan masyarakatnya?

Kerusakan Lingkungan dan Kemiskinan Desa

Pembangunan desa yang telah dilakukan selama 40 tahun tidak banyak merubah wajah desa menjadi makmur. Sistem komersialisasi pertanian tanaman pangan memang mampu meningkatkan jumlah produksi per areal lahan pertanian pangan, namun peningkatan jumlah produksi tidak diikuti oleh pertambahan jumlah pendapatan perkapita masyarakat, bahkan jumlah biaya produksi dalam system pertanian pangan komersial menjadi meningkat. Saprodi seperti pupuk, pestisida dan bibit harus dibeli, yang harganya setiap tahun selalu meningkat. Persoalan lain, kondisi kerusakan tanah akibat pupuk kimia juga semakin tinggi dan ketergantungan tanah terhadap pupuk kimia juga semakin tinggi pula. Desa, yang dulunya, kaya akan teknologi dan jenis benih padi sekarang banyak hilang lantaran diganti dengan benih padi produksi pabrik. Sumber-sumber ekonomi produksi desa, yang dulu dapat dikelola oleh lembaga desa, kini dikuasai oleh para industriawan terutama berkaitan dengan hasil tambang yang berada di wilayah desa. Desa yang seharusnya kaya kini menjadi miskin, baik miskin pengetahuan dan teknologi lokal yang semula dimiliki, hak dan kedaulatan untuk menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan kebutuhan yang ingin dicapainya. Pembangunan membawa degradasi lingkungan dan menuju proses pemiskinan justru karena miskinnya konsep pembangunan desa.

Perkembangan Desa Menjadi Ciri Pertumbuhan Nasional

Tesis masa lalu, kuatnya pemerintah pusat sebagai actor pengintegrasian lokal, secara otomatis akan menjawab kuatnya perkembangan lokal. Sama halnya, kuatnya pertumbuhan ekonomi nasional diasumsikan akan menjawab perkembangan kesejahteraan lokal melalui proses trickledown effect. Asumsi ini gagal menjelaskan perkembangan masyarakat desa. Keadaan yang berlangsung sebaliknya, yakni kuatnya pusat justru melakukan apropriasi atau pengabilalihan lokal oleh pusat. Pikiran paradigmatic ini garus doitinggalkan dan diganti sebaliknya, kuatnya pertumbuhan dan perkembangan lokal (desa) akan menjadi ciri pertumbuhan dan perkembangan nasional. Kesulitan terbesar untuk melakukan pembaharuan ini karena pusat memiliki kepentingan untuk menjadikan desa sebagai obyeknya dalam proses pembangunan. Watak aparatur negara tidak berubah bahkan masuk ke dalam ruang dimana mereka miskin konsep pembangunan dan hanya menjalankan pertanggungjawaban keuangan proyek, yang akan merasa selesai kalau keuangannya tidak dipersoalkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Perilaku ini sulit dibendung dan dipatahkan, kalau ada perubahan hanya terbatas pada wacana akan tetapi perilakunya tidak banyak mengalami perubahan. Keadaan ini semua dapat terjadi karena desa tidak memiliki jamanan perlindungan dari siapa pun yang hendak memiliki kepentingan terhadap desa seperti birokrasi pemerintahan pusat yang dilakukan oleh departemen tekni, para pebisnis dan kemungkinan besar lembaga swadaya masyarakat, meskipun tidak semua Lembaga Swadatya Masyarakat itu sama. Ini lah sebabnya sehingga desa kehilangan kedaulatan dan kemandirian untuk mengatur dan mengkreasikan sumber dan potensi yang tersedia sesuai dengan kepentingannya. Desa justru mengabdi kepada kepentingan lain karena merekalah yang memiliki dan mengimplementasikan program pembangunan pemerintah pusat.

Undang Undang Desa Sebagai Sebuah Perlindungan dan Jaminan Hak Kedaulatan

Kalau cara pandang tentang pembangunan itu diubah, yakni bukan memperkuat nasional akan tetapi memperkuat lokal sebagai ciri perkembangan nasional maka ini membutuhkan jaminan. Satu-satunya jaminan untuk mengembalikan kedaulatan desa adalah undang-undang. Inilah perlunya UU Desa. UU desa tidak hanya sekedar mengatur tentang pemerintahan desa akan tetapi mengatur secara keseluruhan tentang hak dan kewajiban desa dalam penyelenggaraan dan pengaturan rumah tangganya sendiri. Dengan demikian, UU ini juga tidak dapat dijadikan sebagai alat oleh para elit desa, yang semakin lama ada kecenderungan berpikir parsial untuk berpikir tentang perutnya sendiri dan bukan untuk kepentingan kemaslahatan umat.

Jika pikiran-pikiran parsial yang berkembang untuk membela kepentingannya sendiri seperti para perangkat tidak berfikir secara keseluruhan tentang desa dan hanya berpikir parsial seperti memperjuangkan kelompok perangkatnya sendiri maka perjuangan untuk meraih kedaulatan desa akan mengalami kegagalan. Oleh sebab itu, lahirnya undang-undang yang memberikan ruang kedaulatan serta hak kewajiban desa menjadi perlu dikawal dengan agenda advokasi guna mencapai kepentingan bersama yang lebih besar. Undang-undang dibuat untuk mengatur hak dan kewajiban dan bukan sebagai alatnya elit untuk membela kepentingannya sendiri. Jika tidak, desa setelah lepas dari “mulut buaya” lalu masuk ke “mulut singa”. Artinya dari marjinalisasi satu pindah ke marjinalisasi yang lain. Sekali lagi, UU Desa bukan mengatur kepentingan elit akan tetapi mengatur agar desa memiliki kedaulatan dan mendorong kemakmuran masyarakatnya (community welfare).

Keberlanjutan Pembangunan Desa: Bukan Kepanjangtanganan Global

Pembangunan desa yang berkelanjutan merupakan pembangunan desa yang tidak merusak lingkungan, memberikan hak kedaulatan untuk mengatur dirinya sendiri. Pembangunan desa yang berkelanjutan bukan berpijak kepada konsep model produksi kapitalis dimana desa hanya sebagai ajang pasarnya alat-alat pertanian yang diproduksi oleh industri alat pertanian yang membebani masyarakat. Jika keliru dalam memaknai terbentuknya UU Desa maka desa akan masuk perangkat keberlanjutanya pasar global dan bukan keberlanjutan kedaulatannya sendiri.

Oleh sebab itu dasar filosofi memberikan pentingnya pengaturan desa melalui UU menjadi sangat vital, yakni UU Desa itu diwujudkan untuk membela kepentingan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Jika hal ini tidak dipahami maknanya, maka pembangunan desa akan memasuki ruang yang kurang lebih sama dengan proses pembangunan masa lalu, dimana desa sudah diserahkan kepada kepentingan global, sedang negara sebagai agen atau kepanjangtanganan kepentingan model produksi kapilaisme global yang wataknya neoliberal. Pasar bebas menjadi alatnya untuk menguasai sumber-sumber produksi yang hampir semuanya terletak di pedesaan. Paha ini sangat anti terhadap perlindungan negara, kalau perlu negara menjadi alatnya bisnis. Fungsi negara bukan mengatur bisnis akan tetapi negara diatur bahkan alatnya bisnis. Kegagalan negara membangun bangsa karena negara tidak mampu mengatur para pebisnis.

Kesimpulan

UU Desa harus dipikirkan untuk memberikan kedaulatan desa dan bukan sebagai alat kekasaan pusat untuk melakukan pengambil alihan pusat terhadap daerah atau unit terkecil masyarakat, yakni desa. Pengaturan ini dilakukan guna mendorong proses pembangumam desa yang berkelanjutan dan kelestarian lingkungan.

Tesis : Kuatnya pusat akan merembes atau menetes, baik secara ekonomi, politik maupun budaya, ke daerah sampai dengan desa (pikiran ini hingga sekarang masih berlangsung demikian perilaku birokratnya). Desa yang kuat, akan menjadi ciri pertumbuhan nasional yang kuat dan kokoh.

Yogyakarta, 23 Desember 2010

Simalakama Inpres Beras

Oleh: Mochammad Maksum Machfoedz

Kondisi perberasan nasional sungguh amburadul meski harus diakui kekacauan itu sifatnya musiman. Ada titik waktu yang bisa dicatat sebagai masa krisis, antara lain bulan Desember dan masa rendengan yang dicirikan oleh panen minimal, sementara kebutuhan tidak pernah turun. Waktu lain adalah bulan puasa dan menjelang Idul Fitri. Membengkaknya kebutuhan karena menyambut Lebaran dan masa pembayaran zakat tentu sangat berpengaruh. Namun, lonjakan harga kali ini terjadi di tengah berbagai ironi dan pasca-Lebaran. Pertama, krisis terjadi justru ketika pemerintah, melalui Angka Ramalan (ARAM)-II menggembor- gemborkan bahwa tahun ini kita tidak sekadar swasembada, tetapi swasembada dengan surplus 5,8 juta ton beras.

Kedua, kalau ARAM-II bisa dipercaya, puncak krisis justru terjadi pada puncak surplus bulanan sepanjang 2010 dengan stok akhir Agustus 10,1 juta ton sampai stok akhir September 9,4 juta ton. Ketiga, krisis harga beras terjadi ketika otoritas pangan pemerintah dengan kekuasaan dan segala janjinya, mandul, tidak mampu membangun efektivitas pengendalian harga.

Spekulasi dan klarifikasi pemerintah tentang sebab musabab krisis teramat tidak meyakinkan. Setidaknya, ada dua kubu pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)-II yang sangat berbeda dalam penjelasannya. Satu kubu menuding spekulan sebagai penyebabnya, sementara kubu lain menyatakan spekulasi itu tidak mungkin mengingat kompetitifnya pasar beras. Tidak seorang pun berbesar hati mengakui kesalahan bahwa krisis tersebut akibat cetak biru tata niaga perberasan yang telah memperdaya presiden untuk menandatangani Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2009.

Inpres No 7/2009

Dalam upaya menjaga kepentingan produsen, konsumen, dan stabilisasi harga beras sebagai bahan pangan paling strategis, pemerintah selalu menyiapkan bingkai tata niaga yang disebut Inpres tentang Perberasan atau Inpres Beras, yang mengatur tata niaga dan fungsionalisasi otoritas pangan dalam pengendalian harga beras dan gabah.

Selama pemerintahan KIB, kita mengenal Inpres No 13/2005, Inpres No 3/2007, Inpres No 1/2008, Inpres No 8/2008, dan Inpres No 7/2009. Yang menonjol dalam inpres adalah amanat pengamanan harga beras, gabah kering panen (GKP), dan gabah kering giling (GKG) melalui patokan harga yang kemudian disebut harga pembelian pemerintah (HPP). Adalah mandat Bulog sebagai otoritas pangan untuk mengamankan harga di tingkat produsen pada besaran HPP menurut inpres yang berlaku untuk beras kualitas medium.

Inpres No 7/2009 yang diundangkan akhir Desember 2009 dan berlaku 1 Januari 2010 mematok HPP GKP, GKG, dan beras Rp 2.640, Rp 3.345, dan Rp 5.060 per kilogram. Janji kesejahteraan ini setara kenaikan 10 persen dibandingkan Inpres No 8/2008 yang digantikannya. Ajakan untuk melakukan introspeksi, menakar ulang kelayakan Inpres No 7/2009 dalam hal ini sudah tentu erat kaitannya dengan besaran HPP dan proporsionalitasnya.

Besaran HPP

Benar bahwa HPP sekarang sudah 10 persen lebih besar dibandingkan dengan HPP menurut Inpres No 8/2008. Hal ini berarti perbaikan ekonomis sudah dijanjikan bagi petani produsen padi. Persoalannya, apakah perbaikan ini cukup masuk akal atau tidak. Sebagian pihak mengatakan itu sudah bagus mengingat harga beras impor yang lebih murah. Suara ini terutama muncul dari pemerintah.

Sementara pihak lain melihat ini tak cukup berarti dan tidak pantas diukur dengan besaran harga dunia karena tingkat subsidi dan proteksi perberasan mereka yang sangat tinggi dibandingkan di Indonesia. Itu pun masih ditambah dengan pertimbangan sosial ekonomi Indonesia, dalam kaitannya dengan kesempatan kerja dan luasan pemilikan lahan.

Ada baiknya mencermati pandangan kelompok kedua ini, yang juga mengingatkan indikasi rendahnya HPP dilihat dari tingginya harga GKP, GKG, dan beras di pasar yang jauh dari HPP. Maknanya, mekanisme pasar dianggap sudah menetapkan (setting) harga lebih baik bagi petani dan karena itu fungsi pengadaan Bulog tak dijalankan. Haram hukumnya bagi Bulog untuk membeli lebih tinggi dari HPP.

Inilah simalakama pertama. Harga pasar yang tinggi sering dibanggakan sebagai sukses pengendalian harga. Padahal, itulah indikasi terlalu rendahnya HPP. Sebagai bukti, andai saja HPP diturunkan lagi, niscaya pengadaan Bulog akan nihil, tidak ada pengadaan jalur HPP karena harga gabah dan beras yang lebih rendah dari HPP.

Ini mengakibatkan terbatasnya cadangan Bulog sehingga tak mampu mengendalikan harga melalui operasi pasar, seperti terjadi akhir-akhir ini. Simalakama berikutnya berupa keputusan pemerintah untuk impor 500.000 ton beras. Keputusan yang disampaikan Menteri Pertanian dalam rapat koordinasi stabilisasi harga pangan pasca-Lebaran, Senin (20/9), itu pasti memiliki dampak domestik berkepanjangan terhadap sistem produksi beras dalam negeri.

Proporsionalitas

Rendemen adalah rasio teknis antara beras yang dihasilkan dari gabah sebagai bahan bakunya dalam proses penggilingan. Inpres No 7/2009 menyiratkan bahwa beras yang HPP-nya Rp 5.060 per kilogram ternyata nilainya setara dengan harga 1,5127 kilogram GKG dengan HPP Rp 3.345 per kilogram.

Kesetaraan ini menunjukkan bahwa proporsi HPP hanya masuk akal ketika proses penggilingan memiliki rendemen 66 persen dan gratis, tanpa ongkos giling. Dalam dunia nyata, dua hal ini tidak pernah terjadi pada proses penggilingan beras kualitas medium yang dicirikan oleh 20 persen beras patah.

Makna berikutnya, 66 persen adalah optimisme yang tidak memiliki pembenaran, apalagi ketika ditambah ongkos giling Rp 200-Rp 400 per kilogram. Kesetaraan HPP beras Rp 5.060 per kilogram dengan sejumlah gabah senilai yang sama hanya terjadi pada rendemen 68 persen, sesuatu yang tak pernah ada di dunia untuk beras kualitas medium dan itulah simalakama lainnya.

