Pos oleh :

PSPK UGM

Webinar Kongres Kebudayaan Desa 2020 #Seri 3 (2 Juli 2020)

Sekolah yang harusnya jadi tempat belajar, bermain, dan mengembangkan diri, belum memberi kesempatan tersebut. Secara umum, bahkan sekolah formal kerap dipandang belum mampu  membentuk karakter seperti hormat kepada yang lebih tua, berpikir terbuka, hingga sikap bertanggungjawab. Sistem pendidikan di Indonesia hingga kini belum serius berusaha menyelesaikan masalah di bidang pendidikan. Salah satunya karena sistem pendidikan berubah mengikuti pergantian pejabat, sehingga tidak terencana secara jangka panjang.

Meski demikian, di berbagai daerah muncul kelompok yang berusaha membangun model pendidikan yang memanusiakan. Ada Sanggar Anak Alam (Salam) Yogyakarta dan Sekolah Payo-payo Makassar yang mencoba memperlakukan anak didik menjadi manusia yang memiliki sikap hidup, berbudi luhur, hingga menguasai keterampilan hidup. Sejak pandemi COVID-19 memaksa anak-anak belajar di rumah, orangtua kembali menjadi guru. Hal tersebut memaksa kita berpikir kembali, seperti apakah pendidikan yang membebaskan itu?

Webinar Seri 3 mencoba mengulik pemasalahan pendidikan dan menawarkan pendidikan alternatif. Mulai dari bagaimana cara memulai pendidikan yang membabaskan dari tataran desa. Hingga apa saja syarat yang dibutuhkan untuk membangun pendidikan yang mendukung nilai-nilai luhur, seperti kejujuran dan budaya anti korupsi. Karena, pendidikan butuh peran aktif orangtua dan masyarakat. Mereka tidak bisa sekadar menitipkan anaknya di sekolah lalu lepas tangan.

Narasumber:
1. Dr. Samto (Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Kemendikbud)
2. Toto Raharjo (SALAM Yogyakarta)
3. Fadilla M. Apristawijaya, M.A (Sokola Rimba)
4. Ahmad Bahruddin (Anggota BAN DIKMAS)
5. Nurhady Sirimorok (Sekolah Payo-payo Makassar)

Moderator:
AB Widyanta, MA (Sosiologi Fisipol UGM)

Registrasi peserta: s.id/webinarkkd

Info Lebih Lanjut :
Instagram/Twitter  @kongresdesa
Fans Page FB Kongres Kebudayaan Desa
Website: https://kongreskebudayaandesa.id/

Webinar Kongres Kebudayaan Desa 2020 #Seri 2 (1 Juli 2020)

Hancurnya sektor industri akibat pendemi COVID-19 menyebabkan pekerja di kota pulang ke desa.  Lalu pemerintah menyikapinya dengan gelontoran berbagai bantuan sosial untuk mengurangi dampak ekonomi. Termasuk di antaranya mengalokasikan sebagian Dana Desa untuk Bantuan Langsung Tunai yang diutamakan untuk kebutuhan pangan.  Krisis ini menjadi momentum untuk memikirkan kembali sejauh mana sistem ekonomi yang berlaku sebelum pandemi, mengedepankan desa sebagai kekuatan ekonomi yang lebih adil dan memiliki nilai luhur.

Sekaligus kondisi ini menjadi peluang bagi desa untuk melahirkan gagasan dan inovasi dalam mewujudkan tatanan ekonomi baru yang lebih adil. Salah satu contohnya berupa gotong royong yang dilakukan oleh Desa Panggungharjo, Ngestiharjo, Guwosari, Wirokeren, dan Sriharjo di Bantul. Kelimanya mengembangkan platform belanja online Pasardesa.id sebagai upaya untuk menjaga perputaran uang di desa. Sehingga melindungi akses pangan yang menyatu dengan upaya menggerakkan aktivitas ekonomi warga.

Webinar Seri 2 akan membahas  tentang peluang apa saja yang hadir di masa krisis. Termasuk bagaimana menghadirkan sistem ekonomi desa yang mampu bertahan menghadapi krisis. Juga cara memperkuat sistem perekonomian desa dan hubungannya dengan kota. Hingga upaya menyerap tenaga kerja saat memutar perekonomian desa.

Narasumber:
1. Prof. Erani Yustika (FEB UB)
2. Dr. Rimawan Pradiptyo, Ph.D (FEB UGM)
3. Rudy Suryanto. SE, M. ACC., AK., CA (Founder Bumdes.id)
4. Dr. Francis Wahono (MM, Fakultas Ekonomi UST)
5. Dewi Hutabarat (Direktur Eksekutif Sinergi Indonesia, Koperasi KOBETA)

Moderator:
Chandra Firmantoko (ASEC)

Registrasi peserta: s.id/webinarkkd

Info Lebih Lanjut :
Instagram/Twitter  @kongresdesa
Fans Page FB Kongres Kebudayaan Desa
Website: https://kongreskebudayaandesa.id/

Webinar Kongres Kebudayaan Desa 2020 #Seri 1 (1 Juli 2020)

Pandemi yang melanda dunia menyadarkan orang bahwa industri kesehatan gagal melindungi masyarakat. Wabah juga memaksa kita mengubah relasi yang selama ini dianggap normal. Manusia kemudian membatasi sentuhan fisik yang biasa dilakukan. Seperti jabat tangan, berpelukan atau aktivitas fisik lain. Dibalik ancaman yang muncul, COVID-19 membuat kita mempertanyakan tatanan dan kebiasaan yang selama ini terjadi. Termasuk kebutuhan dasar yang seharusnya dijamin oleh pemerintah, tetapi justru diatur oleh swasta dan kekuatan modal.

