Seri Pertama Diskusi Jihad Kedaulatan Pangan UGM

Guna meningkatkan kontribusi UGM untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh bangsa maka para cendekiawan UGM yang tergabung dalam kluster ketahanan pangan mengadakan serangkaian diskusi yang mengangkat tema tentang “Kedaulatan Pangan”. Pada diskusi putaran pertama yang diselenggarankan di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM pada hari Selasa, 23 Agustus 2011, hadir tiga orang pembicara yang mencoba menkritisi tema berdasarkan perspektif masing-masing. Ketiga pembicara tersebut adalah Prof. Mochamad Maksum dari Fakultas Teknologi Pertanian, Prof. Dwidjono HD dari Fakultas Pertanian, dan Prof.Pratikno dari Fakultas ISIPOL.

Dalam pemaparannya Prof. Mochamad Maksum menyoroti masalah kedaulatan pangan dari perspektif kebijakan negara. Meski bangsa Indonesia telah merdeka selama 66 tahun namun saat ini kita belum bisa meraih kedaulatan di bidang pangan. Hal itu bukan karena rendahnya produksi pangan dalam negeri namun karena kesalahan negara (pemerintah) dalam mengambil kebijakan tentang pangan. Selama ini pemerintah memfokuskan kebijakan pengelolaaan pangan nasional pada upaya untuk menekan harga pangan agar tetap murah sehingga terjangkau oleh rakyat. Dengan kata lain, perhatian pemerintah terkonsentrasi pada upaya penyediaan pangan murah bagi rakyat. Kebijakan ini sangat baik apabila pelaksanaannya tidak membawa korban/tidak mengorbankan sebagian rakyat Indonesia. Numun kenyataannya, untuk mewujudkan tujuan tersebut pemerintah telah melaksanakan kebijakan yang menyebabkan timbulnya dampak yang kurang baik bagi sebagian rakyat Indonesia, yaitu kalangan rakyat tani.

Guna menekan harga pangan dalam negeri pemerintah telah melaksanakan kebijakan importasi berbagai komoditas pangan, misalnya beras, jagung, kedelai, terigu, gula dll. Dalam jangka pendek kebijakan tersebut memang sangat menguntungkan karena segera dapat menekan lonjakan harga pangan dalam negeri. Namun dalam jangka panjang ternyata kebijakan tersebut sangat merugikan rakyat tani Indonesia. Kebijakan importasi telah menyebabkan penderitaan bagi kaum tani. Karena hasil produksi petani dalam negeri dihargai sangat murah, maka penghasilan yang diperoleh petani menjadi relatif rendah, sehingga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok saja. Kondisi tersebut menyebabkan mereka tidak mampu untuk memupuk modal guna menjalankan/meningkatkan skala usaha mereka.

Kesulitan dalam menjalankan usaha pertanian telah menyebabkan banyak petani yang akhirnya meninggalkan usaha tani yang mereka tekuni dan menjual tanah pertanian mereka untuk sektor industri atau tempat tinggal. Kondisi ini jelas akan sangat membahayakan kedaulatan pangan kita karena semakin lama kita akan semakin tergantung dengan negara lain dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Bangsa Indonesia selamanya akan menjadi konsumen produk pangan dari luar negeri.

Prof Maksum menilai bahwa kebijakan importasi yang selama ini diterapkan oleh negara bukan merupakan kebijakan yang tepat. Hal itu karena apabila dicermati produk pangan dalam negeri sebenarnya telah mencukupi kebutuhan pangan kita. Apabila pemerintah menilai bahwa produksi pangan dalam negeri kurang, itu semata-mata untuk pembenaran dari kebijakan importasi yang dilaksanakan. Kalau memang kebijakan importasi perlu dilaksanakan maka kebijakan tersebut sifatnya hanya untuk memperkuat ketahanan pangan dalam negeri. Namun kenyataannya selama ini pemerintah menjalankan kebijakan importasi sebagai kebijakan utama dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri. Hal itu dapat dilihat dari kuantitas/jumlah produk bahan pangan yang diimpor yang melebihi kebutuhan nyata di lapangan. Bila dipersentase tingkat ketergantungan Indonesia pada produk impor telah lebih dari 50% kebutuhan pangan dalam negeri. Sungguh merupakan kondisi yang membuat miris karena negeri yang terkenal subur makmur, ternyata pangan rakyatnya tergantung pada bangsa lain.

