Pos oleh :

PSPK UGM

Dinamika dan Tantangan Tenaga Pendamping Profesional Desa

Kamis, 5 September 2019, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) kembali mengadakan seminar bulanan bertajuk Rural Corner. Pada episode ketiga kali ini, Rural Corner mengangkat tema “Dinamika dan Tantangan Tenaga Pendamping Profesional Desa,” dengan menampilakan AB Widyanta, MA (Tim Ahli PSPK UGM & Dosen Dept. Sosiologi FISIPOL UGM) dan Ayu Nurida Arifiani, SE (Pendamping Desa Pemberdayaan Kecamatan Karanganom, Klaten). Acara yang berlangsung di Ruang Sartono, Bulaksumur G-7 ini dimoderatori oleh Angie Purbawisesa, S.Sos selaku peneliti muda PSPK UGM.

 

Dalam presentasinya, Ayu Nuridha memaparkan bahwa dana desa dan pendamping desa merupakan hal yang baru bagi perempuan berusia 29 tahun tersebut. Di samping karena profesi pendamping desa merupakan hal baru baginya, para pelaku beserta karakteristik yang terlibat di dalamnya pun juga. Meskipun tidak sedikit pendamping desa yang memiliki latar belakang profesi dalam program PNPM, namun ada pula beberapa pendamping desa yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman dalam melakukan pemberdayaan masyarakat, layaknya jobdesk pendamping desa. Ayu Nuridha sendiri berlatarbelakang praktisi keuangan perusahaan swasta yang bergerak di sektor perdagangan. Sebagai new comer, maka ia dituntut untuk senantiasa belajar seluk-beluk pendampingan desa. Saat bekerja sebagai praktisi keuangan, Ayu Nuridha cukup mempelajari tugas dan tanggung jawab dalam kurun waktu satu minggu. Kini sebagai seorang pendamping desa, ia merasa harus senantiasa belajar demi menjadi pendamping desa yang cakap dalam melaksanakan tugasnya.

 

Ayu Nuridha merasa banyak persoalan internal desa yang sering kali menjadi kendala saat ia melaksanakan tugasnya. Misalnya, keberagaman latar belakang dan karakteristik kepala desa beserta perangkat desa menyebabkan ada perbedaan persepsi dan perlakuan dalam menanggapi keberadaan, gagasan, bahkan ide pendamping desa. Di satu sisi, ada kepala desa atau perangkat desa yang kooperatif dan akomodatif dengan pendamping desa. Di lain sisi, banyak pula dari mereka yang bersikap sebaliknya. “Hubungan yang tidak sehat akan terlihat dari tidak meratanya pembagian tugas dalam pemerintahan desa. Ada aparat yang sangat dominan dan sebaliknya ada perangkat yang pasif. Hal ini menyebabkan roda pemerintahan desa tidak dapat berjalan dengan baik karena memiliki ketergantungan yang tinggi pada satu orang saja,” ujar Ayu Nuridha.

 

Meskipun menghadapi berbagai rintangan dan tantangan, namun Ayu Nuridha mampu mengemban dan melaksanakan tugas sebagai pendamping desa dengan baik. Beberapa prestasi yang ia torehkan di tingkat kecamatan yaitu peran-sertanya dalam mendorong berdirinya paguyuban Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) dan Kepala Seksi Desa, BUMDes bersama, serta Karanganom sebagai kecamatan inklusi yang dilaunching pada 2017. Selain itu, ia juga berkiprah dalam mendirikan “inklusi centre” yang memberikan pelayanan gratis kepada penyandang disabilitas, menggagas program desa digital dan menyelanggarakan festival dana desa yang mendorong munculnya berbagai inovasi dalam pemanfaatannya. Sementara untuk kiprahnya level desa, ia mampu melaksanakan berbagai bimbingan teknis bagi aparat desa, pendirian BUMDes, workshop RPJMDes, dan launching beberapa desa digital di Kecamatan Karanganom.

 

Untuk menggapai berbagai capaian gemilang di atas, Ayu Nuridha memiliki strategi agar mampu mengubah tantangan menjadi peluang dengan mengerjakan apa yang bisa dikerjakan, serta memfasilitasi persoalan yang tidak bisa diselesaikan sendiri untuk mendapatkan solusi dengan melibatkan berbagai stakeholder. Selain itu, ia juga melakukan beberapa langkah terobosan melalui pembentukan Tim Kerja Pendamping Desa yang solid dan terkoordinasi dalam rangka memahami dan memetakan kondisi desa, melakukan kunjungan ke desa secara rutin, melakukan koordinasi dengan kecamatan terkait dengan berbagai persoalan yang dihadapi, mendampingi proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa secara langsung, memberikan penguatan kapasitas kepada pelaku pendampingan di desa, melakukan pengawasan bersama kecamatan, hingga membuat ide-ide kreatif kegiatan agar pemanfaatan dana desa lebih inovatif.

 

Sementara itu, AB Widyanta memaparkan berbagai temuan mengenai kinerja tenaga pendamping desa yang dilakukannya bersama tim PSPK UGM tahun 2018. Secara garis besar, temuan penelitian yang ia jabarkan mencakup empat persoalan besar yang dihadapi terkait dengan kebijakan pendamping desa, yaitu; Jumlah, Sebaran, Kualifikasi, Honorarium dan Dana Operasional. Penelitian tentang kinerja pendamping desa ini dilaksanakan di Jawa Tengah dengan menggunakan sampel wilayah 12 kabupaten, 24 kecamatan dan 48 desa. Pemilihan sampel desa didasarkan pada pertimbangan tingkat kemajuan desa, yaitu desa maju, sedang dan belum maju. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah tenaga pendamping profesional desa di Jawa Tengah dinilai masih belum mencukupi dibanding dengan luasan wilayah yang ada. Sebagai perbandingan, jumlah Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat 166, jumlah pendamping desa 1.404 dan jumlah pendamping lokal desa 2.015. Jumlah tersebut harus dapat mengampu seluruh wilayah Jawa Tengah yang terdiri dari 29 kabupaten, 6 kota, 573 kecamatan, dan 7809 desa.

