Arsip:

Artikel

Dampak Pembangunan PLTU Jawa Tengah Terhadap Penghidupan Nelayan Roban Barat, Batang

Pembangunan pabrik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa Tengah yang dilaksanakan oleh PT Bhimasena Power Indonesia (PT BPI) sejak tujuh tahun yang lalu membawa pengaruh pada kehidupan warga masyarakat, baik yang terdampak langsung pembangunan pabrik pembangkit listrik tersebut maupun warga yang tinggal di sekitarnya. Salah satu kelompok masyarakat yang mengalami dampak pembangunan PLTU Jawa tengah adalah kelompok nelayan yang tinggal di pedukuhan Roban Barat. Roban Barat merupakan pedukuhan yang letaknya relatif dekat dengan pabrik PLTU Jawa Tengah dengan mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan.

Hingga saat ini sebagian besar warga masyarakat Roban Barat masih menekuni usaha sebagai nelayan (penangkap ikan di laut) dan pengolah hasil tangkapan laut. Kegiatan menangkap ikan di laut dilakukan oleh kaum laki-laki, sedangkan kegiatan pengolahan hasil laut dilakukan oleh kaum perempuan. PLTU Jawa Tengah yang pada saat ini masih dalam tahap konstruksi berpengaruh pada sumber penghidupan warga masyarakat Roban Barat. Salah satu pengaruh PLTU Jawa Tengah pada usaha penangkapan ikan adalah bertambahnya jarak dan waktu tempuh nelayan Roban Barat yang hendak menangkap ikan ke perairan Pekalongan.

Keberadaan PLTU Jawa Tengah beserta fasilitas pendukungnya seperti dermaga/jetty telah menyebabkan para nelayan Roban Barat yang akan melakukan penangkapan ikan ke arah barat (Pekalongan) harus sedikit memutar menghindari perairan dekat  komplek PLTU Jawa Tengah. Konsekuensi dari hal tersebut adalah terjadinya peningkatan kebutuhan BBM dan berkurangnya usia pakai mesin kapal akibat waktu penggunaan yang relatif lebih lama.

Persoalan lain yang dialami oleh nelayan di Roban Barat adalah penurunan hasil tangkapan, khususnya udang. Penurunan hasil tangkapan nelayan berpengaruh pada para pengolah hasil laut, yaitu menyebabkan penurunan jumlah produksi akibat terjadinya penurunan pasokan bahan baku. Konsekuensi logis dari kondisi tersebut adalah terjadinya penurunan penghasilan.

Karena penghasilan tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan, khususnya kebutuhan modal usaha maka ada beberapa nelayan dan pengolah hasil laut yang meminjam uang, baik kepada teman/tetangga, pedagang, tengkulak, penyedia kredit harian, maupun lembaga keuangan/bank.  Pinjaman tersebut akan dikembalikan dengan hasil tangkapan yang diperoleh oleh nelayan. Apabila hasil tangkapan berlimpah maka hutang tersebut dapat dibayar, namun bila hasil tangkapan sedikit maka tidak akan cukup untuk membayar hutang sehingga jumlah hutang semakin bertambah banyak.

Persoalan lain yang juga dialami oleh nelayan adalah kerusakan jaring penangkap ikan akibat lumpur dan batu limbah pekerjaan pengerukan laut untuk pembangunan dermaga dan fasilitas pendukungnya. Selain itu kerusakan jaring juga terjadi akibat tersangkut besi untuk menambatkan jangkar kapal. Nelayan Roban Barat sering tersesat masuk ke perairan pelabuhan akibat hilangnya penanda batas perairan pelabuhan.

Adanya larangan untuk memancing ikan di perairan PLTU juga menyebabkan beberapa nelayan Roban Barat mengalami kerugian. Ada beberapa nelayan Roban Barat yang alih profesi sebagai nelayan pancing karena kemampuan mesin kapal mereka sudah menurun sehingga tidak bisa dipakai untuk menangkap ikan di area perairan yang jauh. Ada pula nelayan Roban Barat yang menyewakan perahu untuk para pemancing. Namun usaha tersebut sering mengalami gangguan akibat adanya larangan melakukan aktivitas memancing di perairan komplek PLTU. Pada saat memancing mereka sering dirazia oleh polairud, bahkan alat kerja dan hasil pancingan mereka sering di sita oleh polairud.

Melihat berbagai persoalan yang dialami oleh para nelayan Roban Barat tersebut PT BPI selaku pemrakarsa pembangunan PLTU Jawa Tengah telah melaksanakan beberapa program CSR untuk mengatasi persoalan yang dihadapi oleh para nelayan Roban Barat tersebut. Untuk mengatasi persoalan jarak dan waktu tempuh yang meningkat, serta adanya larangan memancing ikan di perairan komplek PLTU maka PT BPI melaksanakan program pembuatan rumah ikan di perairan Roban Barat. Melalui program ini diharapkan populasi ikan dan udang di wilayah tersebut meningkat sehingga nelayan Roban Barat tidak perlu jauh-jauh saat mencari ikan dan udang.

Untuk mengurangi biaya yang harus dikeluarkan oleh nelayan pada saat mengalami kerusakan peralatan kerja, maka PT BPI telah memfasilitasi pembentukan bengkel kerja bidang pengelasan yang beranggotakan nelayan di Roban Barat. Selain memberikan pelatihan ketrampilan PT BPI juga memberikan bantuan modal kerja berupa peralatan bengkel. Di bengkel kerja tersebut para nelayan Roban Barat yang membutuhkan perbaikan alat kerja dapat memanfaatkan jasa yang disedakan di bengkel.tersebut dengan biaya yang relatif lebih murah dibandingkan di bengkel yang lain, bahkan gratis bila nelayan tersebut bisa melakukanperbaikan sendiri.

Sementara untuk mengatasi persoalan kerusakan jaring penangkap ikan akibat lumpur, batu dan besi penambat jangkar kapal maka PT BPI memfasilitasi para nelayan untuk mengajukan klaim ganti rugi kerusakan. Para nelayan dipersilahkan untuk mengajukan klaim ganti rugi ke PT BPI melalui Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan PT BPI akan menyampaikan klaim tersebut ke perusahaan kontraktor yang menjadi mitra kerja PT BPI dalam melaksanakan pekerjaan pembangunan dermaga dan fasilitas pendukungnya.

Untuk mengatasi persoalan penurunan penghasilan yang dialami oleh nelayan dan pengolah hasil laut maka PT BPI menginisiasi terbentuknya kelompok usaha bersama (KUB) yaitu KUB simpan pinjam. Pada saat ini telah terbentuk 5 KUB di wilayah Roban Barat, yaitu 3 KUB yang beranggotakan pelaku usaha pengolahan hasil laut dan 2 KUB beranggotakan nelayan. Selain memberikan pendampingan berupa pelatihan ketrampilan, PT BPI juga telah memberikan bantuan sejumlah dana untuk modal kerja KUB. Dana tersebut disalurkan oleh KUB ke anggota sebagai pinjaman/kredit dan anggota memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut dengan cara menganggur dalam jangka waktu tertentu.

Selain melaksanakan program CSR, guna meningkatkan penghasilan nalayan PT BPI membuka kesempatan kerja dan peluang usaha bagi warga Roban Barat. Pelaksanaan kegiatan pembangunan PLTU dan fasilitas penunjangnya telah membuka kesempatan kerja bagi warga Roban Barat untuk menjadi pekerja di proyek tersebut. Selain itu, ada sebagian warga yang memanfaatkan kesempatan usaha yang muncul berkat pembangunan fasilitas penunjang PLTU, yaitu usaha persewaan perahu/kapal dan usaha pemasokan air bersih untuk kapal-kapal di proyek tersebut.

Pendampingan yang dilakukan oleh PT BPI kepada kelompok  Siaga Bencana Berbasis Masyarakat (SIBAT) di Roban Barat berupa pelatihan dan pemberian bantuan dana untuk kegiatan pembibitan juga telah mendatangkan manfaat bagi warga masyarakat Roban Barat. Berkat bantuan dana tersebut, kelompok SIBAT dapat membangun tempat untuk melakukan kegiatan pembibitan berbagai macam pohon dan melakukan penataan kawasan pantai menjadi destinasi wisata. Banyak warga masyarakat Roban Barat yang terlibat dalam kedua kegiatan tersebut.

Peran serta kelompok SIBAT dalam menyediakan kesempatan kerja bagi nelayan dan pengolah hasil laut semakin meningkat pada saat PT BPI memberdayakan kelompok SIBAT Roban Barat dengan menggandeng mereka untuk menjadi pemasok bibit tanaman penghijauan yang dibutuhkan oleh PT BPI. Sejak beberapa tahun yang lalu, PT BPI telah melakukan kegiatan penghijauan kawasan sekitar PLTU dan pemberian bantuan bibit pohon tenaman penghijauan ke sekolah-sekolah yang menjadi dampingan PT BPI. Peningkatan jumlah permintaan bibit tanaman tersebut menyebabkan kelompok SIBAT harus memproduksi bibit dalam jumlah yang lebih banyak. Hal itu menyebabkan meningkatnya kebutuhan tenaga kerja yang harus terlibat dalam kegiatan produksi bibt tersebut, sehingga akhirnya kesempatan kerja yang tercipta bagi nelayan dan pengolah hasil laut juga meningkat. [Mulyono]

BUMDes dan Pengembangan Ekonomi Lokal Pada Masa Pendemi COVID-19

Kamis, 18 Juni 2020 pukul 15.00 s/d 17.30 Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) kembali mengadakan seminar bulanan “Rural Corner”. Ada yang berbeda dari pelaksanaan “Rural Corner” kali ini. Dikarenakan masa pandemi COVID-19, acara seminar bulanan kali ini dikemas secara daring melalui aplikasi ZOOM.

Dengan mengangkat tema “”, acara Rural Corner pada kesempatan ini menghadirkan 3 orang narasumber: Sukasmanto, M.Si (Peneliti Institute Research and Empowerment), Subejo, P.hD (Tim Ahli PSPK UGM & Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian UGM), serta Antonius Budi Susilo, S.E, M.Soc.Sc (Dosen Universitas Sanata Darma Yogyakarta) yang dimoderatori oleh Muhammad Yunan Roniardian, M.Sc (Peneliti PSPK UGM).

Berbeda dengan Rural Corner yang menggunakan teknik konvensional (tatap muka) yang hanya dihadiri oleh peserta dari daerah DIY dan sekitarnya, pelaksanaan Rural Corner secara daring kali ini diikuti oleh peserta dari berbagai penjuru Indonesia. Mulai dari Kalimantan, Sumatera, bahkan Papua yang berasal dari berbagai kalangan seperti praktisi, akademisi, peneliti maupun masyarakat.

Dalam pemaparannya, Sukasmanto sebagai pembicara pertama menyampaikan bahwa masa pendemi COVID-19 merupakan momentum yang baik bagi BUMDes untuk menata kembali orientasinya. Bukan hanya sebagai unit bisnis yang hanya mengejar keuntungan ekonomi semata, tetapi juga menjalankan fungsi sosial dengan lebih berperan dalam membangun jaring pengaman sosial bagi masyarakat. Selain itu, masa ini juga menjadi momentum penting untuk berbenah diri agar mampu menghadapi semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi BUMDes akibat pendemi COVID-19.

Persoalan ekonomi yang dihadapi baik oleh BUMDes maupun masyarakat semakin komplek akibat pendemi COVID-19. Persoalan tersebut antara lain penurunan perekonomian desa akibat kesulitan yang dialami oleh petani untuk memasarkan hasil produksi, terpuruknya UMKM, penurunan daya beli masyarakat, dan peningkatan beban ekonomi desa akibat banyaknya pemudik yang pulang ke desa dengan membawa persoalan mereka akibat hilangnya pekerjaan di kota.