Angka ini jauh menyimpang dari data rendemen Balitbang Pertanian (2008) yang maksimal 64,67 persen dengan konfigurasi gilingan lima tahap Cleaner-Husker-Separator-Polisher-Grader, yang canggih dan supermahal.

HPP beras Rp 5.060 per kilogram itu teramat tidak masuk akal. Berdasarkan rasionalitas rendemen dan biaya giling, untuk GKG Rp 3.345 per kilogram mestinya HPP beras adalah Rp 6.000 per kilogram. Kalau ini patokan HPP-nya, lonjakan harga sampai 20-25 persen tentu masih sangat wajar adanya. Sudah waktunya merombak pola pikir bagi pembenahan Inpres Beras karena landasan legal ini sangat problematik dan telah memunculkan ironi sepanjang sejarah: surplus 9-10 juta ton tetapi impor 500.000 ton. Berangkat dari sinilah kisruh perberasan berakar dan harus diselesaikan. (*Penulis adalah Staf Peneliti PSPK, Guru Besar Sosial Ekonomi Agroindustri, FTP UGM, sumber: Kompas, 22 September 2010).

Pentingnya Modal Sosial dalam Pembangunan Pasca Bencana

Oleh: Agnes Mawarni
Email: agnesmawarni@yahoo.com/HP 085292749059
Peneliti pada Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM

Salah satu dokumen mengatakan bahwa pembangunan perkotaan akan sustainable jika di dalamnya memberikan generasi mendatang income disertai opportunity pertumbuhan capital (minimal sama dengan generasi sekarang) yang dapat diperlihatkan dengan relatif lebih tinggi capital per kapita dibanding generasi sekarang. Modal-modal itu dapat dilukiskan sebagai human capital (investasi dalam pendidikan, kesehatan atau gizi), social capital (fungsi dan keberadaan kelembagaan dan budaya dalam masyarakat), natural capital (fungsi dan keberadaan sumber daya alam dan lingkungan) dan man-made capital (investasi yang umumnya terhitung dalam anggaran perekonomian) (dalam Majalah Prisma Volume 6 1997 – LP3ES Jakarta, hlm 6).

Modal sosial

Diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan peluang bagi daerah (kabupaten dan kota) untuk menciptakan kemandirian dalam rangka membangun daerahnya dengan berpijak pada prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi dan peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal. Lokal menurut pemahaman UU No. 22 Tahun 1999 adalah pada tataran mikro artinya istilah lokal untuk menyebut kawasan daerah tingkat satu/propinsi, daerah tingkat dua/kabupaten atau kota, dan dimungkinkan lokal untuk menyebut yang lebih spesifik yaitu kecamatan dan desa. Jadi institusi lokal merupakan asosiasi komunitas setempat yang bertanggung jawab atas proses kegiatan pembangunan setempat, seperti rukun tetangga, arisan trah, kelompok pengajian, kelompok ronda dan sejenisnya dan memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah setempat. Institusi lokal dalam komunitas harus dilihat sebagai suatu sistem yang saling silang menyilang dan institusi lokal telah menyediakan jaring pengaman sosial (sosial safety net) ketika komunitas lokal berada dalam situasi krisis. Kehadiran institusi lokal bukan atas kepentingan pribadi/individu tetapi atas kepentingan bersama, sehingga institusi lokal lama kelamaan menduduki posisi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Rasa saling percaya warga komunitas lokal yang digalang dan diasah melalui institusi ini semakin hari semakin didambakan sebagai modal sosial (sosial capital) (Drs. M. Pupu Saeful Rahmat M.Pd., Memupuk Institusi Lokal dan Modal Sosial dalam Kehidupan Bermasyarakat, posted on 29 Maret 2008).

Dalam pandangan ilmu ekonomi, modal adalah segala sesuatu yang dapat menguntungkan atau menghasilkan. Modal itu sendiri dapat dibedakan atas: (1) modal yang berbentuk material seperti uang, gedung atau barang; (2) modal budaya dalam bentuk kualitas pendidikan; kearifan budaya lokal; dan (3) modal sosial dalam bentuk kebersamaan, kewajiban sosial yang diinstitusionalisasikan dalam bentuk kehidupan bersama, peran, wewenang, tanggungjawab, sistem penghargaan dan keterikatan lainnya yang menghasilkan tindakan kolektif. Modal sosial menjadi perekat bagi setiap individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaring kerja sehingga terjadi kerja sama yang saling menguntungkan untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial juga dipahami sebagai pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki bersama oleh komunitas serta pola hubungan yang memungkinkan sekelompok individu melakukan satu kegiatan yang produktif. Menurut Lesser (2000), modal sosial ini sangat penting bagi komunitas karena (1) memberikan kemudahan dalam mengakses informasi bagi anggota komunitas; (2) menjadi media pembagian kekuasaan dalam komunitas; (3) mengembangkan solidaritas; (4) memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas; (5) memungkinkan pencapaian bersama; dan (6) membentuk perilaku kebersamaam dan berorganisasi komunitas. Modal sosial merupakan suatu komitmen dari setiap individu untuk saling terbuka, saling percaya, memberikan kewenangan bagi setiap orang yang dipilihnya untuk berperan sesuai dengan tanggungjawabnya. Sarana ini menghasilkan rasa kebersamaan, kesetiakawanan, dan sekaligus tanggungjawab akan kemajuan bersama.

Pengalaman Bencana

Gempa bumi pada tanggal 27 mei 2006 yang terjadi di Yogyakarta dan Jawa Tengah menjadi pusat liputan media massa lokal/daerah maupun nasional. Satu hari setelah gempa, seluruh media massa menempatkan peristiwa gempa sebagai headline. Hampir seluruh berita tentang gempa di hari itu meliput suasana saat gempa terjadi dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Liputannya secara luas mencakup paniknya masyarakat saat gempa terjadi, proses runtuhnya bangunan-bangunan, kegentingan dalam proses penyelamatan korban, penanganan korban dalam situasi darurat, rumah sakit yang kewalahan, tenaga medis dan obat-obatan kurang, para korban tewas maupun luka-luka, hancurnya rumah-rumah penduduk, rusaknya berbagai fasilitas umum, kekacauan akibat isu tsunami dan juga penjelasan-penjelasan ilimah (geologis) seputar gempa bumi.

Pelan tapi pasti, Yogyakarta sedang berduka, tidak hanya ke seluruh pelosok negeri tetapi juga ke seluruh dunia. Dalam waktu singkat, orang Yogya sibuk dengan dirinya sendiri: mencari sanak saudara yang hilang, mengurus yang terluka, mencari tempat berteduh/memasang tenda, menggelar tikar menaruh badan, mengurus perabotan, membuka dapur umum, menutup jalan-jalan kampung dan membuka posko bantuan. Jalan-jalan di kota Yogya bukan lagi tempat orang berjalan, tetapi berubah menjadi tempat tidur dan tinggal. Yogya di hari kedua dan hari-hari berikutnya berubah menjadi tempat pelayatan massal. Seluruh Yogya sedang berduka dan rasanya lumpuh tidak berdaya, semua rumah sakit luber tidak dapat lagi menampung tambahan orang sakit. Mayat, orang sakit, dan orang sedih tergolek dimana-mana seolah berbaur dalam satu ruang raksasa (Yogya).

Ada nilai kemanusiaan yang datang dari para relawan dan donatur ke Yogyakarta dan Jawa Tengah. Semangat tolong menolong dan bahu membahu nampak nyata di lokasi bencana ini, bantuan datang menggunakan jalur-jalur transportasi apapun selagi memungkinkan. Perhatian dari pemeritah pun tak kurang ditunjukkan dengan kesediaan presiden berkantor di Yogyakarta guna koordinasi tanggap bencana. Bantuan natura, in natura dan medis juga datang dari luar negeri yang menyemut di lokasi-lokasi korban bencana. Terlepas dari berita-berita tentang kelambatan bantuan mencapai para korban bencana maupun janji-janji rehabilitasi bencana yang mungkin belum lunas tercapai, namun nilai dan semangat tolong-menolong dan bantu-membantu antar sesama sangat kuat terasa dalam bencana ini.

Perbedaan dalam konteks agama, suku, golongan, kepentingan dan apapun terlihat membaur dalam situasi yang tidak mengenakkan ini. Persudaraan kembali kentara dan seperti menjadi penanda bagi bangsa lain bahwa persatuan itu memang mutlak diperlukan untuk selama-lamanya. Gotong royong yang selama ini nyaris hanya menjadi jargon semata, telah terbukti “ada” diantara jiwa para korban gempa. Tak berlama-lama larut dalam kesedihan, masyarakat bergotong royong, bahu membahu menyingsikan lengan baju bangkit menyongsong masa depan.

Bencana alam entah itu gempa bumi, tanah longsor, banjir, kekeringan dan puting beliung selalu mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Elemen-elemen yang yang beresiko terkena dampak bencana adalah infrastruktur, rumah, lahan pertanian, jalan dan aktivitas ekonomi. Dalam workshop kebencanaan yang diadakan oleh Pusat Studi Bencana Alam UGM di Yogyakarta 5 – 6 Agustus 2010, dalam presentasinya, salah satu narasumber mengatakan bahwa selama kurun waktu 1981-2007 (27 tahun) terjadi lebih dari 1.300 tanah longsor merusak  di pulau Jawa atau sama dengan 49 kejadian per tahun. Korban meninggal akibat gempa tanah longsor adalah 2.095 orang (77 orang/tahun) dan jumlah korban luka-luka adalah 550 orang atau 20 orang pertahun. Dari situ terlihat bahwa prosentase korban meninggal lebih besar dibanding korban luka-luka, dengan perbandingan 79 : 21. Dampak lain dari bencana tanah longsor di Jawa adalah sekitar 4.095 hektar lahan pertanian dan 13 kilometer jalan terpotong. Rumah rusak dan rumah hancur masing-masing hampir mencapai 10.000 unit dan 1800 unit, sedangkan jumlah bangunan yang rusak dan hancur diperkirakan 200 unit. (Dr. Danang Sri Hadmoko, S.Si., M.Sc., Peranan peta Risiko Bencana Tanah longsor dalam pengurangan risiko bencana, 2010). Bencana jebolnya tanggul Situ Gintung, Cirendeu, Kota Tangerang Selatan dengan korban yang sangat banyak mencerminkan sebuah fenomena perkembangan pembangunan kota yang tidak terkontrol, lemahnya mekanisme pemeliharaan fasilitas publik serta pelanggaran terhadap proses dan produk rencana tata ruang.

Partisipasi Masyarakat

Pemerintah daerah termasuk perencana kota/pemukiman harus segera mempertimbangkan proses tata kelola kota/wilayah yang terencana baik dan tidak hanya berdasarkan pesanan. Kepentingan ekonomi publik dan kerjasama organisasi termasuk didalamnya modal sosial mempengaruhi kinerja produktivitas perkotaan. Semakin besar jumlah organisasi memberi peluang spesialisasi, kerjasama dan koordinasi untuk memanfaatkan aktivitas ekonomi perkotaaan. Tingkat pengambilan keputusan desentralisasi memberi peluang mobilisasi organisasi untuk menjalankan aktifitas ekonomi. Dalam hubungan ini governance merupakan titik awal dari pengelolaan sumber daya perkotaan, menentukan peranan private sector, dan mengoperasikan pelayanan dan infrastruktur perkotaan. Kerjasama non formal juga diperlukan untuk membangun kota/wilayah termasuk membangun kota pasca bencana (Iwan Nugroho, 1997, Modal Sosial dan Perkembangan Kota, Prisma volume 6 : 3 – 13).

Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan kota pasca bencana selama ini masih belum maksimal. Pemerintah daerah masih lebih banyak mengacu pada pesanan pemberi bantuan/dana untuk pembangunan fisik di wilayahnya seperti rumah tinggal, rumah sakit, puskesmas, pasar dan tempat pelayanan publik lainnya. Akibatnya tidak sedikit bangunan fisik yang dibangun pasca bencana kurang sesuai dengan budaya dan kondisi lokal masyarakat. Salah satu bangunan mesjid di Kabupaten Klaten misalnya, awalnya bangunannya sederhana dan cukup untuk komunitas setempat. Setelah bencana gempa, masjid tersebut menjadi besar dan bergaya turki/arab. Rumah-rumah di pedesaan di Jawa biasanya berbentuk limasan atau joglo atau ada semacam teras yang biasanya dipakai untuk bercengkerama antar penduduk yang juga berfungsi sebagai tempat menjemur gabah. Bangunan rumah setelah gempa biasanya menjadi rumah modern, tidak ada lagi teras luas untuk tempat pertemuan warga. Demikian pula halnya dengan bangunan pasar dan sekolah, menjadi lebih modern dan banyak yang kemudian menjadi bangunan bertingkat. Pemerintah setempat kemungkinan akan kesulitan mengadakan perbaikan apabila terjadi kerusakan pada bangunan pasar yang berkonstruksi baja ringan, karena disamping tidak sederhana juga mahal. Tidak sedikit komunitas setempat dibuat kaget dengan munculnya satu bangunan di lokasi umum, seperti bangunan WC umum bisa berdiri di pojok lapangan sepak bola di salah satu desa di Yogyakarta tanpa melibatkan pengurus RT/RW setempat dalam proses perencanaanya.

Melihat fenomena tersebut, dalam pengalaman pembangunan kota pasca bencana, masyarakat berpartisipasi secara pasif, karena mereka hanya menjadi penerima program. Sebenarnya sangat dimungkinkan masyarakat berpartisipasi aktif yang berarti terlibat dalam berbagai kesempatan, meskipun solusi tetap datang dari pihak luar – mengingat budaya lokal pedesaan yang menjunjung musyawarah dan gotong royong. Kalau ada partisipasi aktif masyarakat dalam membangun perkotaan pasca bencana tentulah bangunan puskesmas tidak akan seperti saat ini, terlalu luas dan banyak ruang meskipun jumlah tenaga medisnya masih sama dengan sebelum bencana, sehingga puskesmas terlihat kosong kurang mencerminkan itu suatu tempat pelayanan umum. Partisipasi masyarakat tidak hanya terbatas pada pengadaan kembali bangunan pasca gempa, namun juga tindakan-tindakan penyelamatan bila terjadi gempa. Untuk mengurangi dampak burung bencana dari Gunung Merapi misalnya, masyarakat kemudian diberi pendidikan tentang cara penyelamatan yang meliputi jalur evakuasi dan tempat evakuasi jika terjadi bencana. Bantuan yang masuk dikelola oleh pemerintah daerah dan organisasi swasta untuk memperkecil dampak buruk bencana gunung merapi. Partisipasi masyarakat tidak hanya dalam standar partisipasi pasif atau parsipasi aktif saja, namun sudah pada ukuran partisipasi interaktif yang artinya masyarakat terlibat mulai perencanaan sampai dengan evaluasi.