 

Terkait dengan sebaran, adanya kebijakan dari pemerintah pusat yang mengatur tentang beban tugas pendamping desa, khususnya pendamping lokal, kondisi wilayah menyebabkan adanya perbedaan beban dari masing-masing pendamping desa. Di daerah yang luasan wilayah kecil, beban untuk mendampingi 4 desa bukan persoalan yang berat namun bagi daerah yang wilayah topografi luas dan perlu upaya lebih untuk mengaksesnya, hal tersebut tentu membebani pendamping desa karena dibutuhkan waktu dan tenaga ekstra untuk bisa menjangkau semua wilayah kerjanya.

 

Sementara untuk kualifikasi pendamping desa, Pendamping Lokal Desa (PLD) yang notabene wilayah kerjanya di lingkup desa, disyaratkan lulusan SLTA dan memiliki pengalaman 2 tahun dalam bidang pemberdayaan masyarakat. Untuk Pendamping Desa yang sektor kerjanya pada level kecamatan (PD dan PDTI), setidaknya memiliki gelar D3, memiliki pengalaman 2 tahun. Masing-masing diwajibkan untuk mampu mengkoordinasi, memberi pelatihan, dan mampu membangun komunikasi dengan masyarakat. Akan tetapi, data temuan lapangan menunjukkan bahwa tidak semua PLD, PD dan PDTI memiliki kualifikasi tersebut. Sedangkan terkait dengan honorarium, hasil penelitian menunjukkan bahwa nominal yang diterima oleh pendamping desa, khususnya PLD tidak sebanding dengan beban tugas yang harus diemban. Selain memiliki beban tugas pokok, seorang pendamping desa juga tidak bisa lepas dari biaya-biaya sosial yang seringkali harus ia sisihkan dari honor profesi yang ia terima, misalnya untuk menyumbang acara-acara yang diselenggarakan oleh masyarakat desa yang mereka damping, seperti kondangan upacara pernikahan, dll.

 

Dalam sesi diskusi, Widayadi, peserta seminar Rural Corner, mengaku salut dengan kinerja Ayu Nuridha sebagai pendamping desa dan berharap hal itu juga terjadi pada para pendamping desa yang ada di desanya. Sementara Muhammad Nurdin Ali, peserta seminar yang merupakan Pendamping Desa Kecamatan Pajangan, Bantul menyampaikan bahwa beban kerja yang ditanggung oleh seorang pendamping desa cukup berat karena sering ada tugas tambahan, misalnya terkait Indeks Desa Membangun (IDM), sehingga sering muncul candaan plesetan dari kepanjangan IDM menjadi “iki ndase mumet” (kepala ini pusing). Dr. Suharman peserta dari kalangan akademisi menyampaikan pengalamannya berkunjung ke berbagai daerah. Ia menyampaikan bahwa peran dan tugas pendamping desa memang berat karena keberadaannya seringkali tidak dihargai oleh pemerintah desa. Setiap ide yang disampaikan selalu dimentahkan oleh kepala desa. Ia setuju dengan besarnya beban sosial yang harus ditanggung oleh seorang pendamping desa. Tak ketinggalan, Rizal, peserta diskusi asal Aceh kagum dengan ide inovatif yang dilakukan oleh Ayu Nuridha terkait desa inklusi, fasilitasi penyandang disabilitas dalam program pendampingan usaha, dan festival dana desa. Ia berencana akan membawa ide-ide inovatif tersebut untuk diterapkan di daerah asalnya.

 

Menanggapi berbagai pertanyaan dan komentar peserta diskusi, Ayu Nuridha menyampaikan bahwa strategi yang dilakukan agar dapat mencapai hasil yang baik dalam melakukan pendampingan adalah melakukan strategi terkait apa yang bisa dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan agar selanjutnya difasilitasi untuk diperoleh solusinya. Sedangkan terkait dengan berbagai ide yang bersifat inovatif, ia mendorong agar semua desa memiliki inovasi dalam pemanfaatan dana desa. Sementara AB Widyanta menanggapi komentar peserta dengan menyampaikan bahwa perlu ada perubahan kebijakan dari yang bersifat simetris menjadi asimetris agar ada ruang bagi daerah untuk melaksanakan kebijakan yang sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan. Terkait dengan beban sosiaI yang harus ditanggung oleh pendamping desa, maka ia mengusulkan untuk meningkatkan besaran honor dan dana operasional bagi pendamping desa sehingga pendamping desa masih memiliki dana untuk mencukupi kebutuhan keluarga. [Mulyono]

Monthly Event: Rural Corner September 2019

Tenaga Pendamping Profesional Desa diharapkan menjadi garda terdepan untuk mengawasi, mendampingi hingga membimbing masyarakat desa dalam mengelola dana desa dan berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat desa. Pertanyaan yang sering muncul di kalangan praktisi dan akademisi pemerhati isu desa adalah seperti apa dinamika serta tantangan yang dihadapi oleh Tenaga Pendamping Profesional Desa dalam mendampingi desa?

Dengan mengangkat tema “Dinamika dan Tantangan Tenaga Pendamping Profesional Desa,” Seminar bulanan Rural Corner-PSPK UGM kembali hadir pada Kamis, 5 September 2019 pukul 15.00 WIB di Ruang Sartono, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Bulaksumur G-7. Diskusi kali ini akan dipantik oleh AB Widyanta, MA (Tim Ahli PSPK UGM dan Departemen Sosiologi Fisipol UGM) & Ayu Nuridha, SE (Tim Pendamping Desa Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten).

Mari ramaikan. Gratis untuk umum dan free jajanan sore.