BUMDes harus berperan untuk mengatasi dampak ekonomi akibat pendemi COVID-19 sebagai representasi pemerintah desa yang wajib hadir dalam masa sulit tersebut. Untuk dapat memberi kontribusi maksimal dalam upaya mengatasi berbagai persoalan yang muncul di desa akibat pendemi COVID-19, maka BUMDes perlu melakukan konsolidasi lembaga; serta refleksi keadaan dan melakukan transformasi organisasi, orientasi dan eksistensi.

Selain itu, BUMDes harus mampu mengembangkan strategi bisnis baru dengan mengalihkan usaha yang terdampak COVID-19 ke usaha yang tidak terdampak, melakukan konsolidasi internal, mendorong pemerintah desa menambah penyertaan modal, serta membangun kemitraan dengan pelaku ekonomi lokal.

Subejo sebagai pemateri sesi kedua memaparkan bahwa pendemi COVID-19 telah berdampak pada ketahanan pangan. Terhentinya mobilitas barang dan jasa domestik akibat adanya pembatasan sosial dan kebijakan pembatasan ekspor bahan pangan yang diterapkan oleh negara produsen bahan pangan telah meningkatkan potensi terjadinya krisis pangan di banyak negara termasuk Indonesia.

Guna mencegah terjadinya krisis pangan, maka BUMDes bisa berperan dalam menjaga ketahanan pangan dengan melakukan berbagai kegiatan, baik dalam aspek produksi, distribusi maupun konsumsi. Kunci agar BUMDes mampu melakukan peran tersebut adalah dengan melakukan inovasi dan memilih berbagai jenis usaha yang belum banyak dilakukan oleh pihak lain. Berbagai jenis usaha yang bisa dilakukan oleh BUMDes dalam masa pendemi COVID-19 antara lain: pemasar produk pertanian, perkebunan, peternakan, kerajinan, produksi dan perdagangan es batu, sarana prosuksi pertanian, usaha pertanian, peternakan perkebunan, dan pengolahan hasil komoditi desa, kredit pembiayan produksi, penyediaan input produksi, penyediaan peralatan produksi agro, pengumpulan produk agro, penyediaan pergudangan, penyediaan transportasi, hingga pemasaran produk agro.

Strategi pengembangan BUMDes agar mampu mengembangkan usaha di masa pendemi COVID-19 adalah dengan melakukan inovasi dan pemanfaatan teknologi, penguatan permodalan usaha, pengadaan sarana dan prasarana, dan penguatan kapasitas SDM baik dalam aspek manajerial, TIK maupun kemampuan melakukan negosiasi.

Antonius Budisusilo sebagai pemateri sesi ketiga memaparkan bahwa pendemi COVID-19 telah menimbulkan respon yang berbeda-beda baik dari masyarakat maupun pemerintah. Pada tataran pemerintahan, pemerintah-pemerintah di dunia mengeluarkan kebijakan yang berbeda-beda sesuai dengan pertimbangan masing-masing. Ada pemerintah yang menjalankan kebijakan lockdown, namun ada juga yang melaksanakan kebijakan pembatasan sosial. Meskipun ada perbedaan dalam menanggapi dampak pendemi COVID-19, namun secara prinsip semua negara memiliki kewajiban yang sama, yaitu harus melindungi rakyatnya.

BUMDes sebagai representasi desa yang merupakan unit terkecil penyelenggara negara juga memiliki kewajiban yang sama untuk melindungi masyarakat. BUMDes dalam menjalankan usaha harus selalu menerapkan prinsip subsidiaritas, yaitu prinsip yang melarang BUMDes untuk mematikan usaha yang sudah dilakukan oleh warga masyarakat di desa tersebut.

Banyak kasus yang menunjukkan bahwa selama ini banyak BUMDes yang telah meninggalkan prinsip tersebut. Sebagai contoh, banyak desa yang mengambil peran pengelolaan destinasi wisata yang selama ini dilaksanakan oleh warga masyarakat melalui kelompok sadar wisata (pokdarwis). Hal itu menyebabkan warga masyarakat tidak dapat lagi mengambil manfaat dari keberadaan destinasi wisata yang ada di desa tersebut, sehingga terjadi konflik antara BUMDes dengan warga masyarakat.

Adanya konflik antara warga masyarakat dan BUMDes, khususnya dalam pengelolaan destinasi wisata menurut Antonius Budisusilo terjadi karena tumpang tindihnya aturan hukum yang mengatur kegiatan pariwisata, yaitu antara UU No 9 Tahun 1970 yang mengatur tentang liberalisasi sektor wisata yang mengakibatkan dominannya sektor privat, dan UU No. 10 tahun 2003 tentang wisata yang juga memberi peran pada masyarakat untuk melakukan pengelolaan destinasi wisata.

Dalam akhir pemaparannya, Antonius Budisusilo menyatakan bahwa hilangnya prinsip subsidiaritas dalam UU Desa secara de-facto membuat ekonomi komunitas yg inklusif berpeluang diambil-alih oleh kekuasaan negara melalui BUMDes. Tindakan BUMDes melakukan merger dan akuisisi atas pokdarwis menjadikan pokdarwis mengalami proses disipasi dan mengakibatkan kinerja wisata yang stagnan dan merosot, bahkan gulung tikar. BUMDes akan bermakna dalam konteks pengembangan ekonomi lokal pada masa pandemi COVID-19 ini, jika BUMDes mampu mengambil peran dalam mendukung kekuatan-kekuatan ekonomi komunitas dan atau merintis usaha yang tidak dikuasi rakyat. Salah satu agenda penting bagi BUMDes dari aspek kelembagaan adalah harmonisasi pengaturan (rule of the game) terkait UU Pariwisata, UU Desa dan UU Keistimewaan, sehingga membentuk tata-kelola yang mengarahkan para pelaku ekonomi.

Dalam sesi diskusi, Yanto seorang pengurus BUMDes yang mengelola destinasi wisata Goa Pindul Gunung Kidul, menyampaikan pertanyaan terkait strategi yang bisa dilakukan oleh BUMDes agar mampu bangkit dalam masa pendemi COVID-19. Ada pula Bayu Mahendra, yang mengajukan pertanyaan terkait perbedaan BUMDes dengan KUD. Sementara Anif Muklasin, mengajukan pertanyaan terkait kondisi mayoritas BUMDes secara umum yang telah menerima penyertaan modal yang besar dari desa namun tidak mampu mendatangkan penghasilan yang layak.

Menanggapi berbagai pertanyaan dari peserta tersebut, Sukasmanto menyatakan bahwa strategi yang bisa dilakukan oleh BUMDes di masa pendemi ini adalah melakukan konsolidasi internal, penataan kembali destinasi wisata yang dikelola, mengemas paket wisata yang lebih sesuai dengan masa new normal, memunculkan usaha baru yang munculakibat pendemi misalnya produksi masker anti air, dan memikirkan pengembangan usaha lain selain usaha yang selama ini dilaksanakan. Sedangkan terkait dengan kondisi BUMDes yang menerima penyertaan modal tapi tidak mampu menghasilkan keuntungan, semua itu tergantung dari niat awal saat mendirikan BUMDes, apakah hanya untuk formalitas atau memang bertujuan untuk mengembangkan usaha. Apabila pendirian BUMDes tersebut hanya formalitas belaka karena mengikuti aturan dan tidak dipersiapkan dengan baik, maka wajar bila BUMDes tersebut tidak dapat berkembang.

Subejo menyampaikan tanggapan atas pertanyaan yang diajukan oleh peserta terkait dengan perbedaan BUMDes dan KUD. Ia menyatakan bahwa keduanya memiliki perbedaan jika dilihat dari sisi kepemilikan. KUD adalah milik anggota, sedangkan BUMDes adalah milik Desa. Selain itu, keduanya juga berbeda dari sisi landasan hukum pendiriannya. KUD berdasarkan UU Koperasi, sedangkan BUMDes berdasarkan UU Desa. Terkait dengan pertanyaan tentang strategi pengembangan BUMDes, Subejo menyampaikan bahwa perlu dilakukan diversifikasi usaha berdasarkan potensi yang ada di desa tersebut.

Tak ketinggalan, Antonius Budisusilo juga turut menyampaikan tanggapan atas pertanyaan yang disampaikan oleh beberapa peserta. Ia menyampaikan bahwa konflik yang terjadi dalam pengelolaan destinasi wisata antara warga masyarakat dengan BUMDes terjadi karena aturan yang tidak jelas. “Seharusnya semua diberi peluang oleh negara untuk melakukan pengelolaan sehingga mereka dapat bersinergi dengan baik,” tuturnya.

Pemilihan Kepala Desa dan Pemanfaatan Teknologi Informasi & Komunikasi

Kamis, 5 Maret 2020, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) kembali menggelar seminar bulanan Rural Corner dengan topik “Pemilihan Kepala Desa dan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).” Hadir sebagai pembicara Drs. Budiharjo, M.Si selaku Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Sleman; serta Dr. Mada Sukmajati, M.PP, Dosen Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM. Acara yang dihelat di Ruang Sartono ini dimoderatori oleh Muhammad Yunan Roniardian, M.Sc, Peneliti PSPK UGM. Acara ini berhasil mengundang atensi publik dengan banyaknya kehadiran peserta dari berbagai kalangan. Mulai dari mahasiswa, dosen, penggiat desa, dan warga masyarakat yang peduli dengan kemajuan desa.

Dalam pemaparannya, Budiharjo menyampaikan bahwa seiring dengan visi Kabupaten Sleman, yaitu terwujudnya masyarakat Sleman yang lebih sejahtera, mandiri, berbudaya, dan terintegrasikannya sistem e-Government menuju smart regency pada tahun 2021, serta atas dasar peraturan daerah (Perda) nomor 18 tahun 2019, tentang perubahan kedua atas perda Sleman nomor 5 tahun 2015 tentang tata cara pemilihan dan pengangkatan kepala desa, maka Pemerintah Kabupaten Sleman bertekad untuk melaksanakan pilkades 29 Maret 2020 di 49 desa, 718 padukuhan, 17 kecamatan menggunakan sistem e-voting.

Latar belakang dilaksanakannya e-voting dalam pilkades antara lain, (1) lambatnya proses penghitungan suara, (2) kurangnya validitas data pemilih, (3) hilangnya suara karena rusak atau tidak sah, (4) perbedaan hasil penghitungan yang dilakukan panitia dengan saksi, serta (5) pemanfaatan surat suara sisa. Sementara itu, keunggulan sistem e-voting menurut pembicara adalah (1) pemberian suara hanya menyentuh tanda gambar di panel, (2) penghitungan suara menjadi lebih cepat dan akurat, (3) tidak ada suara yang hilang, (4) sistem keamanan terjamin, (5) menghasilkan jejak audit elektronik dalam bentuk struk suara pilihan pemilih, dan (6) menjamin transparansi, akuntabilitas, serta kecepatan bagi publik untuk mengakses hasil pemilihan.