COVID-19 mengubah semua tatanan tersebut tanpa teriakan revolusi. Berbagai aksi gotong-royong di beragam wilayah memantik pertanyaan, apakah kerjasama adalah puncak dari relasi ekonomi? Apakah puncak relasi politik adalah musyawarah? Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang ingin diuji dan dibuktikan dalam agenda Kongres Kebudayaan Desa (KKD). Hal tersebut membutuhkan kesetaraan yang mengurangi kesenjangan sosial. Pandemi memunculkan kesempatan untuk membangun tatanan yang lebih bermartabat, berkeadilan dan berkesetaraan.

Webinar Seri 1 ini untuk mengumpulkan dan menawarkan ide tatanan baru Indonesia dari desa. Desa sebagai satuan pemerintahan terkecil di Republik Indonesia, perlu menjadi titik awal untuk merumuskan tata nilai dan tata kehidupan baru dalam bernegara dan bermasyarakat. Sekaligus memberikan gagasan tentang kebijakan dan budaya anti korupsi pada pemerintah serta masyarakat desa.

Narasumber:
1. Laode M. Syarif, S.H, LLM, Ph.D (Direktur Eksekutif Kemitraan/Partnership Governance Reform in Indonesia)
2. Budie Arie Setiadi (Wakil Menteri Desa PDTT)
3. Prof. Dr. Melani Budianta MA. Ph.D (Guru Besar FIB UI)
4. Garin Nugroho (Budayawan)
5. Dr. Muhammad Faisal (Founder Youth Laboratory Indonesia)
6. Wahyudi Anggoro Hadi S.Farm. Apt. (Lurah Desa Panggungharjo)

Moderator:
FX Rudy Gunawan (Staf KSP 2014-2019)

Registrasi peserta: s.id/webinarkkd
Info Lebih Lanjut :
Instagram/Twitter @kongresdesa
Fans Page FB Kongres Kebudayaan Desa
Website: https://kongreskebudayaandesa.id/

Kongres Kebudayaan Desa 2020 #Pembukaan (1 Juli 2020)

Pembukaan Kongres Kebudayaan Desa 2020

Rabu, 1 Juli 2020
pukul 09.00 WIB – 10.00 WIB .

Acara:
Sambutan .
– Sri Sultan HB X (Gubernur DIY)
– Wahyudi Anggoro Hadi, S.Farm, Apt (Lurah Panggungharjo)

Keynote Speech: .
– Drs. H. Abdul Halim Iskandar, M.Pd (Menteri Desa)
– Drs. Firli Bahuri, M.Si (Ketua KPK)

Pidato Kebudayaan: .
– Dr. Hilman Farid (Dirjen Kebudayaan)

Registrasi peserta: s.id/webinarkkd

Info Lebih Lanjut :

Instagram/Twitter @kongresdesa

Fans Page FB: Kongres Kebudayaan Desa

Website: https://kongreskebudayaandesa.id/

 

Kongres Kebudayaan Desa 2020

Covid-19 mendekonstruksi semua tatanan tanpa teriakan revolusi. Di sisi yang lain, Covid-19 juga membuktikan bahwa puncak dari relasi sosial adalah kekeluargaan, puncak dari relasi ekonomi adalah kerjasama, serta puncak dari relasi politik adalah musyawarah. Kekeluargaan, kerjasama serta musyawarah adalah makna operatif dari Gotong Royong, nilai yang lahir dari alam pikiran Nusantara dan menjadi bagian dari kebudayaan desa.

Di saat semua tatanan tumbang, kebudayaan dengan tangguh menjadi penopang kehidupan. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah seberapa mungkin kebudayaan desa yang telah terbukti menjadi penopang kehidupan ini dapat dijadikan sebagai tatanan hidup berdesa, berbangsa dan bernegara. Upaya untuk merumuskan kebudayaan desa sebagai gagasan alternatif Tatanan Indonesia Baru pasca pandemi inilah tujuan dari Kongres Kebudayaan Desa diselenggarakan.

Kongres Kebudayaan Desa mempertemukan gagasan warga desa melalui kegiatan riset guna mengetahui kondisi sebelum dan semasa pandemi, sekaligus berupaya menangkap imajinasi warga desa terkait dengan tatanan hidup ke depan. Kongres Kebudayaan Desa membuka kesempatan para akademisi dan pemerhati desa guna urun gagasan melalui tulisan dalam kegiatan Call for Papers. Serial Webinar mencoba menerjemahkan Kebudayaan Desa dalam 17 tema diskusi dengan melibatkan 85 narasumber dari berbagai kelompok kepentingan. Perspektif masyarakat adat akan digali melalui Festival Kebudayaan Desa Nusantara, yang mencoba menangkap imajinasi Indonesia Baru dari perspektif 19 sub kebudayaan Nusantara. Keseluruhan proses akan didokumentasikan dalam 19 buku, dan gagasan yang menjadi kesimpulan dari rangkaian kongres ini akan dikonstruksikan sebagai visi bersama, dan akan dideklarasikan sebagai Tatanan Indonesia Baru dari Desa. . .


