Arsip:

Seminar

Pemanfaatan Dana Desa untuk Kesejahteraan Petani dan Ketahanan Pangan

Kamis, 1 Agustus 2019 Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Univeritas Gadjah Mada (PSPK UGM) kembali mengadakan seminar bulanan Rural Corner yang menghadirkan Subedjo, S.P., M.Sc., Ph.D, Peneliti Ahli PSPK UGM/Dosen Sosial Ekonomi Pertanian UGM sebagai narasumber dari kalangan akademisi, serta Supardi, Ketua Kelompok Tani Margo Rukun, Desa Pampang, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunungkidul sebagai narasumber dari kalangan praktisi. Dengan dimoderatori oleh Muhammad Yunan Roniardian, M.Sc., Peneliti PSPK UGM, diskusi Rural Corner kali ini mengangkat tema “Pemanfaatan Dana Desa untuk Kesejahteraan Petani dan Ketahanan Pangan.” Tema yang dipilih merupakan rangkaian dari tema Rural Corner yang diadakan sebelumnya dengan tujuan untuk mencermati dan mengevaluasi UU Desa yang sudah berjalan selama 5 tahun.

Dalam pembukaannya, Subejo mengatakan bahwa dalam pasal 80 UU Desa betul-betul secara eksplisit sudah mengatakan bahwa prioritas program yang sangat terkait dengan pertanian yaitu pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif, pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi, ini semua sangat terkait dengan pertanian. Hal ini dapat menjadi landasan yang kuat dimana alokasi Dana Desa nantinya betul-betul harus sesuai. Narasumber berasumsi bahwa ketika dana desa dapat dialokasikan dengan baik untuk pertanian, otomatis jika pertanian menjadi produktif, pangan menjadi baik maka kemiskinan akan berkurang. Meskipun di desa ada pengurangan kemiskinan sejumlah lima ratus ribu dalam kurun waktu satu tahun, pada kenyataannya penurunan itu tidak signifikan karena angka kemiskinan di desa masih cukup tinggi dibandingkan di kota. Berdasarkan data BPS, jumlah orang miskin di pedesaan sebesar 15 juta, sedangkan di kota berjumlah 10 juta.

Fakta yang menarik dari banyaknya kemiskinan di pedesaan adalah konsumsi beras yang begitu tinggi. Padahal produksi beras Indonesia berada di kawasan pedesaan. Konsumsi beras yang tinggi tidak diimbangi dengan produksi yang bagus, seperti sebagian besar petani yang sudah berusia lanjut, sistem irigasi yang kurang baik, bahkan masih banyak petani yang hanya mengandalkan air hujan untuk tanaman mereka. Alhasil, di musim paceklik mereka harus membeli beras.

Dana desa diharapkan dapat dikelola dengan baik agar kemiskinan di pedesaan dapat berkurang signifikan, salah satunya dengan berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat desa seperti yang diceritakan oleh Subejo tentang Rahayu yang berhasil membuat inovasi baru berupa beras berbahan dasar ketela di Gunung Kidul. Adanya sumber pangan lain pengganti beras inilah yang dapat meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan di pedesaan. Padahal menurut narasumber, beberapa program desa melalui dana desa sebagian besar sudah mengarah ke bidang ekonomi pertanian seperti pelaksanaan program padat karya untuk revitalisasi irigasi, embung desa maupun hutan desa.

Supardi memaparkan tentang berbagai program di Desa Pampang, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunung Kidul yang memanfaatkan dana desa. Dalam pemaparannya Supardi sependapat dengan Subejo bahwa pemanfaatan dana desa untuk pertanian dan ketahanan pangan ini masih menemui problem. Hal ini terjadi karena sebagian besar dana desa dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur, seperti jalan, saluran irigasi, dan pengembangan ekowisata yang ada di Desa Pampang. Meskipun dibangun saluran irigasi, keberadaannya belum dapat dikatakan mampu mengatasi permasalahan petani yang ada di desa Pampang, karena pada kenyataannya mereka masih mengandalkan musim hujan untuk menanam padi, sedangkan di musim kemarau mereka tidak memanfaatkan lahan untuk menanam padi karena tidak ada air.