Diberlakukannya otonomi daerah semakin memberi peluang untuk mempertimbangkan modal sosial yang ada di komunitas lokal dalam membangun kota/wilayah pasca bencana. Kegiatan yang diselenggarakan dan bangunan yang diadakan akan menjadi tepat dan terpelihara karena masyarakat merasa memiliki kegiatan /bangunan tersebut, mereka ikut dalam semua proses pengadaannya.

Yogyakarta, 27 September 2010

Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat: Sebuah Ketidakberdayaan Para Pihak Melawan Konstruksi Neoliberalisme

WORKING PAPER oleh Prof. Dr. Susetiawan
Ditulis untuk Studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM serta Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM

Pendahuluan

Pembangunan di negara-negara berkembang, tidak terkecuali di Indonesia, berlangsung setelah usai Perang Dunia II. Negara berkembang yang semula adalah negara bekas jajahan, saat itu mulai bangkit melakukan perlawanan terhadap penjajah. Selanjutnya mereka menetapkan diri dan mendapatkan pengakuan dunia internasional sebagai negara merdeka (independent nations), meskipun beberapa diantaranya, seperti beberapa negara di Asia Tenggara dan Selatan, posisinya adalah sebagai negara commonwealth, yakni Malaysia, Singapura dan India. Realitas kebangkitan itu tidak sama antara satu dengan yang lain walaupun semuanya disponsori oleh hutang-hutang luar negeri dalam periode pembangunannya. Di Asia Tenggara, Singapura lebih dulu diakui oleh dunia internasional sebagai salah satu dari the Newly Industrializing Countries. Namun sebagian besar dari negara berkembang di Asia, hingga kini belum ada yang menyamai kemajuan negara-negara Barat yang mengklaim diri sebagai negara modern, kecuali empat negara yang disebut sebagai the Newly Industrializing Countries, yakni Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura. Tentu ada berbagai penjelasan. Selain penjelasan sosial budaya juga penjelasan politik, yang berkaitan dengan strategi politik Barat saat menghadapi perang dingin. Sesungguhnya hal ini perlu uraian tersendiri, yang dalam tulisan ini tidak akan diulas. Tulisan ini hendak memahami secara khusus konteks pembangunan dan kesejahteraan di Indonesia selama berlangsungnya periode pembangunan bangsa.

Sebuah pertanyaan yang tidak pernah ada hentinya hingga saat ini, sekurang-kurangnya dibenak penulis pribadi, ada apa dengan pembangunan bangsa Indonesia yang telah berlangsung hampir empat puluh tahun, selalu diliputi hutang di setiap tahunnya? Saat awal pembangunan nasional dimulai pada tahun 1970an, isu yang diangkat adalah membangun ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan menuju masyarakat sejahtera. Pada umumnya pemikiran tentang pembangunan di negara-negara belum berkembang (underdevelopment) selalu meletakkan kemiskinan sebagai isu sentralnya. Ada perbedaan pendekatan dalam pembangunan untuk memahami orang miskin. Disatu pihak ada yang memahami bahwa kemiskinan itu karena kemalasan, sedang dipihak lain memahami ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Selanjutnya pemikiran seperti ini diterjemahkan menjadi kurangnya pendapatan, ketidakmampuan untuk memuaskan kebutuhan dasar atau kemampuan untuk menuntun dirinya menjadi manusia seutuhnya (Levine and Rizvi, 2005:41).

Akan tetapi, cerita tentang kemiskinan juga tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu, bahkan sejak reformasi, setiap pergantian kepemimpinan nasional, isu pengentasan kemiskinan dan pencapaian kesejahteraan masyarakat menjadi agenda pertarungan kepentingan partai politik, terutama menjelang pileg (pemilihan legislatif) dan pilpres (pemilihan presiden). Misalnya pada saat menjelang pemilihan anggota DPR, pemerintah mengumumkan bahwa Indonesia telah mencapai swasembada pangan. Ekspor beras dibesar-besarkan oleh partai politik dalam kampanye untuk menunjukkan sukses pemerintah dalam menangani pangan. Ironisnya, diakhir bulan April 2009, Menteri Perdagangan RI telah menandatangani MoU perpanjangan impor beras dari Vietnam sampai dengan 2011 (Maksum, 2009).

Dapat disaksikan, fakta kemiskinan dan kesejahteraan juga tidak kunjung terselesaikan. Jumlah penduduk miskin menurut BPS sepuluh tahun terakhir (1996-2008) rata-rata 18,9%. Tabel.1 di bawah tentu menarik untuk disimak, ada kenaikan jumlah hutang pemerintah mulai dari tahun 1996, akan tetapi angka kemiskinan tidak menunjukkan penurunan yang berarti. Sebagaimana diketahui bahwa hutang luar negeri Pemerintah Indonesia juga sebagian digunakan untuk pengentasan kemiskinan. Angka kemiskinan di desa (21,77%) bahkan lebih tinggi dari total rata-rata angka kemiskinan di Indonesia. Pertanyaannya, apakah memang kemiskinan dan kesejahteraan ini adalah sudah menjadi “merek dagang” program-program pembangunan bangsa?

Kalau jawaban atas pertanyaan ini adalah “ya”, maka konsekuensi logis dari jawaban itu : “program pembangunan  akan terus berlangsung dan menjadi syah adanya, kalau isu kemiskinan dan rendahnya tingkat kesejahteraan juga tidak pernah berakhir.” Hal ini menjadi lebih menarik lagi, meskipun angka kemiskinan tidak banyak mengalami perubahan dari waktu ke waktu, akan tetapi mereka tidak banyak yang mati karena digolongkan sebagai orang miskin. Pada hemat penulis, isu kemiskinan dan rendahnya kesejahteraan perlu disimak kembali. Benarkah bahwa pembangunan itu adalah realitas pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat? Siapa sesungguhnya yang memiliki dominasi untuk mengkonstruksikan pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan?

TABEL 1

PERBANDINGAN ANTARA ANGKA KEMISKINAN

DAN JUMLAH HUTANG (1996-2008)

Prosentase Penduduk Miskin (%)

(Di bawah garis kemiskinan)

Hutang Pemerintah dan Swasta

Dalam Milyard $ US

Tahun

Kota

Desa

Kota+ Desa

Hutang Pemerintah (Milyard $)

Hutang Swasta (Milyard $)

Total Hutang (Milyard $)

1996

13,39

19,78

17,47

59,05

55,40

114,45

1997

**

**

**

63,46

73,96

137,42

1998

21,92

25,72

24,23

60,45

83,57

144,02

1999

19,41

26,03

23,43

75,86

72,23

148,09

2000

14,60

22,38

19,14

74,92

66,78

141,70

2001

9,76

24,84

18,41

71,38

61,69

133,07

2002

14,46

21,10

18,20

81,67

53,73

135,40

2003

13,57

20,23

17,42

82,73

54,30

137,03

2004

12,13

20,11

16,66

80,07

50,58

130,65

2005

11,68

19,98

15,97

75,81

52,93

128,74

2006

13,47

21,81

17,75

80,61

56,03

136,64

2007

12,52

20,37

16,58

80,61

56,03

136,64

2008

11,65

18,93

15,42

86,58

62,56

149,14

Rata-rata

14,05

21,77

18,39

74,86

 

61,52

 

136,38

 

Sumber:

1. Kemiskinan: BPS diolah dari data Susenas

2. Hutang: Bank Indonesia  BPS, berbagai terbitan dan tahun terbitan

3. **Data Kemiskinan tahun 1997 tidak diketemukan di Susenas

Apakah Negara memiliki kebebasan (nilai) untuk mengkonstruksikan konsep kemiskinan dan kesejahteraan yang tidak tergantung pada lembaga keuangan internasional? Apa yang sehari-hari dirasakan oleh masyarakat tentang hidup sejahtera (well being)? Pertanyaan ini akan menjadi pusat perhatian  selanjutnya dalam tulisan ini.

Pembangunan : Sebuah Alat Perluasan Pasar

Ketika pembangunan itu telah terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat dan menjadi pola budaya, kelihatannya semakin sedikit orang mempertanyakan asal-usul ide pembangunan. Pertanyaannya, ide siapakah sesungguhnya pembangunan itu, apakah pembangunan itu adalah ide murni negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, atau sungguhnya  pembangunan itu adalah idenya negara maju, yang jauh lebih dulu berkembang dengan paham kapitalis industrialnya (industrial capitalism), yang pada tahap tertentu paham tersebut membutuhkan perluasan pasar (market expantion)? Atau ide para elit politik keduanya, baik negara maju mapun berkembang. Lalu, apa hubungannya antara pembangunan di Indonesia dengan perluasan pasar negara industri?

Secara historis, kapitalisme industrial yang berkembang sejak  Revolusi Industri di Eropa waktu itu, kini perkembangan paham tersebut telah menembus batas-batas negara di seluruh dunia. Ide utama dari paham ini adalah mencetak produksi sebesar-besarnya (mass production) melalui teknologi permesinan guna menjawab kebutuhan hidup manusia. Ide tersebut tidak hanya berhenti sampai pada penemuan teknologi baru, memperbaiki organisasi produksi dan memperbaiki hubungan produksi, melainkan juga bagaimana pasar itu diperluas dan dibentuk. Konsekuensi perubahan teknologis ke arah permesinan ini mendorong kebangkitan produksi hasil pabrikan, yang selanjutnya mempengaruhi kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya (Susetiawan, 2000:7) Jika pasar dalam sebuah kawasan telah terpenuhi, sedang proses produksi melalui mesin berjalan terus, maka perluasan pasar merupakan syarat mutlak untuk menghindari kelebihan produksi (over production).

Proses produksi berkembang terus dengan logika melingkar. Artinya jika terjadi perubahan teknologi produksi maka perubahan itu juga menuntut perubahan pola konsumsi masyarakat. Sebaliknya, perkembangan pola konsumsi juga mendorong kreativitas perubahan teknologi produksi yang semakin berkembang untuk menciptakan produk produk baru dalam industri manufaktur. Perubahan itu tidak hanya berhenti sampai disini, pasar akan berkembang dengan baik kalau terjadi perubahan sosial ekonomi masyarakat guna menyongsong produk baru. Oleh sebab itu, agar perluasan pasar mampu menembus batas-batas negara di seluruh dunia maka kerja ekonomi saja tidak cukup, melainkan juga dibutuhkan kerja politik, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pada akhirnya kerja politiklah yang menjadi kunci penting dalam perluasan pasar. Tanpa kerja politik pasar sulit diciptakan. Herry Priyono (Wibowo dan Wahono, 2003:49) menyebutnya bahwa pasar itu merupakan hubungan sosial bentukan manusia, oleh karenanya membutuhkan tindakan politik. Ini adalah salah satu sisi perbedaan antara pemikiran liberal dan neoliberal. Pemikiran liberal membiarkan pasar bekerja secara bebas, akan tetapi para neoliberalis berpikir bahwa pasar harus diintervensi secara politik, dibentuk dan diarahkan sesuai dengan kepentingan untuk memenangkan persaingan. Negara sasaran perluasan pasar, selain padat penduduknya juga pendapatan per kapita penduduknya rendah seperti negara negara Afrika, Asia dan Amerika Latin. Oleh sebab itu upaya mempengaruhi para pemimpin politik negara berkembang untuk mengikuti prinsip perluasan pasar negara industri menjadi sangat penting dalam kerja politik.

Pada akhirnya perkembangan model produksi tidak hanya terbatas pada barang industri manufaktur, yang hak-hak patennya seperti hak-hak cipta dan intelektualnya, telah diatur dalam tata dunia internasional, yang mendahului kemajuan negara berkembang di era pembangunannya. Kerja politik berikutnya, uang tidak hanya sekedar berfungsi sebagai alat tukar. Uang telah berdiri sebagai produk, yang layak diperdagangkan sebagaimana produk industri manufaktur (Clarke, 2004:88). Baik produk industri manufaktur maupun uang posisinya telah diatur dalam tata organisasi internasional, yang keberadaannya jauh mendahului majunya negara-negara berkembang itu sendiri. Konstruksi kelembagaan untuk mengatur tata dunia dilakukan melalui organisasi internasional antara lain seperti WTO (World Trade Organization), GATT (General Agreement on Trade and Tariff), Bank Dunia (World Bank), IMF (Iternational Monetary Fund) dan berbagai lembaga lainnya (Tabb, 2001:73). Perluasan kontruksi pasar telah dipersiapkan secara matang, bahkan tata ekonomi politik global telah dipersiapkan mengikuti pola perkembangan paham kapitalisme industrial yang berwatak neoliberal.

Sangatlah disadari bahwa perluasan pasar bukan hal yang mudah sebab telah diketahui bahwa pasar yang akan menjadi sasarannya itu sebagian besar penduduknya berpendapatan per kapita rendah, yang sangat tidak mendukung perluasan pasar sebagaimana dikehendaki oleh negara industri maju. Itulah sebabnya pada umumnya pembangunan negara berkembang merupakan gagasan yang bukan lahir dari pemikiran negara-negara berkembang sendiri, akan tetapi pembangunan itu merupakan produk negara industri untuk mendukung perluasan pasar mereka, yang didukung oleh para elit politik negara berkembang yang pro pasar bebas. Pembangunan ekonomi negara berkembang yang dianggap sebagai obat mujarab untuk menyelesaikan persoalan keterbelakangan, semuanya disponsori oleh negara-negara maju dengan pola pinjaman luar negeri. Institusi keuangan ini telah dipersiapkan oleh lembaga-lembaga keuangan negara-negara maju. Bank Dunia merupakan organisasi ekonomi yang dipercaya oleh negara kaya untuk mempromosikan pembangunan di negara berkembang (Hancock, 2005:98). Bukan hanya sponsor finansial saja, ilmu pengetahuan, teknologi sampai dengan ukuran maju dan terbelakang, tradisional dan modern, kaya dan miskin, welfare dan illfare, dimana ukuran ini tidak lepas dari campurtangan para sponsor. Kalau saja mantan Presiden Soeharto sekarang ini masih ada diantara kita, betapa marahnya dia karena Bapak Pembangunan itu sesungguhnya bukan Soeharto akan tetapi George Sorros dan kawan-kawannya.