Untuk melaksanakan pilkades serentak dengan sistem e-voting diperlukan ketersediaan sumber daya, antara lain sumber daya manusia (SDM), regulasi, anggaran dan peralatan. Untuk memperoleh SDM yang berkompeten dalam mendukung pemilihan kepala desa dengan e-voting maka pemerintah kabupaten telah bekerja sama dengan 7 perguruan tinggi di DIY untuk menyediakan tenaga teknis utama (TTU) yang berjumlah 59 orang dan tenega teknis lapangan (TTL) yang berjumlah 1220 orang. Terkait dengan regulasi yang menjadi payung hukum pelaksanaan pilkades dengan e-voting, pemerintah kabupaten telah menerbitkan Perda dan Perbub yang mengatur berbagai hal terkait pilkades dengan sistem e-voting. Untuk anggaran yang akan dipergunakan untuk mendukung kegiatan pilkades serentak dengan sistem e-voting pemerintah kabupaten mengganggarkan dana sebesar 50 milyar yang akan dipergunakan untuk pengadaan alat dan pemberian bantuan penyelenggaraan pilkades di tiap-tiap desa. Terkait dengan peralatan yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan pilkades serentak dengan sistem e-voting pemerintah kabupaten telah membeli laptop dengan aplikasi, touchsrceen, desktop dan saat ini disimpan di beberapa gudang milik pemkab.

Terkait dengan keamanan sistem e-voting Budiraharjo menyampaikan bahwa sistem ini sangat aman karena sistem tidak tersambung ke jaringan internet apapun. Dari aspek kerahasiaan pilihan, sistem bisa merahasiakan pilihan pemilih, hasil pilihan di enkripsi dan diacak urutannya. Terkait dengan akurasi, semua surat suara pemilih dihitung secara akurat. Tanda pemilih sudah memilih adalah tercetaknya struk audit, diambil pemilih dan diverifikasi, lalu dimasukkan ke kotak audit. Pilihan dapat diverifikasi, pemilih secara personal dapat memastikan bahwa surat suara benar direkam sesuai pilihan, dihitung sesuai yang direkam, dan pemilih dapat memverifikasi pilihannya.

Dr. Mada Sukmajati, sebagai pembicara kedua menyampaikan bahwa tujuan utama pelaksanaan pilkades adlah kesejahteraan masyarakat desa. Dengan sistem apapun, baik manual maupun dengan teknologi pilkades harus dapat mewujudkan tujuan tersebut. Ia menegaskan bahwa teknologi dalam pelaksanaan pilkades bukanlah tujuan utama melainkan hanya sarana untuk meraih tujuan utama yaitu kesejahteraan masyarakat desa.

Pelaksanaan pilkades dengan sistem e-voting yang akan diselenggarakan oleh pemkab Sleman, seyogyanya juga bisa disinergikan dengan pelaksanaan Pilkada dan Pilpres/Pileg. Karena berbagai permasalahan yang selama ini terjadi dalam pilkades juga sering terjadi dalam Pilkada/Pilpres/Pileg maka kemampuan PemKab Sleman untuk menyelesaikan berbagai persoalan tersebut bisa menjadi pembelajaran untuk menyelesaikan persoalan yang sama yang juga terjadi dalam Pilkada/Pilpres/Pileg. Beberapa persoalan yang sering mewarnai pilkades misalnya politik uang, politik hoak dan politik identitas, apabila bisa diselesaikan oleh pemerintah kabupaten Sleman maka kemampuan tersebut bisa dikontribusikan untuk menyelesaikan persoalan yang sama yang juga terjadi dalam Pilkada/Pilpres/Pileg.

Mada Sukmajati juga berharap bahwa penyelenggaraan pilkades dengan sistem e-voting juga dapat membawa perubahan pada peningkatan hasil pemilu, yaitu terpilihnya calon kepala desa yang ideal. Apabila pilkades dengan sistem manual belum bisa menghasilkan calon kepala desa yang ideal maka dengan sistem e-voting diharapkan dapat dihasilkan kepala desa yang ideal. Namun apabila kualitas kepala desa yang dihasilkan dari pilkades dengan sistem e-voting sama dengan kepala desa yang dipilih dengan pilkades manual maka perubahan sistem tersebut bisa dikatakan belum berhasil.

Pemanfaatan teknologi informasi dalam pilkades hendaknya bisa memunculkan calon kepala desa yang berkualitas, yaitu kepala desa yang mampu mengembangkan politik programatik, mengandalkan program unggulan untuk meraih dukungan masyarakat desa. Pilkades sistem e-voting juga diharapkan bisa menjadi arena regenerasi pemimpin nasional. Melalui pilkades dengan sistem e-voting diharapkan bisa terpilih pemimpin desa yang berkualitas yang bisa meningkatkan dan mengembangkan diri ehingga bisa menjadi pemimpin nasional.

Untuk meraih berbagai harapan terkait dengan pelaksanaan pilkades dengan sistem e-voting tersbu maka seyogyanya pemerintah kabupaten Sleman bukan hanya melakukan pekerjaan yang terkait dengan masalah teknis pelaksanaan pilkades, tetapi juga bisa mengembangkan sistem dalam pilkades yang bisa mengembangkan kualitas calon kepala desa. Misalnya dengan mengembangkan sistem penyampaian visi misi calon kepala desa secara dialogis antara calon kepala desa dengan masyarakat atau dengan sistem debat antar calon.

Dalam sesi diskusi, Widayadi peserta dari Tempel, Sleman menyampaikan harapannya bahwa sistem baru dalam pilkades bisa menyelesaiakan berbagai persoalan yang ada di desa, misalnya kasus penambangan pasir. Mahmud dari Institute for Research and Empowerment (IRE) menyampaikan hasil penelitian mandiri terkait dengan e-voting yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Sleman dan ia menekankan bahwa sosialisasi tentang e-voting penting bagi seluruh warga masyarakat. Sedangkan Angga, peserta dari kalangan mahasiswa menanyakan persoalan terkait dengan kualitas hasil print yang akan menjadi bukti audit hasil yang rata-rata tidak bisa bertahan lama.

Menanggapi berbagai hal yang disampaikan oleh peserta, Budiharjo menyampaikan bahwa tenggat waktu untuk penyelesaian sengketa pilkades hanya 1 bulan sehingga diharapkan hasil print-out masih bisa terbaca dengan baik. Sedangkan Mada Sukmajati menyampaikan bahwa pilkades harus bisa menjadi ajang untuk menyampaikan berbagai persoalan yang ada di desa kepada para calon kepala desa, sehingga dapat diketahui kebijakan apa yang akan dilakukan oleh calon kepala desa tersebut untuk menyeleaikan masalah tersebut. [Mulyono]

Desa Digital: Problem, Tantangan dan Peluang

Kamis, 6 Februari 2020 pukul 15.00-18.00, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) kembali menghadirkan kegiatan seminar bulanan bertajuk “Rural Corner”. Kegiatan seminar yang dilaksanakan secara rutin setiap hari Kamis minggu pertama tersebut menghadirkan dua narasumber sebagai pemantik diskusi yaitu Puji Riyanto, MA, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia sekaligus Pegiat Media dari LSM Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2M), serta Muazim Poyeng, Pegiat Media dari LSM Mitra Wacana. Dengan mengangkat tema “Desa Digital: Problem, Tantangan dan Peluang”, Acara yang dimoderatori oleh Angie Purbawisesa selaku Peneliti Muda PSPK UGM ini dihadiri oleh sekitar 50 peserta yang berasal dari berbagai kalangan, antara lain mahasiswa, pegiat pemberdayaan desa, pegiat media dan masyarakat umum.

Dalam pemaparannya, Puji Riyanto menyampaikan hasil penelitian tentang Sistem Informasi Desa (SID) yang pernah dilakukan di enam desa di Indonesia yaitu desa Leu Bima NTB, Dlingo Bantul DIY, Jimbaran Semarang Jawa Tengah, Bangkalaloe Jeneponto Sulawesi Selatan, Majasari Indramayu Jawa Barat, dan Desa Sebayan, Sambas Kalimantan Barat. Penelitian tersebut didasari oleh beberapa latar belakang, khususnya pasal 86 UU no 6 Tahun 2014 tentang desa yang menyatakan bahwa (1) desa berhak mendapatkan akses informasi melalui sistem informasi desa yang dikembangkan oleh pemerintah daerah/kabupaten, (2) pemerintah/pemerintah daerah wajib mengembangan sistem informasi desa dan pembangunan kawasan perdesaan, (3) sistem informasi desa meliputi fasilitas perangkat keras dan perangkat lunak, jaringan, serta sumber daya manusia, (4) sistem informasi desa meliputi data desa, data pembangunan desa, kawasan perdesaan, serta informasi lain yang terkait dengan pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan, (5) sistem informasi desa dikelola oleh pemerintah desa dan dapat diakses oleh masyarakat desa dan semua pemangku kepentingan, dan (6) pemerintah daerah kabupaten/kota menyediakan informasi perencanaan pembangunan kabupaten/kota untuk desa.

Berdasarkan hasil penelitian, kondisi SID di enam desa yang menjadi lokasi penelitian berbeda-beda. Pada saat ini hanya website milik Desa Dlingo yang masih aktif, sedangkan yang lain sudah tidak aktif lagi (mengalami mati suri).Sejarah SID di masing-masing desa juga berbeda-beda, ada SID desa yang difasilitasi oleh kementrian desa, namun ada pula yang difasilitasi oleh kementrian kominfo. Perbedaan tersebut menyebabkan SID tidak memiliki format/sistem yang sama. Pengelola SID di tiap-tiap desa juga berbeda. Ada SID yang dikelola oleh petugas admin yang diberi insentif meskipun rendah, dan ada pula SID yang dikelola oleh perangkat desa. Karena perangkat desa tersebut memiliki tugas pokok, maka pengelolaan SID hanya merupakan tugas tambahan. Terkait dengan pemanfaatan SID, beberapa desa memanfaatkan SID untuk pelayanan kebutuhan administrasi, beberapa desa untuk publikasi desa melalui website, dan semua desa memanfaatkan SID untuk transparansi.

Penelitian ini juga menemukan beberapa kendala yang menghambat perkembangan SID yaitu kendala struktural yang meliputi, tidak adanya regulasi turunan yang mengatur SID dan lemahnya peran pemerintah daerah dalam mendorong implementasi SID, pendekatan yang bersifat sektoral dan diskontinyu dan lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah yang menangani SID, lemahnya SDM lokal dan dukungan birokrasi (tidak ada nomenklatur di pemerintah desa), serta kelangkaan infrastruktur. Sedangkan kendala kultural meliputi kurangnya literasi digital masyarakat, dan kultur birokrasi serta cara pandang dalam melihat informasi. Keterbukaan informasi hanya untuk pemerintah di bawah.

Untuk perbaikan ke depan, Puji Riyanto menyampaikan beberapa rekomendasi, yaitu mendorong literasi warga karena literasi media merupakan prasarat untuk membangun kewargaan digital, pendekatan lintas sektoral. Kerja sama lintas sektoral antar kementrian mengenai SID, penggunaan basis data tunggal, dan pengelolaan TI di bawah kominfo. Pengelolaan infrastruktur yaitu ketersediaan jaringan internet dan penyediaan perangkat komputer. Membangun kultur birokrasi yang lebih terbuka dan mengarah ke kultur digital.

Muazim Poyeng sebagai pembicara kedua juga menyampaikan hasil riset aksi yang pernah dilakukan oleh Mitra Wacana. Kegiatan tersebut dilakukan di 12 desa dan 12 komunitas di 3 kabupaten. Dalam melakukan riset aksi Mitra Wacana menjabarkan konsep desa digital dalam beberapa aspek, yaitu pembangunan infrastruktur, penguatan SDM, pelayanan publik, pengelolaan keuangan, pengelolaan data dan informasi, pengembangan potensi, dan mekanisme aduan berbasis digital.