Untuk registrasi peserta bisa dilakukan melalui:

http://ugm.id/RuralCorner3

 

 

Pemanfaatan Dana Desa untuk Kesejahteraan Petani dan Ketahanan Pangan

Kamis, 1 Agustus 2019 Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Univeritas Gadjah Mada (PSPK UGM) kembali mengadakan seminar bulanan Rural Corner yang menghadirkan Subedjo, S.P., M.Sc., Ph.D, Peneliti Ahli PSPK UGM/Dosen Sosial Ekonomi Pertanian UGM sebagai narasumber dari kalangan akademisi, serta Supardi, Ketua Kelompok Tani Margo Rukun, Desa Pampang, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunungkidul sebagai narasumber dari kalangan praktisi. Dengan dimoderatori oleh Muhammad Yunan Roniardian, M.Sc., Peneliti PSPK UGM, diskusi Rural Corner kali ini mengangkat tema “Pemanfaatan Dana Desa untuk Kesejahteraan Petani dan Ketahanan Pangan.” Tema yang dipilih merupakan rangkaian dari tema Rural Corner yang diadakan sebelumnya dengan tujuan untuk mencermati dan mengevaluasi UU Desa yang sudah berjalan selama 5 tahun.

Dalam pembukaannya, Subejo mengatakan bahwa dalam pasal 80 UU Desa betul-betul secara eksplisit sudah mengatakan bahwa prioritas program yang sangat terkait dengan pertanian yaitu pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif, pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi, ini semua sangat terkait dengan pertanian. Hal ini dapat menjadi landasan yang kuat dimana alokasi Dana Desa nantinya betul-betul harus sesuai. Narasumber berasumsi bahwa ketika dana desa dapat dialokasikan dengan baik untuk pertanian, otomatis jika pertanian menjadi produktif, pangan menjadi baik maka kemiskinan akan berkurang. Meskipun di desa ada pengurangan kemiskinan sejumlah lima ratus ribu dalam kurun waktu satu tahun, pada kenyataannya penurunan itu tidak signifikan karena angka kemiskinan di desa masih cukup tinggi dibandingkan di kota. Berdasarkan data BPS, jumlah orang miskin di pedesaan sebesar 15 juta, sedangkan di kota berjumlah 10 juta.

Fakta yang menarik dari banyaknya kemiskinan di pedesaan adalah konsumsi beras yang begitu tinggi. Padahal produksi beras Indonesia berada di kawasan pedesaan. Konsumsi beras yang tinggi tidak diimbangi dengan produksi yang bagus, seperti sebagian besar petani yang sudah berusia lanjut, sistem irigasi yang kurang baik, bahkan masih banyak petani yang hanya mengandalkan air hujan untuk tanaman mereka. Alhasil, di musim paceklik mereka harus membeli beras.

Dana desa diharapkan dapat dikelola dengan baik agar kemiskinan di pedesaan dapat berkurang signifikan, salah satunya dengan berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat desa seperti yang diceritakan oleh Subejo tentang Rahayu yang berhasil membuat inovasi baru berupa beras berbahan dasar ketela di Gunung Kidul. Adanya sumber pangan lain pengganti beras inilah yang dapat meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan di pedesaan. Padahal menurut narasumber, beberapa program desa melalui dana desa sebagian besar sudah mengarah ke bidang ekonomi pertanian seperti pelaksanaan program padat karya untuk revitalisasi irigasi, embung desa maupun hutan desa.

Supardi memaparkan tentang berbagai program di Desa Pampang, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunung Kidul yang memanfaatkan dana desa. Dalam pemaparannya Supardi sependapat dengan Subejo bahwa pemanfaatan dana desa untuk pertanian dan ketahanan pangan ini masih menemui problem. Hal ini terjadi karena sebagian besar dana desa dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur, seperti jalan, saluran irigasi, dan pengembangan ekowisata yang ada di Desa Pampang. Meskipun dibangun saluran irigasi, keberadaannya belum dapat dikatakan mampu mengatasi permasalahan petani yang ada di desa Pampang, karena pada kenyataannya mereka masih mengandalkan musim hujan untuk menanam padi, sedangkan di musim kemarau mereka tidak memanfaatkan lahan untuk menanam padi karena tidak ada air.

Beberapa permasalahan yang terjadi di Desa Pampang yang berkaitan dengan pertanian pada umumnya sama dengan permasalahan yang terjadi di secara nasional. Dana desa yang diformulasikan untuk kesejahteraan masyarakat pedesaan belum bisa berperan dalam mewujudkan kesejahteraan, khususnya kesejahteraan pangan. Ditambah lagi dengan generasi petani yang sudah semakin sedikit. Keengganan generasi muda terjun di bidang pertanian menjadikan jumlah petani menjadi berkurang secara signifikan.

Dalam sesi diskusi, Sumantara peserta seminar yang mewakili Serikat Tani Indonesia, Bantul membenarkan apa yang disampaikan oleh Supardi. Ia mengatakan bahwa di Bantul, partisipasi masyarakat sangat kurang di perencanaan dan penganggaran program pemanfaatan dana desa. Ia menyampaikan bahwa apa yang disampaikan Supardi merepresentasikan sebanyak 75 desa di Kabupaten Bantul. Sementara Widayadi, peserta lain yang berasal dari Sleman menyatakan bahwa berdasarkan dokumen RPJMDes hingga saat ini belum ada dana desa di desanya yang dipergunakan untuk pertanian, semua masih dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu wajar apabila dana desa belum mampu memberi manfaat kepada para petani. Sementara itu, Muhamad dari Biro Bina Masyarakat Desa DIY menyatakan bahwa pemrintah daerah teleh berupaya agar Dana Desa bias efektif yaitu dengan melaksanakan program dampingan, khusus program dalam pemberdayaan masyarakat desa. Antoni Rimon peserta seminar yang bekerja sebagi konsultan enyatakan bahwa kendala utama yang menyebabkan dana desa tidak efektif untuk mensejahterakan masyarakat desa, khususnya kaum tani adalah karena SDM pengelola dana Desa yang rendah. Hal itu menyebabkan dana desa hanya dimanfaatkan untuk program infrastruktur. Untuk mengatas persoalan tersebut maka perlu ada pendamping dari perguruan tinggi.