Oleh sebab itu, setiap kepemimpinan nasional dalam periode pembangunan, kemungkinan besar tidak akan lepas dari campur tangan para sponsor untuk melapangkan jalannya perluasan pasar. Di tingkat ini, negara, di bawah siapa pun kepemimpinan nasional terpilih, adalah sosok institusi yang tidakberdaya melawan konstruksi pasar yang dibangun oleh paham neoliberal. Dengan demikian semua persoalan masyarakat negara berkembang ditentukan melalui sistem keuangan internasional, dan bukan oleh keadaan regional maupun nasional. Ketika semua aturan ditentukan oleh lembaga keuangan internasional maka lembaga keuangan tersebut akan mengontrol pemberlakuannya dan penyeragamannya secara global tanpa peduli kondisi spesifik masyarakat (Hadar, 2004:13) Lembaga keuangan internasional seperti IMF pun menyediakan saran tentang stabilisasi ekonomi namun tidak menunjukkan cara bagaimana ekonomi itu tumbuh dengan baik. Pertumbuhan ekonomi itu membutuhkan stabilisasi untuk mendukung agenda neoliberal tentang privatisasi dan liberalisasi ekonomi di era pembangunan negara berkembang (Stiglitz, 2002:169). Tentu, dengan pembangunan yang telah berlangsung di Indonesia hingga sekarang ini, telah banyak terjadi perubahan materiil. Dibandingkan dengan empat puluh tahun silam, kemegahan, kemewahan dan kegemerlapan fasilitas publik yang serba modern dapat disaksikan sekarang ini.

Namun pembangunan telah menciptakan kesenjangan sosial ekonomi semakin lebar, lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa barang produksi yang dikonsumsi masyarakat Indonesia pada umumnya adalah barang produksi import. Kalau ada barang kebutuhan yang dapat diproduksi sendiri, bahan bakunya kebanyakan adalah import, mulai dari kebutuhan bahan makanan (kebutuhan primer) sampai kebutuhan sekunder yang lain tergantung pada import. Misalnya salah satu jenis makanan, Mie instan yang terlembagakan (institutionalized) pada diri anak-anak sebagai makanan fast food, bahan dasarnya adalah gandum, yang tidak ada di Indonesia. Lembaga perguruan tinggi semakin banyak jumlahnya dan fasilitasnya juga semakin bagus, namun eksistensinya lebih banyak mereproduksi ilmu pengetahuan dan teknologi import dari negara maju. Misalnya dibidang pertanian, ilmu dan teknologi macam apa yang dapat diklaim sebagai produk dalam negeri, tanpa ketergantunag pada import sehingga produk itu sebagai wujud kedaulatan bangsa Indonesia?. Sejauh penulis ketahui tentang Pembangunan Pertanian di Indonesia, yang praktis dimulai jaman Orba pada tahun 1970 an, sampai saat ini masyarakat belum banyak mengetahui produk baru macam apa yang telah dihasilkan dari pembangunan pertanian selain padi. Kalau dibandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand, negeri ini telah mampu menjual kebudayaan produksi pembangunan pertaniannya. Misalnya masyarakat Indonesia sekarang ini tidak asing dengan buah Jambu Bangkok, Durian Bangkok, Kelengkeng Bangkok dll. Bangsa Indonesia memiliki potensi sumber alam yang sama dengan Thailand, akan tetapi di periode pembangunan potensi itu semakin hilang dan tidak semakin berkembang. Salah satu contohnya adalah padi, yang semula bangsa ini memiliki varietas yang sangat kaya, akan tetapi  sekarang ini hampir punah dan posisinya digantikan oleh benih padi produksi hibrida (benih padi yang diproduksi oleh pabrik).

Kemudian, apa yang dapat dipetik dari pelajaran tentang perubahan seperti ini, mungkin saja secara tidak sadar, negara ini telah memasuki arena dimana terjadi kemiskinan konsep tentang pembangunan, yang selalu mereproduksi pembangunan untuk pengentasan kemiskinan secara berulang-ulang, yang tidak pernah akan habis dan tidak pernah mandiri. Kalau tidak dipikirkan secara serius, sepanjang hayat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tergantung, jika tidak pernah berani membongkar kemiskinan konsep pembangunannya. Apa yang telah berlangsung dalam periode pembangunan, ini hanya merupakan sebuah usaha untuk menaikkan daya beli masyarakat guna merespon barang produksi import.

Dengan demikian pembangunan hanya mempersiapkan masyarakat agar mereka dapat merespon pasar produk industrial dari negara maju. Misalnya, saat ini anak-anak jauh lebih suka makan Pizza Hut, McDonald dan Kentucky Fried Chicken (KFC) daripada Ayam Goreng mBok Sabar maupun Ny. Suharti. Inilah hubungan relasional antara perluasan pasar barang industri negara maju dengan pembangunan yang berlangsung di Indonesia. Lalu, apa yang diimpikan oleh bangsa ini tentang hidup sejahtera dalam situasi sosial, ekonomi dan politik seperti ini, atau kesejahteraan itu memang sebuah konsep yang utopis? Atau sejahtera itu, kalau orang mampu mengkonsumsi produk import? Berdasarkan pertanyaan ini, penulis akan mencoba memahami perkembangan masyarakat yang sedang berlangsung sekarang ini

Pembangunan dan Kesejahteraan dalam Arena Civil Society

Diskursus tentang kesejahteraan sudah cukup lama, bahkan pada jaman Yunani dan Romawi kuno pun diskursus seperti ini sudah banyak dilakukan oleh para filosof saat itu. Perdebatan tersebut berawal dari keyakinan para cerdik pandai tentang perubahan sosial yang tak pernah berhenti dalam kehidupan manusia. Perdebatan keyakinan tentang perubahan sosial tidak dapat dipisahkan dari pencapaian tujuan hidup yang dianggapnya lebih baik, tentangnya pada umumnya orang menyebutnya dengan  sejahtera (well being).

Secara umum terdapat dua penjelasan besar tentang perubahan sosial. Pertama, adanya  keyakinan bahwa perubahan sosial itu merupakan proses seleksi alam, yang berkembang secara linier dan progresif dari tahap satu ke tahap yang lain. Kedua, perubahan sosial itu akan berlangsung dengan baik dan menjamin semua kepentingan masyarakat kalau ada intervensi, dengan demikian terjadi perkembangan linier dan progressif. Perubahan yang berlangsung atas seleksi alam itu, kalau dibiarkan akan berakibat pada proses dehumanisasi. Baik keyakinan pertama maupun kedua, masing-masing berkembang dengan dinamikanya sendiri yang berbeda satu sama lain terutama  tentang penjelasan sebab terjadinya perubahan. Namun pada akhirnya keduanya mencapai titik yang sama, yakni masyarakat itu berkembang melalui proses bertahap menuju perkembangan yang lebih baik.

Pemikiran filosof awal, Heraklitus, menjelaskan bahwa proses perubahan alami itu terjadi secara dialektis. Perubahan merupakan benturan dari unsur-unsur yang berlawanan dalam kehidupan masyarakat, yang pada akhirnya membawa kematangan dalam kehidupan yang lebih baik. Penjelasan interventif diawali dari pemikiran Plato yang mengangankan tatanan masyarakat yang sempurna (utopia). Guna mencapai tujuan itu, intervensi kekuasaan diperlukan untuk mengatur perkembangan yang lebih baik dan manusiawi. Kedua pemikiran ini selanjutnya mewarnai pemikiran-pemikiran berikut tentang perubahan masyarakat yang diharapkan di masa datang. Para pemikir penganut keyakinan perubahan non interventif dapat dibagi menjadi dua. Pendapat pertama, perubahan linier progressif itu terjadi karena kehendak kekuatan alam yang diluar jangkauan manusia. Masyarakat itu selalu berubah secara dinamis, yakni ada, berevolusi menjadi dewasa (matang) lalu hancur dan berikutnya tumbuh lagi seperti perubahan dalam mikro organisme (Medgley, 2005:59)

Charles Darwin dan Herbert Spencer (Ritzer, 1983:26, Midgley, 2005:61) serta pengikutnya merupakan pemikir yang mempercayai bahwa seleksi alam akan menyisakan masyarakat yang terbaik dan mampu bertahan. Oleh sebab itu usaha intervensi dalam proses perubahan yang dilakukan oleh negara menuju tercapainya kesejahteraan, hal ini justru mengganggu dan melemahkan dan akhirnya menghancurkan masyarakat itu sendiri. Keyakinan Darwin dan Spencer dibangun atas asumsi bahwa masyarakat itu merupakan subyek dari hukum alam. Pendapat kedua, perubahan linier progresif itu bukan semata karena hukum alam seperti bekerjanya mikro organisme, akan tetapi masyarakat itu berubah karena benturan kepentingan. Dasar pemikiran ini lebih menjelaskan pada sebab terjadinya perubahan, yang dibangun oleh sebuah logika dialektis. Seorang Sosiolog Islam Afrika di abad 14, Ibnu Khaldun, ia meyakini bahwa sebab perubahan itu karena aktivitas manusia. Penjelasannya mulai masyarakat nomaden sampai dengan masyarakat menetap, dijelaskan dengan perspektif konflik kepentingan antarsuku. Penjelasan seperti ini juga diulangi oleh para pemikir selanjutnya (Midgley, 2005:61)

Georg Hegel dan Karl Marx (Ritzer, 1983:15, Brewer, 2000:6, Medgley, 2005:63) meskipun keduanya berada dalam logika berpikir yang sama, keduanya memiliki perbedaan penjelasan tentang terjadinya perubahan sosial. Hegel menekankan bahwa sebab perubahan itu adalah benturan perkembangan ide manusia, yang diekspresikan melalui benturan antara tesis dan antitesis yang kemudian menyatu dalam sintesis. Namun antitesis yang dikemukakan oleh Karl Marx untuk membantah pemikiran Hegel adalah sebaliknya Bukanlah benturan ide yang menyebabkan perubahan itu, akan tetapi karena konflik kepentingan materi. Tesis yang diajukannya adalah justru ide itu berubah karena ada perkembangan materi yang berubah (Susetiawan, 2000:11).

Adam Smith ( Midgley, 2005:62, Rapley, 2007:15) merupakan orang yang pertama kali menyatakan bahwa perubahan sosial itu terjadi karena aktivitas ekonomi manusia. Perubahan masyarakat dari masyarakat berburu dan meramu sampai dengan masyarakat maju, yang ditandai oleh industri manufaktur dan perdagangan asing, yang berakibat kepada kesejahteraan manusia, semuanya ini adalah akibat dari aktivitas ekonomi manusia. Perekonomian itu diatur oleh hukum alam sehingga menjadi sistem yang mandiri dan mengatur dirinya sendiri. Pada awal revolusi industri, Smith menentang apa pun ide intervensi pemerintah yang berlebihan terhadap para merkantilis, bagaimana pun intervensi pemerintah harus minimalis, yakni menyediakan layanan yang tidak disediakan oleh pasar.

Tokoh-tokoh  ini semua melukiskan  perubahan sosial dengan menunjukkan tahap-tahap  perkembangannya, meskipun diantara mereka ada perbedaan cara penyampaiannya. Seluruh pemikiran Karl Marx mengkritik sistem ekonomi politik perkembangan kapitalisme liberal dimana basis pertarungan kepentingan materiil ini menghasilkan proses dehumanisasi. Dia hadir justru sebagai bentuk perlawanan dari para pemikir liberalis tentang perubahan sosial. Para pemikir penganut perubahan secara interventif ini secara tidak langsung merupakan sebuah antitesis terhadap pemikiran liberal. Intervensi pemerintah untuk mendorong perkembangan perekonomian sangat diperlukan. Kerjasama antara para aristokrat dan para borjuasi di Inggris pada awal revolusi industri justru memberikan bantuan kepada para merkantilis untuk mendorong perkembangan ekonomi. Para pemikir intervensionis ini bahkan menganjurkan bahwa pemerintah harus turun tangan untuk mendorong terciptanya kesejahteraan masyarakat. Para pemikir intervensionis, seperti Jean Babtiste Colbert pada abad 17 di Perancis, Alexander Halmiton di Amerika dan Frederich List pada pertengahan abad 19 di Jerman menunjukkan pentingnya intervensi pemerintah dalam membangun perekonomian dan mengangkat kesejahteraan masyarakat. Pada akhirnya intervensi negara juga meliputi bidang sosial untuk mengimbangi intervensi perkembangan ekonomi.

Di akhir abad sembilan belas, Otto von Bismarck mencanangkan asuransi sosial tenaga kerja untuk menjamin kesejahteraan mereka sekaligus untuk mendapat dukungan partai sosialis Jerman. Pemikir intervensionis ini juga berkembang selalu berhadap hadapan dengan para pemikir non intervensionis, John Maynerad Keynes merupakan pemikir neo-klasik yang mendukung pentingnya intervensionis. Pikiran ini menjadi legitimasi adanya negara kesejahteraan (welfare state) dan sejumlah intervensi pembangunan di negara berkembang oleh negara maju (Midgley, 2005:70).

Negara Kesejahteraan (welfare state) merupakan perwujudan para pemikir intervensionis dimana intervensi negara terhadap masyarakat akan membantu perkembangan ekonomi dan kesejahteraan mereka, meskipun ini mendapat kritik dari para neoliberal (Anderson, 2002:14). Pikiran mereka tidak menghapus negara kesejahteraan, akan tetapi para pemikir ini menyetujui intervensi negara kepada masyarakat hanya untuk mereka yang paling miskin (Midgley, 2005:62). Meskipun demikian halnya, kemunculan welfare state berbeda-beda di setiap negara (Rothstein, 2002:3). Perkembangan negara maju berlangsung dengan perdebatan tersendiri tentang kemajuan ekonomi politik dari dua pemikiran di atas. Bagaimana pun hasil perdebatan ini membuahkan hasil perbaikan kesejahteraan masyarakatnya hingga sekarang ini.

Pikiran interventif inilah jiwa dari pemikiran pembangunan yang berlangsung di negara berkembang. Keadaan yang berlangsung di negara berkembang agak berlainan. Intervensi negara dalam perencanaan pembangunan guna meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat hasilnya berbeda. Program dan proyek pembangunan dalam kenyatannya lebih menguntungkan para agen pembangunan, baik pemerintah, bisnis maupun organisasi sosial, dari pada masyarakat pada umumnya (Tabb, 2001:65). Meskipun para neoliberalis ini tidak menyukai intervensi negara secara berlebihan dalam perkembangan masyarakat modern di Eropa dan Amerika, akan tetapi sikap intervisonis para neoliberalis ini lebih banyak dimainkan terhadap negara berkembang, yang membuat negara berkembang semakin tergantung pada pola pembangunan yang disponsorinya melalui pendanaan hutang luar negeri. Bagaimana pun ini semua dilakukan atas dasar kepentingan perluasan pasar produk industrial yang telah diciptakan.

Kebijakan pembangunan di negara berkembang banyak dicampuri agar mengikuti kepentingan mereka, yang dikaitkan dengan kebijakan hutang luar negeri. Ada dua skema yang dilakukan untuk mempengaruhi kebijakan pembangunan di negara berkembang, yakni melalui pemberian hutang dan yang lain melalui pendanaan hibah lewat NGOs internasional yang bekerjasama dengan NGOs nasional dan regional. Isu dan program pembangunan negara berkembang disesuaikan dengan konseptualisasi mereka (Edward, 2004:15). Oleh sebab itu pikiran neoliberalis yang menguasai perekonomian dunia dan yang tergabung dalam perusahaan atau korporasi sejagad (Multi National Corporation dan Trans National Corporation) mendanai dan sekaligus menentukan konsep pembangunan.