Beberapa permasalahan yang terjadi di Desa Pampang yang berkaitan dengan pertanian pada umumnya sama dengan permasalahan yang terjadi di secara nasional. Dana desa yang diformulasikan untuk kesejahteraan masyarakat pedesaan belum bisa berperan dalam mewujudkan kesejahteraan, khususnya kesejahteraan pangan. Ditambah lagi dengan generasi petani yang sudah semakin sedikit. Keengganan generasi muda terjun di bidang pertanian menjadikan jumlah petani menjadi berkurang secara signifikan.

Dalam sesi diskusi, Sumantara peserta seminar yang mewakili Serikat Tani Indonesia, Bantul membenarkan apa yang disampaikan oleh Supardi. Ia mengatakan bahwa di Bantul, partisipasi masyarakat sangat kurang di perencanaan dan penganggaran program pemanfaatan dana desa. Ia menyampaikan bahwa apa yang disampaikan Supardi merepresentasikan sebanyak 75 desa di Kabupaten Bantul. Sementara Widayadi, peserta lain yang berasal dari Sleman menyatakan bahwa berdasarkan dokumen RPJMDes hingga saat ini belum ada dana desa di desanya yang dipergunakan untuk pertanian, semua masih dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu wajar apabila dana desa belum mampu memberi manfaat kepada para petani. Sementara itu, Muhamad dari Biro Bina Masyarakat Desa DIY menyatakan bahwa pemrintah daerah teleh berupaya agar Dana Desa bias efektif yaitu dengan melaksanakan program dampingan, khusus program dalam pemberdayaan masyarakat desa. Antoni Rimon peserta seminar yang bekerja sebagi konsultan enyatakan bahwa kendala utama yang menyebabkan dana desa tidak efektif untuk mensejahterakan masyarakat desa, khususnya kaum tani adalah karena SDM pengelola dana Desa yang rendah. Hal itu menyebabkan dana desa hanya dimanfaatkan untuk program infrastruktur. Untuk mengatas persoalan tersebut maka perlu ada pendamping dari perguruan tinggi.

Menanggapi berbagai pertanyaan dan komentar dari peserta diskusi, Subejo menyatakan bahwa isu besar dalam pengelolaan dana desa adalah kualitas SDM pengelola yang masih rendah. Untuk mengatasi persoalan tersebut, maka perlu sinergi dari berbagai pihak dalam meningkatkan kualitas SDM pengelola dana desa. Sementara Supardi menyatakan bahwa untuk mengatasi persoalan tersebut maka perlu ada orang-orang yang memiliki kepedulian pada pembangunan desa untuk duduk dalam BPD karena semua program pembangunan desa direncanakan oleh pemerintah desa Bersama BPD. Supardi berharap, BPD memiliki kepedulian kepada para petani agar program-program pembangunan yang diusulkan berkontribusi pada kesejahtaraan mereka. [Evy Gustiana].

Evaluasi 5 Tahun Implementasi UUDesa, Problematika & Alternatif Solusinya

“Harus diakui bahwa pelaksanaan UU no 6 tahun 2014 tentang Desa telah membawa banyak kemajuan di desa, seperti banyaknya desa wisata, BUMDES yang memiliki kekayaan milyaran, dll, namun harus diakui pula bahwa masih banyak persoalan yang harus dibenahi agar pelaksanaan UU desa benar-benar bisa mewujudkan tujuan utama penetapan UU Desa yaitu mewujudkan masyarakat desa yang mandiri dan partisipatif.” papar Dr. Arie Sujito dalam kegiatan Rural Corner, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, Kamis 4 Juli 2019 di ruang Sartono. Selain menghadirkan Dr. Arie Sujito, peneliti Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM/ Dosen FISIPOL/ Aktivis Desa, kegiatan Rural Corneryang merupakan forum diskusi yang diselenggarakan secara rutin setiap hari kamis minggu pertama setiap bulan tersebut juga menghadirkan praktisi desa, Titik Istiwayatun Khasanah, S.IP, selaku Lurah Desa Sriharjo, Imogiri, Bantul, dengan moderator Dr. Suharko selaku Kepala PSPK UGM.

Semangat utama penetapan UU Desa adalah mendorong terciptanya kemandirian dan partisipasi di desa. Kemandirian Desa dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan berbagai hal yang dibutuhkan oleh Desa, misalnya dalam merencanakan dan melaksanakan program-program pembangunan desa. Partisipasi semua komponen masyarakat desa dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan berbagai hal yang dibutuhkan oleh desa, khususnya kelompok warga masyarakat yang selama ini terabaikan dalam proses pengambilan keputusan di desa. Namun menurut narasumber dalam kurun waktu 5 tahun pelaksanaan UU Desa, semangat tersebut tereduksi oleh kebijakan elit pemerintahan yang lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat teknokratis dan birokratis, karena tidak faham dengan semangat yang melandasi penetapan UU Desa. Kepala desa dan perangkat desa lebih banyak dituntut untuk melaksanakan tugas-tugas yang bersifat administratif seperti membuat Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) pemanfaatan dana desa, dsb.