Menanggapi berbagai pertanyaan dan komentar dari peserta diskusi, Subejo menyatakan bahwa isu besar dalam pengelolaan dana desa adalah kualitas SDM pengelola yang masih rendah. Untuk mengatasi persoalan tersebut, maka perlu sinergi dari berbagai pihak dalam meningkatkan kualitas SDM pengelola dana desa. Sementara Supardi menyatakan bahwa untuk mengatasi persoalan tersebut maka perlu ada orang-orang yang memiliki kepedulian pada pembangunan desa untuk duduk dalam BPD karena semua program pembangunan desa direncanakan oleh pemerintah desa Bersama BPD. Supardi berharap, BPD memiliki kepedulian kepada para petani agar program-program pembangunan yang diusulkan berkontribusi pada kesejahtaraan mereka. [Evy Gustiana].

Monthly Event: Rural Corner Agustus 2019

UU Desa mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengalokasikan Dana Desa (DD). Pertanyaan yang sering muncul di kalangan praktisi dan akademisi desa adalah sejauhmana DD mampu meningkatkan kesejahteraan petani demi mewujudkan ketahanan pangan nasional?

Dengan tema “Pemanfaatan Dana Desa untuk Kesejahteraan Petani dan Ketahanan Pangan,” Seminar bulanan Rural Corner-PSPK UGM kembali hadir pada Kamis, 1 Agustus 2019 pukul 15.00 WIB di Ruang Sartono, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Bulaksumur G-7. Diskusi kali ini akan dipantik oleh Subejo, P.hD (PSPK UGM dan Departemen Sosek Pertanian UGM) & Supardi (Ketua Kelompok Tani Margo Rukun, Gunungkidul).

Mari ramaikan. Gratis untuk umum dan free jajanan sore.

 

Evaluasi 5 Tahun Implementasi UUDesa, Problematika & Alternatif Solusinya

“Harus diakui bahwa pelaksanaan UU no 6 tahun 2014 tentang Desa telah membawa banyak kemajuan di desa, seperti banyaknya desa wisata, BUMDES yang memiliki kekayaan milyaran, dll, namun harus diakui pula bahwa masih banyak persoalan yang harus dibenahi agar pelaksanaan UU desa benar-benar bisa mewujudkan tujuan utama penetapan UU Desa yaitu mewujudkan masyarakat desa yang mandiri dan partisipatif.” papar Dr. Arie Sujito dalam kegiatan Rural Corner, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, Kamis 4 Juli 2019 di ruang Sartono. Selain menghadirkan Dr. Arie Sujito, peneliti Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM/ Dosen FISIPOL/ Aktivis Desa, kegiatan Rural Corneryang merupakan forum diskusi yang diselenggarakan secara rutin setiap hari kamis minggu pertama setiap bulan tersebut juga menghadirkan praktisi desa, Titik Istiwayatun Khasanah, S.IP, selaku Lurah Desa Sriharjo, Imogiri, Bantul, dengan moderator Dr. Suharko selaku Kepala PSPK UGM.

Semangat utama penetapan UU Desa adalah mendorong terciptanya kemandirian dan partisipasi di desa. Kemandirian Desa dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan berbagai hal yang dibutuhkan oleh Desa, misalnya dalam merencanakan dan melaksanakan program-program pembangunan desa. Partisipasi semua komponen masyarakat desa dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan berbagai hal yang dibutuhkan oleh desa, khususnya kelompok warga masyarakat yang selama ini terabaikan dalam proses pengambilan keputusan di desa. Namun menurut narasumber dalam kurun waktu 5 tahun pelaksanaan UU Desa, semangat tersebut tereduksi oleh kebijakan elit pemerintahan yang lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat teknokratis dan birokratis, karena tidak faham dengan semangat yang melandasi penetapan UU Desa. Kepala desa dan perangkat desa lebih banyak dituntut untuk melaksanakan tugas-tugas yang bersifat administratif seperti membuat Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) pemanfaatan dana desa, dsb.

Menurut narasumber tugas-tugas yang bersifat teknokratis dan birokratis memang harus dilakukan, namun hal itu tidak boleh mengorbankan misi utama penetapan UU Desa yaitu mengembangkan kemandirian dan partisipasi di Desa. Kepala desa dan aparat desa harus didorong untuk belajar strategi membangun kemandirian dan partisipasi di desa karena belajar tentang masalah teknis administratif merupakan hal yang mudah, dalam jangka waktu singkat bisa dilakukan, namun untuk belajar tentang strategi meningkatkan kemandirian dan partisipasi desa perlu proses panjang. Salah satu langkah yang bisa dilakukan oleh elit desa untuk membangun kemandirian dan partisipasi adalah dengan membentuk kelompok/komunitas anak muda desa yang peduli dengan kemajuan desa. Anak muda merupakan agen pembaharuan desa yang diharapkan bisa melakukan perubahan di desa.

Dalam presentasinya, Tutik Istiwayatun Khasanah, SIP sebagai pembicara kedua memaparkan pengalamannya selama menjabat sebagai kepala desa di Desa Sriharjo, Imogiri, Bantul. Ia menyatakan bahwa selama 8 bulan menjabat, ia memang belum menangani pelaksanaan infrastruktur, namun ia merasa beban tugas sebagai kepala desa cukup berat. Selain harus memenuhi berbagai undangan dari dinas/instansi terkait, ia juga harus melaksanakan tugas kultural misalnya hadir dalam even takziah, tradisi manten, mengurusi masalah tanah, mengurusi irigasi desa, dll.

Terkait dengan program pembangunan fisik, untuk meningkatkan partisipasi warga masyarakat BuTutik memaparkan pengalamannya. Karena program pembangunan infrastruktur dilaksanakan di semua pedukuhan, maka ia membentuk Tim Pengelola Kegiatan (TPK) sesuai dengan jumlah pedukuhan, dan melibatkan kepala dukuh sebagai anggota TPK. Namun untuk meningkatkan partisipasi warga dalam proyek pembangunan infrstruktur, ia merasa terkendala dengan aturan bahwa proyek infrastruktur harus menerapkan sistem Hari Orang Kerja (HOK). Sementara warga masyarakat memiliki tradisi gotong royong dalam melaksanakan suatu kegiatan, sehingga aturan HOK mengancam keberadaan tradisi gotong royong. Salah satu solusi yang diterapkan, warga boleh melaksanakan proyek dengan sistem gotong royong namun harus membuat LPJ sesuai dengan aturan.