Jadwal Kongres Kebudayaan Desa 2020

Riset : Juni-Agustus 2020
Call for Papers : Juni-Juli 2020
Serial Webinar : 1-10 Juli 2020
Festival kebudayaan Desa : 13-16 Juli 2020
Deklarasi : 15 Agustus 2020

Info Lebih Lanjut :
Follow and Subscribe
Instagram/Twitter  @kongresdesa
Fans Page FB Kongres Kebudayaan Desa
Website: https://kongreskebudayaandesa.id/

BUMDes dan Pengembangan Ekonomi Lokal Pada Masa Pendemi COVID-19

Kamis, 18 Juni 2020 pukul 15.00 s/d 17.30 Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) kembali mengadakan seminar bulanan “Rural Corner”. Ada yang berbeda dari pelaksanaan “Rural Corner” kali ini. Dikarenakan masa pandemi COVID-19, acara seminar bulanan kali ini dikemas secara daring melalui aplikasi ZOOM.

Dengan mengangkat tema “”, acara Rural Corner pada kesempatan ini menghadirkan 3 orang narasumber: Sukasmanto, M.Si (Peneliti Institute Research and Empowerment), Subejo, P.hD (Tim Ahli PSPK UGM & Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian UGM), serta Antonius Budi Susilo, S.E, M.Soc.Sc (Dosen Universitas Sanata Darma Yogyakarta) yang dimoderatori oleh Muhammad Yunan Roniardian, M.Sc (Peneliti PSPK UGM).

Berbeda dengan Rural Corner yang menggunakan teknik konvensional (tatap muka) yang hanya dihadiri oleh peserta dari daerah DIY dan sekitarnya, pelaksanaan Rural Corner secara daring kali ini diikuti oleh peserta dari berbagai penjuru Indonesia. Mulai dari Kalimantan, Sumatera, bahkan Papua yang berasal dari berbagai kalangan seperti praktisi, akademisi, peneliti maupun masyarakat.

Dalam pemaparannya, Sukasmanto sebagai pembicara pertama menyampaikan bahwa masa pendemi COVID-19 merupakan momentum yang baik bagi BUMDes untuk menata kembali orientasinya. Bukan hanya sebagai unit bisnis yang hanya mengejar keuntungan ekonomi semata, tetapi juga menjalankan fungsi sosial dengan lebih berperan dalam membangun jaring pengaman sosial bagi masyarakat. Selain itu, masa ini juga menjadi momentum penting untuk berbenah diri agar mampu menghadapi semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi BUMDes akibat pendemi COVID-19.

Persoalan ekonomi yang dihadapi baik oleh BUMDes maupun masyarakat semakin komplek akibat pendemi COVID-19. Persoalan tersebut antara lain penurunan perekonomian desa akibat kesulitan yang dialami oleh petani untuk memasarkan hasil produksi, terpuruknya UMKM, penurunan daya beli masyarakat, dan peningkatan beban ekonomi desa akibat banyaknya pemudik yang pulang ke desa dengan membawa persoalan mereka akibat hilangnya pekerjaan di kota.

BUMDes harus berperan untuk mengatasi dampak ekonomi akibat pendemi COVID-19 sebagai representasi pemerintah desa yang wajib hadir dalam masa sulit tersebut. Untuk dapat memberi kontribusi maksimal dalam upaya mengatasi berbagai persoalan yang muncul di desa akibat pendemi COVID-19, maka BUMDes perlu melakukan konsolidasi lembaga; serta refleksi keadaan dan melakukan transformasi organisasi, orientasi dan eksistensi.

Selain itu, BUMDes harus mampu mengembangkan strategi bisnis baru dengan mengalihkan usaha yang terdampak COVID-19 ke usaha yang tidak terdampak, melakukan konsolidasi internal, mendorong pemerintah desa menambah penyertaan modal, serta membangun kemitraan dengan pelaku ekonomi lokal.

Subejo sebagai pemateri sesi kedua memaparkan bahwa pendemi COVID-19 telah berdampak pada ketahanan pangan. Terhentinya mobilitas barang dan jasa domestik akibat adanya pembatasan sosial dan kebijakan pembatasan ekspor bahan pangan yang diterapkan oleh negara produsen bahan pangan telah meningkatkan potensi terjadinya krisis pangan di banyak negara termasuk Indonesia.

Guna mencegah terjadinya krisis pangan, maka BUMDes bisa berperan dalam menjaga ketahanan pangan dengan melakukan berbagai kegiatan, baik dalam aspek produksi, distribusi maupun konsumsi. Kunci agar BUMDes mampu melakukan peran tersebut adalah dengan melakukan inovasi dan memilih berbagai jenis usaha yang belum banyak dilakukan oleh pihak lain. Berbagai jenis usaha yang bisa dilakukan oleh BUMDes dalam masa pendemi COVID-19 antara lain: pemasar produk pertanian, perkebunan, peternakan, kerajinan, produksi dan perdagangan es batu, sarana prosuksi pertanian, usaha pertanian, peternakan perkebunan, dan pengolahan hasil komoditi desa, kredit pembiayan produksi, penyediaan input produksi, penyediaan peralatan produksi agro, pengumpulan produk agro, penyediaan pergudangan, penyediaan transportasi, hingga pemasaran produk agro.

Strategi pengembangan BUMDes agar mampu mengembangkan usaha di masa pendemi COVID-19 adalah dengan melakukan inovasi dan pemanfaatan teknologi, penguatan permodalan usaha, pengadaan sarana dan prasarana, dan penguatan kapasitas SDM baik dalam aspek manajerial, TIK maupun kemampuan melakukan negosiasi.

Antonius Budisusilo sebagai pemateri sesi ketiga memaparkan bahwa pendemi COVID-19 telah menimbulkan respon yang berbeda-beda baik dari masyarakat maupun pemerintah. Pada tataran pemerintahan, pemerintah-pemerintah di dunia mengeluarkan kebijakan yang berbeda-beda sesuai dengan pertimbangan masing-masing. Ada pemerintah yang menjalankan kebijakan lockdown, namun ada juga yang melaksanakan kebijakan pembatasan sosial. Meskipun ada perbedaan dalam menanggapi dampak pendemi COVID-19, namun secara prinsip semua negara memiliki kewajiban yang sama, yaitu harus melindungi rakyatnya.

BUMDes sebagai representasi desa yang merupakan unit terkecil penyelenggara negara juga memiliki kewajiban yang sama untuk melindungi masyarakat. BUMDes dalam menjalankan usaha harus selalu menerapkan prinsip subsidiaritas, yaitu prinsip yang melarang BUMDes untuk mematikan usaha yang sudah dilakukan oleh warga masyarakat di desa tersebut.

Banyak kasus yang menunjukkan bahwa selama ini banyak BUMDes yang telah meninggalkan prinsip tersebut. Sebagai contoh, banyak desa yang mengambil peran pengelolaan destinasi wisata yang selama ini dilaksanakan oleh warga masyarakat melalui kelompok sadar wisata (pokdarwis). Hal itu menyebabkan warga masyarakat tidak dapat lagi mengambil manfaat dari keberadaan destinasi wisata yang ada di desa tersebut, sehingga terjadi konflik antara BUMDes dengan warga masyarakat.

Adanya konflik antara warga masyarakat dan BUMDes, khususnya dalam pengelolaan destinasi wisata menurut Antonius Budisusilo terjadi karena tumpang tindihnya aturan hukum yang mengatur kegiatan pariwisata, yaitu antara UU No 9 Tahun 1970 yang mengatur tentang liberalisasi sektor wisata yang mengakibatkan dominannya sektor privat, dan UU No. 10 tahun 2003 tentang wisata yang juga memberi peran pada masyarakat untuk melakukan pengelolaan destinasi wisata.

Dalam akhir pemaparannya, Antonius Budisusilo menyatakan bahwa hilangnya prinsip subsidiaritas dalam UU Desa secara de-facto membuat ekonomi komunitas yg inklusif berpeluang diambil-alih oleh kekuasaan negara melalui BUMDes. Tindakan BUMDes melakukan merger dan akuisisi atas pokdarwis menjadikan pokdarwis mengalami proses disipasi dan mengakibatkan kinerja wisata yang stagnan dan merosot, bahkan gulung tikar. BUMDes akan bermakna dalam konteks pengembangan ekonomi lokal pada masa pandemi COVID-19 ini, jika BUMDes mampu mengambil peran dalam mendukung kekuatan-kekuatan ekonomi komunitas dan atau merintis usaha yang tidak dikuasi rakyat. Salah satu agenda penting bagi BUMDes dari aspek kelembagaan adalah harmonisasi pengaturan (rule of the game) terkait UU Pariwisata, UU Desa dan UU Keistimewaan, sehingga membentuk tata-kelola yang mengarahkan para pelaku ekonomi.

Dalam sesi diskusi, Yanto seorang pengurus BUMDes yang mengelola destinasi wisata Goa Pindul Gunung Kidul, menyampaikan pertanyaan terkait strategi yang bisa dilakukan oleh BUMDes agar mampu bangkit dalam masa pendemi COVID-19. Ada pula Bayu Mahendra, yang mengajukan pertanyaan terkait perbedaan BUMDes dengan KUD. Sementara Anif Muklasin, mengajukan pertanyaan terkait kondisi mayoritas BUMDes secara umum yang telah menerima penyertaan modal yang besar dari desa namun tidak mampu mendatangkan penghasilan yang layak.

Menanggapi berbagai pertanyaan dari peserta tersebut, Sukasmanto menyatakan bahwa strategi yang bisa dilakukan oleh BUMDes di masa pendemi ini adalah melakukan konsolidasi internal, penataan kembali destinasi wisata yang dikelola, mengemas paket wisata yang lebih sesuai dengan masa new normal, memunculkan usaha baru yang munculakibat pendemi misalnya produksi masker anti air, dan memikirkan pengembangan usaha lain selain usaha yang selama ini dilaksanakan. Sedangkan terkait dengan kondisi BUMDes yang menerima penyertaan modal tapi tidak mampu menghasilkan keuntungan, semua itu tergantung dari niat awal saat mendirikan BUMDes, apakah hanya untuk formalitas atau memang bertujuan untuk mengembangkan usaha. Apabila pendirian BUMDes tersebut hanya formalitas belaka karena mengikuti aturan dan tidak dipersiapkan dengan baik, maka wajar bila BUMDes tersebut tidak dapat berkembang.

Subejo menyampaikan tanggapan atas pertanyaan yang diajukan oleh peserta terkait dengan perbedaan BUMDes dan KUD. Ia menyatakan bahwa keduanya memiliki perbedaan jika dilihat dari sisi kepemilikan. KUD adalah milik anggota, sedangkan BUMDes adalah milik Desa. Selain itu, keduanya juga berbeda dari sisi landasan hukum pendiriannya. KUD berdasarkan UU Koperasi, sedangkan BUMDes berdasarkan UU Desa. Terkait dengan pertanyaan tentang strategi pengembangan BUMDes, Subejo menyampaikan bahwa perlu dilakukan diversifikasi usaha berdasarkan potensi yang ada di desa tersebut.

Tak ketinggalan, Antonius Budisusilo juga turut menyampaikan tanggapan atas pertanyaan yang disampaikan oleh beberapa peserta. Ia menyampaikan bahwa konflik yang terjadi dalam pengelolaan destinasi wisata antara warga masyarakat dengan BUMDes terjadi karena aturan yang tidak jelas. “Seharusnya semua diberi peluang oleh negara untuk melakukan pengelolaan sehingga mereka dapat bersinergi dengan baik,” tuturnya.

Webinar: Rural Corner – 18 Juni 2020

Pandemi covid-19  telah menghantam perekonomian Indonesia, termasuk diantaranya ekonomi desa. Pandemi ini berpengaruh pada perekonomian dan perubahan sosial di desa. Hilangnya peluang dan kesempatan kerja di berbagai sektor informal, terhentinya kegiatan pariwisata desa, berkurangnya demand untuk berbagai produk pertanian dan UMKM, terganggunya distribusi komoditas barang, berkurangnya supply bahan baku, terlambatnya pemenuhan pupuk dan alat pertanian, berkurangnya berbagai aktivitas sosial, sangat berpengaruh terhadap penurunan ekonomi warga desa. Ancaman kerentanan pangan rumah tangga, meningkatnya pengangguran usia produktif, dan penurunan daya beli masyarakat desa menjadi dampak lanjutan dari pandemi ini.

Pada titik inilah sebenarnya, keberadaan BUMDes sebagai salah satu bentuk institusi pengembangan ekonomi lokal (PEL) mendapatkan momentum untuk berperan dalam mengatasi dampak pandemi bagi masyarakat desa. BUMDes diharapkan mampu bertahan di tengah ancaman ekonomi, mampu mengubah ancaman ekonomi menjadi sebuah kesempatan ekonomi, bahkan mampu menjadi wirausaha sosial yang membantu pemenuhan kebutuhan ekonomi warga desa dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Tentunya diperlukan sikap proaktif pemerintah desa dan pengurus BUMDes dalam melakukan akselerasi mobilisasi dan membangun partisipasi aktor-aktor lokal dalam memanfaatkan berbagai sumberdaya lokal desa.

Acara ini akan berlangsung secara online melalui Zoom. Untuk registrasi peserta dapat melalui nomor Whatsapp berikut: 08974273546

Kuota terbatas hanya untuk 100 peserta!

Bagi calon peserta yang tidak mendapatkan tempat dapat mengikutinya secara LIVE di kanal Youtube: PSPK UGM.

Pemilihan Kepala Desa dan Pemanfaatan Teknologi Informasi & Komunikasi

Kamis, 5 Maret 2020, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) kembali menggelar seminar bulanan Rural Corner dengan topik “Pemilihan Kepala Desa dan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).” Hadir sebagai pembicara Drs. Budiharjo, M.Si selaku Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Sleman; serta Dr. Mada Sukmajati, M.PP, Dosen Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM. Acara yang dihelat di Ruang Sartono ini dimoderatori oleh Muhammad Yunan Roniardian, M.Sc, Peneliti PSPK UGM. Acara ini berhasil mengundang atensi publik dengan banyaknya kehadiran peserta dari berbagai kalangan. Mulai dari mahasiswa, dosen, penggiat desa, dan warga masyarakat yang peduli dengan kemajuan desa.

Dalam pemaparannya, Budiharjo menyampaikan bahwa seiring dengan visi Kabupaten Sleman, yaitu terwujudnya masyarakat Sleman yang lebih sejahtera, mandiri, berbudaya, dan terintegrasikannya sistem e-Government menuju smart regency pada tahun 2021, serta atas dasar peraturan daerah (Perda) nomor 18 tahun 2019, tentang perubahan kedua atas perda Sleman nomor 5 tahun 2015 tentang tata cara pemilihan dan pengangkatan kepala desa, maka Pemerintah Kabupaten Sleman bertekad untuk melaksanakan pilkades 29 Maret 2020 di 49 desa, 718 padukuhan, 17 kecamatan menggunakan sistem e-voting.

Latar belakang dilaksanakannya e-voting dalam pilkades antara lain, (1) lambatnya proses penghitungan suara, (2) kurangnya validitas data pemilih, (3) hilangnya suara karena rusak atau tidak sah, (4) perbedaan hasil penghitungan yang dilakukan panitia dengan saksi, serta (5) pemanfaatan surat suara sisa. Sementara itu, keunggulan sistem e-voting menurut pembicara adalah (1) pemberian suara hanya menyentuh tanda gambar di panel, (2) penghitungan suara menjadi lebih cepat dan akurat, (3) tidak ada suara yang hilang, (4) sistem keamanan terjamin, (5) menghasilkan jejak audit elektronik dalam bentuk struk suara pilihan pemilih, dan (6) menjamin transparansi, akuntabilitas, serta kecepatan bagi publik untuk mengakses hasil pemilihan.

Untuk melaksanakan pilkades serentak dengan sistem e-voting diperlukan ketersediaan sumber daya, antara lain sumber daya manusia (SDM), regulasi, anggaran dan peralatan. Untuk memperoleh SDM yang berkompeten dalam mendukung pemilihan kepala desa dengan e-voting maka pemerintah kabupaten telah bekerja sama dengan 7 perguruan tinggi di DIY untuk menyediakan tenaga teknis utama (TTU) yang berjumlah 59 orang dan tenega teknis lapangan (TTL) yang berjumlah 1220 orang. Terkait dengan regulasi yang menjadi payung hukum pelaksanaan pilkades dengan e-voting, pemerintah kabupaten telah menerbitkan Perda dan Perbub yang mengatur berbagai hal terkait pilkades dengan sistem e-voting. Untuk anggaran yang akan dipergunakan untuk mendukung kegiatan pilkades serentak dengan sistem e-voting pemerintah kabupaten mengganggarkan dana sebesar 50 milyar yang akan dipergunakan untuk pengadaan alat dan pemberian bantuan penyelenggaraan pilkades di tiap-tiap desa. Terkait dengan peralatan yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan pilkades serentak dengan sistem e-voting pemerintah kabupaten telah membeli laptop dengan aplikasi, touchsrceen, desktop dan saat ini disimpan di beberapa gudang milik pemkab.

Terkait dengan keamanan sistem e-voting Budiraharjo menyampaikan bahwa sistem ini sangat aman karena sistem tidak tersambung ke jaringan internet apapun. Dari aspek kerahasiaan pilihan, sistem bisa merahasiakan pilihan pemilih, hasil pilihan di enkripsi dan diacak urutannya. Terkait dengan akurasi, semua surat suara pemilih dihitung secara akurat. Tanda pemilih sudah memilih adalah tercetaknya struk audit, diambil pemilih dan diverifikasi, lalu dimasukkan ke kotak audit. Pilihan dapat diverifikasi, pemilih secara personal dapat memastikan bahwa surat suara benar direkam sesuai pilihan, dihitung sesuai yang direkam, dan pemilih dapat memverifikasi pilihannya.

Dr. Mada Sukmajati, sebagai pembicara kedua menyampaikan bahwa tujuan utama pelaksanaan pilkades adlah kesejahteraan masyarakat desa. Dengan sistem apapun, baik manual maupun dengan teknologi pilkades harus dapat mewujudkan tujuan tersebut. Ia menegaskan bahwa teknologi dalam pelaksanaan pilkades bukanlah tujuan utama melainkan hanya sarana untuk meraih tujuan utama yaitu kesejahteraan masyarakat desa.

Pelaksanaan pilkades dengan sistem e-voting yang akan diselenggarakan oleh pemkab Sleman, seyogyanya juga bisa disinergikan dengan pelaksanaan Pilkada dan Pilpres/Pileg. Karena berbagai permasalahan yang selama ini terjadi dalam pilkades juga sering terjadi dalam Pilkada/Pilpres/Pileg maka kemampuan PemKab Sleman untuk menyelesaikan berbagai persoalan tersebut bisa menjadi pembelajaran untuk menyelesaikan persoalan yang sama yang juga terjadi dalam Pilkada/Pilpres/Pileg. Beberapa persoalan yang sering mewarnai pilkades misalnya politik uang, politik hoak dan politik identitas, apabila bisa diselesaikan oleh pemerintah kabupaten Sleman maka kemampuan tersebut bisa dikontribusikan untuk menyelesaikan persoalan yang sama yang juga terjadi dalam Pilkada/Pilpres/Pileg.

Mada Sukmajati juga berharap bahwa penyelenggaraan pilkades dengan sistem e-voting juga dapat membawa perubahan pada peningkatan hasil pemilu, yaitu terpilihnya calon kepala desa yang ideal. Apabila pilkades dengan sistem manual belum bisa menghasilkan calon kepala desa yang ideal maka dengan sistem e-voting diharapkan dapat dihasilkan kepala desa yang ideal. Namun apabila kualitas kepala desa yang dihasilkan dari pilkades dengan sistem e-voting sama dengan kepala desa yang dipilih dengan pilkades manual maka perubahan sistem tersebut bisa dikatakan belum berhasil.

Pemanfaatan teknologi informasi dalam pilkades hendaknya bisa memunculkan calon kepala desa yang berkualitas, yaitu kepala desa yang mampu mengembangkan politik programatik, mengandalkan program unggulan untuk meraih dukungan masyarakat desa. Pilkades sistem e-voting juga diharapkan bisa menjadi arena regenerasi pemimpin nasional. Melalui pilkades dengan sistem e-voting diharapkan bisa terpilih pemimpin desa yang berkualitas yang bisa meningkatkan dan mengembangkan diri ehingga bisa menjadi pemimpin nasional.

Untuk meraih berbagai harapan terkait dengan pelaksanaan pilkades dengan sistem e-voting tersbu maka seyogyanya pemerintah kabupaten Sleman bukan hanya melakukan pekerjaan yang terkait dengan masalah teknis pelaksanaan pilkades, tetapi juga bisa mengembangkan sistem dalam pilkades yang bisa mengembangkan kualitas calon kepala desa. Misalnya dengan mengembangkan sistem penyampaian visi misi calon kepala desa secara dialogis antara calon kepala desa dengan masyarakat atau dengan sistem debat antar calon.

Dalam sesi diskusi, Widayadi peserta dari Tempel, Sleman menyampaikan harapannya bahwa sistem baru dalam pilkades bisa menyelesaiakan berbagai persoalan yang ada di desa, misalnya kasus penambangan pasir. Mahmud dari Institute for Research and Empowerment (IRE) menyampaikan hasil penelitian mandiri terkait dengan e-voting yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Sleman dan ia menekankan bahwa sosialisasi tentang e-voting penting bagi seluruh warga masyarakat. Sedangkan Angga, peserta dari kalangan mahasiswa menanyakan persoalan terkait dengan kualitas hasil print yang akan menjadi bukti audit hasil yang rata-rata tidak bisa bertahan lama.

Menanggapi berbagai hal yang disampaikan oleh peserta, Budiharjo menyampaikan bahwa tenggat waktu untuk penyelesaian sengketa pilkades hanya 1 bulan sehingga diharapkan hasil print-out masih bisa terbaca dengan baik. Sedangkan Mada Sukmajati menyampaikan bahwa pilkades harus bisa menjadi ajang untuk menyampaikan berbagai persoalan yang ada di desa kepada para calon kepala desa, sehingga dapat diketahui kebijakan apa yang akan dilakukan oleh calon kepala desa tersebut untuk menyeleaikan masalah tersebut. [Mulyono]

Seminar Bulanan “Rural Corner” 5 Maret 2020

Pemilihan kepala desa (Pilkades) secara langsung, sebagai metode berdemokrasi di desa, sudah berlangsung lama di Indonesia. Desa-desa di Pulau Jawa telah mempraktikkan Pilkades secara langsung sejak masa paskakemerdekaan hingga kini. UU Desa Tahun 2014 (pasal 31, ayat 1) menegaskan bahwa kepala desa dipilih secara langsung dan pelaksanaannya dilakukan secara serentak di seluruh wilayah kabupaten.

Seiring dengan perkembangan teknologi dan kemajuan praktik demokrasi, TIK diperkenalkan dan dipergunakan dalam gelaran Pilkades. Sejumlah desa telah mempraktikkan e-voting. Sebagai contoh, Pilkades dengan menerapkan e-voting telah berlangsung di Kabupaten Brebes pada bulan Desember 2019 dan di Kabupaten Boyolali pada bulan Juni 2019. Pilkades dengan e-voting secara serentak akan digelar di Kabupaten Sleman pada bulan Maret 2020.

Pemanfaatan TIK dalam Pilkades merupakan gejala politik dan demokrasi lokal yang menarik namun kurang didiskusikan secara publik. Sejumlah isu menarik bisa didiskusikan: sejauh mana pemanfaatan TIK dalam Pilkades mampu memajukan praktik demokrasi; apakah praktik e-voting bisa memitigasi dan mengurangi praktik politik uang dalam Pilkades, dan isu-isu demokrasi lokal lainnya.

Dalam kaitan inilah, seminar bulanan ini menghadirkan narasumber yang memiliki pengalaman riset dan praktisi yang terlibat dalam pemanfaatan TIK untuk Pilkades.

Gratis untuk umum! Untuk registrasi peserta dapat melalui nomor whatsapp berikut:
08974273546

Desa Digital: Problem, Tantangan dan Peluang

Kamis, 6 Februari 2020 pukul 15.00-18.00, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) kembali menghadirkan kegiatan seminar bulanan bertajuk “Rural Corner”. Kegiatan seminar yang dilaksanakan secara rutin setiap hari Kamis minggu pertama tersebut menghadirkan dua narasumber sebagai pemantik diskusi yaitu Puji Riyanto, MA, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia sekaligus Pegiat Media dari LSM Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2M), serta Muazim Poyeng, Pegiat Media dari LSM Mitra Wacana. Dengan mengangkat tema “Desa Digital: Problem, Tantangan dan Peluang”, Acara yang dimoderatori oleh Angie Purbawisesa selaku Peneliti Muda PSPK UGM ini dihadiri oleh sekitar 50 peserta yang berasal dari berbagai kalangan, antara lain mahasiswa, pegiat pemberdayaan desa, pegiat media dan masyarakat umum.

Dalam pemaparannya, Puji Riyanto menyampaikan hasil penelitian tentang Sistem Informasi Desa (SID) yang pernah dilakukan di enam desa di Indonesia yaitu desa Leu Bima NTB, Dlingo Bantul DIY, Jimbaran Semarang Jawa Tengah, Bangkalaloe Jeneponto Sulawesi Selatan, Majasari Indramayu Jawa Barat, dan Desa Sebayan, Sambas Kalimantan Barat. Penelitian tersebut didasari oleh beberapa latar belakang, khususnya pasal 86 UU no 6 Tahun 2014 tentang desa yang menyatakan bahwa (1) desa berhak mendapatkan akses informasi melalui sistem informasi desa yang dikembangkan oleh pemerintah daerah/kabupaten, (2) pemerintah/pemerintah daerah wajib mengembangan sistem informasi desa dan pembangunan kawasan perdesaan, (3) sistem informasi desa meliputi fasilitas perangkat keras dan perangkat lunak, jaringan, serta sumber daya manusia, (4) sistem informasi desa meliputi data desa, data pembangunan desa, kawasan perdesaan, serta informasi lain yang terkait dengan pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan, (5) sistem informasi desa dikelola oleh pemerintah desa dan dapat diakses oleh masyarakat desa dan semua pemangku kepentingan, dan (6) pemerintah daerah kabupaten/kota menyediakan informasi perencanaan pembangunan kabupaten/kota untuk desa.