Menurut narasumber tugas-tugas yang bersifat teknokratis dan birokratis memang harus dilakukan, namun hal itu tidak boleh mengorbankan misi utama penetapan UU Desa yaitu mengembangkan kemandirian dan partisipasi di Desa. Kepala desa dan aparat desa harus didorong untuk belajar strategi membangun kemandirian dan partisipasi di desa karena belajar tentang masalah teknis administratif merupakan hal yang mudah, dalam jangka waktu singkat bisa dilakukan, namun untuk belajar tentang strategi meningkatkan kemandirian dan partisipasi desa perlu proses panjang. Salah satu langkah yang bisa dilakukan oleh elit desa untuk membangun kemandirian dan partisipasi adalah dengan membentuk kelompok/komunitas anak muda desa yang peduli dengan kemajuan desa. Anak muda merupakan agen pembaharuan desa yang diharapkan bisa melakukan perubahan di desa.

Dalam presentasinya, Tutik Istiwayatun Khasanah, SIP sebagai pembicara kedua memaparkan pengalamannya selama menjabat sebagai kepala desa di Desa Sriharjo, Imogiri, Bantul. Ia menyatakan bahwa selama 8 bulan menjabat, ia memang belum menangani pelaksanaan infrastruktur, namun ia merasa beban tugas sebagai kepala desa cukup berat. Selain harus memenuhi berbagai undangan dari dinas/instansi terkait, ia juga harus melaksanakan tugas kultural misalnya hadir dalam even takziah, tradisi manten, mengurusi masalah tanah, mengurusi irigasi desa, dll.

Terkait dengan program pembangunan fisik, untuk meningkatkan partisipasi warga masyarakat BuTutik memaparkan pengalamannya. Karena program pembangunan infrastruktur dilaksanakan di semua pedukuhan, maka ia membentuk Tim Pengelola Kegiatan (TPK) sesuai dengan jumlah pedukuhan, dan melibatkan kepala dukuh sebagai anggota TPK. Namun untuk meningkatkan partisipasi warga dalam proyek pembangunan infrstruktur, ia merasa terkendala dengan aturan bahwa proyek infrastruktur harus menerapkan sistem Hari Orang Kerja (HOK). Sementara warga masyarakat memiliki tradisi gotong royong dalam melaksanakan suatu kegiatan, sehingga aturan HOK mengancam keberadaan tradisi gotong royong. Salah satu solusi yang diterapkan, warga boleh melaksanakan proyek dengan sistem gotong royong namun harus membuat LPJ sesuai dengan aturan.

Untuk menggerakkan partisipasi warga masyarakat, Bu Tutik menggerakkan kaum muda di desa sebagai agen pembaharuan. Untuk melakukan perubahan kondisi sosio-kultral di desa memang memerlukan proses panjang dan penuh tantangan karena banyak elit desa yang bersifat kontra, oleh karena itu langkah yang bisa dilaksanakan adalah dengan mengajak kaum muda untuk menjadi agen perubahan.

Dalam kaitannya dengan kemandirian desa, menurut Bu Tutik yang sebelum menjabat sebagai lurah juga seorang aktivis desa, selama ini desa memiliki kemandirian dalam membuat keputusan, khususnya dalam penyusunan program pembangunan desa. Namun akhir-akhir ini mulai ada intervensi dari supra desa. Pemerintah kabupaten menitipkan program untuk dilaksanakan oleh pemerintah desa, misalnya program pusat kesehatan sosial, progam Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), dll. Terkait dengan program RTLH pemerintah kabupaten mewajibkan desa untuk menganggarkan dalam APBDES dana sebesar 100 juta.

