Arsip:

Artikel

Pemanfaatan Dana Desa untuk Kesejahteraan Petani dan Ketahanan Pangan

Kamis, 1 Agustus 2019 Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Univeritas Gadjah Mada (PSPK UGM) kembali mengadakan seminar bulanan Rural Corner yang menghadirkan Subedjo, S.P., M.Sc., Ph.D, Peneliti Ahli PSPK UGM/Dosen Sosial Ekonomi Pertanian UGM sebagai narasumber dari kalangan akademisi, serta Supardi, Ketua Kelompok Tani Margo Rukun, Desa Pampang, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunungkidul sebagai narasumber dari kalangan praktisi. Dengan dimoderatori oleh Muhammad Yunan Roniardian, M.Sc., Peneliti PSPK UGM, diskusi Rural Corner kali ini mengangkat tema “Pemanfaatan Dana Desa untuk Kesejahteraan Petani dan Ketahanan Pangan.” Tema yang dipilih merupakan rangkaian dari tema Rural Corner yang diadakan sebelumnya dengan tujuan untuk mencermati dan mengevaluasi UU Desa yang sudah berjalan selama 5 tahun.

Dalam pembukaannya, Subejo mengatakan bahwa dalam pasal 80 UU Desa betul-betul secara eksplisit sudah mengatakan bahwa prioritas program yang sangat terkait dengan pertanian yaitu pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif, pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi, ini semua sangat terkait dengan pertanian. Hal ini dapat menjadi landasan yang kuat dimana alokasi Dana Desa nantinya betul-betul harus sesuai. Narasumber berasumsi bahwa ketika dana desa dapat dialokasikan dengan baik untuk pertanian, otomatis jika pertanian menjadi produktif, pangan menjadi baik maka kemiskinan akan berkurang. Meskipun di desa ada pengurangan kemiskinan sejumlah lima ratus ribu dalam kurun waktu satu tahun, pada kenyataannya penurunan itu tidak signifikan karena angka kemiskinan di desa masih cukup tinggi dibandingkan di kota. Berdasarkan data BPS, jumlah orang miskin di pedesaan sebesar 15 juta, sedangkan di kota berjumlah 10 juta.

Fakta yang menarik dari banyaknya kemiskinan di pedesaan adalah konsumsi beras yang begitu tinggi. Padahal produksi beras Indonesia berada di kawasan pedesaan. Konsumsi beras yang tinggi tidak diimbangi dengan produksi yang bagus, seperti sebagian besar petani yang sudah berusia lanjut, sistem irigasi yang kurang baik, bahkan masih banyak petani yang hanya mengandalkan air hujan untuk tanaman mereka. Alhasil, di musim paceklik mereka harus membeli beras.

Dana desa diharapkan dapat dikelola dengan baik agar kemiskinan di pedesaan dapat berkurang signifikan, salah satunya dengan berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat desa seperti yang diceritakan oleh Subejo tentang Rahayu yang berhasil membuat inovasi baru berupa beras berbahan dasar ketela di Gunung Kidul. Adanya sumber pangan lain pengganti beras inilah yang dapat meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan di pedesaan. Padahal menurut narasumber, beberapa program desa melalui dana desa sebagian besar sudah mengarah ke bidang ekonomi pertanian seperti pelaksanaan program padat karya untuk revitalisasi irigasi, embung desa maupun hutan desa.

Supardi memaparkan tentang berbagai program di Desa Pampang, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunung Kidul yang memanfaatkan dana desa. Dalam pemaparannya Supardi sependapat dengan Subejo bahwa pemanfaatan dana desa untuk pertanian dan ketahanan pangan ini masih menemui problem. Hal ini terjadi karena sebagian besar dana desa dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur, seperti jalan, saluran irigasi, dan pengembangan ekowisata yang ada di Desa Pampang. Meskipun dibangun saluran irigasi, keberadaannya belum dapat dikatakan mampu mengatasi permasalahan petani yang ada di desa Pampang, karena pada kenyataannya mereka masih mengandalkan musim hujan untuk menanam padi, sedangkan di musim kemarau mereka tidak memanfaatkan lahan untuk menanam padi karena tidak ada air.

Beberapa permasalahan yang terjadi di Desa Pampang yang berkaitan dengan pertanian pada umumnya sama dengan permasalahan yang terjadi di secara nasional. Dana desa yang diformulasikan untuk kesejahteraan masyarakat pedesaan belum bisa berperan dalam mewujudkan kesejahteraan, khususnya kesejahteraan pangan. Ditambah lagi dengan generasi petani yang sudah semakin sedikit. Keengganan generasi muda terjun di bidang pertanian menjadikan jumlah petani menjadi berkurang secara signifikan.

Dalam sesi diskusi, Sumantara peserta seminar yang mewakili Serikat Tani Indonesia, Bantul membenarkan apa yang disampaikan oleh Supardi. Ia mengatakan bahwa di Bantul, partisipasi masyarakat sangat kurang di perencanaan dan penganggaran program pemanfaatan dana desa. Ia menyampaikan bahwa apa yang disampaikan Supardi merepresentasikan sebanyak 75 desa di Kabupaten Bantul. Sementara Widayadi, peserta lain yang berasal dari Sleman menyatakan bahwa berdasarkan dokumen RPJMDes hingga saat ini belum ada dana desa di desanya yang dipergunakan untuk pertanian, semua masih dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu wajar apabila dana desa belum mampu memberi manfaat kepada para petani. Sementara itu, Muhamad dari Biro Bina Masyarakat Desa DIY menyatakan bahwa pemrintah daerah teleh berupaya agar Dana Desa bias efektif yaitu dengan melaksanakan program dampingan, khusus program dalam pemberdayaan masyarakat desa. Antoni Rimon peserta seminar yang bekerja sebagi konsultan enyatakan bahwa kendala utama yang menyebabkan dana desa tidak efektif untuk mensejahterakan masyarakat desa, khususnya kaum tani adalah karena SDM pengelola dana Desa yang rendah. Hal itu menyebabkan dana desa hanya dimanfaatkan untuk program infrastruktur. Untuk mengatas persoalan tersebut maka perlu ada pendamping dari perguruan tinggi.

Menanggapi berbagai pertanyaan dan komentar dari peserta diskusi, Subejo menyatakan bahwa isu besar dalam pengelolaan dana desa adalah kualitas SDM pengelola yang masih rendah. Untuk mengatasi persoalan tersebut, maka perlu sinergi dari berbagai pihak dalam meningkatkan kualitas SDM pengelola dana desa. Sementara Supardi menyatakan bahwa untuk mengatasi persoalan tersebut maka perlu ada orang-orang yang memiliki kepedulian pada pembangunan desa untuk duduk dalam BPD karena semua program pembangunan desa direncanakan oleh pemerintah desa Bersama BPD. Supardi berharap, BPD memiliki kepedulian kepada para petani agar program-program pembangunan yang diusulkan berkontribusi pada kesejahtaraan mereka. [Evy Gustiana].