Edelman (2006:1) menyebutkan bahwa pembangunan itu adalah terminologi yang tidak stabil.

Is it an Ideal, an immagined future toward which institutions and individual strive? Or is it destructive myth, an insidious, failed chapter in the history of Western Modernity (Escobar 1995) Conventionally ”development” may connote improvement in well being, living standards, and opportunities. It may also refer to historical process of commodification, industrialization, modernization, or globalization. It can be a legitimizing strategy for states, and its ambiguity lends itself to discourse of citizen entitlement as well as a state control.

Setiap orang yang mendefinisikan pembangunan memang cenderung normatif, sesuatu yang diharapkan terhadap perubahan kekinian maupun dimasa depan. Namun jika pembangunan itu mengakibatkan keadaan buruk yang tidak diharapkan, tidak menghasilkan perbaikan masyarakat secara berarti. Demikan juga terjadi pengkutuban hasil pembangunan oleh sebagian kecil warga negara yang kekayaannya melimpah sedang sebagian besar warga negara menikmati sebagian sisa dari apa yang telah dinikmati oleh orang kaya, akankah definisi normatif itu selalu dipuja-puja?

Dalam realitas seperti ini maka orang mengatakan bahwa pembangunan adalah sebuah bentuk eksploitasi milik publik ke dominasi individu atau kelompok tentang hasil pembangunan. Hal yang sama juga bisa dikatakan bahwa pembangunan itu adalah dominasi Barat atas negara-negara berkembang yang semula adalah daerah koloni mereka. Kalau dulu koloni adalah tempat pengambilan bahan baku, hasil perkebunan dan berbagai tambang untuk perdagangan internasional, kini keberadaan yang dahulu adalah koloni, negara itu secara yuridis adalah negara merdeka, akan tetapi pada umumnya mereka secara sosiologis tidak merdeka karena kekayaan dan pasarnya sudah dimiliki oleh negara yang mendanai pembangunan negara tersebut. Kebanyakan konsep pembangunan yang berlangsung di negara berkembang adalah berasal dari konseptualisasi pendonor pembangunan.

Para pemikir generasi kedua tentang teori ketergantungan mengatakan bahwa pembangunan tidak akan membebaskan negara berkembang dari ketergantungan mereka terhadap negara maju. Industrialisasi negara berkembang hanya diraih oleh sebagian kecil negara, itu pun tidak muncul dari pembangunan negara berkembang akan tetapi itu berasal dari negara maju. Ini semua adalah maksud dari perusahaan di negara maju untuk mendapat perlindungan pasar di negara berkembang dengan cara mendapatkan buruh murah atau negara maju akan mengekspor teknologi industri padat modal ke negara berkembang, yang sedikit menciptakan tenaga kerja  yang semuanya itu dilakukan oleh orang asing (Rapley, 2007:27). Di negara berkembang termasuk Indonesia, pembangunan adalah sebagai sebuah cara, sedang kesejahteraan adalah sebagai tujuan, faktanya telah terbelenggu atau terpasung oleh konstruksi kepentingan yang dibangun oleh negara maju. Siapa pun aktornya dalam masyarakat sipil, negara, bisnis dan organisasi sosial tidakberdaya (powerless) membangun kreativitas dalam perspektif pemikirannya sendiri. Ini adalah tantangan besar bagi Indosesia sebagai negara berkembang untuk mendapatkan kebebasan mengkonstruksikan sendiri kesejahteraan macam apa yang dipahami oleh masyarakat dan apa yang dibutuhkan, selanjutnya cara macam apa yang seharusnya dilakukan oleh para pihak untuk membangun bangsa sesuai dengan keinginan sendiri.

Kesejahteraan: Antara Konstruksi Organisasi Formal dan Institusi Sosial

Pembangunan, apa pun penjelasan ideologisnya, merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara sengaja (intervention) dan terencana dalam rangka mendapatkan hasil yang lebih baik dari kondisi kehidupan sebelumnya. Kondisi kehidupan yang lebih baik seperti apa yang diinginkan dalam proses perubahan itu, kata yang tidak pernah absen dari telinga setiap warga negara adalah kehidupan masyarakat yang sejahtera. Oleh sebab itu, perdebatan tentangnya berkembang menjadi perdebatan ideologis tentang bagaimana cara pencapaian perubahan dan hasil dari proses perubahan itu sendiri, yang berhubungan dengan kualitas kehidupan manusia. Kalau perubahan yang diharapkan lebih baik itu adalah sejahtera sebagai sebuah kondisi yang dapat dirasakan oleh masyarakat, pertanyaan tentangnya adalah berdasarkan basis apa hidup sejahtera itu  diletakkan, apakah sejahtera itu ditunjukkan oleh basis individu atau basis komunitas, atau bahkan keduanya (Goodin, 1988:363, Fitzpatrick, 2001:11).

Misalnya orang yang secara individual disebut kurang kecukupan dibanding yang lain dalam komunitasnya, bisa saja mereka merasakan hidup sejahtera karena komunitas dimana orang itu hidup menutup secara bersama-sama kekurangan mereka. Saling menjamin antara satu dengan lainnya dalam komunitas bisa mendatangkan perasaan sejahtera. Sebaliknya, orang yang secara individual kecukupan materi sedang komunitas tidak berurusan dengan kehidupannya, selalu tidak tenang karena khawatir kalau hartanya dirampok orang. Ini adalah sebuah kondisi yang menimbulkan perasaan ketidaksejahteraan. Perdebatan tentang kesejahteraan sengaja tidak disampaikan pada bagian ini sebab fokus utama bagian ini hendak menjelaskan tentang dominasi organisasi formal diluar masyarakat untuk mengkonstruksikan kesejahteraan dari pada institusi kesejahteraan yang berlangsung dalam masyarakat.

Rasa aman sekurangnya menjadi salah satu indikator yang menjadikan seseorang merasa sejahtera hidupnya. Singkat kata, di level mana kesejahteraan itu hendak diletakkan dalam sebuah keputusan politik, apakah hendak diletakkan pada kebijakan masyarakat (communitarian policy) atau kebijakan negara ( public and social policy). Artinya, rasa hidup sejahtera itu hendak dipikirkan atas konseptualisasi masyarakat itu sendiri sesuai dengan lingkungan sekitarnya, atau rasa hidup sejahtera itu ditentukan oleh keputusan politik negara yang indikatornya pun ditentukan oleh negara. Bisa saja terjadi, apa yang dirasakan oleh negara bahwa masyarakat kurang sejahtera oleh karenanya perlu intervensi program dan proyek pembangunan, akan tetapi apa yang dirasakan masyarakat bisa berbeda kebutuhannya. Misalnya masyarakat membutuhkan rasa aman dimana negara diharapkan mampu menjamin ketenteraman, tidak sering terjadi pencurian ternak peliharaannya, akan tetapi intervensi pembangunan justru menawarkan kredit ternak dengan bunga yang rendah. Masyarakat mengartikan sejahtera sangat kualitatif, yakni ada jaminan kemanan untuk mengamankan harta sapi mereka sehingga hidupnya tenang, akan tetapi negara justru sebaliknya, yakni pertambahan ternak sapi mereka yang diperoleh secara kredit sebagai indikasi semakin sejahtera hidup mereka. Sejahtera ditangkap sebagaimana memahami kemiskinan, yang diartikan karena ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan.

Pertanyaannya, apakah ketidaksejahteraan masyarakat itu identik dengan kemiskinan? Kelihatannya ada asumsi menyamakan keduanya, meskipun kemiskinan itu dapat merupakan salah satu indikasi ketidaksejahteraan. Akhir dari semua jawaban ini adalah peningkatan pendapatan perkapita, meskipun indikasi mutakhir tidak hanya dilihat pendapatan perkapita, melainkan juga terpenuhinya kebutuhan hidup minimum seperti kemampuan mengakses fasilitas kesehatan, pendidikan dan pemenuhan nutrisi.

Guna pemenuhan kebutuhan minimum ini, pada akhirnya masyarakat juga harus memiliki sejumlah uang yang cukup untuk itu. Indikator batas garis kemiskinan yang digunakan secara universal adalah 2 $. Orang yang pendapatannya kurang dari 2$ perhari disebut orang miskin. Kalau ukuran kemiskinan seperti ini digunakan, maka orang berpendapatan rendah di negara maju bisa saja dianggap kaya di negara berkembang. Namun tidaklah demikian bahwa ukuran angka kemiskinan tersebut di atas hanyalah diperuntukkan negara berkembang dan negara belum berkembang. Ilmu pengetahuan telah menempatkan standar ganda dalam pengukuran kemiskinan antara negara maju dan berkembang (Chrossudovsky, 2003:30) Demikian halnya jika ukuran ini digunakan untuk melihat standar pemenuhan kebutuhan hidup per keluarga, ini menjadi sangat problematik. Menstandardisasi pengukuran angka kemiskinan tidaklah mudah, yang semuanya ini membuka ruang perdebatan untuk memahami konsep kemiskinan. Perdebatan itu sekurangnya menempatkan paham tentang kemiskinan absolut (universal standart) dan kemiskinan relative. Kalau kemiskinan absolut dan relatif masih menekankan pada ukuran materiil, meskipun pada kemiskinan relative orang miskin diukur dengan cara membandingkan dengan orang, kelompok lain atau orang yang tinggal di wilayah tertentu dengan wilayah lain, namun ada yang meletakkan konsep kemiskinan berdasarkan atas pandangan yang bukan bersifat materiil. Miskin dilihat dari kemampuan kreativitas seseorang atau lembaga untuk melakukan kerja guna pemenuhan kebutuhan hidup, meskipun hal ini tidak harus mengabaikan kebutuhan dasar (Levine and Rizvi, 2005:76). Walaupun pendapatan perkapita seseorang itu rendah, dapatkah serta merta mereka dikatakan tidak sejahtera hidupnya?

Kesejahteraan masyarakat, istilah yang sering digunakan dalam terminologi akademik adalah kesejahteraan sosial, mengalami pergeseran dalam pemahaman dan penggunaannya. Kesejahteraan sosial itu menunjuk kondisi kehidupan yang baik, terpenuhinya kebutuhan materi untuk hidup, kebutuhan spiritual (tidak cukup mengaku beragama tetapi wujud nyata dari beragama seperti menghargai sesama), kebutuhan sosial seperti ada tatanan (order) yang teratur, konflik dalam kehidupan dapat dikelola, keamanan dapat dijamin, keadilan dapat ditegakkan dimana setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum, tereduksinya kesenjangan sosial ekonomi. Midgley (2005:21) mengkonseptualisasikan dalam tiga ketegori pencapaian tentang kesejahteraan, yakni pertama, sejauh mana masalah sosial itu dapat diatur. Kedua, sejauh mana kebutuhan dapat dipenuhi dan ketiga, sejauh mana kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dapat diperoleh. Semuanya ini bisa diciptakan dalam kehidupan bersama, baik ditingkat keluarga, komunitas maupun masyarakat secara luas.

Tentu, semua ini dapat berbeda di tingkat kehidupan sosial satu dengan lainnya. Indikator ini juga tidak dapat digeneralisasikan. Dalam realitas keseharian, kata kesejahteraan sosial menjadi bergeser penggunaannya, yakni sebagai kegiatan philantrophy (amal), program layanan sosial, bantuan publik yang dilakukan pemerintah untuk orang miskin dan terlantar serta program pelayanan sosial dari organisasi sosial yang bersifat formal berbadan hukum. Ketika kesejahteraan sosial bergeser maknanya dari kondisi well being  ke bentuk program layanan kesejahteraan sosial, lembaga publik menjadi sibuk berurusan membuat program pelayanan. Ketika program selesai dibuat dan diimplementasikan, keuangan bisa dipertanggungjawabkan maka selesailah sudah pekerjaan yang dilakukan berkaitan dengan kesejahteraan sosial.

Konsep kesejahteraan sosial menjadi spesifik dan sempit, yang menjadi klaim pekerjaan tertentu dari departemen tertentu pemerintahan di Indonesia, seolah-olah ini telah menjadi urusan Departemen Sosial atau Menkokesra. Dalam UU Kesejahteraan Sosial pasal 4, Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Dalam pasal 5 ayat 2, penyelenggaraan kesejahteraan sosial itu diprioritaskan pada kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial (penyimpangan perilaku), korban bencana (bukankah yang terakhir ini sudah diatur di UU Penanganan Bencana?), korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

Penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi kegiatan rehabilitasi, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial. Semua ini dominasinya sektor publik, yang akan memberi legitimasi atau sahnya perencanaan dan program kegiatan. Dalam konteks ini konsep kesejahteraan adalah dominasi keputusan organisasi formal yang dilakukan baik oleh organisasi publik (negara), masyarakat maupun organisasi ekonomi dalam pelayanan kesejahteraan sosial dan bukan sebuah institusi kesejahteraan masyarakat (communitarian welfare) yang terpola dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.

Welfare pluralism pun menunjuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dilakukan oleh organisasi formal yang tidak hanya terbatas pada organisasi publik melainkan juga organisasi sosial dan ekonomi. Ini semua adalah organisasi penyelenggara program layanan sosial organisasional, yang sering kali berdiri diluar masyarakat yang dilayani. Pada umumnya organisasi itu bukan menunjuk sebuah institusi kesejahteraan masyarakat yang telah lama ada dan terpola di dalam masyarakat itu sendiri. Pendek kata perumusan tentang sejahtera adalah dominasi kepentingan penyelenggaraan layanan bantuan sosial dari luar masyarakat yang dilayani, sedang masyarakat sendiri menempati posisi subordinat dalam merumuskan apakah dirinya sejahtera atau tidak. Perilaku sejahtera seperti ini lah menjadi solusi system kesejahteraan yang dilakukan oleh organisasi formal, termasuk negara (Schiller, 2008:255), yang mampu memberi pelayanan akan tetapi tidak mampu menciptakan kondisi. Pertanyaannya mengapa konseptualisasi hidup sejahtera lebih didominasi oleh organisasi penyelenggara pelayanan sosial? Jawaban atas pertanyaan ini sangat erat kaitannya dengan hubungan relasional para pihak dalam masyarakat sipil (civil society), yang keberadaannya di negara berkembang banyak ditentukan oleh dominasi pandangan global yang berbasis pada paham neoliberal.