Kebijakan importasi, menurut Prof. Maksum menjadi kebijakan yang menarik bagi para penyelenggara negara karena banyak faktor. Antara lain karena besarnya keuntungan yang dapat diperoleh oleh para penyelenggara negara berkat pelaksanaan kebijakan importasi. Bukan hanya pribadi para penyelenggara negara yang dapat menarik keuntungan dari penerapan kebijakan tersebut, namun juga partai politik. Tingginya biaya politik yang harus ditanggung oleh para politikus dan partai politik telah mendorong mereka untuk menerapkan kebijakan negara yang dapat mendatangkan keuntungan secara finansial yang dapat digunakan untuk menutup biaya politik tersebut. Oleh karena itu wajar apabila banyak pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan negara merumuskan berbagai kebijakan yang sebenarnya kurang berpihak terhadap rakyat, hanya karena memiliki interest pribadi terhadap kebijakan tersebut. Salah satunya adalah kebijakan importasi.

Dalam sesi kedua, Prof. Dwidjono memaparkan pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat indonesia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ir. Sukarno yang diabadikan pada prasasti peresmian gedung IPB (1952) yang menegaskan bahwa “Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak terpenuhi maka malapetaka; oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner”. Pernyataan tersebut dijiwai oleh pengertian pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu “bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh karena itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan”. Pengertian luas dari kalimat tersebut termasuk kemerdekaan dalam menentukan kebijakan pangan yang didasarkan pada asas perikemanusiaan dan perikeadilan bagi segenap rakyat Indonesia. Dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa para pendiri bangsa Indonesia telah menggariskan agar segenap kekuatan dan potensi bangsa hendaknya dikerahkan untuk mencapai kedaulatan pangan sebagai landasan yang paling asasi untuk tercapainya kedaulatan negara.

Sistem kedaulatan pangan akan tercapai apabila bangsa ini mempunyai landasan kemandirian pangan yang kokoh. Oleh karena itu pencapaian tingkat swasembada dan kemandirian pangan tersebut harus diupayakan secara terus menerus secara konsisten dan konsekwen oleh pemerintah sebagai mandataris bangsa. Prinsip kemandirian dalam hal pangan telah dibuktikan secara konsisten dan konsekwen oleh presiden pertama RI yaitu dengan ditolaknya pendirian IRRI di Indonesia karena dianggap sebagai intervensi asing. Hal itu dapat dimengerti karena kegiatan pemuliaan tanaman padi sudah dijalankan para ahli Indonesia sejak tahun 1930-an.

Selanjutnya Prof Dwidjono memaparkan bahwa sistem pangan domestik selama ini menjadikan petani menjadi obyek kebijakan ekonomi negara yang tidak memberi peluang untuk mandiri. Pada era Orde Lama kebijakan pangan ditujukan pada upaya pencapaian swasembada pangan, terutama beras. Namun belum bisa tercapai dan bahkan presiden RI pertama lengser pada saat harga beras tinggi. Pada era Orde Baru program Bimas bertujuan untuk membimbing petani agar bisa berkembang secara mandiri dan didukung oleh pemerintah. Namun kemudian superioritas negara menjadi lebih dominan sehingga program tersebut dijadikan alat untuk mengatur sistem pangan nasional dan bukan membimbing petani lagi. Walaupun demikian upaya mendukung peningkatan pengan relatif lebih intensif termasuk pembangunan jaringan irigasi dan pabrik pupuk.

Namun sejak tercapainya swasembada beras pada tahun 1984 titik berat kebijakan pemerintah beralih dari pertanian ke industri. Kondisi tersebut diperburuk dengan dilakukannya larangan penggunaan 57 jenis pestisida pada tahun 1985. Pada periode-periode berikutnya tampak bahwa kebijakan ekonomi di bidang pertanian bersifat lebih berorientasi pada konsumen dan kurang memperhatikan sisi produsen. Alasan utamanya adalah bahwa pertama, produsen pertanian adalah juga konsumen. kedua, usaha pertanian pangan tidak dapat memberikan pendapatan yang cukup bagi keluarga petani dengan pemilikan lahan yang sempit, dan ketiga, kebijakan harga produk pertanian yang rendah juga untuk membantu petani sebagai konsumen.

Kebijakan ekonomi pemerintah di bidang pertanian yang lebih dititik beratkan pada subsektor pangan ternyata memberikan dampak pada lemahnya pengaturan sub sektor yang lain, terutama perkebunan, peternakan, dan holtikultura. Hal itu diindikasikan dari makin lemahnya kinerja produksi dan perdagangan produk dari subsektor tersebut, baik di pasar domestik maupun di pasar ekspor.