Evaluasi 5 Tahun Implementasi UUDesa, Problematika & Alternatif Solusinya

“Harus diakui bahwa pelaksanaan UU no 6 tahun 2014 tentang Desa telah membawa banyak kemajuan di desa, seperti banyaknya desa wisata, BUMDES yang memiliki kekayaan milyaran, dll, namun harus diakui pula bahwa masih banyak persoalan yang harus dibenahi agar pelaksanaan UU desa benar-benar bisa mewujudkan tujuan utama penetapan UU Desa yaitu mewujudkan masyarakat desa yang mandiri dan partisipatif.” papar Dr. Arie Sujito dalam kegiatan Rural Corner, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, Kamis 4 Juli 2019 di ruang Sartono. Selain menghadirkan Dr. Arie Sujito, peneliti Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM/ Dosen FISIPOL/ Aktivis Desa, kegiatan Rural Corneryang merupakan forum diskusi yang diselenggarakan secara rutin setiap hari kamis minggu pertama setiap bulan tersebut juga menghadirkan praktisi desa, Titik Istiwayatun Khasanah, S.IP, selaku Lurah Desa Sriharjo, Imogiri, Bantul, dengan moderator Dr. Suharko selaku Kepala PSPK UGM.

Semangat utama penetapan UU Desa adalah mendorong terciptanya kemandirian dan partisipasi di desa. Kemandirian Desa dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan berbagai hal yang dibutuhkan oleh Desa, misalnya dalam merencanakan dan melaksanakan program-program pembangunan desa. Partisipasi semua komponen masyarakat desa dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan berbagai hal yang dibutuhkan oleh desa, khususnya kelompok warga masyarakat yang selama ini terabaikan dalam proses pengambilan keputusan di desa. Namun menurut narasumber dalam kurun waktu 5 tahun pelaksanaan UU Desa, semangat tersebut tereduksi oleh kebijakan elit pemerintahan yang lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat teknokratis dan birokratis, karena tidak faham dengan semangat yang melandasi penetapan UU Desa. Kepala desa dan perangkat desa lebih banyak dituntut untuk melaksanakan tugas-tugas yang bersifat administratif seperti membuat Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) pemanfaatan dana desa, dsb.

Menurut narasumber tugas-tugas yang bersifat teknokratis dan birokratis memang harus dilakukan, namun hal itu tidak boleh mengorbankan misi utama penetapan UU Desa yaitu mengembangkan kemandirian dan partisipasi di Desa. Kepala desa dan aparat desa harus didorong untuk belajar strategi membangun kemandirian dan partisipasi di desa karena belajar tentang masalah teknis administratif merupakan hal yang mudah, dalam jangka waktu singkat bisa dilakukan, namun untuk belajar tentang strategi meningkatkan kemandirian dan partisipasi desa perlu proses panjang. Salah satu langkah yang bisa dilakukan oleh elit desa untuk membangun kemandirian dan partisipasi adalah dengan membentuk kelompok/komunitas anak muda desa yang peduli dengan kemajuan desa. Anak muda merupakan agen pembaharuan desa yang diharapkan bisa melakukan perubahan di desa.

Dalam presentasinya, Tutik Istiwayatun Khasanah, SIP sebagai pembicara kedua memaparkan pengalamannya selama menjabat sebagai kepala desa di Desa Sriharjo, Imogiri, Bantul. Ia menyatakan bahwa selama 8 bulan menjabat, ia memang belum menangani pelaksanaan infrastruktur, namun ia merasa beban tugas sebagai kepala desa cukup berat. Selain harus memenuhi berbagai undangan dari dinas/instansi terkait, ia juga harus melaksanakan tugas kultural misalnya hadir dalam even takziah, tradisi manten, mengurusi masalah tanah, mengurusi irigasi desa, dll.

Terkait dengan program pembangunan fisik, untuk meningkatkan partisipasi warga masyarakat BuTutik memaparkan pengalamannya. Karena program pembangunan infrastruktur dilaksanakan di semua pedukuhan, maka ia membentuk Tim Pengelola Kegiatan (TPK) sesuai dengan jumlah pedukuhan, dan melibatkan kepala dukuh sebagai anggota TPK. Namun untuk meningkatkan partisipasi warga dalam proyek pembangunan infrstruktur, ia merasa terkendala dengan aturan bahwa proyek infrastruktur harus menerapkan sistem Hari Orang Kerja (HOK). Sementara warga masyarakat memiliki tradisi gotong royong dalam melaksanakan suatu kegiatan, sehingga aturan HOK mengancam keberadaan tradisi gotong royong. Salah satu solusi yang diterapkan, warga boleh melaksanakan proyek dengan sistem gotong royong namun harus membuat LPJ sesuai dengan aturan.

Untuk menggerakkan partisipasi warga masyarakat, Bu Tutik menggerakkan kaum muda di desa sebagai agen pembaharuan. Untuk melakukan perubahan kondisi sosio-kultral di desa memang memerlukan proses panjang dan penuh tantangan karena banyak elit desa yang bersifat kontra, oleh karena itu langkah yang bisa dilaksanakan adalah dengan mengajak kaum muda untuk menjadi agen perubahan.

Dalam kaitannya dengan kemandirian desa, menurut Bu Tutik yang sebelum menjabat sebagai lurah juga seorang aktivis desa, selama ini desa memiliki kemandirian dalam membuat keputusan, khususnya dalam penyusunan program pembangunan desa. Namun akhir-akhir ini mulai ada intervensi dari supra desa. Pemerintah kabupaten menitipkan program untuk dilaksanakan oleh pemerintah desa, misalnya program pusat kesehatan sosial, progam Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), dll. Terkait dengan program RTLH pemerintah kabupaten mewajibkan desa untuk menganggarkan dalam APBDES dana sebesar 100 juta.

Dalam sesi diskusi, Sumantara, seorang peserta diskusi menyatakan bahwa pelaksanakaan UU Desa membawa dampak negatif yaitu munculnya raja-raja kecil di desa. Kepala desa menjadi penguasa di desa yang memiliki kewenangan penuh untuk mengelola pembangunan desa. Sebagai gambaran, perencanaan pembangunan desa dilakukan secara elitis dan belum bersifat partisipatif. Banyak desa yang dalam membuat perencanaan pembangunan desa cenderung tidak melibatkan seluruh komponen masyarakat, dan hanya dilakukan oleh elit desa. Memang ada musrenbangdes namun sifatnya hanya formalitas karena semua rencana program pembangunan sudah dibuat oleh kepala desa. Musrenbangdes tersebut biasanya juga tidak mengundang warga yang memiliki sikap kritis karena dianggap akan menimbulkan masalah. Berdasarkan pengamatannya, pelaksanaan UU Desa membuat yang berkuasa semakin berkuasa, sedangkan warga yang miskin dan lemah akan semakin lemah. Thomas, peserta lain yang berasal dari Klaten menyatakan bahwa berdasarkan pengamatannya sebagian besar program pembangunan desa bersifat fisik, sedangkan program pemberdayaan masyarakat sangat terbatas. Pelaksanaan program pembangunan fisik juga sering mengalami penyimpangan/tidak sesuai dengan bestek. Besaran proyek juga sering mengalami mark up, yang berdasarkan kalkulasinya bisa sampai 10%. Zaini, peserta lain menyatakan bahwa ada dominasi di pemerintahan desa. Program pemangunan desa hanya dirancang oleh elit desa karena ada anggapan mereka sudah tahu kebutuhan di desa. Banyak usulan program yang disusun berdasarkan usulan RT/RW semata, dan bukan usulan warga karena warga tidak pernah diajak bermusyawarah merumuskan usulan program. Dalam musrenbang banyak warga yang dianggap vokal tidak diaundang karena dianggap akan mengacau.

