Arsip:

Penelitian

Siaran Pers Seminar Hasil Penelitian Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM

 

Siaran Pers
Seminar Hasil Penelitian Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM
Yogyakarta, 12 Januari 2023 di University Club

Selama hampir 50 tahun, tepatnya sejak 1973 Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM telah melaksanakan berbagai riset yang berkaitan dengan isu-isu pedesaan, pertanian dan pangan di berbagai daerah di Indonesia. Dari berbagai hasil riset pada 2022 saja, PSPK UGM menemukan isu yang menonjol dari semua daerah tersebut, yakni usaha tani rakyat mengalami tekanan dari globalisasi ekonomi, seperti meningkatnya ketergantungan pada pupuk dan benih pabrikan, degradasi lahan akibat masifnya penggunaan bahan kimia berlebihan, dan melemahnya nilai produk hasil pertanian.

Riset aksi yang sudah dilakukan PSPK selama periode 2022 antara lain riset (1) Antropologi Petani 4 wilayah (Buleleng, Kediri, Garut, dan Simalungun), (2) Potensi Ekonomi Porang Dalam Rangka Program MBKM (3) Penanggulangan Kemiskinan Berbasis pada aset lokal, (4) Rencana Program CSR untuk Pemberdayaan Masyarakat Terdampak Pembangunan Kilang Minyak Tuban, (5) Pengembangan Desa Kawasan Bandara, Tenaga Kerja Kawasan Bandara, Desa Wisata dan Kampung Inggris Pare.

Temuan dari berbagai riset PSPK menunjukkan isu krusial yang sebaiknya menjadi pokok pikiran menghadapi tantangan pedesaan, pertanian dan pangan pada 2023. Hal ini karena usaha tani rakyat merupakan salah satu pilar kekuatan ekonomi Indonesia ke depan. Usaha tani rakyat masih menjadi basis penghidupan masyarakat pedesaan dan mampu menyerap angkatan kerja yang besar. Oleh karena itu, diperlukan penguatan dan dukungan kebijakan afirmatif terhadap usaha tani rakyat secara afirmatif dan berkelanjutan.

Seminar PSPK UGM ini menghasilkan kesadaran, pemahaman, dan keberpihakan pada kepentingan petani dan menemukan strategi dan inovasi dalam meningkatkan organisasi petani, ekonomi desa, dan kedaulatan pangan. Seminar ini diikuti oleh pemerhati pedesaan, pertanian, dan pangan dari kalangan pemerintah, perguruan tinggi, korporasi, NGO, dan komunitas petani di berbagai wilayah di Indonesia. Kegiatan seminar dilaksanakan secara luring dan daring dengan menggunakan platform zoom dan disiarkan melalui kanal youtube UGM Yogyakarta.

Dalam sambutannya, Prof. Dr. Bambang Hudayana, MA selaku Kepala PSPK mengantarkan mengenai sejumlah hasil riset PSPK tahun 2022 dan dilanjutkan dengan menyajikan riset tahun 2023 guna meningkatkan kelembagaan usaha tani, kedaulatan pangan dan responsivitas stakeholder khususnya pemerintah. Adapun Prof Suharko mengantarkan rangkaian diskusi secara mendalam mengenai berbagai masalah dan inovasi kelompok tani, desa, dan daerah dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan ekonomi desa.

Tidak kalah penting seminar ini menghadirkan keynote speaker Dr. AAGN Ari Dwipayana yang memiliki kepakaran dalam kebijakan pemerintah di bidang pembangunan pedesaan dan penguatan ekonomi pertanian. Selain itu, seminar menghadirkan pakar akademisi yang memberikan cakrawala mengenai pengembangan pertanian dan pedesaan di Indonesia. Dr. Jamhari, S.P., M.P. mengangkat tema “Problem dan Penguatan Akses Saprodi dan Peningkatan Nilai Hasil Usaha Tani”, Subejo, S.P., M. Sc., Ph.D. membahas mengenai “Problem dan Penguatan Kelembagaan Petani”. Sementara itu, Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum M., M. Sc membahas “Tantangan Kedaulatan Pangan Indonesia dan Kesejahteraan Petani di Tengah Era Globalisasi”.

Guna mengangkat tema-tema yang lebih mengedepankan perspektif lokal seminar ini menghadirkan para praktisi dan pelaku usaha tani di berbagai daerah. Dengan didampingi para staf PSPK, mereka menyampaikan mengenai respons dalam masalah usaha tani masa kini dan inovasinya. Acara ini dipandu oleh Dr. AB Widyanta, Mohammad Ghofur, M.Sc., Suharto, S.Sos. dan melibatkan peneliti muda serta asisten peneliti PSPK UGM.

Pasca diskusi pakar dan praktisi dari lapangan, seminar kemudian merangkum sejumlah gagasan pengembangan riset PSPK 2023. Agenda untuk riset PSPK 2023 adalah (1) Pengembangan organisasi petani menuju kedaulatan pangan di 4 wilayah riset (Bali, Jawa Timur, Jawa Barat & Sumatera Utara, (2) Pengembangan inovasi pengolahan pangan berbasis produksi porang untuk peningkatan kesejahteraan petani dan penguatan UMKM, (3) Pendampingan Kampung Inggris Pare untuk peningkatan SDM dan ekonomi lokal, (4) Pengembangan desa-desa wisata di wilayah Kabupaten Kediri, (5) Inisiatif dan Inovasi CSR untuk pengurangan angka kemiskinan dan stunting masyarakat di wilayah dampingannya dan (6) Program penanggulangan stunting berbasis pada penguatan kelembagaan desa di Wonosobo.

Seminar Hasil Penelitian PSPK Tahun 2022

📢📢 Menuju 5️⃣0️⃣ Tahun PSPK UGM Berkarya.

Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK-UGM) selama tahun 2022 telah melaksanakan berbagai riset yang berkaitan dengan pola penghidupan petani di berbagai daerah, seperti Wonosobo, Batang, Ponorogo, Tuban, Kediri, Garut, Bali, hingga Simalungun. Untuk membagikan temuan-temuan penting dan mendiskusikan permasalahan usaha tani rakyat serta membangun sharing gagasan mengenai isu pedesaan, pertanian, dan kedaulatan pangan. Kami bermaksud mengundang anda, untuk berpartisipasi dalam kegiatan seminar hasil penelitian yang akan diselenggarakan pada:

📆Hari/tanggal : Kamis, 12 Januari 2023
🕣Waktu : 08.30 WIB – selesai
📍Link Zoom : http://ugm.id/SeminarPenelitianPSPK

Untuk konfirmasi kehadiran silakan scan barcode pada poster atau klik pada link bit.ly/PSPK_seminar_hasilpenelitian. Informasi lebih lanjut, silakan menghubungi staff PSPK UGM di nomor 081325304759 (a/nFerdy).
Demikian undangan kami, atas kehadiran dan partisipasi Bapak/Ibu, kami ucapkan terima kasih.

Monitoring Pelaksanaan Livelihood Restoration Plan PT BPI

Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) bekerja sama dengan PT Bhimasena Power Indonesia (PT BPI) mengadakan kegiatan Studi Monitoring Livelihood Restoration Plan (LRP) yang telah dilaksanakan oleh PT BPI selama lima tahun terakhir. Program LRP merupakan program pemulihan sumber penghidupan warga terdampak pembangunan PLTU Jawa Tengah di Kabupaten Batang Jawa Tengah.