Berdasarkan pemetaan yang pernah dilakukan oleh Mitra Wacana terdapat beberapa masalah utama yang dihadapi desa-desa dampingan dalam pengembangan SID, yaitu pengatahuan dan skill perangkat desa belum memadai, infrastruktur teknologi informasi belum memadai dan regulasi dan kebijakan yang tumpang tindih. Untuk mengatasi berbagai kendala tersebut maka Mitra Wacana menerapkan strategi, pertama menjakau dan membuka partisipasi kelompok milenial desa. Kedua, memperkuat dan memberdayakan kelompok milenial, ketiga, menjalin kolaborasi dan integrasi dengan berbagai pihak yang peduli pada pengembangan SID.

Di salah satu desa dampingan, Mitra Wacana memfasilitasi warga untuk mengembangkan media Desa. Media desia tersebut memiliki fungsi untuk menyuarakan kepentingan kelompok marginal yang selama ini tidak memiliki saluran untuk menyampaikan aspirasi mereka. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan untuk mendorong adanya media desa antara lain pelatihan jurnalistik, pelatihan analisis sosial, dan pendampingan produksi media desa. Beberapa isu yang pernah diangkat dalam media desa adalah perdagangan manusia, jambanisasi, dll.

Dalam sesi diskusi, Heri peserta seminar dari Ngestiharjo menanyakan strategi memulai pendampingan agar bisa diterima di desa dan langkah melakukan pemetaan masalah di desa. Agung, peserta RC dari kalangan mahasiswa menyampaikan pertanyaan terkait strategi yang bisa dilakukan agar tidak terjebak dalam berbagai konsep yang muncul, misalnya digitalisasi, dll, strategi membaca desa sebagai sebuah ekosistem, bukan secara sektoral. Sedangkan Mahmud, peserta diskusi dari kalangan pegiat desa menyampaikan tanggapan bahwa SID memiliki tujuan untuk mendorong terjadinya keterbukaan di desa dan perenncanaan desa yang lebih partisipatif, serta mengajak untuk mengelola SID bukan berbasis data tetapi berbasis kebijakan.

Menanggapi pertanyaan dari peserta diskusi, Puji Riyanto menyampaikan bahwa regulasi media dapat diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Disatu sisi diperlukan untuk melindungi data pribadi sedangkan disisi lain regulasi memiliki kecenderungan untuk bersifat otoriter. Oleh karena itu dalam merumuskan sebuah regulasi perlu dipertimbangkan berbagai aspek sehingga regulasi tersebut benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan tidak menghilangkan kebebasan warga untuk menyampaikan aspirasi. Regulasi seyogyanya disusun bukan hanya berdasarkan aspek teknoogi semata tetapi juga memperhatikan aspek sosial budaya. Poyeng menanggapi pertanyaan peserta diskusi dengan menyampaikan bahwa digitalisasi di desa bisa membawa manfaat baik bagi desa asalkan proses digitalisasi tersebut tidak mengabaikan potensi dan masalah yang ada di desa. [Mulyono]

Komodifikasi Tanah Kas Desa

Memulai awal tahun yang baru, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) mengadakan seminar bulanan Rural Corner bertemakan “Komodifikasi Tanah Kas Desa” pada hari Kamis, 9 Januari 2020. Kegiatan ini berlangsung di Ruang Sartono, PSPK UGM, Bulaksumur G-7 sejak pukul 15.00 hingga 17.30 WIB. Untuk membedah tema yang diangkat, hadir Dr. Bambang Hudayana, MA selaku Tim Ahli PSPK dari Departemen Antropologi UGM serta Muhammad Sugandi, SH, MSi selaku Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kabupaten Sleman. Kegiatan Rural Corner ramai dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan, dari akademisi, praktisi, mahasiswa, hingga khalayak umum yang tertarik dengan isu pedesaan.

Rural Corner dibuka dengan narasi pengantar dari moderator soal urgensi diskusi soal tanah kas desa. Narasi dimulai dari upaya memajukan ekonomi desa yang tidak mudah untuk diraih, terdapat banyak cara untuk meningkatkan perekonomian wilayah pedesaan, salah satunya adalah pemanfaatan potensi desa lewat aset yang dimiliki. Salah satu aset desa tersebut adalah tanah kas desa yang merupakan tanah negara yang diserahkan kepada pemerintah desa untuk dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan yang potensial. Namun, dalam pemanfaatan tanah kas desa tidak selalu berpihak kepada kepentingan dan kesejahteraan masyarakat desa. Walaupun sudah diatur dalam hukum sebagaimana seharusnya memanfaatkan tanah kas desa, gejala komodifikasi tanah kas desa kerap terjadi di berbagai desa.

Masuk ke sesi pemateri, Dr. Bambang Hudayana, MA mendapat kesempatan pertama untuk menyampaikan materi soal tema “Komodifikasi Tanah Kas Desa”. Beliau memaparkan bahwa peningkatan nilai ekonomi dalam konteks meningkatnya nilai ekonomi pasar, mempengaruhi fungsi tanah untuk kesejahteraan bersama. Ada kecenderungan tanah tersebut dipakai oleh kelompok tertentu atau agen-agen yang mengontrol jalannya pemerintahan desa. Beliau juga menekankan pentingnya diskusi ini karena berpengaruh atas kesejahteraan masyarakat kecil. Dr. Bambang menyajikan beberapa persoalan yang terjadi akibat konflik tanah yang diambil dari publikasi media massa.

Sajian tersebut berfokus pada empat aspek pemanfaatan komodifikasi; komodifikasi tanah kas desa sebagai korupsi melalui penjualan, korupsi melalui skema tukar guling, legitimasi kepentingan pemerintah, dan lewat penyewaan. Komodifikasi lewat publikasi media massa diramaikan oleh korupsi kepala desa atau aparatur pemerintahan setempat diikuti oleh administrasi desa yang amburadul atau minimalis. Dalam praktik korupsi tersebut, yang sering dijatuhi hukuman barulah oknum kepala desa, padahal disinyalir banyak pemain di belakangnya. Kasus-kasus korupsi di desa kebanyakan baru terkuak setelah pelaku turun tahta, dibantu dengan kejelian masyarakat dalam melihat kecurangan.

Kelemahan administrasi di pedesaan dimanfaatkan oleh kepala desa untuk menutupi biaya menjadi elit desa. Mencari keuntungan pribadi, sistem administrasi yang kacau, banyak pengusaha mencari tanah, supply dan demand terpenuhi. Pemerintah desa menjadi agen penting atas komodifikasi tanah. Dr. Bambang mengamati bahwa komodifikasi sudah berjalan sejak era orde baru, dan itu diimpikan oleh elit desa untuk meningkatkan kas desa. Sementara setelah reformasi, komodifikasi tanah kas desa masuk ke sektor non-farm dengan alasan yang masih serupa, meningkatkan pemasukan desa.

Jalannya komodifikasi yang sering bersentuhan dengan pihak ketiga (investor atau pengembang) berlatar motif transaksional. Penggunaan tanah kas desa di bidang non-farm lebih menguntungkan daripada farming. Elit politik juga mengamini bahwa tanah kas desa menjadi objek yang menggiurkan untuk dikuasai. Materi dari Dr. Bambang sampai pada kesimpulan bahwa pemerintah sebagai regulator yang mengatur jalannya administrasi desa memilih jalan pragmatis di mana komodifikasi diambil sebagai jalan tercepat meraup keuntungan. Komodifikasi juga identik dengan upaya elit desa untuk menutup biaya pelaksanaan demokrasi yang mahal di desa.

Pemateri kedua, Muhammad Sugandi, SH, MSi meneruskan bahasan yang lalu dengan menjelaskan jika terjadi permasalahan soal tanah kas desa maka akan kembali pada buku-buku tanah desa dan peta-peta lama yang di dalamnya menyediakan angka persil sebagai pedoman. Selain itu, dasar hukum pemanfaatan tanah kas desa diatur dalam Peraturan Daerah Istimewa Daerah Istimewa Yogyakarta No. 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten, serta Peraturan   Gubernur   DI Yogyakarta No. 34 Tahun 2017, tentang Pemanfaatan Tanah Desa. Dijelaskan di dalamnya, asal-usul tanah kas desa merupakan bagian tanah kasultanan yang dikelola oleh pemerintah desa. Desa sebagai wilayah otonom diperbolehkan mengelola tanah kas desa tersebut sebagai aset desa.

Sugandi menjelaskan bahwa upaya peningkatan ekonomi lewat tanah kas desa menempatkan desa sebagai pelaku yang dapat mendayagunakan asetnya. Memang menginisiasi kemajuan desa perlu waktu untuk mendapatkan hasilnya. Bagaimana desa mendapat keuntungan lewat tanah kas desa yang dikelola, masuknya penyertaan modal, dan aktifnya partisipasi masyarakat menjadi kunci desa melihat potensi yang dapat dikelola. Terkait soal pemanfaatan tanah kas desa, pada sesi tanya-jawab Dr. Bambang kembali menekankan pentingnya keberpihakan terhadap ‘orang kecil’.

“Komodifikasi itu lazim karena industrialisasi itu butuh tanah, tapi sampai mana? Di Indonesia itu banyak industri, tapi banyak orang tidak dapat masuk ke industri tersebut. Jangan sampai tanah habis dipakai industri sehingga orang kecil tidak dapat menjangkau itu. Komodifikasi pasti memakan korban, tapi membutuhkan pagar; yang paling diuntungkan investor, sehingga orang kecil tidak mendapatkan hasil, kecuali pemerintah desa tanggap. Kita tidak semata-mata mencari keuntungan, tapi bagaimana menyentuh orang kecil.”

Selain itu, Muh. Sugandi menambahkan bahwa manfaat pemakaian tanah kas desa tersebut untuk masyarakat, masyarakat desa lah yang diutamakan. Memang yang menjadi tren sekarang ini adalah pemanfaatan tanah desa untuk wisata dan kuliner, keduanya berkesinambungan serta memiliki peluang usaha yang berprofit besar. Diutamakan penggerak usaha tersebut adalah masyarakat setempat, sehingga pemberdayaan berlangsung dengan peran aktif masyarakat.

Diskusi, pembelajaran, dan pengetahuan dari masing-masing pemateri serta peserta yang hadir menambah wawasan baru dalam melihat komodifikasi tanah kas desa. Terdapat berbagai aspek yang dapat menjadi pertimbangan fenomena tersebut. Perlu digarisbawahi, keutamaan pemanfaatan aset desa adalah untuk kesejahteraan masyarakat desa dengan peran aktif masyarakat yang berdaya. Gagasan-gagasan yang muncul dalam Rural Corner kali ini diharap bisa memberikan angin segar bagi pemangku kepentingan untuk menciptakan ide-ide segar demi mencapai kemajuan desa. [Afif]

Dana Desa dan Menguatnya Kapitalisme di Perdesaan

Di penghujung tahun ini, kamis, 5 Desember 2019 Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) kembali mengadakan seminar bulanan Rural Corner dengan mengangkat tema “Dana Desa dan Menguatnya Kapitalisme di Perdesaan.” Acara ini berlangsung dari pukul 15.30 s/d 17.30 di Ruang Sartono, PSPK UGM, Bulaksumur G-7. Pada kesempatan kali ini, Dr. Sugeng Bayu Wahyono, M.Si (Dosen Universitas Negeri Yogyakarta) dan Iranda Yudhatama (Aktivis Desa- Suara Nusa Institute) hadir sebagai pemateri. Kegiatan yang dimoderatori oleh Dr. Suharko, selaku Kelapa PSPK UGM, diramaikan oleh puluhan peserta yang berasal dari berbagai kalangan baik akademisi, praktisi pemberdayaan desa, hingga khalayak umum.