Oleh sebab itu, menurut hemat penulis,  ukuran kuantitatif seperti kemiskinan dan kesejahteraan oleh para pihak merupakan kreasi pikiran penguasa global dalam memfasilitasi program dan proyek pembangunan. Misalnya pemberdayaan (empowerment), gender, justice dll merupakan istilah baru dalam proyek pembangunan, yang tercipta dari rezim pendanaan internasional. Para pihak di negara Indonesia, baik organisasi publik, sosial dan bisnis, dalam arena civil society adalah pelaku dan pengimplementasi konsep dan program pembangunan. Konsep kesejahteraan sebagai tujuan akhir pembangunan didominasi oleh organisasi formal, yang fungsinya sebagai pelaksana pelayanan sosial dari gagasan penguasa global. Kelompok masyarakat sebagai sasaran program, tetap saja sebagai obyek, yang kehilangan kedaulatan untuk menempatkan dan menyatakan diri mereka sendiri dikancah ruang pembangunan bangsa.

Negara Indonesia: Kepatuhan terhadap Para “Pebisnis Pembangunan”

Isu kemiskinan (poverty), kesejahteraan (welfare), demokratisasi, desentralisasi, kesamaan hak laki-laki dan perempuan (gender), pemberdayaan (empowerment), keadilan (justice), tata kelola (governance), kemanusiaan (humanity), anti privatisasi dan seterusnya merupakan reaksi dari realitas yang sedang berlangsung di negara berkembang. Pada umumnya negara berkembang semasa membangun menghasilkan pembangunan yang tidak banyak membuahkan kesejahteraan masyarakatnya. Di Indonesia hal ini ditandai dengan tingkat kesenjangan, baik terjadi antarpenduduk maupun antarsektor (Pogge, 2002:2, Sumodiningrat, 2006 :30-31).

Diagram ini dikreasikan sendiri oleh penulis dengan mengambil bahan dari Yayasan Cindelaras dan hasil pemahaman penulis dari presentasi George Junus Aditjondro saat presentasi bedah buku Dewa Dewa Pencipta Kemiskinan.

Kritik NGO internasional terhadap berbagai isu seperti demokratisasi, privatisasi, ketidakadilan, ketimpangan, kerusakan lingkungan dan seterusnya di negara berkembang, yang bekerjasama dengan NGO nasional, adalah lebih banyak didanai oleh lembaga-lembaga bantuan internasional seperti USAID, AUSAID, SIDA dst. Ini adalah kaki kiri mereka, sedang kaki kanannya mendanai dengan skema hutang untuk mendorong negara berkembang agar menciptakan pertumbuhan ekonomi melalui pasar bebas, privatisasi, dan explotasi sumber alam besar-besaran dengan minim pelayanan sosial, sebab besarnya pelayanan sosial identik dengan pemborosan.

Para pelaku ekonomi lebih suka dengan perdagangan import yang menguntungkannya. Mereka kelihatannya tidak berkehendak mendorong kelahiran teknologi dan perkembangan industri lokal yang dirasa tidak banyak untungnya. Dalam posisi ini, para pihak (stakeholders) yakni baik negara, NGOs dan pelaku bisnis terasa takberdaya melawan konstruksi neoliberal yang semakin menguasai dunia, atau mungkin saja bahwa mereka adalah bagian dari neoliberalisme (komprador) itu sendiri. Mereka adalah pelaku bukan konseptor kegiatan, yang mengalir dan mengikuti kehendak kepentingan prisip ekonomi politik neoliberal. Ini semua menjadi sangat kuat ketika perguruan tinggi menjustifikasi perilaku pasar bebas, berusaha keras mengikuti arus internasionalisasi, privatisasi pendidikan, mendapatkan label ISO sebagai derajad kebanggaan tertinggi dari sebuah universitas di Indonesia. Perilaku kebijakan untuk pembangunan bangsa diwarnai oleh aktor yang sangat patuh terhadap prinsip neoliberalisme.

Seluruh investasi negara maju dan pengumpulan dana masyarakat melalui pajak, yang dialokasikan untuk bantuan pembangunan di negara berkembang, mendulang keuntungan yang luar biasa besar dari bisnis pembangunan. Bank dunia dan IMF mendapatkan keuntungan dari bisnis peminjaman, sedang NGO internasional mendapat untung besar dari bisnis bantuan. Di negara berkembang dimana negara itu sedang membangun infrastrukturnya seperti membangun dam, irigasi, jalan raya, pembangunan jembatan, pembangkit tenaga listrik, pembangunan rel kereta api, pelabuhan, pangkalan udara, pemberantasan hama, pabrik bibit, pabrik pupuk, bangunan sekolah, hotel, sarana kesehatan, peternakan, pabrik semen, proyek keluarga berencana, pembangunan rumah sakit, perbaikan institusi, perencanaan pembangunan nasional dll, semuanya itu tidak lepas dari bisnis pembangunan mereka yang dikelola oleh Bank Dunia, IMF dan berbagai lembaga keuangan internasional lainnya seperti ODA (Official Development Assistance) yang dananya berasal dari kurang lebih 18 negara maju (Hancock, 2005:94).

Salah satu contoh, dalam pelaksanaan pembangunan pertanian di negara berkembang, FAO melibatkan diri secara langsung dengan memberikan bantuan tenaga ahli, mengembangkan pendidikan dan pelatihan, mengembangkan dan mempraktekkan teknologi baru di bidang pertanian. Hampir semua lembaga internasional merupakan alatnya kapitalisme neoliberal. Organisasi internasional seperti ini memiliki kuasa yang sering kali membuat negara berkembang tidakberdaya. Mereka melakukan kontrol, jika dibantah maka solidaritas lembaga-lembaga internasional ini segera menghukum pembangkangan mereka. Ketika Amerika Serikat memerintahkan bahwa negara berkembang harus menghapus berbagai subsidi yang berlebihan, meniadakan pembatasan-pembatasan perdagangan maka negara maju lainnya seperti Perancis, Jerman, Jepang dan Italia juga akan meneriakkan suara yang sama. Negara negara ini akan mengikuti kepemimpinan Bank Dunia dan IMF. Jika ada negara berkembang yang menentang kebijakan baru mereka maka keduanya akan melakukan penekanan yang sama. Demikian juga lembaga keuangan lainnya juga akan melakukan tekanan yang sama termasuk negara-negara kaya (Chosssudovsky, 2003: 103, Hancock, 2005: 93-131).

Oleh sebab itu, sebagai  salah satu contoh, pembangunan pertanian di Indonesia yang dikenal dengan Revolusi Hijau, sejak awal pembangunan itu dimulai telah dikawal oleh FAO, baik secara konseptual maupun teknis. Pembangunan komersialisasi pertanian melalui revolusi hijau itu promosinya adalah meningkatkan produksi, peningkatan pendapatan petani dan kesejahteraan untuk memberantas kemiskinan. Seluruh model produksi lama telah dibongkar, baik mulai dari cara produksi, alat produksi sampai dengan hubungan produksinya. Tidak hanya sebatas pada model produksi, konseptualisasi kemiskinan dan kesejahteraan pun juga bergeser kearah konseptualisasi materiil semata, yang dibimbing oleh para ahli yang didatangkan dari negerinya para “pangeran pebisnis pembangunan” (the lords of development business). Pertanyaannya, apa yang telah diperoleh oleh para petani dari usaha pembangunan pertanian yang sudah berlangsung selama hampir empat puluh tahun?

Program pembangunan pertanian dengan Panca Usaha Tani, yakni pengolahan tanah dengan traktor, penggunaan bibit unggul produksi pabrik, pengunaan pupuk unorganik, pemberantasan hama dengan pestisida dan pembangunan irigasi yang menelan biaya sangat besar, biaya ini bukan hanya finansial melainkan juga biaya sosial ekonomi yang harus dipikul oleh masyarakat. Biaya yang bersifat materiil adalah jelas, semua alat produksi itu adalah alat produksi baru yang diperoleh oleh petani dengan cara membeli. Hal lain yang tidak terasa adalah hilangnya teknologi lokal yang semula dimiliki oleh petani dengan cara membuat sendiri seperti penyemaian bibit dan bukan membeli bibit, baik varietas benih padi yang semula banyak sekali variasinya kini telah lenyap. Kalaupun itu sekarang masih ada, jumlahnya sedikit, yakni benih yang dikembangkan oleh para petani tertentu sebagai reaksi kegagalan pembangunan pertanian tanaman pangan padi.

Benih tanaman selain padi seperti jagung dan kedelai menjadi langka. Benih baru berdatangan dari luar negeri. Pada umumnya petani  mengadopsi sistem baru ini dengan beban biaya yang cukup tinggi sebab semua alat produksi itu harus dibeli. Ironisnya, biaya produksi semakin mahal, meski ditunjukkan dengan adanya peningkatan produksi, akan tetapi pendapatan petani juga tidak meningkat. Tanaman pangan padi tidak akan mungkin menguntungkan petani sebab padi harus dipertahankan murah oleh pemerintah untuk memelihara stabilitas politik dan keamanan serta menjaga radikalisasi sosial bagi mereka yang kekurangan makan. Pembangunan pertanian yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pangan, kini pemenuhan bahan pangan banyak dipenuhi dengan cara import, misalnya bawang putih (90%), susu (70%),  kedelai ( 70%), garam (50%), gula (30%), daging sapi (25%), jagung (10%), beras (3,5%) (Maksum, 2009).

Ironisnya lagi berbagai bahan mentah yang telah diproduksi, selanjutnya diekspor. Kecenderungan untuk mendorong tumbuhnya industri sendiri sangat rendah sebab lebih menguntungkan berdagang dari pada berindustri. Misalnya antara lain minyak sawit, karet, cokelat, minyak bumi, Indonesia memasuki pasar export, namun kebutuhan ban mobil, bensin dsb, Indonesia harus import. Mulai perkebunan sampai tambang potensi exportnya besar, demikian juga kebutuhan produk industrial dari barang yang siap dikonsumsi diperoleh dengan cara import. Prinsip pencapaian pertumbuhan ekonomi tidaklah mutlak dilakukan dengan cara membuat industri manufaktur sendiri, melalui perdagangan dapat juga memberi kontribusi besar untuk perkembangan ekonomi. Namun ini semuanya lebih banyak menguntungkan para pedagang dari pada masyarakat pada umumnya. Hilangnya kedaulatan semakin tampak jelas bahwa bangsa ini adalah bangsa yang pemimpinnya patuh terhadap para “pangeran” pebisnis pembangunan. Di era pembangunan yang mendorong berkembangnya industri, negara Indonesia tidak menghasilkan para industriawan akan tetapi mencetak lebih banyak para pedagang atau para usahawan instant yang pekerjaannya lebih banyak pemburu rente.

Kini telah mulai berkembang pertanian organik (organic farming) yang dilakukan oleh petani. Pertanyaannya, apakah cara pertanian ini merupakan sebuah ide resistensi dari pembangunan pertanian yang tidak menguntungkan petani selama periode pembangunan, atau cara ini juga merupakan  ide dari negara maju sebab mereka telah mengembangkan jenis makanan yang tidak banyak tercemar oleh bahan kimia karena tuntutan pasar? Ini perlu kajian yang lebih dalam. Apa yang diimpikan untuk mendorong lahirnya kembali kedaulatan petani dalam pertanian organik, ternyata tak sepenuhnya ide perlawanan, akan tetapi ide kebutuhan pasar bebas juga. Meskipun itu didorong oleh kehendak pasar akan tetapi prinsip kedaulatan masih terjaga.

Guna membantu meringankan biaya produksi pertanian pangan, pemerintah telah memberikan subsidi pupuk melalui pabrik pupuk. Subsidi pupuk yang diberikan oleh pemerintah kepada petani juga tidak dinikmati oleh para petani. Para pengusaha perkebunan besar dapat memperoleh pupuk murah dari perusahaan yang seharusnya diberikan kepada petani. Ini lah kesulitan petani, ketika musim tanam tiba, sering kali tidak tersedia pupuk di pasaran dan kalau toh ada, harganya mahal. Fakta seperti ini menunjukkan bahwa pemerintah bukan mensubsidi petani gurem akan tetapi mensubsidi pengusaha perkebunan besar.

Ini semua bukan hanya persoalan Indonesia, pernyataan  Norman Uphoof, Milton J. Esman dan Anirudh Krishna (1998) dalam pengantar buku yang ditulis, yakni Reasons for Success, Learning from Instructive Experience in Rural Development, perlu disimak:

The majority of failure in rural development project and programs stem not, we are convinced, from any intrinsic incapacity among rural people but rather than from ways that governments, donor and international agencies, and some nongovernmental organizations usually proceed

Pembangunan sektor industri manufaktur untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja sebesar besarnya, sebagi konsekwensi komersialisasi pertanian tidak tumbuh dengan baik. Akibat selanjutnya adalah banyak angkatan kerja muda di desa bergeser ke kota dengan demikian bertambahnya pengangguran di kota tidak dapat dielakkan. Kalau dilihat dari angka pengangguran terbuka secara keseluruhan di Indonesia termasuk rendah (8,81%) per tahun. Akan tetapi jika angka pengangguran dilihat juga bagi mereka yang berstatus setengah pengaggur atau mungkin pengagguran musiman maka jumlahnya akan menjadi lebih besar dari itu.

TABEL. 2

ANGKA PENGANGGURAN DI INDONESIA

1999-2008

TAHUN

TOTAL

JUMLAH JUTA

%

1999

6,03

6,36%

2000

5,81

6,07%

2001

0,08

8,10%

2002

9,13

9,06%

2003

9,53

9,50%

2004

10,25

10,14%

2005

10,85

10,30%

2006

11,10

10,40%

2007

10,55

9,75%

2008

9,43

8,39%

Rata-rata 10 tahun terakhir

8,27

8,81%

Sumber data : BPS (1999-2008)

Akibat dari semua ini, solusi utama tentang kesejahteraan materiil dari hasil bekerja di berbagai sektor tidak banyak diperoleh oleh masyarakat. Dari segi ekonomi, sektor usaha yang menawarkan sebanyak banyaknya kesempatan kerja jumlahnya sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk pencari kerja. Kemunculan pekerjaan sektor informal yang semakin banyak adalah akibat dari tidak berkembangnya sektor riil yang diharapkan banyak menampung tenaga kerja. Jika kesejahteraan dan kemiskinan itu semata-mata dilihat dari ukuran materiil maka persoalan kemiskinan dan kesejahteraan hanya akan menjadi obyek pembangunan. Proyek pengentasan kemiskinan merupakan bentuk intervensi negara akibat ketidakmampuannya mendorong tumbuhnya sektor industri riil yang bisa menyerap banyak tenaga kerja.

Siapa yang diuntungkan dari kreativitas program pengentasan kemiskinan guna mencapai hidup sejahtera? Program program pembangunan itu dirancang baik indikator keberhasilannya maupun ukurannya ditentukan oleh organisasi formal yang menangani kemiskinan. Sejauh pengamatan penulis, kelihatannya belum ada indikator dan ukuran tentang kemiskinan maupun ukuran tentang kesejahteraan yang didefinisikan menurut masyarakat itu sendiri, lalu diadopsi oleh program pemerintah. Kalau hal itu dilakukan, ada kemungkinan bisa menggagalkan bisnis pembangunan. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa implikasi pembangunan seperti ini? Model pembangunan yang menekankan pencapaian ukuran materiil untuk menentukan kesejahteraan, dengan tidak terasa, telah terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat. Membangun masyarakat sama artinya dengan memberikan sesuatu yang bersifat materiil kepada masyarakat, sebuah pendekatan yang sangat bersifat filantrofis.