Menanggapai pertanyaan dan tanggapan dari peserta Dr. Arie Sujito menyatakan bahwa memang tidak mudah untuk melakukan perubahan di desa. Oleh karena itu, perlu ada strategi untuk melakukan perubahan. Perubahan jangan dilakukan secara radikal tetapi harus melalui proses, misalnya dengan membangun komunitas, misalnya komunitas anak muda. Melalui komunitas tersebut kita mendorong anak muda untuk berani tampil di depan untuk melakukan perubahan  dengan menduduki berbagai posisi strategis di desa, misalnya BPD, LKMD, dll. Sementara itu Bu Tutik menyampaikan tanggapan, kalau kondisi Desa tidak sesuai dengan harapan maka kita harus berani merebut kekuasaan di desa, dengan tampil menjadi elit desa (Kepala Desa, BPD, Perangkat Desa, dll agar kita bisa melakukan perubahan. “Terlepas dari segala problematika implementasinya, UU Desa masih sangat relevan untuk membangun prakarsa dan partisipasi masyarakat, guna menuju kemandirian desa. Aturan teknis di bawahnya yang bersifat teknokratis dan birokratis harus dibenahi agar UU Desa ini berjalan sesuai dengan filosofinya” kata Bu Titik mengakiri diskusi Rural Corner pada kesempatan sore itu. (Mulyono).

 

PSPK UGM Gelar Acara Syawalan

Sambutan dari Kepala PSPK: Dr. Suharko
Sambutan dari Kepala PSPK: Dr. Suharko

Pada acara syawalan tanggal 17 Juni 2019, Dr. Suharko menyampaikan beberapa hal meliputi perencanaan pengembangan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM. Saat ini PSPK yang sedang digawangi oleh generasi yang lebih muda diharapkan mampu merancang kajian dan produksi pengetahuan mengenai ranah pedesaan dan kawasan yang lebih dapat diterima oleh generasi milenial. Beberapa gagasan yang telah dibicarakan adalah menghidupkan kembali seminar bulanan yang telah menjadi tulang punggung kajian pedesaan dan kawasan di masa lalu.

Dengan upaya branding yang harapannya dapat diterima generasi milenial dengan tajuk “Rural Corner”. Salah satu pembahasan yang dapat dilakukan pada tahun ini didalam aktivitas Rural Corner ialah evaluasi 5 tahun pasca diimplementasikannya UU Desa. Demi memasyarakatkan kajian pedesaan dan kawasan, PSPK juga sedang berupaya membenahi sistem publikasi yang lebih menarik melalui perbaikan web dan pemanfaatan sosial media yang lebih luas.

Segala rancangan perbaikan yang telah direncanakan juga harus ditunjang dengan meningkatnya performa pegiat PSPK. Salah satu upaya Kepala PSPK Dr. Suharko adalah dengan melakukan perbaikan lingkungan kerja yang lebih kondusif. Salah satunya ialah perbaikan sarana dan infrastruktur PSPK berupa pembangunan taman kerja yang lebih mengakomodasi ide-ide mengenai kajian dan produksi ilmu pengetahuan mengenai pedesaan dan kawasan.

Swasembada Kedelai? | Kedaulatan Rakyat

SWASEMBADA gagal, swasembada-gagal lagi, swasembada-dibatalkan dan seterusnya seringkali diperdengarkan pemerintah. Awal minggu ini ceblang-ceblung politis dalam keseluruhan konfigurasi politik nasional semenjak zamannya Kabinet Pembangunan, Kabinet Indonesia Bersatu, sampai Kabinet Kerja terungkap ketika seorang promovendus mempertahankan hasil penelitiannya tentang prospek keswasembadaan kedelai. Banyak sekali kritik akademik untuk perihal keswasembadaan kedelai yang dimaksud.

Secara methodologis, dengan memanfaatkan benah supply chain, rantai pasok, sistem produksi kedelai mudah sekali dibenahi untuk bisa meningkatkan kinerja nasionalnya menuju swasembada kedelai. Ketika dalam setiap titik pada rantai pasok dimaksud mampu dibangun untuk mengembangkan keuntungan ekonomis bagi setiap unsur stakeholders, maka di situlah ada jaminan pengembangan untuk swasembada kedelai beberapa tahun ke depan.

Persoalan mendasarnya ketika hal itu diharapkan harus terjadi, maka sangatlah dibutuhkan kendali pemerintah untuk intervensi bagi profitability assurance, jaminan terhadap perolehan manfaat dan keuntungan bagi para pihak yang terlibat pada setiap titik rantai pasok. Begitukah yang terjadi dalam dunia nyata? Ternyata sama sekali jauh dari harapan. Jauh panggang dari api. Mari berguru pada swasembada beras.

Ketika beras dicanangkan untuk swasembada, sejak beberapa dekade yang lalu, segala potensi pembangunan dipersembahkan mati-matian, at all cost. Mulai dari benah prasarana produksi, sarana produksi, sistem pasar, urusan perbangkan, financial inclusion, benah pemuliaan perbenihan, benah tataniaga, dan lain sebagainya. Untuk perberasan nasional : semua dilakukan dan bahkan cenderung berlebihan. Seorang kepala desa bisa saja diparkir dan tidak menjabat lagi untuk jabatan kedua ketika kinerja produksi berasnya merosot. Dalam jargon keswasembadaan yang sama: begitukah yang terjadi untuk sistem produksi kedele.. Never!!

Usahatani kedelai yang terlanjur dicanangkan dan/atau dibatalkan keswasembadaannya secara ceblang-ceblung selama ini dibiarkan secara liar terjadi. Nyaris sak maunya petani, sak karepe dewe. Dalam banyak hal, akhirnya komoditas strategis ini acapkali diposisikan sebagai pilihan terakhir, ketika komoditas lain sudah tidak lagi bisa ditanam karena keterbatasan kondisi lahan, keterbatasan air dan sebagainya.

Dalam kondisi demikian, sungguh tidak pantas kalau dicanangkan swasembada. Ketika kali ini diralat, ya memang sudah sejak awal seharusnya dirancang programatik. Kalau mau swasembada ya ada konsekuensi kebijakan yang harus dilakukan pada pihak pemerintah. Bukan menginginkan swsembada kedelai tetapi dengan berpangku tangan, kemudian diralat. Periode berikutnya dicanangkan lagi, dan diralat lagi. Mundur lagi, mundur lagi, apaan tuh?