Iranda Yudhatama memaparkan bahwa sejarah kapitalisme di perdesaan Indonesia sudah dimulai sejak zaman penjajahan yaitu dengan terjadinya perdagangan hasil perkebunan seperti kopi, the dan tebu. Berkat sistem pasar tersebut, warga desa yang pada mulanya hanya membudidayakan tanaman pertanian untuk dikonsumsi sendiri dalam rangka pemenuhan kebutuhan domestik seperti beras, jagung maupun kacang tanah, berubah menjadi membudidayakan komoditas tanaman yang laku di pasar internasional. Namun, perubahan pola budidaya tersebut sama sekali tidak menghilangkan kebiasaan mereka untuk membudidayakan tanaman pangan. Di satu sisi mereka mamng telah membudidayakan tanaman yang menjadi komoditas perdagangan, namun mereka juga tetap membudidayakan tanaman pangan untuk pemenuhan kebutuhan mereka sehari-hari. Kondisi tersebut oleh J.H. Boeke, ahli ekonomi belanda disebut sebagai dualisme ekonomi. Di satu sisi orang desa sudah menganut sistem ekonomi pasar, namun di sisi lain mereka juga masih menganut sistem ekonomi tradisional.

Sistem kapitalisme atau pasar di Indonesia sedikit terhenti ketika terjadi perang Diponegoro akibat konsentrasi kolonial Belanda yang menitikberatkan semua sumber daya yang dimiliki untuk memenangkan peperangan. Namun setelah perang usai, kapitalisme di perdesaan kembali hidup bahkan semakin berjalan cepat akibat dari kebijakan tanam paksa yang diterapkan oleh kolonial Belanda. Dalam sistem tersebut, warga dipaksa untuk membudidayakan komoditas perdagangan yang laris di pasar internasional. Selain itu banyak perusahaan milik pengusaha Belanda yang membuka perkebunan skala besar di Indonesia dan menjadikan warga sebagai buruh perkebunan. Kondisi kerja buruh perkebunan yang tidak adil karena cenderung menindas buruh telah mendorong munculnya aktivis pembela hak buruh, yaitu Tan Malaka. Ia mengkoordinasikan para buruh perkebunan yang tertindas untuk berjuang melawan sistem ekonomi pasar kapitalis agar lebih menghargai hak-hak para buruh.

Menurut Yudi, panggilan akrab Iranda Yudhatama, pada saat ini kapitalisme tidak hanya menguasai desa melalui sektor industri yang bersifat ekstraktif seperti perkebunan dan pertambangan, tetapi juga melalui sektor propertif. Dampak dari adanya kebijakan terkait dana desa saat ini, banyak desa yang entah itu melalui BUMDes maupun lembaga lain menguasai properti yang ada di desa seperti tanah, penginapan, gedung pertemuan, dll. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya akumulasi aset produksi ke desa, sementara warga semakin terbatas dalam penguasaan aset produksi. Apabila kondisi semacam ini terus berlanjut, maka akan terjadi proses pemiskinan di perdesaan karena banyak warga desa yang tidak lagi memiliki aset produksi.

Dalam akhir pemaparannya, Yudi memaparkan bahwa dana desa hanya merupakan instrumen yang akan berdampak positif bagi kesejahteraan warga masyarakat jika pengelolaannya dilakukan secara demokratis. Jika tidak, dana desa hanya akan menguntungkan sebagian kecil masyarakat desa (seringkali hanya elit desa) apabila dikelola secara tidak transparan dan akuntabel. Seperti kasus di sebuah desa yang terletak di wilayah Jawa Timur, dana desa justru menjadi instrumen untuk memperkaya elit desa (kepala desa dan para kroninya) karena hanya dikelola oleh kepala desa dan kerabatnya.

Sementara itu, Sugeng Bayu Wahyono dalam pemaparannya menyatakan bahwa sejak dahulu desa-desa di Indonesia mengalami eksploitasi secara masif oleh negara. Sayangnya, banyak desa dan warganya yang tidak menyadari akan hal tersebut. Bahkan mereka justru menikmati dan merayakan kondisi tersebut. Dahulu negara mengeksploitasi desa dengan dalih modernisasi desa. Negara membangun sarana transportasi ke desa agar desa berkembang dan menjadi maju. Namun dampak dari pembangunan desa tersebut cenderung merugikan desa dan lebih menguntungkan kapitalis. Jalan yang dibangun dengan harapan komoditas hasil produksi warga desa bisa mudah dipasarkan ke kota, justru menjadi sarana kaum kapitalis untuk memasarkan hasil produksi mereka yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan warga desa. Berbagai hasil produksi sektor industri di kota mulai dari shampo, sabun, hingga smartphone merangsek masuk ke desa, menggoda warga desa untuk memilikinya. Guna mengubah sesuatu hal yang sebenarnya hanya merupakan kebutuhan tersier menjadi kebutuhan primer, maka para kapitalis menciptakan slogan melalui iklan yang disiarkan melalui berbagai media massa dan media sosial. Slogan yang mampu mengubah mindset warga desa bahwa semua yang ditawarkan oleh para kapitalis harus dimiliki apabila mereka ingin menjadi modern. Berbagai mitos dibangun agar semua produk kapitalis laku di jual di desa.

Slogan modernisasi desa yang dibangun oleh negara dan kapitalis dengan cara memasarkan berbagai produk kapitalis ke desa telah menyebabkan terjadinya pemiskinan di desa. Hal itu terjadi karena meningkatnya keinginan warga desa untuk membeli produk kapitalis tidak diimbangi dengan penguatan posisi ekonomi mereka. Bahkan warga desa mengalami kemerosotan posisi perdagangan. Bila dibandingkan, nilai jual produk kapitalis dan produk warga desa semakin bertolak belakang perkembangan nilai jualnya. Untuk membeli produk kapitalis seperti baju bermerek, dahulu hanya dibutuhkan beberapa kilo beras karena nilai jual beras relatif setara dengan nilai jual baju tersebut. Namun saat ini untuk membeli baju petani harus menjula puluhan kilo beras karena nilai jual beras jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai jual baju.

Kapitalis bukan hanya menguasai pasar desa melalui sektor industri namun juga melalui sektor pangan. Dahulu warga desa, khususnya desa-desa di Gunung Kidul, Nusa Tenggara, dan Papua sudah merasa aman dan nyaman apabila sudah memiliki bahan pangan hasil produksi sendiri seperti ketela, jagung, sagu dan ubi. Namun pada saat ini rasa aman dan nyaman tersebut tidak ada sebelum mereka memiliki beras sebagai bahan makanan pokok. Akhirnya mereka harus membeli beras dari pasar. Karena produksi beras tidak sebanding dengan kebutuhan, maka akhirnya pemerintah harus melakukan impor beras. Kondisi yang sama juga terjadi dengan semakin maningkatnya kebutuhan tepung. Zaman dahulu warga desa menggunakan tepung beras atau ketela untuk memenuhi kebutuhan mereka, namun saat ini akibat mitos modernisasi maka berbagai jenis tepung yang bisa dihasilkan sendiri tersebut diganti dengan tepung terigu, sebuah komoditas perdagangan yang tidak bisa dihasilkan sendiri oleh warga desa dan harus membelinya di pasar. Semenatar untuk memasok ketersedaan tepung terigu di pasar maka pemerintah harus mengimpor dari luar negeri.

Dalam akhir pemaparannya, Bayu menyatakan bahwa dana desa yang hanya dimanfaatkan untuk membangun sektor infrastruktur juga berdampak pada menguatnya kapitalisme di desa. Warga memang dapat menikmati manfaat pembangunan infrastruktur meski secara tidak langsung, namun yang paling besar dalam menerima manfaat dari kegiatan tersebut adalah kaum pedagang, khususnya para pemilik toko bangunan. Saat ini banyak pemilik toko bangunan yang menjadi kaya raya berkat relasinya dengan desa dalam membangun infrastruktur di desa.

Dalam sesi diskusi, salah satu peserta, Widayadi menanyakan bagaimana upaya membangun sikap kritis di kalangan masyarakat desa agar mereka mampu mengerti dan menolak berbagai eksploitasi yang terjadi di desa. Sementara itu, Setiawan, peserta dari kalangan mahasiswa, membenarkan pemaparan penyaji dan mengatakan bahwa di desanya yang berada di Sumatera juga telah terjadi penguatan kapitalisme. Sebagai gambarannya, saat ini BUMDes di desanya telah memiliki beberapa kegiatan usaha seperti sewa kereta kelinci, swalayan, dll. Tak ketinggalan pula, Sumantara, peserta diskusi dari Keluarga Besar Marhen Bantul menyatakan bahwa sebenarnya para pendiri bangsa telah membangun sistem ekonomi Indonesia yaitu sistem ekonomi gotong royong atau koperasi. Namun, sayangnya hingga saat ini koperasi tidak bisa berkembang. Oleh karena itu perlu upaya agar koperasi bisa berkembang dan menyejahterakan rakyat perdesaan Indonesia. Harun peserta diskusi yang merupakan seorang mahasiswa dari Sumatera Utara menyatakan bahwa pada saat ini kapilatisme sudah mencengkram desanya. Di desanya ada perusahan pertambangan yang melakukan kegiatan eksploitasi namun keberadaan perusahaan tersebut tidak menyejahterakan rakyat, bahkan merugikan warga desa.

Menyikapi berbagi pertanyaan dan tanggapan dari para peserta diskusi, Yudi menyatakan bahwa semangat ekonomi Indonesia memang koperasi namun sejak presiden pertama hingga saat ini kita masih enggan membangun koperasi. Padahal yang dilakukan oleh Bung Karno setelah berkuasa adalah nasionalisasi perusahaan asing. Sedangkan ekonomi benteng yang dicanangkan oleh Bung karno belum dijalankan, dan hanya sebatas retorika dan wacana saja. Untuk menangkal kapitalisme, yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah adanya partai potilik yang memiliki ideologi yang jelas dan mampu memberikan pendidikan politik kepada rakyat melalui  sosok-sosok yang berani menjalankan ideologi politik yang mengutamakan kesejahteraan rakyat.

Semetara itu, Bayu menyatakan terkait upaya melepaskan warga desa dari cengkraman kapitalis. “Kita harus membangun kesadaran kritis masyarakat desa melalui pendidikan politik. Selain itu perlu pula adanya kepemimpinan yang tegas membela warga desa dari cengkraman kapitalis. Desa harus dibangkitkan dengan pembangunan bermakna yaitu pembangunan yang berbasis pada kearifan dan potensi lokal. Indonesia adalah negara agraris dan maritim maka pembangunan harus mulai berorientasi pada dua ranah tersebut.” Ucapnya menutup diskusi. [Mulyono]

Menuju Desa Inklusif 2020: Peran Perguruan Tinggi dan Masyarakat Sipil dalam Mengawal Implementasi Desa Inklusif

Jumat, 8 November 2019, berlokasi di Ruang Sartono, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM), telah berlangsung Diskusi Publik dengan topik “Menuju Desa Inklusif 2020: Peran Perguruan Tinggi dan Masyarakat Sipil dalam Mengawal Implementasi Desa Inklusif”. Acara ini terselenggara atas kerja sama dari Program Inovasi Desa (PID) Kementerian Desa PDTT, Program Peduli, The Asia Foundation (TAF), Australian Government, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM), dan Pusat Rehabilitasi YAKKUM.