Seorang pemimpin politik untuk mendapatkan dukungan masyarakat dalam pemilu pun melakukan hal yang sama, yakni mengobral uang (money politics) untuk mendapatkan dukungan. Money politics seperti ini menunjukkan tidak adanya kepastian hukum yang seringkali memunculkan political violence, yang menghambat stabilitas ekonomi (Kerbo, 2006:120).  Kalau sekarang masyarakat selalu menuntut pembangunan fisik maupun uang terhadap siapa saja yang datang untuk memfasilitasi pembangunan, ini akibat pembangunan yang salah urus dari para pemimpinnya. Selanjutnya, cara pemimpin untuk mendapatkan simpati dari masyarakatnya adalah dengan cara transaksional, setelah transaksi selesai, urusan pemimpin adalah mencari sesuatu untuk dirinya sendiri sebab biaya materiil yang dikeluarkan untuk dipilih oleh rakyat sangat besar jumlahnya. Jika cara ini terinstitusionalisasikan menjadi sebuah kebudayaan, kepemimpinan nasional akan diperoleh dengan cara transaksional materiil. Pada tingkat ini, bangsa Indonesia akan mendapatkan pemimpin nasional yang lebih bersifat pedagang dari pada negarawan.

Kesejahteraan: Sebuah Konstruksi Komunitas

Sebelum sampai pada uraian tentang bagaimana antara negara dan pada umumnya masyarakat untuk memandang kesejahteraan, perlu disimak beberapa contoh negara lain. Dibalik kemajuan sebuah bangsa yang selalu diukur oleh ukuran yang serba materiil, terutama negara-negara Eropa, Andorra merupakan sebuah negara kecil yang terletak antara Perancis dan Spanyol, sebelah timur pegunungan Pyrenees. Negara ini rara-rata tingkat harapan hidup (life expectancy) penduduknya 83.5 tahun dan beberapa dari mereka hidup hingga 90 tahun. Negara ini sudah tujuh abad tidak pernah konflik dengan negara luar dan oleh karenanya tidak memiliki tentara. Penduduknya gemar berolah raga, memelihara udara bersih, makan sedikit daging atau daging yang tak berlemak, banyak makan sayuran, mengkonsumsi minyak zaitun dan memelihara kesehatan yang baik. Barang kali salah satu rahasia hidup adalah tingkat strees yang rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 30% ada faktor genetis yang menyebabkan hidup panjang, namun 70% diperkirakan dari gaya hidup (lifestyle) mereka. Negara yang dilihat terisolasi dari negara Eropa itu penduduknya sangat damai. Setelah dewasa orang hidup harus berpasangan dan harus menjaganya, memiliki kewajiban membantu satu dengan lainnya, memiliki hak yang sama untuk menjamin ketahanan sosial (Henley, 2008, BBC News)

Ini tidak hanya terjadi di satu negara melainkan juga terjadi dalam beberapa masyarakat dibeberapa negara. Di Sardinia  Itali, di Okinawa Jepang dan di Loma Linda California AS, adalah contoh dimana terdapat penduduk yang rata-rata hidupnya berumur panjang di atas 80 tahun. Dari beberapa wilayah yang terpisah ini umumnya terdapat kebiasaan yang serupa, meskipun ada perbedaan latar belakang dan keyakinannya. Rata-rata rahasia hidup berumur panjang itu karena gaya hidup mereka. Pada umumnya mereka hidup dengan gaya tradisional, mengutamakan keluarga, ramah dengan orang lain, menghargai antar sesama atau mencintai sesama dan mengutamakan pergaulan dalam kehidupan, selain itu juga tidak pernah menggerutu. Pada umumnya mereka gemar berolahraga dan berkegiatan. Merawat dan memelihara orang tua dalam satu keluarga dan bukan mengirimkannya ke rumah jompo. Mereka pada umumnya gemar makan sayuran dan buah-buahan dan tidak merokok, bahkan orang Lomba Linda di Kalifornia hidup dengan tidak menyantap daging sapi, kambing dan babi yang dianggap tidak suci menurut Agama Advent Hari Ketujuh. Orang Okinawa, agama menjadi bagian penting meskipun agama yang dianutnya berbeda dengan orang Lomba Linda, yakni berkeyakinan Khong Hu Cu (National Geographic Indonesia: 2005).

Tingginya harapan hidup merupakan salah satu indikasi kesejahteraan. Apa yang dapat dipetik dari pelajaran mengenai masyarakat dibeberapa negara ini? Sejahtera bukan lah satu satunya diukur atas capaian materiil. Kalau dilihat dari apa yang telah dicapai oleh penelitian tentang beberapa masyarakat tersebut di atas, sejahtera juga dipahami secara sosial, psikologis, hiegenis, dan terpeliharanya kebugaran tubuh (George, 1995:1). Dari segi sosial, mereka ramah dengan orang lain, mengutamakan keluarga dan menghindari konflik. Meskipun tidak tampak dari cerita di atas, kemungkinan keadilan distributive (just distribution) menjadi komponen yang dipertimbangkan juga.  Secara psikologis, mereka diikat oleh keyakinan dan tidak menggerutu. Secara hiegenis, makanan yang dikonsumsi tidak mengandung unsur lemak tinggi, secara fisik, mereka pada umumnya tidak pernah berhenti berkegiatan dan berolah raga. Orang-orang ini hidup dalam masyarakat, yang tidak terpengaruh oleh kehidupan modern. Kalau disimak, mereka pada umumnya memiliki cara perumusan sejahtera yang amat berbeda dengan ukuran sejahteranya konstruksi modernitas dimana kesejahteraan itu lebih banyak dilihat dari pemenuhan kebutuhan materiil yang dikonstruksikan oleh pasar.

Barangkali rasa sejahtera seperti ini, dilihat dari pandangan masyarakat modern, merupakan cara hidup tradisional sebab banyak hal yang sulit diukur secara kuantitatif sebagaimana pencapaian kesejahteraan secara individual dengan ukuran materiil. Bagaimana ketenteraman, pemahaman keyakinan hidup, keramahan dan sikap tidak menggerutu dalam kehidupan adalah menjadi bagian perasaan yang terdalam dalam hidup sejahtera.  Indikator seperti ini kemungkinan besar terdapat juga dalam masyarakat Indonesia meskipun kehidupan seperti ini adalah bagian yang tersisa dari kehidupan masa lalu. Cara hidup seperti ini sangat lazim dalam masyarakat tradisional di desa, dimana tidak ditandai oleh gaya hidup kelimpahan materiil dan sangat sederhana. Komunitas memegang peranan penting bahwa kesejahteraan seseorang sangat ditentukan oleh bagaimana komunitas mengelola institusi kesejahteraan yang menjamin para anggotanya. Pada masa lalu desa-desa di Jawa memiliki lumbung padi. Lumbung ini menjadi cadangan pangan bagi penduduk desa tatkala paceklik terjadi. Lumbung padi yang dihimpun dari pengumpulan padi setiap penduduk esensinya adalah ketahanan komunitas, yakni kedaulatan pangan (food sovereignity) sekaligus adalah ketahanan pangan (food security) bagi penduduk desa. Tentu dalam kehidupan bersama, desa selalu memiliki institusi resolusi konflik. Harmoni menjadi bagian yang didambakan untuk memahami kesejahteraan. Saling menjamin antartetangga jika terjadi kesulitan. Konsep Patron-Klien (pattern client relationships) dalam konseptualisasi pikiran materiil dan individualis adalah sebuah bentuk eksploitasi dari patron ke klien, namun institusi seperti ini adalah hubungan yang saling menjamin antara pemilik tanah luas dan tak bertanah (landless). James C. Scott (1976:41) mengatakan bahwa keduanya saling memiliki kewajiban moral (moral obligations), seperti orang yang numpang tinggal ditanahnya orang kaya “ngindung” memiliki kewajiban moral terhadap yang ditumpangi, demikian sebaliknya.

Di tengah masyarakat Indonesia yang sedang berubah dimana kesejahteraan ditentukan atas ukuran individual yang ditandai oleh peningkatan pendapatan dan pemilikan, institusi kesejahteraan yang berbasis komunitas (community welfare) dalam beberapa hal masih tampak di pedesaan maupun kampung pinggiran kota. Kerangka ini tidak dapat ditangkap oleh kerangka organisasi formal pelayanan kesejahteraan sosial (Narayan, 2007:141).  Institusi itu  antara lain adalah kematian, sakit, hajatan dan berbagai bentuk kegiatan untuk kepentingan bersama yang dipikul secara bersama-sama. Perilaku sosial seperti ini juga diamanatkan oleh agama sebagai kepedulian terhadap kemanusiaan (Barusch, 2005:131)

Misalnya kematian, sekarang ini orang mati pun harus membayar ketika hendak dikuburkan. Biaya yang dikeluarkan oleh sanak keluarga mulai dari bedah bumi sampai dengan menjamu para pelayat tidak bisa lepas dari biaya ekonomi dari para keluarga. Namun orang yang meninggal tatkala mereka masih hidup telah mengasuransikan hidupnya kepada komunitas dengan cara ikut menyumbang ketika ada tetangganya yang meninggal. Ini lah yang disebut dengan community insurance (Banerjee, 2006:369). Dalam struktur masyarakat modern yang berbasis kepada kepentingan individu, kegiatan seperti ini ditangkap sebagai kegiatan pemborosan. Orang ketika dilihat dari ukuran materiil adalah miskin namun dalam kehidupan sosialnya masih membagi-bagikan apa yang dimiliki untuk menjamin keberlangsungan komunitas (shared poverty). Konsep membagi kemiskinan dikemukakan oleh salah satu Indonesianis, yakni Clifford Geertz yang menyoroti tentang perkembangan masyarakat Indonesia saat memasuki modernisasi dimana perubahan itu ditunjukkan ada perkembangan namun perkembangan itu tidak menunjukkan peningkatan (involution). Tentu, kerangka konseptualnya untuk menyebutkan shared poverty terhadap perkembangan masyarakat Indonesia karena ia melihatnya dari cara pandang capitalist mode of production.

Keluarga besar yang diikat oleh komunitas masih berlangsung ditengah perkembangan masyarakat yang sudah mulai individualis atas konstruksi kapitalisme. Keluarga besar, dalam pengertian ikatan komunitas ini, merupakan institusi yang membawa masyarakat itu tetap exist, meskipun banyak pihak dalam institusi kesejahteraan modern menganggapnya komunitas itu miskin. Salah satu contoh masyarakat Gunung Kidul, ketika mereka menengok sanak keluarganya atau tetangganya yang sedang menderita sakit dan harus dirawat di rumah sakit, mereka tidak membawa roti, buah buahan atau sejenis makanan lain seperti layaknya orang kota sebagai kepedulian untuk ikut sependeritaan. Mereka satu persatu menyisihkan uangnya untuk diberikan kepada sisakit atau keluarganya. Ini adalah sebuah rasionalitas dimana penderitaan dipikul secara bersama-sama oleh anggota komunitas. Kiranya banyak hal yang ditegakkan oleh komunitas ini sebagai sebuah institusi kesejahteraan.

Bagi anak-anak desa atau kampung biaya pendidikan seringkali juga dibantu oleh keluarga yang mampu. Pada pedagang kecil, kemajuan usaha kalau diukur dari pertambahan akumulasi keuntungan materiil yang diperoleh, barang kali ini tidak akan tampak, sejak dulu berjualan untuk mempertahankan kehidupan hanya itu itu saja, akan tetapi kemampuan mereka untuk menyekolahkan anak, membiayai kesehatan, ketika sakit, adalah bentuk akumulasi kapital sosial (sosial capital) dan bukan diwujudkan sebagai kapital materiil. Kiranya tidak hanya terjadi di Okinawa, Sardina dan Loma Linda bahwa tingkat harapan hidup masyarakat itu tinggi, melainkan juga sebagian orang-orang desa di Indonesia yang hidupnya panjang karena kesederhanaan gaya hidup masih banyak jumlahnya. Ini perlu kajian sampai seberapa jauh kesederhanaan mereka memberikan kontribusi terhadap life expectancy. Mereka adalah orang orang yang hidupnya tidak terlalu terpengaruh oleh keinginan yang disuguhkan oleh pasar. Sekarang ini, pekerjaan di sektor pertanian diisi oleh para petani yang usianya lanjut. Meskipun demikian, mereka masih mencangkul, merokok walau pun usianya sudah 80 tahun. Sebuah realitas yang perlu diperhatikan, institusi kesejahteraan yang dijamin oleh komunitas itu menyediakan indikator sosial seperti ketenteraman, asuransi sosial, ketahanan sosial dalam keluarga dan komunitas.

Perubahan gaya hidup materiil dan lebih individualis dialami oleh ibu-ibu muda yang memutuskan untuk bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Meskipun rentan perlindungan ketenagakerjaan, ini tidak menyurutkan tekadnya menjadi TKW keluar negeri. Tentu hasil ekonomi yang diperoleh jauh lebih baik dibandingkan dengan bekerja di Indonesia. Kiranya tidak sedikit bagi para ibu yang telah mampu membangun rumahnya. Kepergian kerja dalam waktu lama juga ada biaya sosial yang harus dibayar (social opportunity cost), yakni keretakan berumah tangga, perceraian, perselingkuhan ketika para suami ditinggal istri, anak-anak mereka frustrasi dan terjerumus narkoba. Apakah ini sebuah indikasi hidup sejahtera? Kebutuhan materi sudah tentu tidak bisa diabaikan, akan tetapi well being bukan satu satunya ukuran materiil, kebutuhan sosial, kebutuhan psikologis, kebutuhan kebugaran fisik menjadi bagian yang terdapat di dalamnya.

Pada umumnya kondisi kehidupan seperti ini dalam masyarakat Indonesia justru menjamin asuransi sosial yang seharusnya dipikul oleh negara. Dapat dibayangkan, seandainya kondisi seperti ini tidak ada, ditengah krisis ekonomi yang berakibat pada rasionalisasi ketenagakerjaan diperusahaan besar, radikalisasi sosial akan mengakibatkan stabilitas sosial politik akan goncang ketika negara tidak mampu mengatasi pemutusan hubungan kerja. Keuntungan terbesar dari kondisi kehidupan masyarakat tradisional yang tersisa masih mampu menjamin sanak keluarga untuk hidup bersama ketika ada pemutusan hubungan kerja. Mereka pulang ke desa masih disapa dan diterima untuk sementara waktu sebelum mendapat pekerjaan baru. Tentu ini akan sulit di negara maju karena negara harus melakukan intervensi besar-besaran untuk biaya sosial disaat terjadi krisis.