Kehati-hatian programatik dalam urusan keswasembadaan memang harus cermat ditentukan karena produktifitas nasional menjadi sangat penting. Manakala mengingat mandat pengembangan sistem pangan nasional yang harus mengedepankan prinsip ketahanan-kemandirian-kedaulatan pangan sebagaimana diperintahkan Undang-undang Nomer 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Konsekuensi legal dari mandat legal ini tentu perlu prioritas komoditas, mana yang harus dipandang strategis dan mana yang tidak perlu masuk.

Pada pertimbangan publik harus dilakuan, pertimbangan tentu multidimensional. Mulai dari urusan sosial-ekonomi, perekonomian pada tingkat petani, kapasitas sumberdaya alam, peran nutrisi dalam pemenuhan pangan dan gizi masyarakat, daya beli publik. Juga relasi industri, potensi substitusi sampai urusan kultural dalam pemenuhan pangan dan gizi.

Mempertimbangkan kepentingan multidimensional yang dipaparkan tersebut, mudah sekali dibayangkan signifikansi dan peran strategis komoditas kedelai, meski tidak sestrategis beras. Sehingga, sebetulnya mudah sekali memahami tekad keswasembadaan yang dicanangkan oleh Pemerintah. Tentu bukan ceblang-ceblunge yang pasti tidak bisa dipahami publik.

Konsekuensi dari segala tekad tersebut tentu saja perencanaan dan pemrograman yang memadai dan konsisten dengan tekat yang dimaksud.

Oleh: Prof. Dr. M. Maksum Machfoedz (Penulis adalah Guru Besar Agroindustri FTP UGM dan Waketum PBNU sekaligus mantan Kepala PSPK UGM)

*Sumber: artikel ini dimuat dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat 8 Desember 2017 | Ilustrasi: kedelai/Mirror Daily

Membangun Moralitas, Tantangan Pembangunan | Kedaulatan Rakyat

Oleh: Prof. Dr. Susetiawan

morality

KETIKA menyimak berbagai pemberitaan, berita tentang perilaku dehumanisasi, yang merugikan masyarakat merebak dimana-mana. Seperti fraud (penipuan, penggelapan), korupsi termasuk pelanggaran terhadap aturan yang disengaja. Dan berbagai tidakan kekerasan lainnya mewarnai kehidupan sehari-hari, yang membuat hidup tidak aman dan nyaman. Tidak tanggung-tanggung, perbuatan seperti ini dilakukan aparatur negara sampai dengan masyarakat biasa. Korupsi misalnya. Upaya pemberantasan oleh KPK tidak begitu saja mulus. Usaha ‘membunuh’ KPK dilakukan politisi secara sistematis. Kekerasan terhadap Novel Baswedan, salah seorang penyidik KPK, tidak jelas bagaimana diselesaikan Kepolisian.

Banyak perilaku amoral, yang tidak akan cukup bila ditorehkan. Ironisnya, terjadi dalam Negara Pancasila, dimana tidak ada warga negara yang tidak beragama. Jumlah masjid, gereja dan sarana ibadah, demikian juga para ustad, kyai, pastor dan pendeta bertambah banyak jika dibandingkan dengan masa lalu. Agama kelihatannya belum mampu membendung tindakan amoral yang kian meningkat. Pertanyaannya, institusi macam apa seharusnya bertanggung jawab untuk membangun moralitas?

Indikator Utama

Sejak awal hingga kini pembangunan di Indonesia tidak dirancang untuk membangun moralitas. Pencapaian perkembangan ekonomi menjadi indikator utama keberhasilan bangsa, yang kelihatannya mengabaikan pentingnya moralitas dalam perilaku pembangunan. Rencana strategis bagaimana membangun moral tidak ditemukan dalam perencanaan pembangunan bangsa. Sekurang-kurangnya, moralitas itu menunjuk pada penilaian benar-salah dan baik-buruk sebuah perbuatan. Benar-salah dapat dinilai dari banyak sedikitnya perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan. Sedang baik buruk mendasarkan diri pada nilai yang telah disepakati dalam kehidupan bermasyarakat.

Kata moralitas sangat erat kaitannya dengan menghormati, menghargai dan menyelamatkan manusia dari perbuatan manusia, yang secara sengaja merampas hak-haknya. Tanpa moralitas, bertambahnya penduduk yang pesat, kebutuhan yang semakin kompleks dan berkembangnya teknologi informasi melalui media elektronik, akan membuat orang dengan mudah melakukan perbuatan mulai membuli sampai melakukan penipuan tanpa rasa bersalah. Demikian halnya dengan para pelaksana program pembangunan, para penegak hukum, politisi, yang berkaitan dengan pelaksanaan program pembangunan dapat melakukan korupsi, manipulasi, gratifikasi dengan anggapan sebagai kewajaran. Meskipun banyak pelaku yang masuk penjara, ada juga yang lolos, seperti kasus Setya Novanto.

Tanggung jawab Institusi

Sekurang-kurangnya ada beberapa institusi yang dapat menjadi saluran membangun moralitas. Pertama, agama seharusnya menjadi institusi yang paling berkompeten untuk membangun moralitas, sayang kehadirannya masih jauh dari harapan. Karenanya, revitalisasi ajaran keagamaan sangat diperlukan. Bagaimanapun agama hanya merupakan metode agar manusia sampai pada tujuan hidup, yakni kesempurnaan diri. Sempurnanya diri itu dicapai dengan cara memuliakan Tuhan, yakni menjauhi larangannya dan menjalankan perintahnya, salah satunya adalah menyelamatkan mahluk hidup dan lingkungan yang diciptakanNya. Penyelamatan kemanusiaan seharusnya mendapat porsi tertinggi dalam siar keagamaan karena ajaran ini adalah mengasah batin untuk menuju moralitas dan bukan intoleransi.

Kedua, pendidikan baik formal, informal maupun non formal bukan hanya memberi pelajaran mengasah otak melainkan juga batin. Pelajaran yang mengajarkan kecintaan terhadap kemanusiaan, penuh toleransi dan kepedulian terhadap sesama serta lingkungan. Ketiga, membangun penegakan hukum positif yang tidak dapat diintervensi siapapun, tidak ada orang yang kebal hukum sekalipun itu pejabat tinggi. Hukum itu dirancang untuk menjamin keadilan demi pembelaan terhadap hak-hak kemanusiaan. Pelanggaran hukum adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Pembangunan tanpa moralitas, itu perusakan. Karenanya, pembangunan dengan membangun moralitas bermakna penyelamatan manusia di masa depan.

Membangun moralitas merupakan persoalan Pembangunan Sosial (PS). Selama ini PS hanya dipahami sebatas bagaimana bekerjanya kebijakan sosial negara dalam melayani masyarakat. PS lebih dipahami sebagai upaya memberdayakan komunitas rentan agar mandiri, yang orientasinya peningkatan kemampuan ekonomi.