Program LRP yang dilaksanakan oleh PT BPI fokus pada tiga target utama yaitu terkait dengan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood), keterlibatan sosial (social engagement), dan manajemen keluhan (grievance management). Program sustainable livelihood dimaksudkan untuk menciptakan mata pencaharian tambahan untuk orang-orang yang terkena dampak langsung pembangunan PLTU Jawa Tengah sehingga mereka memiliki penghasilan. Social engagement dimaksudkan untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh PT BPI. Sementara, grievance management difokuskan untuk menangani beberapa masalah yang terjadi terkait dengan kegiatan konstruksi dan operasi PLTU Jawa Tengah.

Kegiatan monitoring program LRP ini dilaksanakan dengan tujuan  untuk menilai hasil dari program LRP yang telah dilaksanakan dan mengidentifikasi kendala atau hambatan selama pelaksanaan. Kendala atau hambatan ini kemungkinan mempengaruhi tingkat pencapaian program sehingga rencana tindakan lebih lanjut perlu ditentukan untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan program LRP di masa depan.

Metodologi yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan monitoring ini adalah survei kuantitatif yang didukung oleh wawancara mendalam informan kunci untuk melengkapi informasi. Data diperoleh melalui instrumen terstruktur dalam bentuk kuesioner. Target survei termasuk eks-pemilik tanah (Land Owner/LO), Petani Penggarap (Tenant Farmer/TF), Buruh Tani (Daily Farmer/DF) dan kelompok rentan/ kurang beruntung yang dipengaruhi oleh pergeseran fungsi lahan yang diikuti oleh hilangnya akses ke lahan pertanian. Target survei termasuk penduduk di 3 desa yang terkena dampak langsung: Ujungnegoro, Karanggeneng dan Ponowareng. Selain itu, informan kunci yang diwawancarai adalah mereka yang terdaftar sebagai penerima manfaat program LRP.

Hasil studi menunjukkan bahwa: Pertama, program LRP yang dilaksanakan oleh PT PBI telah menyebabkan terjadinya pemulihan sumber penghidupan warga terdampak pembangunan PLTU Jawa Tengah. Hal itu ditunjukkan dengan adanya peningkatan Indeks Sustainable Livelihood di semua kategori kelompok terdampak (DF, TF dan LO) di tiga desa terdampak pembangunan PLTU Jawa Tengah (Ujungnegoro, Karanggeneng dan Ponowareng). Kedua, tingkat partisipasi masyarakat dalam program social engagement yang difasilitasi oleh PT BPI di tahun-tahun terakhir mengalami penurunan dibandingkan pada tahun-tahun awal pembangunan PLTU akibat pandemi Covid-19. Ketiga, persepsi responden terkait kepuasan penanganan PT BPI dalam menanggapi berbagai pelaporan (pengajuan proposal, aspirasi, dan keluhan) dari masyarakat meningkat dibandingkan periode sebelumnya. Jumlah pelaporan dari masyarakat yang diterima tim grievance management PT BPI menurun dibandingkan periode sebelumnya.

Terkait dengan hasil monitoring maka PSPK UGM menyampaikan beberapa rekomendasi: Pertama, untuk memaksimalkan pencapaian tujuan program, maka PT BPI dapat merencanakan penyusunan program CSR sesuai dengan kebutuhan masyarakat melalui pengembangan kemitraan stakeholder. Kedua, penurunan keterlibatan masyarakat dalam berbagai kegiatan social engagement PT BPI akibat pandemi Covid-19 dapat ditingkatkan melalui penyampaian publikasi, komunikasi, dan hubungan ke masyarakat melalui media sosial seperti WhatsApp Group maupun semacamnya. Ketiga, mekanisme grievance management perlu diperkuat dengan pengembangan kanal komunikasi bagi masyarakat di setiap desa. Kanal komunikasi di setiap desa tersebut akan mempermudah warga dalam menyampaikan aspirasi dan keluhan ke PT BPI. [Mulyono]

Kontribusi Program CSR PT BPI Pada Penghidupan Warga Terdampak Pembangunan PLTU Jawa Tengah

Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) bekerja sama dengan PT Bhimasena Power Indonesia (PT BPI) mengadakan kegiatan “Studi Monitoring Kontribusi Program CSR PT BPI pada Sustainable Livelihood Warga Terdampak Pembangunan PLTU Jawa Tengah.” Selain melakukan kegiatan Livelihood Restoration Plan (LRP) , PT BPI juga melakukan berbagai program CSR yang dianggap memiliki kontribusi terhadap peningkatan livelihood masyarakat terdampak. Meskipun program CSR tersebut tidak menjadi bagian dari program LRP, namun salah satu tujuan pelaksanaan program CSR adalah mendukung program LRP agar memiliki dampak yang signifikan pada peningkatan livelihood masyarakat. Program-program CSR juga diarahkan untuk meningkatkan lima jenis kapital (modal) yang dimiliki oleh masyarakat terdampak, yakni natural capital (NC), financial capital (FC), human capital (HC), infrastruktur capital (IC), dan social capital (SC).

Metodologi yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan ini adalah survei persepsi terhadap warga terdamak pembangunan PLTU Jawa Tengah, yang didukung oleh wawancara mendalam informan kunci untuk melengkapi informasi. Data diperoleh melalui instrumen terstruktur dalam bentuk kuesioner. Target survei termasuk eks-Pemilik Tanah (Land Owner/LO), Petani Penggarap (Tenant Farmer/TF), Buruh Tani (Daily Farmer/DF) dan kelompok rentan/ kurang beruntung yang dipengaruhi oleh pergeseran fungsi lahan yang diikuti oleh hilangnya akses ke lahan pertanian. Target survei termasuk penduduk di 3 desa yang terkena dampak langsung: Ujungnegoro, Karanggeneng dan Ponowareng.

Sedangkan Informan yang diwawancarai adalah beberapa responden yang menilai tingkat kontribusi program CSR terhadap peningkatan livelihood. Pemilihan informan dilakukan dengan metode snowball, yaitu pemilihan informan berdasarkan petunjuk dari informan sebelumnya. Melalui wawancara semi terstruktur tersebut diharapkan dapat memperoleh informasi yang lebih mendalam, terutama terkait dengan hambatan dan tantangan dalam melaksanakan program, efektivitas program dan solusi yang tepat untuk pengembangan program CSR di masa depan.

Hasil studi  monitoring menunjukkan bahwa implementasi program CSR PT BPI memiliki kontribusi tinggi terhadap sejumlah indikator Sustainable Livelihood, antara lain:  peningkatan orientasi pendidikan, kerukunan antar tetangga, jaringan kekerabatan, orientasi kesehatan, penghasilan, keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan, kondisi sarana transportasi, akses jaminan kesehatan, kapasitas kerja, kepemilikan sarana transportasi, kepemilikan barang elektronik, akses bantuan sosial, jumlah dan jenis ketrampilan.

Program CSR yang memiliki kontribusi tinggi terhadap peningkatan SL adalah beberapa program yang terkait dengan peningkatan kesadaran masyarakat, seperti pengembangan kelompok usaha bersama (KUB), program kampung iklim, manajemen sampah, kegiatan aksi bersih, peningkatan kapasitas bagi tenaga kesehatan, pelayanan posyandu, kader dan FKD, sekolah adiwiyata, dan peningkatan literasi melalui perpustakaan desa.

Selain itu, program CSR yang terkait dengan peningkatan skala usaha dan ekonomi berkontribusi positif terhadap peningkatan SL, yakni pengembangan kelompok usaha bersama (KUB), pengembangan lembaga keuangan mikro (LKM), penciptaan lapangan kerja sementara melalui pekerjaan koveksi dan rinjing, kesempatan bekerja karyawan pabrik (apparel), dan perakitan box sarung wadimor.

Hasil survei persepsi ini mengindikasikan bahwa masyarakat sangat mengapresiasi keberadaan program kelompok usaha bersama (KUB), pengembangan lembaga keuangan mikro (LKM), penciptaan lapangan kerja sementara melalui pekerjaan koveksi dan rinjing, kesempatan bekerja karyawan pabrik (apparel), dan perakitan box sarung wadimor. Warga menilai program-program tersebut mampu menambah penghasilan mereka apalagi dalam masa pandemi ini.

Dalam bidang pendidikan dan kesehatan, warga cukup merasakan manfaat dari keberadaan sekolah adiwiyata, peningkatan kapasitas bagi tenaga kesehatan, kader, FKD, dan peningkatan kualitas kesehatan melalui pelayanan posyandu. Wajar jika kemudian masyarakat cukup mengenal dan ikut serta menyukseskannya. Dalam bidang sosial, budaya, dan lingkungan, warga juga cukup merasakan manfaat dari pelaksanaan program kampung iklim, manajemen sampah, kegiatan aksi bersih, kegiatan santunan sosial, donor darah, dan bantuan infrastruktur sarana umum seperti perbaikan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), masjid maupun mushola.

Terkait dengan hasil studi maka PSPK UGM menyampaikan rekomendasi, yaitu perlu adanya kajian Sosial Return on Investment (SROI). Kajian SROI akan mampu merepresentasikan keberhasilan program-program yang difasilitasi perusahaan secara langsung maupun tidak langsung di mata masyarakat terdampak dan masyarakat luas. [Mulyono]

Studi Kewirausahaan Perempuan dalam Produksi Makanan Lokal Berbasis Ubi Kayu (Singkong)

Ketahanan pangan menjadi program yang gencar dilakukan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir ini. Indonesia, sebagai penghasil sumberdaya alam dari pertanian dan perkebunan yang sangat banyak, terasa belum cukup menyediakan makanan bagi masyarakatnya sendiri. Padahal, Indonesia adalah Negara nomor tiga di dunia yang mempunyai keanekaragaman sumberdaya (megadiversity), karena itu adalah wajar kalau Indonesia mempunyai sumber kekayaan yang sangat besar untuk ketahanan pangan, air, energi dan lain-lain. Impor berbagai jenis pangan dari luar negeri seperti beras, gandum, buah-buahan bahkan sayur-sayuran menunjukkan kurang efisiennya pengelolaan sumberdaya alam dan biodiversitas dari Indonesia (Suhardi, 2010).

Tujuan dari program kedaulatan pangan yang diberikan oleh pemerintah sekiranya bisa mengurangi ketergantungan masyarakat akan makanan pokok, yakni beras. Pengolahan bahan makanan lain melalui diversifikasi pangan, seperti umbi-umbian dan jagung, menjadi alternatif masyarakat untuk memenuhi gizi dan nutrisi pengganti yang terdapat pada makanan pokok tersebut. Sejalan dengan program kedaulatan pangan yang dibuat oleh pemerintah, usaha kecil dirasa mampu menjadi agen-agen pelopor pembuat inovasi di berbagai bidang diversifikasi pangan.

Salah satu usaha riil dalam usaha mencapai kedaulatan pangan adalah mengolah berbagai bahan makanan yang dihasilkan dari pertanian lokal. Dalam konteks ini, Gunungkidul merupakan salah satu wilayah yang terkenal sebagai areal pertanian kering sehingga budidaya singkong sudah dibudidayakan oleh masyarakat di wilayah ini sejak lampau. Tidak hanya bertindak sebagai produsen, berangsur angsur sebagian warga Gunungkidul mengembangkan unit usaha produksi makanan lokal berbasis pada singkong. Menariknya, sebagian besar usaha ini justru dimotori oleh para perempuan sehingga sifat kewirausahaan pada kelompok ini mengalami perkembangan yang signifikan. Jika dahulu mereka ditempatkan sebagai para bakul, penjaja makanan, saat ini mereka mulai mengembangkan sikap wirausaha dengan mengolah berbagai produk dari bahan baku singkong.

Pemaparan mengenai perkembangan kewirausahaan dalam pengolahan makanan berbasis produk pertanian lokal terutama singkong dapat ditempatkan sebagai sebuah studi yang komprehensif tentang perubahan peran perempuan di pedesaan. Posisi mereka yang dianggap marjinal, kemudian mulai menempati peran sentral dalam menggerakkan ekonomi rumah tangga, ataupun ekonomi desa, dan dalam tataran yang lebih luas, menggerakkan ekonomi regional.

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh tim PSPK UGM dapat diketahui bahwa terdapat beberapa pola penguasaan pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang pembuatan makanan berbahan baku ubi kayu/singkong, yaitu warisan turun-temurun dari orang tua/generasi terdahulu, pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh dinas pemerintah maupun LSM, dan inovasi pribadi.

Terkait dengan permodalan pengusaha perempuan di bidang kuliner berbahan ubi kayu/singkong terdiri dari 3 bentuk, yaitu pertama, modal ekonomi baik yang berupa bahan baku maupun dana/uang, kedua, modal sosial yang bisa dimaknai sebagai interaksi sosial/perilaku sosial yang dilakukan oleh ibu-ibu yang menekuni usaha pengolahan makanan berbahan baku singkong yang dapat menunjang berkembangnya usaha tersebut, misalnya tradisi pinjam singkong ke tetangga untuk mensiasati ketiadaan bahan baku (singkong) saat hendak melakukan kegiatan produksi, saling membantu dalam kegiatan produksi pada saat ada ibu yang mendapat pesanan dalam jumlah besar, saling meminjam alat produksi ketika alat produksi, saling membantu mengangkat produk dari tempat penjemuran ketika tiba-tiba turun hujan, menukar/barter produk yang belum laku dengan produk lain misalnya menukar produk dengan sayuran, bumbu dapur, dll, dan kebiasaan membagi order/pesanan yang diterima kepada pelaku usaha lain saat merasa tidak mampu untuk memenuhi pesanan tersebut. Ketiga, modal budaya, yang dapat dipahami sebagai nilai-nilai budaya/ tradisi turun temurun yang masih dianut oleh ibu-ibu produsen olahan makanan berbahan baku singkong, misalnya jaringan kekerabatan, dan tradisi rewang (kegiatan memasak yang dilakukan oleh banyak orang untuk acara hajatan dan biasanya dilakukan selama beberapa hari).

Terkait dengan peluang dan tren bisnis kuliner lokal berbahan baku ubi kayu, di masa yang akan datang usaha pengolahan makanan berbahan baku singkong diperkirakan akan semakin meningkat. Hal itu karena adanya beberapa peluang usaha yang bisa dimaanfaatkan oleh para ibu-ibu produsen olahan makanan berbahan baku singkong, yaitu pertama, pangsa pasar masih terbuka (pasar modern, lokasi wisata dan pasar di kota-kota besar), kedua, adanya dukungan dari dinas/instansi terkait dan LSM (penyuluhan, pelatihan, penyelenggaraan pameran, dll), ketiga, kebijakan diversifikasi makanan pokok yang digalakkan oleh pemerintah, keempat, adanya koperasi, bank yang menyediakan fasilitas kredit apabila usaha tersebut memerlukan tambahan modal. Meskipun demikian, peluang usaha yang ada akan mubazir apabila para produsen pengolahan makanan berbahan baku singkong tidak mampu mengatasi kelemahan dan ancaman yang selama ini melekat pada usaha yang dijalankan, misalnya masalah kontinuitas bahan baku, masalah SDM (ketersediaan tenaga kerja, lemahnya inovasi produk), keterbatasan sumber daya alam (air, cuaca (mendung/ hujan), keterbatasan sarana dan prasarana produksi,. Lemahnya manajemen usaha, dan persaingan usaha baik produk sejenis dari luar daerah maupun produk makanan olahan lainnya.

Rekomendasi

Guna mengatasi kelemahan dan ancaman yang dihadapi usaha pengolahan makanan berbahan baku singkong, maka disampaikan beberapa rekomendasi, yaitu pertama, untuk mengatasi masalah kontinuitas bahan baku maka perlu dijalin kerja sama dengan kelompok tani produsen singkong baik di lokal maupun dari luar daerah. Kedua, untuk mengatasi keterbatasan tenaga kerja maka perlu dibentuk usaha yang berbasis kelompok sehingga tenaga anggota bisa diberdayakan dalam kegiatan usaha. Untuk mencegah terjadinya kecemburuan antar anggota maka perlu disusun aturan yang tegas tentang hak dan kewajiban anggota kelompok. Ketiga, guna mendorong munculnya semangat untuk melakukan inovasi produk maka perlu dilakukan pelatihan-pelatihan pengolahan makanan berbahan baku singkong. Keempat, untuk mengatasi keterbatasan air yang diperlukan dalam proses produksi maka perlu dibangun jaringan air bersih, pembuatan sumur atau bak penampungan air hujan. Gangguan cuaca (musim penghujan) diatasi dengan menerapkan sistem stok, memproduksi dalam jumlah yang lebih banyak pada musim kemarau untuk dipasarkan pada musim penghujan. Keterbasan sarana (alat produksi) dan prasarana produksi dapat diatasi dengan membentuk usaha kelompok, sehingga peralatan milik anggota kelompok dapat lebih diberdayakan, dan pengadaan alat baru yang lebih modern (mekanisasi alat produksi). Kelima, perlu dilakukan pelatihan manajemen pengelolaan usaha yang lebih baik guna mengatasi kelemahan manajemen usaha yang dijalankan oleh para pengusaha olahan makanan berbahan baku singkong. Guna memenangkan persaingan dengan produk sejenis dari luar daerah atau produk olahan makanan lainnya maka perlu peningkatan kualitas produk, misalnya penggunaan bahan baku yang berkualitas, pemakaian alat produksi yang lebih modern, pengemasan produk yang lebih baik dan lebih menarik.

Pemberdayaan Masyarakat Desa Pasca PNPM Mandiri Perdesaan (PNPM-MPd)

PNPM Mandiri Perdesaan merupakan salah satu program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesi, di samping program penanggulangan kemiskinan yang lain. Jangkauan program ini sangat luas mencapai 63.000 desa (80%), 5.146 kecamatan, 394 kabupaten/kota, dan 33 propinsi. Total dana yang telah dikucurkan oleh pemerintah untuk membiayai program ini selama 15 tahun lebih dari 70 trilyun. Namun ironisnya laju penurunan warga m,iskin melambat atau stagnan. Dalam periode tahun 2013 jumlah penduduk miskin justru meningkat, pada bulan maret tercatat sebanyak 28,07 juta penduduk miskin di Indonesia, namun pada bulan September pada tahun yang sama jumlah tersebut justru meningkat menjadi 28,55 juta jiwa. Selain itu ketimpangan ekonomi juga semakin melebar yang ditunjukkan dengan indexs gini yang terus melebar dan ketergantungan terhadap produk dan komoditas inpor semakin meningkat. Demikian penyataan narasumber dalam seminar bulanan yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM pada hari Kamis tanggala 13 Februari 2014. Pada kesempatan tersebut diangkat topik Pemberdayaan Masyarakat Desa Pasca PNPM Mandiri Perdesaan (PNPM-MPd). Tampil sebagai narasumber Dr. Suharko, dosen Fisipol UGM, dengan moderator AB. Widianto, M.A peneliti PSPK UGM.

“Pemberdayaan masyarakat desa masih menjadi agenda penting untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat miskin di Indonesia. PNPM Mandiri Perdesaan akan segera berakhir tahun ini dan masa depan program pemberdayaan masyarakat desa berada di tangan pemerintahan baru pasca pemilu tahun 2014. Apa agenda diskusi kita?”, kata penyaji. “Agenda diskusi kita pada saat ini adalah mengkritisi pendekatan PNPM MPd, proses pelaksanaan, capaian dan dampak program. Selain itu, kita juga akan mendiskusikan opsi-opsi alternatif kebijakan dan model pemberdayaan masyarakat desa yang tidak berbasis utang luar negeri, bertumpu pada aset dan sumberdaya nasional dan menempatkan komunitas desa sebagai subyek yang berdaulat.”

Kritik kami terhadap pendekatan PNPM MPd adalah pertama, pendekatan program yang pada mulanya adalah community driven development (CDD) dalam pelaksanaannya berubah menjadi money driven development, yang lebih tampak di lapangan pembangunan digerakkan oleh uang, bukan oleh value dan sumber daya komunitas. Kedua, secara normatif program PNPM MPd mengutamakan partisipasi warga miskin dan perempuan, namun dalam pelaksanaannya suara dan aspirasi kepentingan mereka kurang atau tidak terakomodasi. Ketiga, program PNPM MPd bersifat apolitis sehingga terjadi bias elite desa dalam pengambilan keputusan (fenomena elite capture). Keempat, program lebih mengutamakan pembentukan kelembagaan baru (UPK, TPK, dll) daripada memberdayakan kelembagaan lokal lama yang baik. Kelima, fasilitaor umumnya kurang memahami konteks permasalahan masyarakat lokal, akibat tingkat rotasi yang tinggi. Keenam, skema program kurang melibatkan pemerintah desa.

Kritik terhadap proses pelaksanaan, khususnya program open menu adalah pembangunan infrastuktur (jalan, jembatan, saluran irigasi, dll) dikerjakan dengan dua pola, yaitu pola padat karya dan pola tender. Dalam pola padat karya, atas nama “kearifan lokal” terpelanting menjadi menjadi tirani partisipasi- upah tidak memadai atau dipotong untuk penambahan volume pekerjaan. Dalam pola tender partisipasi warga sangat terbatas karena pengadaan barang dan tenaga oleh kontraktor, sehingga sesuai dengan orientasi pro-job. Sedangkan kritik terhadap proses pelaksanaan simpan pinjam kelompok perempuan (SPP), istilah SPP ditolak karena dianggap melecehkan, “simpan pinjam perempuan” . Selain itu, program tidak dapat mencapai warga perempuan yang benar benar miskin, dan ketersediaan dana relatif kecil untuk perguliran. Meskipun NPL relatif kecil tapi tidak bisa menjadi tolok ukur proses keberhasilan yang memadai. Selain itu, sejumlah perempuan memang berkelompok untuk akses dana, namun usaha ekonomi yang dijalankan umumnya individual bukan usaha bersama.

Kritik terhadap capaian dan dampak program PNPM MPd yaitu, pengelolaan dan laporan administrasi program sangat baik, auditable, lapangan pekerjaan bertambah, terutama untuk fasilitator (desa, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi dan nasional mencapai kurang lebih 11.000 orang, tapi bukan untuk warga miskin. Terjadi penambahan infrastruktur pedesaan yang ekspansi karena 75% dana program dialokasikan untuk pembangunan prasarana dasar, sebagian besar dalam bentuk jalan, namun umumnya hal itu hanya terjadi di pulau jawa. Kritik terkait dampak SPP yaitu terjadinya peningkatan ketergantungan masyarakat desa terhadap akses dana dan terkikisnya kemandirian warga dalam akumulasi modal berbasis tindakan kolektif (melalui kelompok arisan, simpan pinjam, dan sejenisnya). Pemanfaatan modal usaha cenderung untuk konsomsi dan bukan untuk menunjang produksi, sehingga dampak terhadap kesejahteraan sulit diukur. Terjadinnya kesenjangan akses dalam pemanfaatan peluang pinjaman karena program mengharuskan pemilikan basis usaha ekonomi yang berjalan. Akibatnya, yang meningkat kesejahteraannya adalah warga yang mampu bukan warga miskin.

Terkait dengan peta jalan penguatan dan keberlanjutan PNPM MPd, para pemangku kepentingan PNPM telah menyusun peta jalan untuk memperkuat dan melanjutkan PNPM. Sejumlah tokoh yang diwawancarai dalam laporan KATADATA, seperti mendagri, wapres, konseptor PNPM dari Bank Dunia, dan lainn-lain menyatakan PNPM perlu dilanjutkan. Namun apakah peta jalan yang telah disusun akan dilanjutkan atau tidak , sangat tergantung pada pemerintahan baru sebagai hasil pemilu 2014.

Momentum Penguatan: Lahirnya UU Desa

Kelahiran UU desa membawa harapan besar bagi pemberdayaan masyarakat desa karena undang-undang tersebut mengamanatkan kepada pemerintah untuk mengalokasikan sejumlah dana yang jumlahnya antara 750 juta hingga 1,5 milyar bagi setiap desa. Dalam pasal 72 ditetapkan bahwa belanja desa diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang disepakati dalam musyawarah desa dan sesuai dengan prioritas pemerintah kabupaten/kota, pemerintah propinsi dan pemerintah pusat. Selanjutnya, kebutuhan pembangunan tersebut meliputi, tetapi tidak terbatas pada kebutuhan primer, pelayanan dasar, lingkungan, dan kegiatan pemberdayaaan masyarakat desa.

Dalam pasal 112 ayatt 3 dan 4 dinyatakan bahwa pemerintah, pemerintah propinsi, dan pemerintah kabupaten/kota memberdayakan masyarakat desa dengan menerapkan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dan temuan baru untuk kemajuan ekonomi dan pertanian masayarakat desa., meningkatkan kualitas pemerintahan dan masyarakat desa melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan, dan mengakui serta memfungsikan institusi asli dan/atau yang sudah ada di masayarakat desa. Selain itu pemberdayaan masyarakat desa dilaksanakan dengan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pembangunan desa dan kawasan perdesaan.>

Lalu, apa alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat desa pasca PNPM MPd? apakah lahirnya UU desa akan mampu menjadi pengganti program PNPM MPd dalam pemberdayaan masyarakat desa sehingga program PNPM MPd tidak diperlukan lagi. Ataukah PNPM MPd tetap perlu dilanjutkan meskipun sudah ada UU Desa, dengan harapan keduanya mampu saling bersinergi sehingga program pemberdayaan masayarakat bisa berjalan semakin optimal? untuk menemukan jawaban atas berbagai pertanyaan ini, kita menyelenggarakan diskusi ini. Namun dari berbagai harapan yang terlontar, khususnya dari para penyelenggara program PNPM, lahirnya UU Desa diharapkan tiddak akan menghapus program PNPM yang telah berjalan lebih dari 15 tahun itu. Atau paling tidak, jika program PNPM terpaksa dihentikan aset yang dimiliki oleh program PNPM bisa dimanfaatkan oleh pemerintah desa untuk mendukung pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat desa. Bukan hanya aset yang bersifat hasil program (institusi, finansial, aset fisik) tetapi juga aset SDM (fasilitator) yang telah memiliki pengalaman dalam melakukan pemberdayan masyarakat.

Terkait dengan pemaparan yang disampaikan oleh penyaji, Dr. Purwadi seorang peserta seminar menyampaikan ucapan terima kasih karena seminar ini telah mampu menambah pengetahuan/ilmu. Yang dimiliki. Selain itu, ia memberikan tanggapan bahwa ia sangat tidak setuju dengan realitas yang terjadi pada masa kini, dimana orang desa yang memiliki peran besar dalam kegiatan produksi diatur –atur oleh segelintir orang di pusat kekuasaan yang sebenarnya tidak tahu persis kondisi dan permasalahan yang terjadi dan di hadapi oleh masyarakat desa. Kedepan saya berharap, orang-orang desa diberi kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, ia bukan hanya menjadi obyek tetapi menjadi subyek berbagai program pembangunan yang dilaksanakan di desa.*

Penguatan Kelembagaan Bagi Masyarakat Korban Gempa di Klaten

Sebagai tindak lanjut dari program pendampingan terhadap warga masyarakat korban gempa di Kabupaten Klaten yang telah dilaksanakan oleh PSPK UGM sejak tahun 2008, pada tahun 2009 PSPK UGM kembali melakukan beberapa jenis program pendampingan. Jenis program pendampingan yang dilaksanakan pada tahun 2009 ini adalah pembentukan lembaga keuangan mikro di tingkat Rukun Warga (RW) di Desa Gesikan dan Desa Ceporan, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten. Sekedar tambahan informasi, kegiatan pendampingan yang dilaksanakan oleh PSPK UGM pada tahun 2009 ini juga bekerja sama dengan Australia Indonesia Partnership Program (AIP). Program kegiatan ini dilaksanakan selama 10 bulan yaitu sejak bulan Maret hingga Desember 2009.

Beberapa jenis kegiatan yang dilaksanakan sebagai perwujudan dari pelaksanaan program pembentukan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah pembentukan LKM di tingkat RW, pelatihan manajemen keuangan bagi pengurus LKM, dan pengadaan modal dan sarana kerja LKM.

Melalui pendampingan yang dilaksanakan secara intensif oleh para pendamping dari PSPK UGM, maka pada akhir bulan pertama pelaksanaan program telah terbentuk lembaga keuangan mikro di 19 RW yang ada di Desa Gesikan dan Desa Ceporan. LKM ini beranggotakan ibu-ibu di lingkungan RW tersebut yang memiliki usaha produktif, sedangkan pengurus dipilih secara demokratis oleh seluruh anggota LKM. Guna memperkuat sistem kelembagaan LKM maka setiap LKM yang terbentuk kemudian menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) LKM yang memuat berbagai aturan terkait dengan LKM, misalnya aturan tentang keanggotaan LKM, hak dan kewajiban pengurus, aturan peminjaman, sanksi dll.

Guna meningkatkan pengetahuan dalam melaksanakan kegiatan LKM, maka program juga melaksanakan kegiatan pelatihan manajemen keuangan bagi para pengurus LKM. Kegiatan dilaksanakan di dua tempat, yaitu di Balai Desa Gesikan dan Balai Desa Ceporan, dan diikuti oleh semua pengurus LKM di desa tersebut. Pelatihan  dilaksanakan selama 2 hari dengan menghadirkan narasumber yang berkompeten, baik dari lingkungan UGM maupun lembaga lain.

Sebagai modal awal LKM maka program memberikan dana hibah sebesar 10 juta rupiah per LKM. Dana tersebut dikelola oleh LKM dengan menyediakan fasilitas kredit tanpa agunan bagi para anggotanya. Diharapkan melalui fasilitas kredit tersebut LKM dapat membantu mengatasi kesulitan permodalan yang banyak dialami oleh anggota LKM untuk mengembangkan usahanya. Selain itu, diharapkan semakin lama modal yang dimiliki oleh LKM bisa terus berkembangberkat jasa dan juga simpanan para anggota LKM.

Seri Pertama Diskusi Jihad Kedaulatan Pangan UGM

Guna meningkatkan kontribusi UGM untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh bangsa maka para cendekiawan UGM yang tergabung dalam kluster ketahanan pangan mengadakan serangkaian diskusi yang mengangkat tema tentang “Kedaulatan Pangan”. Pada diskusi putaran pertama yang diselenggarankan di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM pada hari Selasa, 23 Agustus 2011, hadir tiga orang pembicara yang mencoba menkritisi tema berdasarkan perspektif masing-masing. Ketiga pembicara tersebut adalah Prof. Mochamad Maksum dari Fakultas Teknologi Pertanian, Prof. Dwidjono HD dari Fakultas Pertanian, dan Prof.Pratikno dari Fakultas ISIPOL.

Dalam pemaparannya Prof. Mochamad Maksum menyoroti masalah kedaulatan pangan dari perspektif kebijakan negara. Meski bangsa Indonesia telah merdeka selama 66 tahun namun saat ini kita belum bisa meraih kedaulatan di bidang pangan. Hal itu bukan karena rendahnya produksi pangan dalam negeri namun karena kesalahan negara (pemerintah) dalam mengambil kebijakan tentang pangan. Selama ini pemerintah memfokuskan kebijakan pengelolaaan pangan nasional pada upaya untuk menekan harga pangan agar tetap murah sehingga terjangkau oleh rakyat. Dengan kata lain, perhatian pemerintah terkonsentrasi pada upaya penyediaan pangan murah bagi rakyat. Kebijakan ini sangat baik apabila pelaksanaannya tidak membawa korban/tidak mengorbankan sebagian rakyat Indonesia. Numun kenyataannya, untuk mewujudkan tujuan tersebut pemerintah telah melaksanakan kebijakan yang menyebabkan timbulnya dampak yang kurang baik bagi sebagian rakyat Indonesia, yaitu kalangan rakyat tani.

Guna menekan harga pangan dalam negeri pemerintah telah melaksanakan kebijakan importasi berbagai komoditas pangan, misalnya beras, jagung, kedelai, terigu, gula dll. Dalam jangka pendek kebijakan tersebut memang sangat menguntungkan karena segera dapat menekan lonjakan harga pangan dalam negeri. Namun dalam jangka panjang ternyata kebijakan tersebut sangat merugikan rakyat tani Indonesia. Kebijakan importasi telah menyebabkan penderitaan bagi kaum tani. Karena hasil produksi petani dalam negeri dihargai sangat murah, maka penghasilan yang diperoleh petani menjadi relatif rendah, sehingga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok saja. Kondisi tersebut menyebabkan mereka tidak mampu untuk memupuk modal guna menjalankan/meningkatkan skala usaha mereka.

Kesulitan dalam menjalankan usaha pertanian telah menyebabkan banyak petani yang akhirnya meninggalkan usaha tani yang mereka tekuni dan menjual tanah pertanian mereka untuk sektor industri atau tempat tinggal. Kondisi ini jelas akan sangat membahayakan kedaulatan pangan kita karena semakin lama kita akan semakin tergantung dengan negara lain dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Bangsa Indonesia selamanya akan menjadi konsumen produk pangan dari luar negeri.

Prof Maksum menilai bahwa kebijakan importasi yang selama ini diterapkan oleh negara bukan merupakan kebijakan yang tepat. Hal itu karena apabila dicermati produk pangan dalam negeri sebenarnya telah mencukupi kebutuhan pangan kita. Apabila pemerintah menilai bahwa produksi pangan dalam negeri kurang, itu semata-mata untuk pembenaran dari kebijakan importasi yang dilaksanakan. Kalau memang kebijakan importasi perlu dilaksanakan maka kebijakan tersebut sifatnya hanya untuk memperkuat ketahanan pangan dalam negeri. Namun kenyataannya selama ini pemerintah menjalankan kebijakan importasi sebagai kebijakan utama dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri. Hal itu dapat dilihat dari kuantitas/jumlah produk bahan pangan yang diimpor yang melebihi kebutuhan nyata di lapangan. Bila dipersentase tingkat ketergantungan Indonesia pada produk impor telah lebih dari 50% kebutuhan pangan dalam negeri. Sungguh merupakan kondisi yang membuat miris karena negeri yang terkenal subur makmur, ternyata pangan rakyatnya tergantung pada bangsa lain.

Kebijakan importasi, menurut Prof. Maksum menjadi kebijakan yang menarik bagi para penyelenggara negara karena banyak faktor. Antara lain karena besarnya keuntungan yang dapat diperoleh oleh para penyelenggara negara berkat pelaksanaan kebijakan importasi. Bukan hanya pribadi para penyelenggara negara yang dapat menarik keuntungan dari penerapan kebijakan tersebut, namun juga partai politik. Tingginya biaya politik yang harus ditanggung oleh para politikus dan partai politik telah mendorong mereka untuk menerapkan kebijakan negara yang dapat mendatangkan keuntungan secara finansial yang dapat digunakan untuk menutup biaya politik tersebut. Oleh karena itu wajar apabila banyak pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan negara merumuskan berbagai kebijakan yang sebenarnya kurang berpihak terhadap rakyat, hanya karena memiliki interest pribadi terhadap kebijakan tersebut. Salah satunya adalah kebijakan importasi.

Dalam sesi kedua, Prof. Dwidjono memaparkan pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat indonesia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ir. Sukarno yang diabadikan pada prasasti peresmian gedung IPB (1952) yang menegaskan bahwa “Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak terpenuhi maka malapetaka; oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner”. Pernyataan tersebut dijiwai oleh pengertian pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu “bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh karena itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan”. Pengertian luas dari kalimat tersebut termasuk kemerdekaan dalam menentukan kebijakan pangan yang didasarkan pada asas perikemanusiaan dan perikeadilan bagi segenap rakyat Indonesia. Dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa para pendiri bangsa Indonesia telah menggariskan agar segenap kekuatan dan potensi bangsa hendaknya dikerahkan untuk mencapai kedaulatan pangan sebagai landasan yang paling asasi untuk tercapainya kedaulatan negara.

Sistem kedaulatan pangan akan tercapai apabila bangsa ini mempunyai landasan kemandirian pangan yang kokoh. Oleh karena itu pencapaian tingkat swasembada dan kemandirian pangan tersebut harus diupayakan secara terus menerus secara konsisten dan konsekwen oleh pemerintah sebagai mandataris bangsa. Prinsip kemandirian dalam hal pangan telah dibuktikan secara konsisten dan konsekwen oleh presiden pertama RI yaitu dengan ditolaknya pendirian IRRI di Indonesia karena dianggap sebagai intervensi asing. Hal itu dapat dimengerti karena kegiatan pemuliaan tanaman padi sudah dijalankan para ahli Indonesia sejak tahun 1930-an.

Selanjutnya Prof Dwidjono memaparkan bahwa sistem pangan domestik selama ini menjadikan petani menjadi obyek kebijakan ekonomi negara yang tidak memberi peluang untuk mandiri. Pada era Orde Lama kebijakan pangan ditujukan pada upaya pencapaian swasembada pangan, terutama beras. Namun belum bisa tercapai dan bahkan presiden RI pertama lengser pada saat harga beras tinggi. Pada era Orde Baru program Bimas bertujuan untuk membimbing petani agar bisa berkembang secara mandiri dan didukung oleh pemerintah. Namun kemudian superioritas negara menjadi lebih dominan sehingga program tersebut dijadikan alat untuk mengatur sistem pangan nasional dan bukan membimbing petani lagi. Walaupun demikian upaya mendukung peningkatan pengan relatif lebih intensif termasuk pembangunan jaringan irigasi dan pabrik pupuk.