Kebebasan (freedom) dan Pencapaian Pembangunan Sosial

Kelihatannya belum banyak orang mendiskusikan pembangunan sekaligus dengan apa yang hendak dicapainya. Sebagaimana dikemukakan di atas, pemikiran konvensional tentang pembangunan tidak melepaskan diri dari identifikasi bahwa pembangunan itu identik dengan pertumbuhan pendapatan nasional bruto, munculnya tingkat pendapatan penduduk, tumbuhnya industrialisasi dan teknologi atau modernisasi sosial. Akan tetapi apakah ketika pencapaian pendapatan nasional itu tinggi atau pendapatan masyarakat itu tinggi, hal ini telah identik dengan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Bukan berarti semua diatas itu tidak penting, namun ketika realitas sosial menunjukkan sebaliknya kemungkinan kesalahan macam apa yang perlu direfleksi?

Bila kesejahteraan itu adalah tujuan akhir dari perkembangan masyarakat maka pembangunan adalah cara pencapaiannya. Dua kata ini sering dibicarakan secara terpisah, pembangunan lebih menunjuk pada persoalan teknis (instrument) bagaimana mendorong dan memfasilitasi masyarakat agar mereka maju sedang kesejahteraan menjadi terminologi tertentu yang artinya tidak lebih dari kegiatan pelayanan masyarakat sebagaimana di kemukakan di atas. Oleh sebab itu kesejahteraan macam apa yang dikehendaki oleh sebuah komunitas, selanjutnya cara pembangunan macam apa yang dilakukan untuk memfasilitasi mereka. Ketika keduanya itu tidak menjadi kesatuan logika berfikir maka masing-masing berdiri sendiri sendiri untuk kepentingan praktis. Artinya, pembangunan berdiri sebagai rasionalitas instrumental tanpa mengindahkan nilai (value) macam apa yang hendak dicapai dan dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya. Demikian pula tentang kesejahteraan, tidak disadari bahwa keberadaannya sebagai sebuah nilai yang ingin dicapai adalah kehilangan “ruh” sehingga terjebak dalam rasionalitas instrumental juga. Sejahtera seolah sebuah ukuran materiil tentang pencapaian dan mengabaikan pencapaian tujuan non materiil. Sejahtera bukan lagi menunjuk keadaan masyarakat yang mampu memperoleh atau mendapatkan kenikmatan dalam dunia kehidupan baik materiil maupun non materiil menurut dirinya sendiri.

Absennya logika berfikir seperti ini dalam sebuah negara yang sedang membangun membuat negara itu kehilangan eksistensi sebagai sebuah bangsa, sebab pembangunan yang dilakukan tidak terasa adalah sebuah alat kepentingan dari prinsip perluasan pasar dari perkembangan negara maju. Keadaan seperti ini menunjukkan sebagai sebuah pembangunan yang terperangkap (development trapped). Disebut terperangkap karena pembangunan itu ternyata menguntungkan orang lain dan bangsa yang sedang membangunan itu tidak lebih sebagai perluasan pasar mereka. Relasi antara pembangunan dan kesejahteraan tidak hanya sekedar hubungan relasional tanpa membawa prinsip nilai yang dijadikan sebagai guiding perspective dalam proses perubahan. Amartya Sen (2000) meletakkan kebebasan (freedom) sebagai prinsip nilai sebagaimana di kemukakan di atas.

Selanjutnya, Sen menyebutnya agensi atau aktor yang mendapat kemerdekaan atau kebebasan itu adalah individu. Kemerdekaan individu (individual freedom) adalah sebagai komitmen sosial (social commitment) yang menjadi dasar untuk memahami hubungan antara pembangunan dan kesejahteraan. Perluasan kebebasan individu dilihat sebagai pencapaian tujuan utama, sedang perluasan kebebasan itu dilihat juga sebagai instrument utama pembangunan. Pembangunan itu terdiri dari pemusnahan bermacam-macam tipe ketidakbebasan yang tinggal di sanubari orang (people) dengan sedikit pilihan dan minimnya kesempatan untuk melakukan sesuatu. Pemusnahan ketidakbebasan substansial itu adalah konstitutif pembangunan. Hemat penulis kebebasan manusia adalah sebagai nilai pembangunan yang menonjol. Kurangnya kebebasan untuk mencapai kesempatan ekonomi, kebebasan politik, kekuatan sosal termasuk kurangnya pencapaian kesehatan yang baik pendidikan yang baik adalah bentuk kemiskinan pembangunan. Sebagai ilustrasi hubungan antara pendapatan dan kebebasan individual untuk menentukan hidup lebih panjang dan lebih baik. Ini bukan berarti bahwa tingkat GNP yang tinggi pada suatu negara terjadi harapan hidup yang lebih baik ditingkat individu. Misalnya Brasil adalah lebih kaya, yakni dengan GNP tinggi dan pendapatan perkapita individunya juga tinggi dibandingkan dengan negara seperti Sri Langka, Cina dan India, namun negara negara ini bahkan memiliki tingkat harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan di Brasil. Di tingkat ini pendapatan bukan sebagai penentu untuk menentukan well being, akan tetapi kebebasan individu itu sendiri untuk menentukan well being sehingga tingkat harapan hidup itu tinggi. Pendek kata pembangunan itu adalah pemusnahan ketidakbebasan yang membuat penduduk terbelenggu.

Sen tidak melihat negara, organisasi sosial dan pelaku bisnis sebagai aktor yang berhubungan langsung dengan kondisi yang membuat mereka tidak bebas dan ketergantungan. Hubungan antara para pihak dalam sebuah negara berkembang dengan negara maju dapat dianalogikan dengan pemikiran ini. Negara berkembang sebagai mana dikemukakan di atas, jika dilihat dari pembangunan sebagai sebuah kebebasan maka kondisi yang terjadi dalam negara berkembang termasuk Indonesia adalah penuh ketidakbebasan substantive. Oleh sebab itu pembangunan seharusnya merupakan alat untuk pemusnahan terhadap belenggu yang membuat ketidak bebasan. Dengan demikian maka negara itu memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya sendiri tidak tergantung pada ketentuan yang dipersyaratkan oleh konstruksi kepentingan paham neoliberal. Arti penting selanjutnya adalah bahwa pembangunan itu terdiri dari pemusnahan bermacam-macam tipe ketidakbebasan yang tinggal di sanubari aktor kelembagaan dengan sedikit pilihan dan minimnya kesempatan untuk melakukan sesuatu. Keberanian memusnahkan konstruksi kehidupan yang didesain oleh paham neoliberalis diganti oleh pembangunan sebagai kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri menjadi penting dilakukan agar tidak masuk dalam lingkungan development trapped. Pada tingkat ini tujuan pembangunan ekonomi seimbang dengan tujuan sosialnya. Pada posisi ini pembangunan sosial yang berusaha menyeimbangkan antara tujuan ekonomi dan sosial harus meletakkan prinsip nilai bahwa pembangunan sebagai sebuah kebebasan.

Wasana Kata

Keterpasungan konsep kesejahteraan masyarakat bukan karena masyarakat tidak memiliki kreativitas untuk merumuskan dan menentukan dirinya sendiri, akan tetapi masyarakat selalu menjadi obyek organisasi formal, baik negara, LSM Internasional dan organisasi bisnis. Potret mereka tentang kemiskinan dan ketidaksejahteraan masyarakat selalu dilihat dari kerangka pemikiran dimana masyarakat negara berkembang dianggap tidak maju secara materiil. Oleh karenanya, berbagai bentuk pelayanan masyarakat dalam program pembangunan adalah dominasi pendefinisian organisasi-organisasi tersebut. Organisasi pemerintah maupun organisasi sosial dalam penyelenggaraan pelayanan sangat tergantung terhadap rezim pendanaan internasional yang berakibat pada posisi ketergantungan bagi orang yang dilayani maupun yang melayani. Konsep utama tentang jenis, substansi, pengukuran pelayanan sangat tergantung oleh rezim tersebut. Inilah bentuk ketidakberdayaan dimana paham neoliberal telah menata semuanya ini dalam skala dunia.

Di tengah situasi ketidakberdayaan, ide untuk membangkitkan kembali kekuatan komunitas sangat diperlukan. Membangun institusi sosial (pattern of social relationship) yang dianggap mendukung kesejahteraan bagi komunitas menjadi sangat penting artinya untuk pembangunan bangsa, dan bukan menghilangkan institusi tradisional yang berbasis komunitas menjadi berbasis individu. Perlu ada kajian mendalam institusi sosial macam apa yang sekarang ini masih tersisa dan efektif untuk menjamin ketahanan sosial masyarakat termasuk apa yang mereka pikirkan tentang sejahtera, selanjutnya menguatkan kembali cara komunitas untuk menjaga kehidupan bersama. Atas dasar kajian yang mendalam baik pemerintah maupun organisasi non pemerintah seharusnya mampu meyakinkan siapapun rezim pendanaan internasionalnya untuk mengikuti pola pelayanan yang sangat diharapkan oleh masyarakat sesuai dengan konsep yang mereka konstruksikan sendiri menurut basis komunitasnya. Institusi sosial tentang kesejahteraan ini ternyata tidak hanya berlangsung di Indonesia saja melainkan juga di beberapa wilayah negara maju, yang masyarakatnya tidak sepenuhnya mengikuti rasionalitas yang dicetak oleh konseptualisasi modernitas untuk kepentingan pasar.

Daftar Pustaka

Andersen, Gosta Esping with (Duncan Gallie, Anton Hemerijck and John Myles) (2002),Why We Need a New Welfare State. OXFORD University Press Inc, New York

_____(1999), The Three World of Welfare Capitalim, Polity Press, Cambridge.

Banerjee, Abhijit Vinayak: (Roland Benabou, and Dilip Mookherjee) (2006), Understanding Poverty, OXFORD University Press Inc, New York

Barusch. Amanda Smith (2003), Foundation of Social Policy; Social Justice in Human Perspective, Thomson Brooks/Cole, Canada.

Brewer, Anthony (2000), Kajian Kritis, Das Kapital Karl Marx, teplok Press, cetalkan kedua, Jakarta.

Buettneer, Dan and David McLain (2005), Rahasia Umur Panjang, Jurnal  National Geographic Indonesia, Vol 1, No 8, PT.Gramedia Percetakan, Jakarta.

Chossudovsky, Michel  (2003),  The Globalization of Poverty and the New World Order, Center Research on Globalization (CRG), Montreal, Canada.

Clark, John (2004), Changing Welfare Changing States; New Direction in Social Policy, SAGE Publications, London.

Edelman, Marc and Angelique Hangerud. 2006,  The Anthropology of Development and Globalization;  From Classical Political Economy to Contemporary Neoliberalism. Blackwell Publishing, Malden MA USA, Victoria, Australia

Edwards, Michael. (2007),Civil Society:  Polity Press in association with Blackwell Publishing Ltd, Malden, MA 02148, USA

Fitzpatrick, Tony (2001), Welfare Theory: An Introduction, PALGRAVE, New York.

Goodin, Robert E. (1988), Reasons For Welfare:The Political Theory of the the Welfare State. Princeton University Press, New Jersey.

George, Vic and Robert Page (1995), Modern Thinkers on Welfare, Prentice Hall, New York.

Gunawan Sumodiningrat. (2006), Responsi Pemerintah Terhadap Kesenjangan Ekonomi; Studi Empiris Pada Kebijaksanaan dan Program Pembangunan. Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat di Indonesia. Penerbit PerPod Jakarta, Jakarta.

Hadar, Ivan A (2004), Utang, Kemiskinan, dan Globalisasi;Pencarian Solusi Alternatif. Percetakan Pustaka Jogja Mandiri, Yogyakarta.

Hancock, Graham, (2005), “Dewa-Dewa” Pencipta Kemiskinan; Kekuasaan, Prestise, dan Korupsi Bisnis Bantuan Internasional, Penerbit Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas (CPRP), Sleman.

Henley, Paul (2008), Andorra Longvity, Recognation of same-sex union in Andora, BBC News, 15 Oktober, Published 12:00 GMT

Kerbo, Harold R. (2005) World Poverty; Global inequality and the Modern World System. California Polytechnic State University. California.

Lang, Kevin. (2007), Poverty and Discrimination Princeton University Press, Princeton.

Levine, David  P and Abu Turab Rizvi. (2005), Paverty Work Freedom; Political Economy and the Moral Order, hal. 41 Cambridge University Press, Cambridge.

Maksum, Mohamad (2009), Kedaulatan Rakyat Tani: Kunci Keadilan, Keberlanjutan dan Kesejahteraan, Makalah Seminar Hari Bumi ke 29, Satu Nama, Yogyakarta 22 April.

____________(2009), Pagi Impor Sore Impor, Analisis Harian KR, Rabu Pahing 29 April, Yogyakarta

Midgley, James (2005), Pembangunan Sosial; Perspektif Pembangunan dalam Kesejahteraan Sosial, Deperta Depag RI, Jakarta.

Narayan, Deepa and Patti Petesch. (2007),  Moving Out of Poverty;Cross-Disciplinary Perspektives on Mobility. A copublication of the World Bank and Palgrave Macmillan, New York

Pogge, Thomas, (2002),  World Poverty and Human Rights; Cosmopolitan Responsibilities and Reforms. Polity Press in association with Blackwell Publishing Ltd, Maldon MA USA, Cambridge UK

Repley, John (2007), Understanding Development, Theory and Practice in The Third World, United Press of America, Colorado.

Ritzer, George (1983), Sociological Theory, Alfred A. Knoff Inc, First Edition, New York USA

Rothstein, Bo and Sven Steinmo. (2002), Restructuring The Welfare State: Political Institution and Policy Change. Palgrave MacMillan, New York.

Schiller, Bradley R. (2008), The Economic of Poverty and Discrimination. Tenth Edition. Pearson Education, Inc, New Jarsey.

Scott Jamaes C (1976) Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subbsistensi di Asia Tenggara, LP3ES, Jakarta

Sen, Amartya, Development As Freedom, Anchor Books, A division of Random House Inc, New York.

Stiglitz, Yoseph.E. (2002), Globalization and Its Discontents, Penguin Groups, London

Susetiawan (2000) Konflik Sosial, Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan dan Negara di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Tabb, William K (2003)  Tabir Politik Globalisasi,  Percetakan  Lafandel Pustaka, Yogyakarta.

Uphoff, Norman, Milton J.Esman dan Anirudh Krishna (1998), Reason For Success: Learning From Instructive experiences in rural development, Kumarian Press Inc, West Harford, Connecticut, USA

Wibowo I dan Francis Wahono (ed) (2003) Neoliberalisme, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta.