Bekerja sama dengan IRE Yogyakarta, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada pada hari Selasa, 26 Mei 2015, mengadakan seminar tentang “Peluang dan Tantangan Integrasi Corporate Social Responsibility dengan Pembanguan Desa.” Seminar diselenggarakan mulai pukul 13.00. WIB hingga 15.00. WIB, di ruang sidang besar PSPK UGM, Bulaksumur G-7 Yogyakarta dengan menghadirkan 3 (tiga) orang narasumber, yaitu Dr. Bambang Hudayana, MA (kepala PSPK UGM), Sukasmanto, M.Si (peneliti IRE), dan Jamil Bahruddin, S.Sos, M.Sc, dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM.
Dalam seminar tersebut, Dr. Bambang Hudayana membahas tantangan dan strategi membangun kemitraan antara desa-perusahaan-daerah guna menyambut UU Desa. Sukasmanto, M.Sc membahas tentang perubahan kedudukan, kewenangan, perencanaan, dan keuangan desa sebagai peluang baru bagi desa-perusahaan-daerah untuk menjalin relasi yang lebih sinergis dengan porsi sharing sumber daya dan peran yang lebih proporsional. Sedangkan, Jamil Bahrudin membahas kerangka regulasi CSR yang enabling maupun constraining bagi inisiatif “CSR integrasi dengan UU Desa”, existing inisiatif-inisiatif good practices CSR, serta strategi untuk mengelola dinamika internal perusahaan untuk mendorong praktik CSR yang sinergis dan integrative dengan pelaksanaan UU Desa.
Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa memberi peluang bagi kalangan perusahaan dalam melaksanakan program Corporate Social and Responsibility (CSR). Desa oleh UU ini memiliki kedudukan yang lebih kuat terkait kewenangan, perencanaan pembangunan, dan keuangan. Desa kini punya ruang mendefinisikan lingkup kewenangan asal-usul dan lokal berskala desa (Permendesa 1/2015). Kewenangan tersebut menjadi pijakan perencanan desa (RPJM Desa dan RKP Desa), yang mana juga wajib dihormati oleh pemerintah, provinsi, kabupaten dan pihak ketiga (perusahaan, lembaga donor internasional, dll.) ketika ingin melakukan pembangunan di desa. Agar kewenanangan dan perencanaan secara nyata bisa dilaksanakan, UU Desa telah menggariskan bahwa desa mendapatkan alokasi APBN berupa Dana Desa dan Alokasi Dana Desa.
Perubahan kebijakan Negara terhadap desa di atas tentu merupakan angin segar, tak terkecuali bagi perusahaan. Ketika APBD habis untuk belanja pegawai dan alokasi untuk pembangunan dan pelayanan publik sedikit, desa selama ini memiliki harapan besar terhadap peran swasta (Welker, 2007). Terlebih, bagi industri ekstraktif yang sejak fase konstruksi telah menimbulkan ekses negatif baik itu yang bersifat sosial maupun lingkungan.
Namun tentu, itikad dan iktiar perusahaan untuk mengatasi ekses negatif sekaligus berkontribusi positif bagi masyarakat tidak mudah.
- Pertama, masyarakat dan pemerintah sejatinya tidak tunggal. Perusahaan kiranya tidak mudah menemukan mitra yang memang memiliki kemauan politik untuk sungguh-sungguh memberdayakan masyarakat dan membangun daerah, kendati aktor local champion (pembaharu) bukannya tidak ada. Tak jarang, aktor yang bersifat predatory (preman, elit lokal yang korup, dst.) justru lebih diperhatikan oleh perusahaan karena pertimbangan mitigasi resiko ketimbang aktor-aktor champions.
- Kedua, sejak lama perusahaan telah menempuh pendekatan karitatif dan secara tak sadar menumbuhkan mindset ketergantungan. Pemerintah daerah, pemerintah desa dan masyarakat sudah sedemikian terbiasa. Alhasil, ketika perusahaan ingin mengubah pendekatan dan strategi program CSR, ada hambatan berupa keengganan bahkan penolakan stakeholders karena dirasa sulit, rumit, dan butuh sharing kontribusi. Kita masih sering medengar seorang bupati yang bangga bisa memarahi perusahaan karena kecamatan lokasi industri masih miskin meskipun wilayah tersebut sejatinya berada di luar Ring I. Pemda dan pemdes tidak sadar menimpakan eksternalitas negative dari mis-alokasi suberdaya publik: mengalokasikan APBD dan APB Desa untuk kepentingan elit dan menimpakan tanggung jawab normatifnya kepada perusahaan.
- Ketiga, cara pandang di internal perusahaan juga sulit berubah. Misalnya, pendekatan yang integratif dengan perencanaan pembangunan daerah dan desa, yang lebih inklusif dan partisipatif beyond elit lokal, serta yang berorientasi outcome kualitatif dan jangka panjang ketimbang pencapaian ukuran-ukuran kuantitatif jangka pendek juga masih sulit diterima oleh sebagian besar manajemen perusahaan. Padahal, lanskap sosial-politik telah berubah dari yang dulu bersifat sentralistis, top-down, menekankan pendekatan keamanan.
- Keempat, CSR adalah keseluruhan dari praktik industri. CSR bukan bermakna bahwa perusahaan bisa menjalankan operasi bisnis semaunya untuk kemudian membagikan sejumlah persen keuntungan kepada stakeholders (Hamman, 2003). Implikasinya, CSR adalah agenda perusahaan secara kelembagaan dan bukan sebatas program/kegiatan divisi humas/divisi comdev atau yang disebut lain. Komitmennya merentang dari top manajemen dan harus terjaga hingga sub-kontraktor. Kegagalan menginternalisasi agenda ini secara kelembagaan, niscaya akan membuat program CSR tidak mencapai tujuan yang diharapkan.