Peningkatan produktivitas, mutu dan ketersediaan produk masih menjadi persoalan mendasar bagi upaya peningkatan daya saing produk perkebunan, peternakan, dan holtikultura. Selain itu, dengan kepemilikan usaha perkebunan oleh perusahaan asing turut menikmati fasilitas dari subsidi sarana produksi sehingga biaya produksi relatif murah dibandingkan dengan usaha yang sama di negaranya. Perusahaan dengan modal yang relatif kuat tersebut tentus saja menjadi pesaing potensial bagi pengusaha lokal yang relatif lemah dalam modal dan teknologi.

Prof. Pratikno yang berbicara pada sesi ketiga mengulas kedaulatan pangan dari perspektif sosial politik. Dalam pemaparannya, ia menyampaikan bahwa pembangunan pertanian Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan situasi global, sebagai mana dibahas dalam global food governance. Revolusi hijau yang dilaksanakan pada awal Orde Baru mampu menunjukkan keberhasilan dengan pencapaian swasembada beras tahun 1984 yang mengubah status Indonesia dari importir utama beras dunia menjadi negara swasembada beras. Selama 1969-1988 produksi beras meningkat. Keberhasilan itu ditopang oleh kebijakan-kebijakan pembangunan melalui inovasi teknologi, investasi infrastruktur, dan kebijakan harga yang menguntungkan petani. Pada masa ini pertanian menjadi salah satu komoditas internasional utama.

Namun demikian, neraca perdagangan negara-negara berkembang dalam komoditas-komoditas pangan terus mengalami penurunan. Hal itu karena lemahnya daya saing dalam pasar internasional dan adanya proteksi negara-negara maju; dengan menerapkan banyak standar dalam pasarnya. Standarisasi ini membuat pertanian negara-negara berkembang menjadi sangat tergantung; benih, teknologi, obat dll. Sehingga akhirnya pertanian menjadi kegiatan produksi yang mahal, namun tetap tidak kompetetif dalam pasar global. Ini yang membuat lesu negara-negara agraris seperti indonesia.

Kelesuan dalam produksi pertanian juga berjalan beriringan dengan industrialisasi di negara-negara berkembang. Pada masa itu berkembang keyakinan bahwa untuk mengurangi ketergantungan global negara harus memproduksi barang-barang yang selama ini diimpor melalui kebijakan industrialisasi, sehingga akhirnya struktur ekonomi sosial masyarakat berubah total.

Penurunan kegairahan rakyat untuk bergelut di bidang pertanian dalam jangka panjang akan melemahkan ketahanan pangan nasional. Struktur ketergantungan membuat posisi pemerintah tertawan; jika pemerintah ingin meningkatkan kesejahteraan petani dengan meningkatkan harga padi, banyak rakyat yang tidak mampu mengaksesnya. Sementara jika pemerintah mengutamakan harga murah dengan kebijakan impor maka struktur pertanian nasional akan hancur. Padahal ketahanan pangan itu menyangkut prinsip aksesibilitas, stabilitas, dan kontinuitas.

Kebijakan lembaga-lembaga internasional, terutama liberalisasi pertanian dalam WTO merupakan babak baru dalam politik pangan di dunia. Struktur ekonomi pertanian di pedesaan yang lemah dipaksa untuk bersaing dan diintegrasikan dalam struktur ekonomi global. Lemahnya investasi pemerintah dalam pembangunan sektor pertanian adalah satu kecolongan awal. Kini posisi pemerintah lebih sulit lagi: ia tidak bisa meningkatkan produksi pertanian akibat adanya perjanjian perubahan iklim yang melarang Indonesia untuk membuka lahan pertanian baru karena akan merusak ekologi hutan; ia dipaksa untuk membuka keran impor dan tidak melakukan proteksi domestik. Implikasinya ketahanan pangan Indonesia menjadi sangat rentan, sangat bergantung pada sistem global di mana posisi kita jelas sangat lemah.

Indonesia mengalami peningkatan impor sejak liberalisasi diterapkan pemerintah atas tekanan IMF sejak 1998. Ketergantungan impor naik dua kali lipat, antara lain pada komoditas beras, jagung, kedelei, gula,dll. Peningkatan impor sejalan dengan peningkatan petani miskin di Indonesia.