Ade Siti Barokah, program director TAF sekaligus moderator dalam acara ini memberikan pengantar kepada peserta diskusi. Ia mengucapkan terima kasih atas antusiasme dan kedatangan peserta dari berbagai elemen, mulai dari pegiat desa, akademisi, mahasiswa, perwakilan berbagai fakultas dan pusat studi di UGM, hingga penyandang disabilitas. Diskusi publik ini turut menghadirkan empat pembicara utama, yaitu Anwar Sanusi, P.hD (Sekretaris Jendral Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi), Dr. Arie Sujito (Sosiolog & Aktifis Penggerak Desa), Ulya Jamson, S.IP, M.A (Dosen dan Peneliti FISIPOL UGM), dan Edy Supriyanto (Direktur SEHATI dan perwakilan Pegiat Desa Inklusif Sukoharjo).

Sekjen Kemendesa PDTT, Anwar Sanusi, P.hD., mengawali diskusi dengan pembahasan Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa sebagai sesuatu yang baru dan konstruktif dalam pelaksanaan desa infklusif pada tahun 2020. “Dengan adanya Undang-undang Desa akan menghadirkan desa dalam sebuah konstruksi yang sama dengan sebuah negara dengan panggungnya adalah musyawarah desa. Ke depan, kita terbuka untuk melakukan review, dan forum ini adalah forum yang tepat untuk mendapatkan berbagai masukan bagaimana upaya menciptakan desa yang inklusif.” Ucapnya.

Sementara itu, tiga pembicara lainnya menambahkan sejumlah masukan untuk pelaksanaan desa inklusif pada tahun 2020. Dr.Arie Sujito menjelaskan bahwa Desa seringkali “galau” karena turunan Undang-undang nomor 6 tahun 2014 kurang eksplisit memberikan ruang bagi para kelompok rentan dalam pembangunan desa sehingga diperlukan sebuah langkah terobosan. Baginya, pembangunan desa yang Inklusif adalah jalan bagi kelompok rentan untuk hadir sekaligus berpartisipasi dalam pembangunan desa dengan pendekatan struktural maupun kultural. “Demokrasi dapat dipakai dalam rangka memperjuangkan inklusifitas (struktural) dan diperjuangkan melalui berbagai forum lokal. Salah satu contohnya seperti pengajian.” Ungkapnya.

Dosen dan Peneliti FISIPOL UGM, Ulya Jamson, S.IP, M.A mengutarakan pengalaman studinya pada awal terbitnya Undang-undang Desa tahun 2014. Ia melihat kecenderungan desa sebagai arena “shifting politic”. Implikasinya, posisi desa menjadi relatif strategis dalam mengimplementasikan nilai-nilai inklusi sosial secara praktikal. Tak ketinggalan, Edy Supriyanto, selaku Direktur SEHATI & perwakilan Pegiat Desa Inklusif Sukoharjo, turut berpendapat bahwa peran kelompok rentan dalam kegiatan pembangunan inovasi desa, terutama bagaimana kelompok rentan bersama desa melakukan beragam inovasi secara berkesinambungan, berkelanjutan dan inisiatif tanpa “cambukan” Program Inovasi Desa.

Pembahasan, pembelajaran dan pengalaman dari masing-masing pembicara dan para peserta diskusi memberikan wawasan baru guna mendorong tercapainya implementasi desa inklusif 2020. Gagasan desa inklusif tidak hanya menyasar penyandang disablitias, namun juga mengidentifikasi aktor-aktor yang masih minim partisipasi dalam pembangunan desa. Diskusi publik ini memberikan 3 poin agenda ke depan: 1) Memastikan aktor desa inklusif (baik kita sendiri maupun desa, menjadi bagian dalam mengambil kebijakan di desa); 2) Memastikan layanan dasar dapat dinikmati semua orang; 3) Menjadi bagian dari orang desa yang aktif dalam membuat kebijakan di desa. Dengan adanya gagasan-gagasan tersebut, diharapkan dapat memberikan peluang diskusi-diskusi antar stakeholder dalam rangka menciptakan ide-ide berikutnya untuk pencapaian desa inklusif tahun 2020 secara terkawal. [Ali]

Pembangunan Kawasan Perdesaan : Isu dan Tantangan ke Depan

Kamis, 7 November 2019 Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) mengadakan seminar bulanan Rural Corner dengan mengangkat tema “Pembangunan Kawasan Perdesaan: Isu dan Tantangan ke Depan.” Susilo Ari Wibowo, SE, MM (Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dalduk & KB Kabupaten Kulonprogo), serta Warudi (Kepala Desa Banjararum, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo) hadir sebagai pemantik materi dengan dimoderatori oleh Afwan Shoffwan, S.Sos (Peneliti Muda PSPK UGM).

Mengawali pemaparannya, Susilo Ari Wibowo menjelaskan pengertian kawasan perdesaan, yaitu kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perdesaan, pelayanan jasa, pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Pengertian kawasan perdesaan tersebut mengacu pada UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 1. Sementara itu, pembangunan kawasan perdesaan merupakan pembangunan antar desa yang dilakukan dalam rangka mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa melalui pendekatan partisipatif yang dilaksanakan pada kawasan perdesaan tertentu yang ditetapkan oleh bupati/ walikota (pasal 83 UU No. 6 Tahun 2014).

Dalam pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan, desa dapat mengadakan kerjasama dengan desa lain ataupun pihak ketiga, di bidang pengembangan usaha bersama yang dimiliki oleh desa, kegiatan kemasyarakatan, pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat antar desa, serta bidang keamanan dan ketertiban. Selain pemerintah desa, berbagai pihak yang sering terlibat dalam pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan adalah Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Pusat. Guna memperlancar koordinasi dalam pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan, maka dibentuk Tim Koordinasi Pembangunan Kawasan Perdesaan (TK PKP) di level kabupaten dengan Surat Keputusan (SK) Bupati, TK PKP level provinsi dengan SK Gubernur dan TK PKP level pusat dengan SK Menteri. Selain menggunakan dana dari pihak pemerintah, pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan juga bisa mempergunakan dana dari pihak ketiga misalnya dengan skema CSR, swadaya, dan sumber dana lainnya.

Beberapa isu yang muncul dan menjadi fokus dalam pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan antara lain: kemiskinan dan urbanisasi tenaga kerja, sumber daya (komoditas unggulan, wisata, serta budaya masyarakat), hingga program bedah menoreh (kawasan strategis pariwisata nasional dengan pembangunan jalan penghubung antara Yogyakarta International Airport dan Borobudur). Sedangkan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan menurut Susilo adalah komitmen desa-desa selaku anggota kawasan perdesaan, konsistensi dan konvergensi stakeholder dalam pendampingan, kemampuan dalam percepatan dan peningkatan kualitas pelayanan serta pemberdayaan partisipatif, dan persaingan dunia usaha.

Untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan maka perlu ada payung hukum baik di tingkat desa maupun supra desa. Beberapa produk hukum yang diperlukan untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan desa antara lain: di tingkat desa, diperlukan peraturan desa tentang kerjasama desa dan peraturan desa tentang pembentukan BUMDes Bersama. Kemudian di tingkat kawasan, dibutuhkan peraturan bersama kepala desa (permakades) tentang kerjasama antar desa pembangunan kawasan perdesaan, permakades tentang pembentukan BUMDes Bersama, dan permakades tentang penetapan AD/ART BUMDes Bersama. Sementara untuk di tingkat kabupaten, SK Bupati tentang penetapan lokasi pembangunan kawasan perdesaan, dan SK Bupati tentang pembentukan tim koordinasi pembangunan kawasan perdesaan (TK PKP) baik di level kawasan maupun kabupaten.

Beberapa program pembangunan kawasan perdesaan yang sudah dilaksanakan oleh desa-desa yang tergabung dalam Agrowisata Menoreh Terpadu antara lain: pembangunan pusat perkebunan durian, pusat pemasaran prukades, pusat perkebunan kakao, pusat penelitian dan pengembangan perkebunan, pusat penyimpanan dan pengolahan produk kakao-kopi-durian dan pengembangan pengelolaan wisata, pembangunan rumah pajang, penguatan kapasitas kelompok, hingga penguatan kapasitas pengurus BUMDes.

Sementara itu, Warudi memaparkan tentang pembentukan BUMDes Bersama oleh desa-desa yang tergabung dalam pembangunan kawasan perdesaan Agrowisata Menoreh Terpadu. Untuk modal BUMDes Bersama, tiap desa menyetorkan dana sebagai penyertaan modal sebesar Rp10.000.000. Pada tahun 2018, BUMDes Bersama mendapat bantuan modal dari kementrian sebesar Rp350.000.000,- untuk pembangunan rumah pajang produk unggulan desa. Pembangunan rumah pajang tersebut bertujuan untuk memfasilitasi pemasaran produk UMKM di desa-desa yang tergabung dalam Agrowisata Menoreh Terpadu.

Meskipun sudah dapat membangun rumah pajang dan membantu pemasaran produk-produk UMKM, Warudi berharap peran BUMDes Bersama dapat ditingkatkan. Ada beberapa tantangan yang harus dilalui agar BUMDes Bersama dapat berperan optimal dalam pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan, salah satu contohnya adalah problematika ego sektoral tiap desa. Tingginya ego sektoral tersebut menyebabkan masing-masing desa hanya mengutamakan kepentingan desanya. Hal ini menyebabkan BUMDes Bersama tidak dapat berkembang secara maksimal. Untuk mengatasi persoalan tersebut maka perlu ada sinergi dari semua desa dalam mengembangkan BUMDes Bersama.

Dalam sesi diskusi, Sumantara menyampaikan opini terkait jenis usaha BUMDes Bersama. Ia berpendapat seharusnya jenis usaha yang dipilih oleh BUMDes Bersama tidak mematikan usaha milik warga (UMKM). Sementara itu peserta diskusi lainnya, Thomas, menyampaikan pertanyaan tentang peran pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan pada peningkatan kesejahteraan warga masyarakat. Tak ketinggalan pula, Endah, peserta diskusi yang berprofesi sebagai pendamping desa, menanyakan persoalan pemasaran sayuran produk kelompok di Desa Banjararum.

Menanggapi opini dan pertanyaan dari peserta diskusi, Susilo menyampaikan bahwa pemilihan jenis usaha BUMDes Bersama dilakukan berdasarkan potensi yang ada di desa-desa yang tergabung dalam pembangunan kawasan. Bahkan sebisa mungkin jenis usaha yang dipilih bisa turut membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh warga masyarakat. Sebagai contoh, BUMDes Bersama Agrowisata menoreh Terpadu memfasilitasi para petani agar tidak terjerat rentenir karena menjual produk dengan sistem ijon melalui pinjaman modal yang akan dikembalikan oleh para petani paska panen. Petani juga dapat menjual produk mereka kepada BUMDes Bersama dengan harga sesuai kesepakatan.

Terkait dengan peran pembangunan kawasan perdesaan pada peningkatan kesejahteraan warga masyarakat, Warudi menyampaikan bahwa pembangunan kawasan perdesaan telah dapat meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat. Banyak UMKM yang muncul dan mengalami kemudahan dalam pemasaran produk karena difasilitasi oleh BUMDes Bersama. Sementara itu, terkait dengan pemasaran produk petani sayur, Warudi menyampaikan bahwa hingga saat ini para petani sayur tidak mengalami kendala dalam pemasaran produk. Selain dibeli oleh para aparat sipil negara, produk tersebut juga dibeli oleh para pengunjung dari berbagai daerah yang sedang melaksanakan studi banding ke BUMDes Bersama Agrowisata Menoreh Terpadu. [Mulyono]

BUMDes Sebagai Wirausaha Sosial untuk Kesejahteraan Masyarakat Desa

Kamis, 3 Oktober 2019 Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) kembali mengadakan seminar bulanan bertajuk “Rural Corner”. Pada episode keempat kali ini, “Rural Corner” mengangkat tema “BUMDes Sebagai Kewirausahaan Sosial untuk Kesejahteraan Masyarakat Desa,” dengan menampilkan Sukasmanto, SE, M.Si (akademisi dan aktivis BUMDes IRE Yogyakarta) serta Ton Martono (Ketua BUMDes Karangrejek, Wonosari, Gunung Kidul). Acara yang berlangsung di Ruang Sartono, PSPK UGM, Bulaksumur G-7 Yogyakarta ini dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan, antara lain akademisi baik dosen maupun mahasiswa, tokoh masyarakat, praktisi BUMDes di DIY dan Jawa Tengah, para pegiat desa membangun hingga masyarakat umum.