Untuk menggerakkan partisipasi warga masyarakat, Bu Tutik menggerakkan kaum muda di desa sebagai agen pembaharuan. Untuk melakukan perubahan kondisi sosio-kultral di desa memang memerlukan proses panjang dan penuh tantangan karena banyak elit desa yang bersifat kontra, oleh karena itu langkah yang bisa dilaksanakan adalah dengan mengajak kaum muda untuk menjadi agen perubahan.

Dalam kaitannya dengan kemandirian desa, menurut Bu Tutik yang sebelum menjabat sebagai lurah juga seorang aktivis desa, selama ini desa memiliki kemandirian dalam membuat keputusan, khususnya dalam penyusunan program pembangunan desa. Namun akhir-akhir ini mulai ada intervensi dari supra desa. Pemerintah kabupaten menitipkan program untuk dilaksanakan oleh pemerintah desa, misalnya program pusat kesehatan sosial, progam Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), dll. Terkait dengan program RTLH pemerintah kabupaten mewajibkan desa untuk menganggarkan dalam APBDES dana sebesar 100 juta.

Dalam sesi diskusi, Sumantara, seorang peserta diskusi menyatakan bahwa pelaksanakaan UU Desa membawa dampak negatif yaitu munculnya raja-raja kecil di desa. Kepala desa menjadi penguasa di desa yang memiliki kewenangan penuh untuk mengelola pembangunan desa. Sebagai gambaran, perencanaan pembangunan desa dilakukan secara elitis dan belum bersifat partisipatif. Banyak desa yang dalam membuat perencanaan pembangunan desa cenderung tidak melibatkan seluruh komponen masyarakat, dan hanya dilakukan oleh elit desa. Memang ada musrenbangdes namun sifatnya hanya formalitas karena semua rencana program pembangunan sudah dibuat oleh kepala desa. Musrenbangdes tersebut biasanya juga tidak mengundang warga yang memiliki sikap kritis karena dianggap akan menimbulkan masalah. Berdasarkan pengamatannya, pelaksanaan UU Desa membuat yang berkuasa semakin berkuasa, sedangkan warga yang miskin dan lemah akan semakin lemah. Thomas, peserta lain yang berasal dari Klaten menyatakan bahwa berdasarkan pengamatannya sebagian besar program pembangunan desa bersifat fisik, sedangkan program pemberdayaan masyarakat sangat terbatas. Pelaksanaan program pembangunan fisik juga sering mengalami penyimpangan/tidak sesuai dengan bestek. Besaran proyek juga sering mengalami mark up, yang berdasarkan kalkulasinya bisa sampai 10%. Zaini, peserta lain menyatakan bahwa ada dominasi di pemerintahan desa. Program pemangunan desa hanya dirancang oleh elit desa karena ada anggapan mereka sudah tahu kebutuhan di desa. Banyak usulan program yang disusun berdasarkan usulan RT/RW semata, dan bukan usulan warga karena warga tidak pernah diajak bermusyawarah merumuskan usulan program. Dalam musrenbang banyak warga yang dianggap vokal tidak diaundang karena dianggap akan mengacau.

Menanggapai pertanyaan dan tanggapan dari peserta Dr. Arie Sujito menyatakan bahwa memang tidak mudah untuk melakukan perubahan di desa. Oleh karena itu, perlu ada strategi untuk melakukan perubahan. Perubahan jangan dilakukan secara radikal tetapi harus melalui proses, misalnya dengan membangun komunitas, misalnya komunitas anak muda. Melalui komunitas tersebut kita mendorong anak muda untuk berani tampil di depan untuk melakukan perubahan  dengan menduduki berbagai posisi strategis di desa, misalnya BPD, LKMD, dll. Sementara itu Bu Tutik menyampaikan tanggapan, kalau kondisi Desa tidak sesuai dengan harapan maka kita harus berani merebut kekuasaan di desa, dengan tampil menjadi elit desa (Kepala Desa, BPD, Perangkat Desa, dll agar kita bisa melakukan perubahan. “Terlepas dari segala problematika implementasinya, UU Desa masih sangat relevan untuk membangun prakarsa dan partisipasi masyarakat, guna menuju kemandirian desa. Aturan teknis di bawahnya yang bersifat teknokratis dan birokratis harus dibenahi agar UU Desa ini berjalan sesuai dengan filosofinya” kata Bu Titik mengakiri diskusi Rural Corner pada kesempatan sore itu. (Mulyono).

 

Monthly Event: Rural Corner Juli 2019

Berlakunya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa memberi harapan dan peluang bagi desa untuk membangun dan menata desa secara mandiri. Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 menjelaskan bahwa tujuan pembangunan desa adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Namun seiring berjalannya waktu, tepatnya sejak 5 tahun sejak diundangkan, pelaksanaan UU Desa ternyata masih memiliki hambatan dan tantangan yang harus segera diatasi.

Apa saja hambatan dan tantangan yang terjadi dalam lima tahun pelaksanaan UU Desa? Seperti apa alternatif solusi yang ditawarkan untuk berbagai permasalahan yang muncul, baik dari aspek akademis maupun praktis?

Mari mendiskusikan pertanyaan tersebut dalam acara seminar bulanan Rural Corner – PSPK UGM, dengan tema “Evaluasi 5 Tahun Implementasi UUDesa: Problematika dan Alternatif Solusinya” pada Kamis 4 Juli 2019 pukul 15.00 WIB di Ruang Sartono, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Bulaksumur G-7. Diskusi ini akan dipantik oleh Dr. Arie Sujito (PSPK UGM) & Titik Istiwayatun Khasanah (Kepala Desa Sriharjo, Bantul). Mari merapat. Gratis untuk umum dan free jajanan sore!

PSPK UGM Gelar Acara Syawalan

Sambutan dari Kepala PSPK: Dr. Suharko
Sambutan dari Kepala PSPK: Dr. Suharko

Pada acara syawalan tanggal 17 Juni 2019, Dr. Suharko menyampaikan beberapa hal meliputi perencanaan pengembangan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM. Saat ini PSPK yang sedang digawangi oleh generasi yang lebih muda diharapkan mampu merancang kajian dan produksi pengetahuan mengenai ranah pedesaan dan kawasan yang lebih dapat diterima oleh generasi milenial. Beberapa gagasan yang telah dibicarakan adalah menghidupkan kembali seminar bulanan yang telah menjadi tulang punggung kajian pedesaan dan kawasan di masa lalu.

Dengan upaya branding yang harapannya dapat diterima generasi milenial dengan tajuk “Rural Corner”. Salah satu pembahasan yang dapat dilakukan pada tahun ini didalam aktivitas Rural Corner ialah evaluasi 5 tahun pasca diimplementasikannya UU Desa. Demi memasyarakatkan kajian pedesaan dan kawasan, PSPK juga sedang berupaya membenahi sistem publikasi yang lebih menarik melalui perbaikan web dan pemanfaatan sosial media yang lebih luas.

Segala rancangan perbaikan yang telah direncanakan juga harus ditunjang dengan meningkatnya performa pegiat PSPK. Salah satu upaya Kepala PSPK Dr. Suharko adalah dengan melakukan perbaikan lingkungan kerja yang lebih kondusif. Salah satunya ialah perbaikan sarana dan infrastruktur PSPK berupa pembangunan taman kerja yang lebih mengakomodasi ide-ide mengenai kajian dan produksi ilmu pengetahuan mengenai pedesaan dan kawasan.

Swasembada Kedelai? | Kedaulatan Rakyat

SWASEMBADA gagal, swasembada-gagal lagi, swasembada-dibatalkan dan seterusnya seringkali diperdengarkan pemerintah. Awal minggu ini ceblang-ceblung politis dalam keseluruhan konfigurasi politik nasional semenjak zamannya Kabinet Pembangunan, Kabinet Indonesia Bersatu, sampai Kabinet Kerja terungkap ketika seorang promovendus mempertahankan hasil penelitiannya tentang prospek keswasembadaan kedelai. Banyak sekali kritik akademik untuk perihal keswasembadaan kedelai yang dimaksud.

Secara methodologis, dengan memanfaatkan benah supply chain, rantai pasok, sistem produksi kedelai mudah sekali dibenahi untuk bisa meningkatkan kinerja nasionalnya menuju swasembada kedelai. Ketika dalam setiap titik pada rantai pasok dimaksud mampu dibangun untuk mengembangkan keuntungan ekonomis bagi setiap unsur stakeholders, maka di situlah ada jaminan pengembangan untuk swasembada kedelai beberapa tahun ke depan.

Persoalan mendasarnya ketika hal itu diharapkan harus terjadi, maka sangatlah dibutuhkan kendali pemerintah untuk intervensi bagi profitability assurance, jaminan terhadap perolehan manfaat dan keuntungan bagi para pihak yang terlibat pada setiap titik rantai pasok. Begitukah yang terjadi dalam dunia nyata? Ternyata sama sekali jauh dari harapan. Jauh panggang dari api. Mari berguru pada swasembada beras.

Ketika beras dicanangkan untuk swasembada, sejak beberapa dekade yang lalu, segala potensi pembangunan dipersembahkan mati-matian, at all cost. Mulai dari benah prasarana produksi, sarana produksi, sistem pasar, urusan perbangkan, financial inclusion, benah pemuliaan perbenihan, benah tataniaga, dan lain sebagainya. Untuk perberasan nasional : semua dilakukan dan bahkan cenderung berlebihan. Seorang kepala desa bisa saja diparkir dan tidak menjabat lagi untuk jabatan kedua ketika kinerja produksi berasnya merosot. Dalam jargon keswasembadaan yang sama: begitukah yang terjadi untuk sistem produksi kedele.. Never!!

Usahatani kedelai yang terlanjur dicanangkan dan/atau dibatalkan keswasembadaannya secara ceblang-ceblung selama ini dibiarkan secara liar terjadi. Nyaris sak maunya petani, sak karepe dewe. Dalam banyak hal, akhirnya komoditas strategis ini acapkali diposisikan sebagai pilihan terakhir, ketika komoditas lain sudah tidak lagi bisa ditanam karena keterbatasan kondisi lahan, keterbatasan air dan sebagainya.

Dalam kondisi demikian, sungguh tidak pantas kalau dicanangkan swasembada. Ketika kali ini diralat, ya memang sudah sejak awal seharusnya dirancang programatik. Kalau mau swasembada ya ada konsekuensi kebijakan yang harus dilakukan pada pihak pemerintah. Bukan menginginkan swsembada kedelai tetapi dengan berpangku tangan, kemudian diralat. Periode berikutnya dicanangkan lagi, dan diralat lagi. Mundur lagi, mundur lagi, apaan tuh?

Kehati-hatian programatik dalam urusan keswasembadaan memang harus cermat ditentukan karena produktifitas nasional menjadi sangat penting. Manakala mengingat mandat pengembangan sistem pangan nasional yang harus mengedepankan prinsip ketahanan-kemandirian-kedaulatan pangan sebagaimana diperintahkan Undang-undang Nomer 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Konsekuensi legal dari mandat legal ini tentu perlu prioritas komoditas, mana yang harus dipandang strategis dan mana yang tidak perlu masuk.

Pada pertimbangan publik harus dilakuan, pertimbangan tentu multidimensional. Mulai dari urusan sosial-ekonomi, perekonomian pada tingkat petani, kapasitas sumberdaya alam, peran nutrisi dalam pemenuhan pangan dan gizi masyarakat, daya beli publik. Juga relasi industri, potensi substitusi sampai urusan kultural dalam pemenuhan pangan dan gizi.

Mempertimbangkan kepentingan multidimensional yang dipaparkan tersebut, mudah sekali dibayangkan signifikansi dan peran strategis komoditas kedelai, meski tidak sestrategis beras. Sehingga, sebetulnya mudah sekali memahami tekad keswasembadaan yang dicanangkan oleh Pemerintah. Tentu bukan ceblang-ceblunge yang pasti tidak bisa dipahami publik.

Konsekuensi dari segala tekad tersebut tentu saja perencanaan dan pemrograman yang memadai dan konsisten dengan tekat yang dimaksud.

Oleh: Prof. Dr. M. Maksum Machfoedz (Penulis adalah Guru Besar Agroindustri FTP UGM dan Waketum PBNU sekaligus mantan Kepala PSPK UGM)

*Sumber: artikel ini dimuat dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat 8 Desember 2017 | Ilustrasi: kedelai/Mirror Daily

Membangun Moralitas, Tantangan Pembangunan | Kedaulatan Rakyat

Oleh: Prof. Dr. Susetiawan

morality

KETIKA menyimak berbagai pemberitaan, berita tentang perilaku dehumanisasi, yang merugikan masyarakat merebak dimana-mana. Seperti fraud (penipuan, penggelapan), korupsi termasuk pelanggaran terhadap aturan yang disengaja. Dan berbagai tidakan kekerasan lainnya mewarnai kehidupan sehari-hari, yang membuat hidup tidak aman dan nyaman. Tidak tanggung-tanggung, perbuatan seperti ini dilakukan aparatur negara sampai dengan masyarakat biasa. Korupsi misalnya. Upaya pemberantasan oleh KPK tidak begitu saja mulus. Usaha ‘membunuh’ KPK dilakukan politisi secara sistematis. Kekerasan terhadap Novel Baswedan, salah seorang penyidik KPK, tidak jelas bagaimana diselesaikan Kepolisian.

Banyak perilaku amoral, yang tidak akan cukup bila ditorehkan. Ironisnya, terjadi dalam Negara Pancasila, dimana tidak ada warga negara yang tidak beragama. Jumlah masjid, gereja dan sarana ibadah, demikian juga para ustad, kyai, pastor dan pendeta bertambah banyak jika dibandingkan dengan masa lalu. Agama kelihatannya belum mampu membendung tindakan amoral yang kian meningkat. Pertanyaannya, institusi macam apa seharusnya bertanggung jawab untuk membangun moralitas?

Indikator Utama

Sejak awal hingga kini pembangunan di Indonesia tidak dirancang untuk membangun moralitas. Pencapaian perkembangan ekonomi menjadi indikator utama keberhasilan bangsa, yang kelihatannya mengabaikan pentingnya moralitas dalam perilaku pembangunan. Rencana strategis bagaimana membangun moral tidak ditemukan dalam perencanaan pembangunan bangsa. Sekurang-kurangnya, moralitas itu menunjuk pada penilaian benar-salah dan baik-buruk sebuah perbuatan. Benar-salah dapat dinilai dari banyak sedikitnya perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan. Sedang baik buruk mendasarkan diri pada nilai yang telah disepakati dalam kehidupan bermasyarakat.

Kata moralitas sangat erat kaitannya dengan menghormati, menghargai dan menyelamatkan manusia dari perbuatan manusia, yang secara sengaja merampas hak-haknya. Tanpa moralitas, bertambahnya penduduk yang pesat, kebutuhan yang semakin kompleks dan berkembangnya teknologi informasi melalui media elektronik, akan membuat orang dengan mudah melakukan perbuatan mulai membuli sampai melakukan penipuan tanpa rasa bersalah. Demikian halnya dengan para pelaksana program pembangunan, para penegak hukum, politisi, yang berkaitan dengan pelaksanaan program pembangunan dapat melakukan korupsi, manipulasi, gratifikasi dengan anggapan sebagai kewajaran. Meskipun banyak pelaku yang masuk penjara, ada juga yang lolos, seperti kasus Setya Novanto.

Tanggung jawab Institusi

Sekurang-kurangnya ada beberapa institusi yang dapat menjadi saluran membangun moralitas. Pertama, agama seharusnya menjadi institusi yang paling berkompeten untuk membangun moralitas, sayang kehadirannya masih jauh dari harapan. Karenanya, revitalisasi ajaran keagamaan sangat diperlukan. Bagaimanapun agama hanya merupakan metode agar manusia sampai pada tujuan hidup, yakni kesempurnaan diri. Sempurnanya diri itu dicapai dengan cara memuliakan Tuhan, yakni menjauhi larangannya dan menjalankan perintahnya, salah satunya adalah menyelamatkan mahluk hidup dan lingkungan yang diciptakanNya. Penyelamatan kemanusiaan seharusnya mendapat porsi tertinggi dalam siar keagamaan karena ajaran ini adalah mengasah batin untuk menuju moralitas dan bukan intoleransi.

Kedua, pendidikan baik formal, informal maupun non formal bukan hanya memberi pelajaran mengasah otak melainkan juga batin. Pelajaran yang mengajarkan kecintaan terhadap kemanusiaan, penuh toleransi dan kepedulian terhadap sesama serta lingkungan. Ketiga, membangun penegakan hukum positif yang tidak dapat diintervensi siapapun, tidak ada orang yang kebal hukum sekalipun itu pejabat tinggi. Hukum itu dirancang untuk menjamin keadilan demi pembelaan terhadap hak-hak kemanusiaan. Pelanggaran hukum adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Pembangunan tanpa moralitas, itu perusakan. Karenanya, pembangunan dengan membangun moralitas bermakna penyelamatan manusia di masa depan.

Membangun moralitas merupakan persoalan Pembangunan Sosial (PS). Selama ini PS hanya dipahami sebatas bagaimana bekerjanya kebijakan sosial negara dalam melayani masyarakat. PS lebih dipahami sebagai upaya memberdayakan komunitas rentan agar mandiri, yang orientasinya peningkatan kemampuan ekonomi.