Membangun moralitas tidak menjadi sorotan utama. Padahal ini penting digerakkan sebab pembangunan tanpa moralitas tidak akan sampai pada sebuah peradaban. Studi PS, dulu Sosiatri, yang telah berusia 60 tahun di Fisipol UGM kelihatan belum sedikitpun menggarap kajian, pembelajaran dan gerakan membangun moralitas. Ini tantangan masa depan program studi.

(Penulis adalah Kepala PSPK UGM dan Staf Pengajar Prodi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM)

*Sumber: artikel ini dimuat dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 26 Oktober 2017 | Ilustrasi: moralitas/Kompasiana

Musibah Abadi | Kedaulatan Rakyat

Oleh: M Maksum Machfoedz

 

SETIAP 24 September, rakyat tani dihibur dengan Hari Tani Nasional. Hari diundangkannya Undang-undang nomer 5/1960 yang terkenal dengan UU Pokok Agraria (UUPA). Menurut Bung Karno (BK) melambangkan hari kemenangan rakyat tani. Seringkali luar biasa meriah prosesi ritual harlah itu diselenggarakan, terutama setiap kali bangsa ini bersiap-siap menyongsong prosesi limatahunan, pemilu-pilkada. Prosesi yang nyaris palsu sempurna, untuk tidak menyebut palsu semuanya. Faktanya, lain harapan BK lain pula kenyataan.

Untuk mengenangnya marilah menengok Keppres RI No 169/1963 tentang penetapan 24 September sebagai hari tani. Esensi utama UUPA, ditegaskan dalam konsideran keppres itu: Bahwa tanggal 24 September, hari lahirnja Undang-undang Pokok Agraria merupakan hari kemenangan bagi rakyat tani Indonesia. Dengan diletakkannya dasar-dasar bagi penjelenggaraan ‘land reform’ untuk mengkikis habis sisa-sisa imperialisme dalam lapangan pertanahan, agar rakyat tani dapat membebaskan diri dari segala macam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan beralat tanah. Sehingga melempangkan jalan menuju ke arah masyarakat adil dan makmur.

Konsideran ini menegaskan dua butir penting. Pertama, betapa pentingnya reforma agraria (RA) yang wujudnya adalah redistribusi tanah, yang timpang pemilikannya. Mengingat tanah merupakan alat ekonomi utama, maka tidak ada jalan lain untuk mewujudkan keadilan ekonomi kecuali redistribusi tanah. Setelah 57 tahun UUPA, dan 72 tahun merdeka, kesenjangan pemilikan makin kronis. Mayoritas rakyat tani miskin (RTM) untuk tidur selonjor saja susah. Namun seorang kaya bisa punya ratusan ribu hektar.

Kedua, dengan beralat tanah, harapan BK, rakyat tani dapat membebaskan diri dari segala macam bentuk penghisapan manusia atas manusia, sehingga melempangkan jalan menuju ke arah masyarakat adil dan makmur. Melalui beralat tanah tersebut aneka model pembangunan dan stimulasi perekonomian bisa dilakukan. Untuk menuju kemerdekaan dan kemandirian perekonomian rakyat semesta yang dicita-citakan kemerdekaan.

Dalam apresiasi terhadap orientasi sentral perekonomian model BK, semuanya pasti ngelus dhadha: kenapa jauh sekali harapan itu dari kenyataan, capaian pembangunan anak-anak bangsa hari ini, diwarnai ketimpangan luar biasa pemilikan tanah. Redistribusi pun tidak memiliki kemajuan berarti kecuali didominasi sertifikasi pemilikan, yang hanya memantapkan kepemilikan belaka. RTM makin susah selonjor, pemilik ratusan ribu hektar makin tegar.

Pada tingkat stimulasi pembangunan, ketidakadilan yang dihadapi RTM tidak kalah serem dibandingkan RA. Pada saat mengenang kemenangan rakyat tani, aneka ketimpangan dan sumber penderitaan RTM kini semakin berjubel memenuhi pemberitaan.

Dalam urusan perberasan misalnya, RTM masih menghadapi tidak efektifnya Bulog dan Inpres 5/2015 tentang perberasan. Belum juga inpres dibenahi, RTM menghadapi program sergap dan RTM harus bekerja sama dengan aparat di lapangan, Sementara bodongnya tataniaga ditimpa pula ketetapan harga eceran tertinggi (HET). Aneka kisruh beras mutakhir menambah derita RTM.

Pergulaan nasional lebih seram. Beralasan terbatasnya produktivitas, pergulaan nasional selalu dibantai dengan gula kristal rafinasi (GKR) dan importasi gula mentah hari ini terancam kebijakan tataniaga perlelangan dan pengembangan pasar komoditas tidak jelas. RTM tebu masih ‘diancam’ pula dengan rencana dibekukannya pabrik kecil berdalih produktivitas dan pabrik tua. RTM dan pabrik kini pun mananti sakaratul-maut ketika pemerintah berencana memangkas bea masuk impor gula mentah Australia.

Kisruh komoditas lain melengkapi musibah kado harlah. Daging sapi menghamba importasi dan mandulnya kapal sapi, Pasar unggas dalam kendali 2-3 peternak akbar, cabai jatuh harga karena banjir produksi, bawang merah dan bawang putih terombang-ambing tanpa kendali, dan aneka komoditas lain yang RTM-nya berada antara hidup-mati.

Antara hidup-mati itupun kalau punya lahan. Bagaimana RTM berlahan minim dan tanpa lahan? Jeritannya sangat pasti: redistribusi adalah harga mati! Hanya melalui redistribusi akan ada alat produksi untuk memenuhi harapan BK: mandiri secara ekonomi.

(Penulis adalah Guru Besar Agroindustri FTP UGM dan Waketum PBNU)

*Sumber: artikel ini dimuat dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Senin 25 September 2017 | Ilustrasi: petani/Kedaulatan Rakyat

Ujian Inpres Beras | Kedaulatan Rakyat

Oleh: M Maksum Machfoedz

 

TIDAK senonoh! Begitu komentar teman terhadap kontroversi perberasan yang menghangat minggu ini. Dan menurutnya bernuansa politis. Politisasi itupun berimbas sampai pelaku pasar yang gemetar karena sudah melibatkan para penggede negara, politisi, dan aneka orang besar. Bahkan berbumbu manipulasi, oplosan, kerugian negara, harga eceran tertinggi (HET), varietas, penyelewengan raskin hingga SARA.

Mereka yang bijak mencoba menengahi kontroversi. Mengajak publik tidak perlu mengkhawatirkan prosesi ini sembari menunggu proses pengadilan yang segera diselesaikan untuk tidak membiarkan kontroversi berkepanjangan. Ketegangan pasar itulah salah satu imbas pro-kontra. Penengahan yang masuk akal. Semua dalih dalam pro-kontra itu, tidak ada satupun yang menyentuh landasan utama kontroversi, yaitu Inpres Perberasan, Inpres 05/2015. Harusnya semuanya didasarkan atas landasan utama dalam tataniaga perberasan. Karena hakikatnya inpres itu sendiri teramat problematik.