Dalam pemaparannya, Sukasmanto menyatakan bahwa berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah, BUMDes dibentuk dengan tujuan untuk kesejahteraan masyarakat desa. Hal itu tercermin dari definisi BUMDes menurut UU No. 6 tahun 2014 tentang desa, BUMDes adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Selaras dengan definisi tersebut, maka semangat yang harus dimiliki oleh BUMDes adalah semangat kewirausahaan sosial untuk menjalankan usaha demi pembangunan sosial dan pemberdayaan masyarakat. Namun realita di lapangan menunjukkan bahwa banyak BUMDes berorientasi menyimpang dari tujuan tersebut, dan semata-mata hanya untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. BUMDes telah meninggalkan semangatnya kewirausahaan sosial dan beralih sebagai pelaku usaha yang semata-mata hanya mencari keuntungan.

Banyak faktor yang menyebabkan BUMDes di desa semata-mata mengejar keuntungan usaha, salah satunya adalah motivasi dan orientasi pendirian BUMDes. Karena ada anggapan dari para pihak, baik dari kalangan pemerintah maupun masyarakat bahwa yang disebut BUMDes yang baik adalah yang mampu mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, maka akhirnya banyak BUMDes yang didirikan hanya untuk meraih keuntungan semata dan mengabaikan sisi pembangunan sosial dan pemberdayaan masayarakat.

Menurut Sukasmanto, persoalan lain yang dihadapi oleh BUMDes selain terjadinya pergeseran motivasi dan orientasi adalah kegagalan serta ketidakmampuan BUMDes untuk berkembang. Ada beberapa faktor yang menyebabkan BUMDes gagal berkembang, yaitu adanya dominasi elit lokal, konflik pengelolaan aset dengan desa, pendirian BUMDes tanpa musyawarah Desa, pendirian BUMDes tidak melalui kajian dan persiapan yang matang, hanya berorientasi jangka pendek, hanya berorientasi pada keuntungan untuk pendapatan asli desa, masuk ke bisnis yang persaingannya ketat, pendirian BUMDes hanya merupakan program top-down yang bersifat masal atau penyeragaman dari Pemda, dan BUMDes dikembangkan dengan akuisisi kegiatan ekonomi yang sudah berjalan.

Selain mencermati faktor penyebab kegagalan BUMDes, Sukasmanto juga mencermati faktor-faktor yang menyebabkan sebuah BUMDes bisa berkembang dan meraih kesuksesan, yaitu kemampuan mengidentifikasi aset, potensi, kebutuhan, dan kegiatan ekonomi desa. Dari hasil identifikasi tersebut, BUMDes memilih kegiatan ekonomi yang sesuai dengan kebutuhan warga masyarakat dan kegiatan ekonomi yang ada di desa, serta memanfaatkan semaksimal mungkin aset dan potensi yang dimiliki desa. Faktor lainnnya adalah adanya masyarakat yang aktif, adanya komitmen pemerintah desa, pendirian BUMDes disosialisasi dengan benar, tim kajian/persiapan bekerja maksimal, pendirian BUMDes memiliki alasan yang kuat, adanya social entrepreneurs di desa, adanya “Entrepreneur Bio” yaitu entrepreneur yang memiliki passion, keahlian, resilience, naluri bisnis dan ketrampilan manajemen, dan adanya pendamping dari berbagai pihak.

Untuk mendorong agar BUMDes memiliki semangat kewirausahaan sosial maka setiap BUMDes perlu didorong untuk menjiwai empat elemen. Pertama social value. BUMDes harus memiliki peran dalam menciptakan kebermanfaatan sosial dalam arti mampu membantu menyelesaikan permasalahan sosial yang dihadapi warga masyarakat, misalnya ekonomi, lingkungan, kesehatan, dan pendidikan. Kedua, civil society yaitu adanya peran masyarakat sipil secara luas dalam mengoptimalkan modal sosial yang ada. Ketiga, Innovation yaitu adanya inovasi dalam berbagai aspek, misalnya model bisnis, proses produksi, pemasaran, dan upaya penyelesaian persoalan yang ada. Keempat, economic activity, yaitu mampu membangun keseimbangan antara aktivitas sosial dan aktivitas bisnis.

Faktor kunci agar BUMDes memiliki semangat kewirausahaan sosial adalah adanya pengelola BUMDes yang mampu melaksanakan beberapa hal, yaitu mencoba mendobrak batasan ideologi dan disiplin, mengidentifikasi dan menerapkan solusi praktis untuk masalah sosial dengan menggabungkan inovasi, sumber daya, dan peluang, berinovasi dengan menemukan produk baru, layanan baru, atau pendekatan baru untuk masalah sosial, fokus pada penciptaan nilai sosial dan bersedia untuk berbagai inovasi dan wawasan agar orang lain dapat meniru, berani memulai sebelum memastikan sumber daya mencukupi, memiliki keyakinan teguh dalam kapasitas bawaan setiap orang, seringkali terlepas dari pendidikan, untuk berkontribusi secara berarti bagi pembangunan ekonomi dan sosial, menunjukkan tekat yang mantap untuk mengambil resiko yang tidak berani dilakukan orang lain, menjaga keseimbangan antara semangat untuk berubah dengan semangat untuk mengukur dan memantau dampaknya, memiliki banyak hal untuk sharing learning dengan pembuatan perubahan di sektor lain, dan menunjukkan ketidaksabaran yang kuat.

Sementara itu, Ton Martono sebagai narasumber kedua memaparkan bahwa sebelum memiliki BUMDes Desa Karangrejek merupakan desa yang masuk kategori IDT, terisolir dan sering mengalami kekeringan. Disebut desa miskin karena dari 900 rumah, hanya 136 rumah yang bersifat permanen (berdinding tembok), sedangkan sisanya merupakan rumah semi permanen (sebagian tembok, sebagian gedek). Sebagian besar warga masyarakat bekerja sebagai buruh serabutan/buruh tani dan hanya 16 orang yang bekerja sebagai pegawai negeri. Hanya sedikit warga yang mampu mencapai pendidikaan perguruan tinggi, sedangkan sebagian besar pemuda lebih memilih merantau daripada melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi selepas sekolah. Desa terisolir karena tidak ada jalan, listrik dan air.

Menyadari kondisi desa yaang memprihatinkan tersebut maka Ton Martono bersama dengan beberapa warga yang memiliki kepedulian untuk memajukan desa berinisiatif untuk membentuk BUMDes. Salah satu jenis usaha yang dipilih adalah penyediaan air bersih (PAMSIMAS). Pada saat memilih jenis usaha tersebut terdapat banyak kendala antara lain tantangan dari tokoh masyarakat dan sebagian besar warga masyarakat akibat kondisi alam desa Karangrejek yang tidak memiliki sumber mata air. Untuk mengatasi kendala tersebut maka Ton berencana melakukan pengeboran air tanah. Meski rencana tersebut ditentang oleh banyak pihak, namun ia tetap melakukan pengeboran air tanah hingga kedalaman 150 m. Ia berhasil mendapatkan air tanah, namun kendala lain yang dihadapi ketidakadaan pompa yang mampu menaikkan air tanah tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut ia merencanakan membeli pompa air senilai 450 juta rupiah, namun BUMDes tidak memiliki dana cukup. Ia mencoba mencari pinjaman ke bank namun tidak ada bank yang bersedia memberikan kredit sebesar itu. Ia terpaksa mengumpulkan iuran dari beberapa pengurus BUMDes. Namun karena dana yang terkumpul relatif kecil maka akhirnya ia memutuskan untuk mengumpulkan sertifikat tanah dari beberapa pengurus BUMDes. Hasil dari penjualan sertifikat tanah selain dipakai untuk membeli pompa juga untuk membangun bak penampungan air dan membeli pipa jaringan. Sedangkan untuk memasang pipa jaringan ia mengajak warga masyarakat untuk gotong royong. Setelah jaringan terbangun ia mengajak warga untuk berlangganan air, ia juga mengajak warga dari desa lain. Dari pengelolan air PAMSIMAS tersebut akhirnya BUMDes memperoleh penghasilan rutin yang mencapai puluhan juta per bulan.

Setelah keuangan BUMDes kuat, maka Ton Martono bersama pengurus lainnya berencana melakukan diversifikasi usaha BUMDes, yaitu simpan pinjam, agribisnis pertanian dan rest area. Banyak faktor yang menjadi pertimbangannya dalam memilih jesnis usaha baru tersebut kegiatan simpan pinjam dipilih untuk melepaskan warga masyarakat dari jeratan rentenir/bank plecit, agribisnis pertanian dipilih untuk melepaskan para petani dari tengkulak/pengijon yang sering merugikan oetani karena membeli hasil pertanian dengan harga rendah, sedangkan rest area dipilih karena lokasi desa Karangrejek yang strategis, terletak di jalan wonosari dan pantai baron. Selain melakukan diversifikasi usaha BUMDes Karang rejek juga melakukan pembangunan sosial dan pemberdayaan masyarakat, antara lain dengan menyediakan fasilitas ambaulance gratis bagi warga desa yang sakit dan ingin berobat ke rumah sakit, serta untuk mengangkut warga yang meninggal. Selain itu BUMDes juga memberikan dana pemakaman bagi warga yang meninggal dunia. BUMDes juga memberikan beasiswa bagi anak-anak sekolah dari kalangan warga kurang mampu.

Dalam sesi diskusi, Khoiry mahasiswa program doktoral menyatakan rasa keheranan atas sikap Ton Martono dan banyak orang yang mau menjadi pengurus BUMDES dengan honor yang sangat kecil. Selain itu ia juga bertanya peluang warga untuk memiliki sahan dalam BUMDes sehingga ia juga dapat deviden. Agus Dwianto peserta seminar dari Pendowoharjo yang juga pengurus BUMDes menceritakan bahwa keberhasilan sebuah BUMDes diawali dari adanya orang “gila” yang mamu berkorban untuk mengembangkan BUMDes. Tanpa adanya orang yang mampu bedarah-darah untuk mengembangkan BUMDES maka peluang BUMDes untuk maju ssangat kecil. Ia juga menyatakan bahwa BUMDes harus mampu menyeimbangkan orientasi sosial dan orientasi ekonomi, BUMDes harus mampu berbisnis tapi juga mampu bergai kepada warga masyarakat. Sementara Endah, peserta seminar yang bekerja sebagai dosen di sebuah Perguruan Tinggi menyampaikan pertanyaan tentang cara menciptakan model bisnis untuk satu wilayah dan cara menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pengurus BUMDes yang mengelola aset milyaran.