Namun sejak tercapainya swasembada beras pada tahun 1984 titik berat kebijakan pemerintah beralih dari pertanian ke industri. Kondisi tersebut diperburuk dengan dilakukannya larangan penggunaan 57 jenis pestisida pada tahun 1985. Pada periode-periode berikutnya tampak bahwa kebijakan ekonomi di bidang pertanian bersifat lebih berorientasi pada konsumen dan kurang memperhatikan sisi produsen. Alasan utamanya adalah bahwa pertama, produsen pertanian adalah juga konsumen. kedua, usaha pertanian pangan tidak dapat memberikan pendapatan yang cukup bagi keluarga petani dengan pemilikan lahan yang sempit, dan ketiga, kebijakan harga produk pertanian yang rendah juga untuk membantu petani sebagai konsumen.

Kebijakan ekonomi pemerintah di bidang pertanian yang lebih dititik beratkan pada subsektor pangan ternyata memberikan dampak pada lemahnya pengaturan sub sektor yang lain, terutama perkebunan, peternakan, dan holtikultura. Hal itu diindikasikan dari makin lemahnya kinerja produksi dan perdagangan produk dari subsektor tersebut, baik di pasar domestik maupun di pasar ekspor.

Peningkatan produktivitas, mutu dan ketersediaan produk masih menjadi persoalan mendasar bagi upaya peningkatan daya saing produk perkebunan, peternakan, dan holtikultura. Selain itu, dengan kepemilikan usaha perkebunan oleh perusahaan asing turut menikmati fasilitas dari subsidi sarana produksi sehingga biaya produksi relatif murah dibandingkan dengan usaha yang sama di negaranya. Perusahaan dengan modal yang relatif kuat tersebut tentus saja menjadi pesaing potensial bagi pengusaha lokal yang relatif lemah dalam modal dan teknologi.

Prof. Pratikno yang berbicara pada sesi ketiga mengulas kedaulatan pangan dari perspektif sosial politik. Dalam pemaparannya, ia menyampaikan bahwa pembangunan pertanian Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan situasi global, sebagai mana dibahas dalam global food governance. Revolusi hijau yang dilaksanakan pada awal Orde Baru mampu menunjukkan keberhasilan dengan pencapaian swasembada beras tahun 1984 yang mengubah status Indonesia dari importir utama beras dunia menjadi negara swasembada beras. Selama 1969-1988 produksi beras meningkat. Keberhasilan itu ditopang oleh kebijakan-kebijakan pembangunan melalui inovasi teknologi, investasi infrastruktur, dan kebijakan harga yang menguntungkan petani. Pada masa ini pertanian menjadi salah satu komoditas internasional utama.

Namun demikian, neraca perdagangan negara-negara berkembang dalam komoditas-komoditas pangan terus mengalami penurunan. Hal itu karena lemahnya daya saing dalam pasar internasional dan adanya proteksi negara-negara maju; dengan menerapkan banyak standar dalam pasarnya. Standarisasi ini membuat pertanian negara-negara berkembang menjadi sangat tergantung; benih, teknologi, obat dll. Sehingga akhirnya pertanian menjadi kegiatan produksi yang mahal, namun tetap tidak kompetetif dalam pasar global. Ini yang membuat lesu negara-negara agraris seperti indonesia.

Kelesuan dalam produksi pertanian juga berjalan beriringan dengan industrialisasi di negara-negara berkembang. Pada masa itu berkembang keyakinan bahwa untuk mengurangi ketergantungan global negara harus memproduksi barang-barang yang selama ini diimpor melalui kebijakan industrialisasi, sehingga akhirnya struktur ekonomi sosial masyarakat berubah total.

Penurunan kegairahan rakyat untuk bergelut di bidang pertanian dalam jangka panjang akan melemahkan ketahanan pangan nasional. Struktur ketergantungan membuat posisi pemerintah tertawan; jika pemerintah ingin meningkatkan kesejahteraan petani dengan meningkatkan harga padi, banyak rakyat yang tidak mampu mengaksesnya. Sementara jika pemerintah mengutamakan harga murah dengan kebijakan impor maka struktur pertanian nasional akan hancur. Padahal ketahanan pangan itu menyangkut prinsip aksesibilitas, stabilitas, dan kontinuitas.

Kebijakan lembaga-lembaga internasional, terutama liberalisasi pertanian dalam WTO merupakan babak baru dalam politik pangan di dunia. Struktur ekonomi pertanian di pedesaan yang lemah dipaksa untuk bersaing dan diintegrasikan dalam struktur ekonomi global. Lemahnya investasi pemerintah dalam pembangunan sektor pertanian adalah satu kecolongan awal. Kini posisi pemerintah lebih sulit lagi: ia tidak bisa meningkatkan produksi pertanian akibat adanya perjanjian perubahan iklim yang melarang Indonesia untuk membuka lahan pertanian baru karena akan merusak ekologi hutan; ia dipaksa untuk membuka keran impor dan tidak melakukan proteksi domestik. Implikasinya ketahanan pangan Indonesia menjadi sangat rentan, sangat bergantung pada sistem global di mana posisi kita jelas sangat lemah.

Indonesia mengalami peningkatan impor sejak liberalisasi diterapkan pemerintah atas tekanan IMF sejak 1998. Ketergantungan impor naik dua kali lipat, antara lain pada komoditas beras, jagung, kedelei, gula,dll. Peningkatan impor sejalan dengan peningkatan petani miskin di Indonesia.

Pendampingan bagi Warga Masyarakat Korban Bencana Erupsi Merapi

Letusan Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta pada akhir tahun 2010 pada saat ini sudah mereda, namun dampak yang ditimbulkan masih terasa sampai saat ini. Bukan hanya dampak jatuhnya korban nyawa dan kerusakan fisik (hancurnya rumah dan prasarana umum) yang ditimbulkan oleh bencana susulan yaitu banjir lahar dingin yang menerjang di sepanjang alur sungai yang berhulu di puncak Merapi, tapi juga terjadinya kerusakan alam termasuk lahan pertanian akibat timbunan abu vulkanik yang dilontarkan oleh gunung berapi saat terjadi erupsi.

Terjadinya kerusakan lahan pertanian di wilayah sekitar gunung merapi menyebabkan para petani tidak dapat lagi memanfaatkan lahan tersebut untuk melakukan kegiatan budidaya tanaman pangan, seperti pada saat sebelum terjadi bencana letusan Gunung Merapi. Permasalahan ini apabila dibiarkan saja akan sangat mengancam keberlangsungan hidup para petani karena mereka akan kehilangan sumber mata pencaharian yang selama ini mereka andalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Karena merasa ikut bertanggung jawab untuk membantu masyarakat memecahkan permasalahan yang dihadapi, PSPK UGM bekerja sama dengan berbagai donatur yang berasal dari dalam dan luar negeri melaksanakan kegiatan pendampingan bagi warga masyarakat korban bencana erupsi Merapi. Salah satu program pendampingan yang saat ini sedang dilaksanakan oleh PSPK UGM adalah pendampingan bagi petani untuk melakukan kegiatan budidaya pertanian di lahan pasir vulkanik. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan pembuatan demplot pertanian lahan pasir vulkanik di wilayah kecamatan Cangkringan, Sleman. Dengan melibatkan petani lokal sebagai pelaksana, para staf peneliti dari PSPK UGM memberikan bimbingan ilmu tentang budidaya pertanian di lahan pasir vulkanik. Selain itu, PSPK UGM juga memberikan bantuan bibit dan sarana pertanian lainnya. Pada saat ini lahan demplot pertanian lahan pasir vulkanik yang dibuat oleh PSPK UGM bersama petani lokal tersebut telah menampakkan kemajuan yang menggembirakan. Di atas lahan pasir vulkanik yang nampaknya tidak dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pertanian tersebut telah tumbuh subur tanaman kacang tanah dan kedelai. Diharapkan setelah melihat hasil dari demplot pertanian ini warga masyarakat petani yang sebelumnya takut untuk membudidayakan tanaman pertanian di lahan sawah yang telah berubah menjadi lahan pasir vulkanik, menjadi bersemangat lagi untuk memanfaatkan lahan yang ada.