Nalarnya? Tentu harus hati-hati mengkaji Inpres 05/2015 yang diundangkan 17 Maret 2015. Kecuali urusan stabilisasi dan pengadaan cadangan beras pemerintah, inpres ini mengatur juga Harga Pembelian Pemerintah (HPP), Gabah Kering Panen (GKP), Gabah Kering Giling (GKG), dan Beras. Angka HPP ini perlu dicermati kalo ingin melihat efektivitas inpres berikut segala persoalannya.

Mari lihat ulang angka HPP GKP-GKG-Beras. Inpres dimaksud memandatkan HPP-GKP di penggilingan sebesar Rp 3.750/kilogram, HPP-GKG di gudang Bulog Rp 4.600, dan HPP-Beras Rp 7.300 di gudang Bulog. Konsentrasi telaah bisa pada angka HPP GKP-GKG-Beras sebesar Rp 3.750- Rp 4.600- Rp 7.300. Ada dua cara untuk melihat kelayakan angka ini: pada tingkat lapangan dan penggilingan, sampai pada level laboratorium bilamana diperlukan.

Pada tingkat lapangan bisa kita amati bahwa petani memiliki banyak pilihan untuk bisa melepas gabahnya baik dalam bentuk GKP maupun GKG. Karena faktanya, harga HPP Inpres tidak cukup menarik. Harga pasar pada umumnya lebih tinggi. Sementara itu, pada tingkat penggilingan dengan HPP beras Rp 7.300 dan GKG Rp 4.600, hanya bisa terjadi ketika rendemen gilingnya 67%. Untuk beras kualitas medium, angka ini tidak pernah ada dalam tingkat laboratorium sekalipun. Kesimpulannya, sungguh tidak mungkin dengan HPP-GKG Rp 4.600 bisa dihasilkan HPP-Beras Rp 7.300. Apalagi kalau harga GKG di lapangan lebih besar dari HPP GKG yang Rp 4.600.

Pemaksaan proporsi harga telah berdarah-darah dilakukan melalui aneka bantuan pemerintah. Salah satunya melalui Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM) yang membanjiri 500 Gapoktan dengan bantuan dana masing-masing sebesar Rp 200 juta, tahun 2016. Untuk bisa bekerja sama dengan toko tani agar bisa menjual pangan murah. Pengamanan harga yang tidak mendasar ini pun tidak efektif dan persoalan beras setia menghiasi berita harian.

Kita lihat ulang HPP-GKG dan HPP-Beras: Rp 4.600 – Rp 7.300. Proporsionalitas ini jelas tidak mungkin terjadi, kecuali ada invisible hand atau tepatnya kebijakan ajaib seperti PUPM, kalau efektif. Lebih tidak mungkin lagi manakala HPH-GKG dalam kenyataannya lebih rendah dari harga pasar yang lebih mudah diakses rakyat tani.

Aneh-bin-ajaib! Fakta ini selalu dibesar-besarkan penguasa urusan pangan dan Kabinet Kerja pada umumnya dengan mengatakan bahwa itu akibat ulah mafia yang mempermainkan harga. Alih-alih menyadari adanya landasan sistem legal yang perlu dibenahi. Yang terjadi malah menyalahkan para pedagang yang masuk pasar oleh karena tidak mungkin efektifnya inpres.

Teringat dua tahun lalu, seorang petani-penggiling Sragen, Parmin Djakfar. Begitu tahu Inpres Perberasan, langsung ngiwut nguyang, jajah desa milang kori, melakukan pembelian gabah karena yakin harga beras esok hari melangit. HPP terlalu rendah, Gudang Bulog bakal kosong, dan operasi pasar bakal jeblog. Ribuan Parmin, kecil dan besar, melakukan hal sama. Apa yang terjadi dalam dinamika perberasan mulai dari nguyang, rekayasa kualitas, penyimpanan, itu semua karena inpres. Kenapa tidak?

Kalau harga pasar tidak terkendali maka muncullah kesempatan ekonomi. Solusinya? Ya mari bersegera menebus dosa besar sanak-kadhang yang main-main dengan angka, sehingga Pak Presiden tanda tangan Inpres Bodong.. Inilah akibat kebangsaannya. Benahi inpres adalah solusinya. …. insya Allah…

(Penulis adalah Guru Besar Agroindustri UGM dan Wakil Ketua Umum PBNU)

*Sumber: artikel ini dimuat dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 26 Juli 2017 | Ilustrasi: beras/ Kedaulatan Rakyat

Penguatan Ketahanan Pangan Melalui Diversifikasi Makanan Pokok Berbasis Produk Lokal

Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada pada tahun 2015 mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat di Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Gunung Kidul. Kegiatan ini mengangkat tema “Penguatan Ketahanan Pangan Melalui Diversifikasi Makanan Pokok Berbasis Produk Lokal”. Pemilihan tema kegiatan pengabdian masyarakat ini didasari oleh keprihatinan rentannya ketahanan pangan akibat tingginya tingkat ketergantungan pada beras. Meskipun memiliki potensi produk pangan lokal yang dapat dijadikan makanan pokok pengganti beras, namun sebagian rakyat Indonesia enggan untuk memanfaatkan potensi tersebut akibat kebijakan penyeragaman makanan pokok pada masa lalu. Di era Orde Baru ada kebijakan penyeragaman makanan pokok rakyat Indonesia dengan beras, menggantikan komoditas lokal (singkong, sagu, ubi jalar, jagung, dll) yang telah lama menjadi makanan pokok masyarakat di daerah-daerah tertentu.

Kebijakan konversi makanan pokok tersebut menimbulkan kerentanan di bidang ketahanan pangan karena mereka menjadi sangat tergantung dengan daerah lain. Ketergantungan ini akibat keterbatasan komoditas beras yang dihasilkan oleh petani lokal. Apabila kondisi tersebut berlangsung terus maka ada potensi warga di daerah tersebut akan mengalami kekurangan pangan, apabila pasokan beras dari luar berkurang atau terhenti.

Guna menghilangkan kerentanan di bidang ketahanan pangan maka perlu ada upaya untuk mengembalikan tradisi yang telah lama di tinggalkan, yaitu menjadikan singkong menjadi makanan pokok kembali. Alasan utama menjadikan singkong sebagai makanan pokok warga desa Beji karena singkong merupakan komoditas yang banyak dihasilkan oleh petani lokal.  Namun upaya ini tidak mudah karena di tengah masyarakat sudah terlanjur ada anggapan bahwa mengkonsumsi singkong identik dengan kemiskinan.

Salah satu langkah yang bisa ditempuh adalah dengan memperkenalkan teknik baru pengolahan singkong. Dengan teknik tersebut singkong tidak hanya diolah menjadi makanan tradisional seperti tiwul, dan gatot, tetapi menjadi makanan yang “modern” yang memiliki prestise sosial dan nilai jual yang tinggi.