Menanggapi pernyataan dan pertanyaan peserta, Sukasmanto menyatakan bahwa kesulitan dalam mendirikan BUMDes adalah menemukan aktor di desa yang siap berjuang untuk mengembangkan BUMDes. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut adalah dengan melakukan sosialisasi tentang BUMDes dengan melibatkan banyak pihak. Berdasarkan pengalaman, aktor bisa ditemukan dari lembaga desa atau tokoh masyarakat. BUMDes Karangrejek sudah menunjukan kewirausahaan sosial dari pengelolaan air bersih yang dilakukan karena tarif ditentukan berdasarkan musyawarah dengan warga. Selain itu, BUMDes sudah melakukan pembangunan sosial melalui program ambulance gratis, biaya pemakaman dan beasiswa bagi anak dari kalangan tidak mampu. Sedangkan cara menciptakan bisnis model adalah dengan identifikasi potensi dan aset, pemetaan aktor dan penentuaan bisnis. Sementara itu Ton Martono menanggapi pertanyaan peserta dengan menyatakan bahwa semangat yang harus dibangun oleh pengelola BUMDes adalah semangat pengabdian. Pengurus BUMDes yang memiliki semangat untuk mengabdi tidak akan mempermasalahkan honor yang kecil. Namun demikian kalau BUMDes sudah mampu maka kesejahteraan pengurus dan karyanan juga perlu diperhatikan. Untuk menjaga kepercayaan warga maka keuangan BUMDes dikelola secara transparan dan akuntabel, antara lain dengan membuat laporan setiap bulan dan diaudit oleh kantor akuntan secara periodik. [Mulyono]

Dinamika dan Tantangan Tenaga Pendamping Profesional Desa

Kamis, 5 September 2019, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) kembali mengadakan seminar bulanan bertajuk Rural Corner. Pada episode ketiga kali ini, Rural Corner mengangkat tema “Dinamika dan Tantangan Tenaga Pendamping Profesional Desa,” dengan menampilakan AB Widyanta, MA (Tim Ahli PSPK UGM & Dosen Dept. Sosiologi FISIPOL UGM) dan Ayu Nurida Arifiani, SE (Pendamping Desa Pemberdayaan Kecamatan Karanganom, Klaten). Acara yang berlangsung di Ruang Sartono, Bulaksumur G-7 ini dimoderatori oleh Angie Purbawisesa, S.Sos selaku peneliti muda PSPK UGM.

 

Dalam presentasinya, Ayu Nuridha memaparkan bahwa dana desa dan pendamping desa merupakan hal yang baru bagi perempuan berusia 29 tahun tersebut. Di samping karena profesi pendamping desa merupakan hal baru baginya, para pelaku beserta karakteristik yang terlibat di dalamnya pun juga. Meskipun tidak sedikit pendamping desa yang memiliki latar belakang profesi dalam program PNPM, namun ada pula beberapa pendamping desa yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman dalam melakukan pemberdayaan masyarakat, layaknya jobdesk pendamping desa. Ayu Nuridha sendiri berlatarbelakang praktisi keuangan perusahaan swasta yang bergerak di sektor perdagangan. Sebagai new comer, maka ia dituntut untuk senantiasa belajar seluk-beluk pendampingan desa. Saat bekerja sebagai praktisi keuangan, Ayu Nuridha cukup mempelajari tugas dan tanggung jawab dalam kurun waktu satu minggu. Kini sebagai seorang pendamping desa, ia merasa harus senantiasa belajar demi menjadi pendamping desa yang cakap dalam melaksanakan tugasnya.

 

Ayu Nuridha merasa banyak persoalan internal desa yang sering kali menjadi kendala saat ia melaksanakan tugasnya. Misalnya, keberagaman latar belakang dan karakteristik kepala desa beserta perangkat desa menyebabkan ada perbedaan persepsi dan perlakuan dalam menanggapi keberadaan, gagasan, bahkan ide pendamping desa. Di satu sisi, ada kepala desa atau perangkat desa yang kooperatif dan akomodatif dengan pendamping desa. Di lain sisi, banyak pula dari mereka yang bersikap sebaliknya. “Hubungan yang tidak sehat akan terlihat dari tidak meratanya pembagian tugas dalam pemerintahan desa. Ada aparat yang sangat dominan dan sebaliknya ada perangkat yang pasif. Hal ini menyebabkan roda pemerintahan desa tidak dapat berjalan dengan baik karena memiliki ketergantungan yang tinggi pada satu orang saja,” ujar Ayu Nuridha.

 

Meskipun menghadapi berbagai rintangan dan tantangan, namun Ayu Nuridha mampu mengemban dan melaksanakan tugas sebagai pendamping desa dengan baik. Beberapa prestasi yang ia torehkan di tingkat kecamatan yaitu peran-sertanya dalam mendorong berdirinya paguyuban Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) dan Kepala Seksi Desa, BUMDes bersama, serta Karanganom sebagai kecamatan inklusi yang dilaunching pada 2017. Selain itu, ia juga berkiprah dalam mendirikan “inklusi centre” yang memberikan pelayanan gratis kepada penyandang disabilitas, menggagas program desa digital dan menyelanggarakan festival dana desa yang mendorong munculnya berbagai inovasi dalam pemanfaatannya. Sementara untuk kiprahnya level desa, ia mampu melaksanakan berbagai bimbingan teknis bagi aparat desa, pendirian BUMDes, workshop RPJMDes, dan launching beberapa desa digital di Kecamatan Karanganom.

 

Untuk menggapai berbagai capaian gemilang di atas, Ayu Nuridha memiliki strategi agar mampu mengubah tantangan menjadi peluang dengan mengerjakan apa yang bisa dikerjakan, serta memfasilitasi persoalan yang tidak bisa diselesaikan sendiri untuk mendapatkan solusi dengan melibatkan berbagai stakeholder. Selain itu, ia juga melakukan beberapa langkah terobosan melalui pembentukan Tim Kerja Pendamping Desa yang solid dan terkoordinasi dalam rangka memahami dan memetakan kondisi desa, melakukan kunjungan ke desa secara rutin, melakukan koordinasi dengan kecamatan terkait dengan berbagai persoalan yang dihadapi, mendampingi proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa secara langsung, memberikan penguatan kapasitas kepada pelaku pendampingan di desa, melakukan pengawasan bersama kecamatan, hingga membuat ide-ide kreatif kegiatan agar pemanfaatan dana desa lebih inovatif.

 

Sementara itu, AB Widyanta memaparkan berbagai temuan mengenai kinerja tenaga pendamping desa yang dilakukannya bersama tim PSPK UGM tahun 2018. Secara garis besar, temuan penelitian yang ia jabarkan mencakup empat persoalan besar yang dihadapi terkait dengan kebijakan pendamping desa, yaitu; Jumlah, Sebaran, Kualifikasi, Honorarium dan Dana Operasional. Penelitian tentang kinerja pendamping desa ini dilaksanakan di Jawa Tengah dengan menggunakan sampel wilayah 12 kabupaten, 24 kecamatan dan 48 desa. Pemilihan sampel desa didasarkan pada pertimbangan tingkat kemajuan desa, yaitu desa maju, sedang dan belum maju. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah tenaga pendamping profesional desa di Jawa Tengah dinilai masih belum mencukupi dibanding dengan luasan wilayah yang ada. Sebagai perbandingan, jumlah Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat 166, jumlah pendamping desa 1.404 dan jumlah pendamping lokal desa 2.015. Jumlah tersebut harus dapat mengampu seluruh wilayah Jawa Tengah yang terdiri dari 29 kabupaten, 6 kota, 573 kecamatan, dan 7809 desa.

 

Terkait dengan sebaran, adanya kebijakan dari pemerintah pusat yang mengatur tentang beban tugas pendamping desa, khususnya pendamping lokal, kondisi wilayah menyebabkan adanya perbedaan beban dari masing-masing pendamping desa. Di daerah yang luasan wilayah kecil, beban untuk mendampingi 4 desa bukan persoalan yang berat namun bagi daerah yang wilayah topografi luas dan perlu upaya lebih untuk mengaksesnya, hal tersebut tentu membebani pendamping desa karena dibutuhkan waktu dan tenaga ekstra untuk bisa menjangkau semua wilayah kerjanya.

 

Sementara untuk kualifikasi pendamping desa, Pendamping Lokal Desa (PLD) yang notabene wilayah kerjanya di lingkup desa, disyaratkan lulusan SLTA dan memiliki pengalaman 2 tahun dalam bidang pemberdayaan masyarakat. Untuk Pendamping Desa yang sektor kerjanya pada level kecamatan (PD dan PDTI), setidaknya memiliki gelar D3, memiliki pengalaman 2 tahun. Masing-masing diwajibkan untuk mampu mengkoordinasi, memberi pelatihan, dan mampu membangun komunikasi dengan masyarakat. Akan tetapi, data temuan lapangan menunjukkan bahwa tidak semua PLD, PD dan PDTI memiliki kualifikasi tersebut. Sedangkan terkait dengan honorarium, hasil penelitian menunjukkan bahwa nominal yang diterima oleh pendamping desa, khususnya PLD tidak sebanding dengan beban tugas yang harus diemban. Selain memiliki beban tugas pokok, seorang pendamping desa juga tidak bisa lepas dari biaya-biaya sosial yang seringkali harus ia sisihkan dari honor profesi yang ia terima, misalnya untuk menyumbang acara-acara yang diselenggarakan oleh masyarakat desa yang mereka damping, seperti kondangan upacara pernikahan, dll.

 

Dalam sesi diskusi, Widayadi, peserta seminar Rural Corner, mengaku salut dengan kinerja Ayu Nuridha sebagai pendamping desa dan berharap hal itu juga terjadi pada para pendamping desa yang ada di desanya. Sementara Muhammad Nurdin Ali, peserta seminar yang merupakan Pendamping Desa Kecamatan Pajangan, Bantul menyampaikan bahwa beban kerja yang ditanggung oleh seorang pendamping desa cukup berat karena sering ada tugas tambahan, misalnya terkait Indeks Desa Membangun (IDM), sehingga sering muncul candaan plesetan dari kepanjangan IDM menjadi “iki ndase mumet” (kepala ini pusing). Dr. Suharman peserta dari kalangan akademisi menyampaikan pengalamannya berkunjung ke berbagai daerah. Ia menyampaikan bahwa peran dan tugas pendamping desa memang berat karena keberadaannya seringkali tidak dihargai oleh pemerintah desa. Setiap ide yang disampaikan selalu dimentahkan oleh kepala desa. Ia setuju dengan besarnya beban sosial yang harus ditanggung oleh seorang pendamping desa. Tak ketinggalan, Rizal, peserta diskusi asal Aceh kagum dengan ide inovatif yang dilakukan oleh Ayu Nuridha terkait desa inklusi, fasilitasi penyandang disabilitas dalam program pendampingan usaha, dan festival dana desa. Ia berencana akan membawa ide-ide inovatif tersebut untuk diterapkan di daerah asalnya.

 

Menanggapi berbagai pertanyaan dan komentar peserta diskusi, Ayu Nuridha menyampaikan bahwa strategi yang dilakukan agar dapat mencapai hasil yang baik dalam melakukan pendampingan adalah melakukan strategi terkait apa yang bisa dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan agar selanjutnya difasilitasi untuk diperoleh solusinya. Sedangkan terkait dengan berbagai ide yang bersifat inovatif, ia mendorong agar semua desa memiliki inovasi dalam pemanfaatan dana desa. Sementara AB Widyanta menanggapi komentar peserta dengan menyampaikan bahwa perlu ada perubahan kebijakan dari yang bersifat simetris menjadi asimetris agar ada ruang bagi daerah untuk melaksanakan kebijakan yang sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan. Terkait dengan beban sosiaI yang harus ditanggung oleh pendamping desa, maka ia mengusulkan untuk meningkatkan besaran honor dan dana operasional bagi pendamping desa sehingga pendamping desa masih memiliki dana untuk mencukupi kebutuhan keluarga. [Mulyono]