Salah satu kunci keberhasilan demplot pertanian lahan pasir vulkanik untuk pembudidayaan tanaman pangan (kacang dan kedelai) menurut para pakar pertanian dari PSPK UGM adalah pemanfaatan pupuk kandang. Pupuk kandang merupakan faktor yang ikut menentukan keberhasilan pertanian di lahan pasir vulkanik. Pupuk kandang dengan dosis yang pas sangat dibutuhkan oleh tanaman yang dibudidayakan di lahan pertanian pasir vulkanik karena kandungan unsur hara di dalam lahan pasir vulkanik sangat minim. Oleh karena itu idealnya setiap petani yang membudidayakan tanaman pertanian di lahan pasir vulkanik juga memelihara ternak sebagai sumber pupuk kandang.

Kedepan keberhasilan program demplot pertanian lahan pasir vulkanik yang telah dirintis oleh PSPK UGM ini akan ditindaklanjuti dengan kegiatan pendampingan bagi para petani di wilayah lereng Merapi untuk membudidayakan tanaman pertanian di lahan masing-masing. PSPK bersama donatur yang berasal dari berbagai wilayah baik dalam dan luar negeri akan berusaha untuk memberikan bantuan kepada mereka, baik dalam hal ilmu budidaya pertanian di lahan pasir vulkanik maupun sarana dan prasaran pertanian yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut, termasuk bantuan yang berujud ternak yang akan dapat menjadi sumber pupuk kandang yang sangat dibutuhkan oleh para petani.

Anda tertarik dengan kegiatan ini dan ingin memberikan bantuan untuk kesuksesan kegiatan ini? Kami persilahkan anda untuk menghubungi kami. Semua bantuan yang anda sumbangkan akan kami kelola dengan baik demi tercapainya tujuan program yaitu pemulihan sumber penghidupan bagi para petani korban erupsi gunung Merapi. Kami tunggu partisipasi anda. (*dc)

Pendampingan Pengrajin Rambak di Klaten

Guna membantu memulihkan sumber penghidupan warga masyarakat korban Gempa Bumi di Desa Gesikan, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten, khususnya warga masyarakat yang menekuni kegiatan pembuatan krupuk rambak yang sempat terhenti akibat bencana gempa, PSPK UGM bekerja sama dengan YCAP (Yogya Central Java Community Assistance Program) melaksanakan sebuah program pendampingan. Program yang berlangsung sejak tahun 2008 tersebut mencakup beberapa jenis kegiatan, >baik yang bersifat fisik maupun penguatan kelembagaan. Program kegiatan yang bersifat fisik antara lain pemulihan tempat usaha/dapur yang memperhatikan aspek keselamatan kerja, pengadaan peralatan produksi, pengadaan modal kerja, peningkatan kualitas produk dan pemasaran. Sedangkan kegiatan penguatan kelembagaan berupa pembentukan dan pendampingan kelompok pengrajin rambak di desa Gesikan.

Kegiatan pembangunan tempat usaha dilaksanakan pada tahun pertama dan telah berhasil membangun 19 unit bangunan dapur yang memenuhi standar tahan gempa. Guna meminimalisir dampak negatif dari kegiatan usaha pembuatan krupuk rambak terhadap lingkungan, bangunan dapur tersebut dilengkapi dengan instalasi pengolahan air limbah. Kegiatan pengadaan peralatan produksi dilaksanakan dengan memberikan bantuan seperangkat alat kerja yaitu kompor, panci, wajan, alat penjemur, alat pengepan dll. Kegiatan pengadaan bahan baku dilaksanakan dengan memberikan sejumlah bahan baku yang diperlukan untuk membuat krupuk rambak, yaitu tepung terigu, tepung tapioca, minyak goring, dll. Kegiatan peningkatan kualitas produksi dilaksakan dengan melaksanakan pelatihan produksi yang mengutamakan aspek higienitas. Sedangkan kegiatan penguatan pasar dilaksanakan dengan perintisan pasar ke supermarket dan pasar di luar daerah.

Kegitan penguatan kelembagaan dilaksanakan dengan pembentukan kelompok pengrajin rambak di desa Gesikan. Pembentukan kelompok ini dirasa sangat diperlukan guna mengatasi beberapa masalah yang sering dialami oleh para pengrajin, antara lain kesulitan pengadaan bahan baku dan pemasaran akibat persaingan harga. Kesulitan dalam pengadaan bahan baku sering terjadi akibat adanya ketergantungan para pengrajin terhadap para pedagang bahan baku. Ketergantungan itu menyebabkan harga bahan sering berfluktuasi (naik) dan tidak dapat dijangkau oleh para pengrajin atau bahan sering langka/menghilang dari pasaran. Kesulitan pemasaran sering terjadi akibat adanya persaingan tidak sehat antar pengrajin. Guna menarik pelanggan banyak pengrajin yang menurunkan harga jual. Dengan adanya kelompok diharapkan kesulitan dalam pengadaan bahan baku dan pemasaran dapat diatasi. Langkah yang ditempuh oleh kelompok untuk memecahkan masalah kesulitan dalam pengadaan modal adalah dengan mengkoordinasikan pengadaan bahan baku bagi para pengrajin. Guna menekan harga maka kelompok memotong mata rantai distribusi bahan baku dengan cara membeli bahan baku langsung dari produsen. Kegiatan ini dapat berjalan dengan baik dan pada saat ini para pengrajin sudah tidak mengalami kesulitan dalam pengadaan bahan baku. Sedangkan langkah yang ditempuh kelompok untuk mengatasi masalah pemasaran adalah dengan membina kebersamaan antar pengrajin. Setiap bulan kelompok menyelenggarakan pertemuan anggota yang selain bermanfaat untuk membina kebersamaan antar anggota kelompok juga menjadi ajang musyawarah bagi anggota untuk mencari solusi atas berbagai masalah yang dihadapi oleh para pengrajin termasuk masalah pemasaran. Guna mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar pengrajin maka kelompok melalui pertemuan tersebut membuat kesepakatan bersama tentang harga jual produk. Guna meningkatkan peluang pasar kelompok bekerja sama dengan berbagai pihak menyelenggarakan kegiatan pameran hasil produksi.

Setelah berjalan hampir dua tahun kelompok pengrajin rambak di desa Gesikan yang pada mulanya hanya berbentuk paguyuban pada saat ini telah meningkat menjadi koperasi. Omset yang dimiliki telah berkembang pesat dan pelayanan yang diberikan juga telah bertambah, bukan hanya melayani pengadaan bahan baku tapi juga memberikan fasilitas kredit produktif bagi para anggotanya.*(dc)