Membangun moralitas tidak menjadi sorotan utama. Padahal ini penting digerakkan sebab pembangunan tanpa moralitas tidak akan sampai pada sebuah peradaban. Studi PS, dulu Sosiatri, yang telah berusia 60 tahun di Fisipol UGM kelihatan belum sedikitpun menggarap kajian, pembelajaran dan gerakan membangun moralitas. Ini tantangan masa depan program studi.

(Penulis adalah Kepala PSPK UGM dan Staf Pengajar Prodi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM)

*Sumber: artikel ini dimuat dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 26 Oktober 2017 | Ilustrasi: moralitas/Kompasiana

Musibah Abadi | Kedaulatan Rakyat

Oleh: M Maksum Machfoedz

 

SETIAP 24 September, rakyat tani dihibur dengan Hari Tani Nasional. Hari diundangkannya Undang-undang nomer 5/1960 yang terkenal dengan UU Pokok Agraria (UUPA). Menurut Bung Karno (BK) melambangkan hari kemenangan rakyat tani. Seringkali luar biasa meriah prosesi ritual harlah itu diselenggarakan, terutama setiap kali bangsa ini bersiap-siap menyongsong prosesi limatahunan, pemilu-pilkada. Prosesi yang nyaris palsu sempurna, untuk tidak menyebut palsu semuanya. Faktanya, lain harapan BK lain pula kenyataan.

Untuk mengenangnya marilah menengok Keppres RI No 169/1963 tentang penetapan 24 September sebagai hari tani. Esensi utama UUPA, ditegaskan dalam konsideran keppres itu: Bahwa tanggal 24 September, hari lahirnja Undang-undang Pokok Agraria merupakan hari kemenangan bagi rakyat tani Indonesia. Dengan diletakkannya dasar-dasar bagi penjelenggaraan ‘land reform’ untuk mengkikis habis sisa-sisa imperialisme dalam lapangan pertanahan, agar rakyat tani dapat membebaskan diri dari segala macam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan beralat tanah. Sehingga melempangkan jalan menuju ke arah masyarakat adil dan makmur.

Konsideran ini menegaskan dua butir penting. Pertama, betapa pentingnya reforma agraria (RA) yang wujudnya adalah redistribusi tanah, yang timpang pemilikannya. Mengingat tanah merupakan alat ekonomi utama, maka tidak ada jalan lain untuk mewujudkan keadilan ekonomi kecuali redistribusi tanah. Setelah 57 tahun UUPA, dan 72 tahun merdeka, kesenjangan pemilikan makin kronis. Mayoritas rakyat tani miskin (RTM) untuk tidur selonjor saja susah. Namun seorang kaya bisa punya ratusan ribu hektar.

Kedua, dengan beralat tanah, harapan BK, rakyat tani dapat membebaskan diri dari segala macam bentuk penghisapan manusia atas manusia, sehingga melempangkan jalan menuju ke arah masyarakat adil dan makmur. Melalui beralat tanah tersebut aneka model pembangunan dan stimulasi perekonomian bisa dilakukan. Untuk menuju kemerdekaan dan kemandirian perekonomian rakyat semesta yang dicita-citakan kemerdekaan.

Dalam apresiasi terhadap orientasi sentral perekonomian model BK, semuanya pasti ngelus dhadha: kenapa jauh sekali harapan itu dari kenyataan, capaian pembangunan anak-anak bangsa hari ini, diwarnai ketimpangan luar biasa pemilikan tanah. Redistribusi pun tidak memiliki kemajuan berarti kecuali didominasi sertifikasi pemilikan, yang hanya memantapkan kepemilikan belaka. RTM makin susah selonjor, pemilik ratusan ribu hektar makin tegar.

Pada tingkat stimulasi pembangunan, ketidakadilan yang dihadapi RTM tidak kalah serem dibandingkan RA. Pada saat mengenang kemenangan rakyat tani, aneka ketimpangan dan sumber penderitaan RTM kini semakin berjubel memenuhi pemberitaan.

Dalam urusan perberasan misalnya, RTM masih menghadapi tidak efektifnya Bulog dan Inpres 5/2015 tentang perberasan. Belum juga inpres dibenahi, RTM menghadapi program sergap dan RTM harus bekerja sama dengan aparat di lapangan, Sementara bodongnya tataniaga ditimpa pula ketetapan harga eceran tertinggi (HET). Aneka kisruh beras mutakhir menambah derita RTM.

Pergulaan nasional lebih seram. Beralasan terbatasnya produktivitas, pergulaan nasional selalu dibantai dengan gula kristal rafinasi (GKR) dan importasi gula mentah hari ini terancam kebijakan tataniaga perlelangan dan pengembangan pasar komoditas tidak jelas. RTM tebu masih ‘diancam’ pula dengan rencana dibekukannya pabrik kecil berdalih produktivitas dan pabrik tua. RTM dan pabrik kini pun mananti sakaratul-maut ketika pemerintah berencana memangkas bea masuk impor gula mentah Australia.

Kisruh komoditas lain melengkapi musibah kado harlah. Daging sapi menghamba importasi dan mandulnya kapal sapi, Pasar unggas dalam kendali 2-3 peternak akbar, cabai jatuh harga karena banjir produksi, bawang merah dan bawang putih terombang-ambing tanpa kendali, dan aneka komoditas lain yang RTM-nya berada antara hidup-mati.

Antara hidup-mati itupun kalau punya lahan. Bagaimana RTM berlahan minim dan tanpa lahan? Jeritannya sangat pasti: redistribusi adalah harga mati! Hanya melalui redistribusi akan ada alat produksi untuk memenuhi harapan BK: mandiri secara ekonomi.

(Penulis adalah Guru Besar Agroindustri FTP UGM dan Waketum PBNU)

*Sumber: artikel ini dimuat dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Senin 25 September 2017 | Ilustrasi: petani/Kedaulatan Rakyat