Berdasarkan hasil penelitian, kondisi SID di enam desa yang menjadi lokasi penelitian berbeda-beda. Pada saat ini hanya website milik Desa Dlingo yang masih aktif, sedangkan yang lain sudah tidak aktif lagi (mengalami mati suri).Sejarah SID di masing-masing desa juga berbeda-beda, ada SID desa yang difasilitasi oleh kementrian desa, namun ada pula yang difasilitasi oleh kementrian kominfo. Perbedaan tersebut menyebabkan SID tidak memiliki format/sistem yang sama. Pengelola SID di tiap-tiap desa juga berbeda. Ada SID yang dikelola oleh petugas admin yang diberi insentif meskipun rendah, dan ada pula SID yang dikelola oleh perangkat desa. Karena perangkat desa tersebut memiliki tugas pokok, maka pengelolaan SID hanya merupakan tugas tambahan. Terkait dengan pemanfaatan SID, beberapa desa memanfaatkan SID untuk pelayanan kebutuhan administrasi, beberapa desa untuk publikasi desa melalui website, dan semua desa memanfaatkan SID untuk transparansi.

Penelitian ini juga menemukan beberapa kendala yang menghambat perkembangan SID yaitu kendala struktural yang meliputi, tidak adanya regulasi turunan yang mengatur SID dan lemahnya peran pemerintah daerah dalam mendorong implementasi SID, pendekatan yang bersifat sektoral dan diskontinyu dan lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah yang menangani SID, lemahnya SDM lokal dan dukungan birokrasi (tidak ada nomenklatur di pemerintah desa), serta kelangkaan infrastruktur. Sedangkan kendala kultural meliputi kurangnya literasi digital masyarakat, dan kultur birokrasi serta cara pandang dalam melihat informasi. Keterbukaan informasi hanya untuk pemerintah di bawah.

Untuk perbaikan ke depan, Puji Riyanto menyampaikan beberapa rekomendasi, yaitu mendorong literasi warga karena literasi media merupakan prasarat untuk membangun kewargaan digital, pendekatan lintas sektoral. Kerja sama lintas sektoral antar kementrian mengenai SID, penggunaan basis data tunggal, dan pengelolaan TI di bawah kominfo. Pengelolaan infrastruktur yaitu ketersediaan jaringan internet dan penyediaan perangkat komputer. Membangun kultur birokrasi yang lebih terbuka dan mengarah ke kultur digital.

Muazim Poyeng sebagai pembicara kedua juga menyampaikan hasil riset aksi yang pernah dilakukan oleh Mitra Wacana. Kegiatan tersebut dilakukan di 12 desa dan 12 komunitas di 3 kabupaten. Dalam melakukan riset aksi Mitra Wacana menjabarkan konsep desa digital dalam beberapa aspek, yaitu pembangunan infrastruktur, penguatan SDM, pelayanan publik, pengelolaan keuangan, pengelolaan data dan informasi, pengembangan potensi, dan mekanisme aduan berbasis digital.

Berdasarkan pemetaan yang pernah dilakukan oleh Mitra Wacana terdapat beberapa masalah utama yang dihadapi desa-desa dampingan dalam pengembangan SID, yaitu pengatahuan dan skill perangkat desa belum memadai, infrastruktur teknologi informasi belum memadai dan regulasi dan kebijakan yang tumpang tindih. Untuk mengatasi berbagai kendala tersebut maka Mitra Wacana menerapkan strategi, pertama menjakau dan membuka partisipasi kelompok milenial desa. Kedua, memperkuat dan memberdayakan kelompok milenial, ketiga, menjalin kolaborasi dan integrasi dengan berbagai pihak yang peduli pada pengembangan SID.

Di salah satu desa dampingan, Mitra Wacana memfasilitasi warga untuk mengembangkan media Desa. Media desia tersebut memiliki fungsi untuk menyuarakan kepentingan kelompok marginal yang selama ini tidak memiliki saluran untuk menyampaikan aspirasi mereka. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan untuk mendorong adanya media desa antara lain pelatihan jurnalistik, pelatihan analisis sosial, dan pendampingan produksi media desa. Beberapa isu yang pernah diangkat dalam media desa adalah perdagangan manusia, jambanisasi, dll.

Dalam sesi diskusi, Heri peserta seminar dari Ngestiharjo menanyakan strategi memulai pendampingan agar bisa diterima di desa dan langkah melakukan pemetaan masalah di desa. Agung, peserta RC dari kalangan mahasiswa menyampaikan pertanyaan terkait strategi yang bisa dilakukan agar tidak terjebak dalam berbagai konsep yang muncul, misalnya digitalisasi, dll, strategi membaca desa sebagai sebuah ekosistem, bukan secara sektoral. Sedangkan Mahmud, peserta diskusi dari kalangan pegiat desa menyampaikan tanggapan bahwa SID memiliki tujuan untuk mendorong terjadinya keterbukaan di desa dan perenncanaan desa yang lebih partisipatif, serta mengajak untuk mengelola SID bukan berbasis data tetapi berbasis kebijakan.

Menanggapi pertanyaan dari peserta diskusi, Puji Riyanto menyampaikan bahwa regulasi media dapat diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Disatu sisi diperlukan untuk melindungi data pribadi sedangkan disisi lain regulasi memiliki kecenderungan untuk bersifat otoriter. Oleh karena itu dalam merumuskan sebuah regulasi perlu dipertimbangkan berbagai aspek sehingga regulasi tersebut benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan tidak menghilangkan kebebasan warga untuk menyampaikan aspirasi. Regulasi seyogyanya disusun bukan hanya berdasarkan aspek teknoogi semata tetapi juga memperhatikan aspek sosial budaya. Poyeng menanggapi pertanyaan peserta diskusi dengan menyampaikan bahwa digitalisasi di desa bisa membawa manfaat baik bagi desa asalkan proses digitalisasi tersebut tidak mengabaikan potensi dan masalah yang ada di desa. [Mulyono]