Singkong layak untuk dijadikan makanan pokok menggantikan beras, selain karena singkong merupakan komoditas lokal yang banyak dihasilkan oleh petani di Desa Beji, juga karena dilihat dari sisi nutrisi, kandungan nutrisi singkong cukup lengkap, yaitu kalori, air, karbohidrat, kalsium, vitamin, proten, besi, lemak, dan vitamin B1.

Kegiatan pengabdian masyarakat yang dilaksanaan oleh PSPK UGM ini diwujudkan dalam beberapa betuk kegiatan, antara lain pelatihan pengolahan makanan berbahan baku singkong, pembentukan kelompok usaha pengolahan singkong, penguatan kapasitas kelompok melalui kegiatan pelatihan manajemen kelompok, pelatihan produksi, dan pengemasan, penguatan modal san penguatan jaringan pasar.

Studi Kewirausahaan Perempuan dalam Produksi Makanan Lokal Berbasis Ubi Kayu (Singkong)

Ketahanan pangan menjadi program yang gencar dilakukan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir ini. Indonesia, sebagai penghasil sumberdaya alam dari pertanian dan perkebunan yang sangat banyak, terasa belum cukup menyediakan makanan bagi masyarakatnya sendiri. Padahal, Indonesia adalah Negara nomor tiga di dunia yang mempunyai keanekaragaman sumberdaya (megadiversity), karena itu adalah wajar kalau Indonesia mempunyai sumber kekayaan yang sangat besar untuk ketahanan pangan, air, energi dan lain-lain. Impor berbagai jenis pangan dari luar negeri seperti beras, gandum, buah-buahan bahkan sayur-sayuran menunjukkan kurang efisiennya pengelolaan sumberdaya alam dan biodiversitas dari Indonesia (Suhardi, 2010).

Tujuan dari program kedaulatan pangan yang diberikan oleh pemerintah sekiranya bisa mengurangi ketergantungan masyarakat akan makanan pokok, yakni beras. Pengolahan bahan makanan lain melalui diversifikasi pangan, seperti umbi-umbian dan jagung, menjadi alternatif masyarakat untuk memenuhi gizi dan nutrisi pengganti yang terdapat pada makanan pokok tersebut. Sejalan dengan program kedaulatan pangan yang dibuat oleh pemerintah, usaha kecil dirasa mampu menjadi agen-agen pelopor pembuat inovasi di berbagai bidang diversifikasi pangan.

Salah satu usaha riil dalam usaha mencapai kedaulatan pangan adalah mengolah berbagai bahan makanan yang dihasilkan dari pertanian lokal. Dalam konteks ini, Gunungkidul merupakan salah satu wilayah yang terkenal sebagai areal pertanian kering sehingga budidaya singkong sudah dibudidayakan oleh masyarakat di wilayah ini sejak lampau. Tidak hanya bertindak sebagai produsen, berangsur angsur sebagian warga Gunungkidul mengembangkan unit usaha produksi makanan lokal berbasis pada singkong. Menariknya, sebagian besar usaha ini justru dimotori oleh para perempuan sehingga sifat kewirausahaan pada kelompok ini mengalami perkembangan yang signifikan. Jika dahulu mereka ditempatkan sebagai para bakul, penjaja makanan, saat ini mereka mulai mengembangkan sikap wirausaha dengan mengolah berbagai produk dari bahan baku singkong.

Pemaparan mengenai perkembangan kewirausahaan dalam pengolahan makanan berbasis produk pertanian lokal terutama singkong dapat ditempatkan sebagai sebuah studi yang komprehensif tentang perubahan peran perempuan di pedesaan. Posisi mereka yang dianggap marjinal, kemudian mulai menempati peran sentral dalam menggerakkan ekonomi rumah tangga, ataupun ekonomi desa, dan dalam tataran yang lebih luas, menggerakkan ekonomi regional.

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh tim PSPK UGM dapat diketahui bahwa terdapat beberapa pola penguasaan pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang pembuatan makanan berbahan baku ubi kayu/singkong, yaitu warisan turun-temurun dari orang tua/generasi terdahulu, pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh dinas pemerintah maupun LSM, dan inovasi pribadi.

Terkait dengan permodalan pengusaha perempuan di bidang kuliner berbahan ubi kayu/singkong terdiri dari 3 bentuk, yaitu pertama, modal ekonomi baik yang berupa bahan baku maupun dana/uang, kedua, modal sosial yang bisa dimaknai sebagai interaksi sosial/perilaku sosial yang dilakukan oleh ibu-ibu yang menekuni usaha pengolahan makanan berbahan baku singkong yang dapat menunjang berkembangnya usaha tersebut, misalnya tradisi pinjam singkong ke tetangga untuk mensiasati ketiadaan bahan baku (singkong) saat hendak melakukan kegiatan produksi, saling membantu dalam kegiatan produksi pada saat ada ibu yang mendapat pesanan dalam jumlah besar, saling meminjam alat produksi ketika alat produksi, saling membantu mengangkat produk dari tempat penjemuran ketika tiba-tiba turun hujan, menukar/barter produk yang belum laku dengan produk lain misalnya menukar produk dengan sayuran, bumbu dapur, dll, dan kebiasaan membagi order/pesanan yang diterima kepada pelaku usaha lain saat merasa tidak mampu untuk memenuhi pesanan tersebut. Ketiga, modal budaya, yang dapat dipahami sebagai nilai-nilai budaya/ tradisi turun temurun yang masih dianut oleh ibu-ibu produsen olahan makanan berbahan baku singkong, misalnya jaringan kekerabatan, dan tradisi rewang (kegiatan memasak yang dilakukan oleh banyak orang untuk acara hajatan dan biasanya dilakukan selama beberapa hari).

Terkait dengan peluang dan tren bisnis kuliner lokal berbahan baku ubi kayu, di masa yang akan datang usaha pengolahan makanan berbahan baku singkong diperkirakan akan semakin meningkat. Hal itu karena adanya beberapa peluang usaha yang bisa dimaanfaatkan oleh para ibu-ibu produsen olahan makanan berbahan baku singkong, yaitu pertama, pangsa pasar masih terbuka (pasar modern, lokasi wisata dan pasar di kota-kota besar), kedua, adanya dukungan dari dinas/instansi terkait dan LSM (penyuluhan, pelatihan, penyelenggaraan pameran, dll), ketiga, kebijakan diversifikasi makanan pokok yang digalakkan oleh pemerintah, keempat, adanya koperasi, bank yang menyediakan fasilitas kredit apabila usaha tersebut memerlukan tambahan modal. Meskipun demikian, peluang usaha yang ada akan mubazir apabila para produsen pengolahan makanan berbahan baku singkong tidak mampu mengatasi kelemahan dan ancaman yang selama ini melekat pada usaha yang dijalankan, misalnya masalah kontinuitas bahan baku, masalah SDM (ketersediaan tenaga kerja, lemahnya inovasi produk), keterbatasan sumber daya alam (air, cuaca (mendung/ hujan), keterbatasan sarana dan prasarana produksi,. Lemahnya manajemen usaha, dan persaingan usaha baik produk sejenis dari luar daerah maupun produk makanan olahan lainnya.

Rekomendasi

Guna mengatasi kelemahan dan ancaman yang dihadapi usaha pengolahan makanan berbahan baku singkong, maka disampaikan beberapa rekomendasi, yaitu pertama, untuk mengatasi masalah kontinuitas bahan baku maka perlu dijalin kerja sama dengan kelompok tani produsen singkong baik di lokal maupun dari luar daerah. Kedua, untuk mengatasi keterbatasan tenaga kerja maka perlu dibentuk usaha yang berbasis kelompok sehingga tenaga anggota bisa diberdayakan dalam kegiatan usaha. Untuk mencegah terjadinya kecemburuan antar anggota maka perlu disusun aturan yang tegas tentang hak dan kewajiban anggota kelompok. Ketiga, guna mendorong munculnya semangat untuk melakukan inovasi produk maka perlu dilakukan pelatihan-pelatihan pengolahan makanan berbahan baku singkong. Keempat, untuk mengatasi keterbatasan air yang diperlukan dalam proses produksi maka perlu dibangun jaringan air bersih, pembuatan sumur atau bak penampungan air hujan. Gangguan cuaca (musim penghujan) diatasi dengan menerapkan sistem stok, memproduksi dalam jumlah yang lebih banyak pada musim kemarau untuk dipasarkan pada musim penghujan. Keterbasan sarana (alat produksi) dan prasarana produksi dapat diatasi dengan membentuk usaha kelompok, sehingga peralatan milik anggota kelompok dapat lebih diberdayakan, dan pengadaan alat baru yang lebih modern (mekanisasi alat produksi). Kelima, perlu dilakukan pelatihan manajemen pengelolaan usaha yang lebih baik guna mengatasi kelemahan manajemen usaha yang dijalankan oleh para pengusaha olahan makanan berbahan baku singkong. Guna memenangkan persaingan dengan produk sejenis dari luar daerah atau produk olahan makanan lainnya maka perlu peningkatan kualitas produk, misalnya penggunaan bahan baku yang berkualitas, pemakaian alat produksi yang lebih modern, pengemasan produk yang lebih baik dan lebih menarik.

Pendampingan bagi Warga Masyarakat Korban Bencana Erupsi Merapi

Letusan Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta pada akhir tahun 2010 pada saat ini sudah mereda, namun dampak yang ditimbulkan masih terasa sampai saat ini. Bukan hanya dampak jatuhnya korban nyawa dan kerusakan fisik (hancurnya rumah dan prasarana umum) yang ditimbulkan oleh bencana susulan yaitu banjir lahar dingin yang menerjang di sepanjang alur sungai yang berhulu di puncak Merapi, tapi juga terjadinya kerusakan alam termasuk lahan pertanian akibat timbunan abu vulkanik yang dilontarkan oleh gunung berapi saat terjadi erupsi.

Terjadinya kerusakan lahan pertanian di wilayah sekitar gunung merapi menyebabkan para petani tidak dapat lagi memanfaatkan lahan tersebut untuk melakukan kegiatan budidaya tanaman pangan, seperti pada saat sebelum terjadi bencana letusan Gunung Merapi. Permasalahan ini apabila dibiarkan saja akan sangat mengancam keberlangsungan hidup para petani karena mereka akan kehilangan sumber mata pencaharian yang selama ini mereka andalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Karena merasa ikut bertanggung jawab untuk membantu masyarakat memecahkan permasalahan yang dihadapi, PSPK UGM bekerja sama dengan berbagai donatur yang berasal dari dalam dan luar negeri melaksanakan kegiatan pendampingan bagi warga masyarakat korban bencana erupsi Merapi. Salah satu program pendampingan yang saat ini sedang dilaksanakan oleh PSPK UGM adalah pendampingan bagi petani untuk melakukan kegiatan budidaya pertanian di lahan pasir vulkanik. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan pembuatan demplot pertanian lahan pasir vulkanik di wilayah kecamatan Cangkringan, Sleman. Dengan melibatkan petani lokal sebagai pelaksana, para staf peneliti dari PSPK UGM memberikan bimbingan ilmu tentang budidaya pertanian di lahan pasir vulkanik. Selain itu, PSPK UGM juga memberikan bantuan bibit dan sarana pertanian lainnya. Pada saat ini lahan demplot pertanian lahan pasir vulkanik yang dibuat oleh PSPK UGM bersama petani lokal tersebut telah menampakkan kemajuan yang menggembirakan. Di atas lahan pasir vulkanik yang nampaknya tidak dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pertanian tersebut telah tumbuh subur tanaman kacang tanah dan kedelai. Diharapkan setelah melihat hasil dari demplot pertanian ini warga masyarakat petani yang sebelumnya takut untuk membudidayakan tanaman pertanian di lahan sawah yang telah berubah menjadi lahan pasir vulkanik, menjadi bersemangat lagi untuk memanfaatkan lahan yang ada.

Salah satu kunci keberhasilan demplot pertanian lahan pasir vulkanik untuk pembudidayaan tanaman pangan (kacang dan kedelai) menurut para pakar pertanian dari PSPK UGM adalah pemanfaatan pupuk kandang. Pupuk kandang merupakan faktor yang ikut menentukan keberhasilan pertanian di lahan pasir vulkanik. Pupuk kandang dengan dosis yang pas sangat dibutuhkan oleh tanaman yang dibudidayakan di lahan pertanian pasir vulkanik karena kandungan unsur hara di dalam lahan pasir vulkanik sangat minim. Oleh karena itu idealnya setiap petani yang membudidayakan tanaman pertanian di lahan pasir vulkanik juga memelihara ternak sebagai sumber pupuk kandang.

Kedepan keberhasilan program demplot pertanian lahan pasir vulkanik yang telah dirintis oleh PSPK UGM ini akan ditindaklanjuti dengan kegiatan pendampingan bagi para petani di wilayah lereng Merapi untuk membudidayakan tanaman pertanian di lahan masing-masing. PSPK bersama donatur yang berasal dari berbagai wilayah baik dalam dan luar negeri akan berusaha untuk memberikan bantuan kepada mereka, baik dalam hal ilmu budidaya pertanian di lahan pasir vulkanik maupun sarana dan prasaran pertanian yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut, termasuk bantuan yang berujud ternak yang akan dapat menjadi sumber pupuk kandang yang sangat dibutuhkan oleh para petani.

Anda tertarik dengan kegiatan ini dan ingin memberikan bantuan untuk kesuksesan kegiatan ini? Kami persilahkan anda untuk menghubungi kami. Semua bantuan yang anda sumbangkan akan kami kelola dengan baik demi tercapainya tujuan program yaitu pemulihan sumber penghidupan bagi para petani korban erupsi gunung Merapi. Kami tunggu partisipasi anda. (*dc)