Dalam sesi diskusi, Sumantara, seorang peserta diskusi menyatakan bahwa pelaksanakaan UU Desa membawa dampak negatif yaitu munculnya raja-raja kecil di desa. Kepala desa menjadi penguasa di desa yang memiliki kewenangan penuh untuk mengelola pembangunan desa. Sebagai gambaran, perencanaan pembangunan desa dilakukan secara elitis dan belum bersifat partisipatif. Banyak desa yang dalam membuat perencanaan pembangunan desa cenderung tidak melibatkan seluruh komponen masyarakat, dan hanya dilakukan oleh elit desa. Memang ada musrenbangdes namun sifatnya hanya formalitas karena semua rencana program pembangunan sudah dibuat oleh kepala desa. Musrenbangdes tersebut biasanya juga tidak mengundang warga yang memiliki sikap kritis karena dianggap akan menimbulkan masalah. Berdasarkan pengamatannya, pelaksanaan UU Desa membuat yang berkuasa semakin berkuasa, sedangkan warga yang miskin dan lemah akan semakin lemah. Thomas, peserta lain yang berasal dari Klaten menyatakan bahwa berdasarkan pengamatannya sebagian besar program pembangunan desa bersifat fisik, sedangkan program pemberdayaan masyarakat sangat terbatas. Pelaksanaan program pembangunan fisik juga sering mengalami penyimpangan/tidak sesuai dengan bestek. Besaran proyek juga sering mengalami mark up, yang berdasarkan kalkulasinya bisa sampai 10%. Zaini, peserta lain menyatakan bahwa ada dominasi di pemerintahan desa. Program pemangunan desa hanya dirancang oleh elit desa karena ada anggapan mereka sudah tahu kebutuhan di desa. Banyak usulan program yang disusun berdasarkan usulan RT/RW semata, dan bukan usulan warga karena warga tidak pernah diajak bermusyawarah merumuskan usulan program. Dalam musrenbang banyak warga yang dianggap vokal tidak diaundang karena dianggap akan mengacau.

Menanggapai pertanyaan dan tanggapan dari peserta Dr. Arie Sujito menyatakan bahwa memang tidak mudah untuk melakukan perubahan di desa. Oleh karena itu, perlu ada strategi untuk melakukan perubahan. Perubahan jangan dilakukan secara radikal tetapi harus melalui proses, misalnya dengan membangun komunitas, misalnya komunitas anak muda. Melalui komunitas tersebut kita mendorong anak muda untuk berani tampil di depan untuk melakukan perubahan  dengan menduduki berbagai posisi strategis di desa, misalnya BPD, LKMD, dll. Sementara itu Bu Tutik menyampaikan tanggapan, kalau kondisi Desa tidak sesuai dengan harapan maka kita harus berani merebut kekuasaan di desa, dengan tampil menjadi elit desa (Kepala Desa, BPD, Perangkat Desa, dll agar kita bisa melakukan perubahan. “Terlepas dari segala problematika implementasinya, UU Desa masih sangat relevan untuk membangun prakarsa dan partisipasi masyarakat, guna menuju kemandirian desa. Aturan teknis di bawahnya yang bersifat teknokratis dan birokratis harus dibenahi agar UU Desa ini berjalan sesuai dengan filosofinya” kata Bu Titik mengakiri diskusi Rural Corner pada kesempatan sore itu. (Mulyono).

 

Seminar Peluang dan Tantangan Integrasi CSR dengan Pembangunan Desa

Bekerja sama dengan IRE Yogyakarta, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada pada hari Selasa, 26 Mei 2015, mengadakan seminar tentang “Peluang dan Tantangan Integrasi Corporate Social Responsibility dengan Pembanguan Desa.” Seminar diselenggarakan mulai pukul 13.00. WIB hingga 15.00. WIB, di ruang sidang besar PSPK UGM, Bulaksumur G-7 Yogyakarta dengan menghadirkan 3 (tiga) orang narasumber, yaitu Dr. Bambang Hudayana, MA (kepala PSPK UGM), Sukasmanto, M.Si (peneliti IRE), dan Jamil Bahruddin, S.Sos, M.Sc, dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM.

Dalam seminar tersebut, Dr. Bambang Hudayana membahas tantangan dan strategi membangun kemitraan antara desa-perusahaan-daerah guna menyambut UU Desa. Sukasmanto, M.Sc membahas tentang perubahan kedudukan, kewenangan, perencanaan, dan keuangan desa sebagai peluang baru bagi desa-perusahaan-daerah untuk menjalin relasi yang lebih sinergis dengan porsi sharing sumber daya dan peran yang lebih proporsional. Sedangkan, Jamil Bahrudin membahas kerangka regulasi CSR yang enabling maupun constraining bagi inisiatif “CSR integrasi dengan UU Desa”, existing inisiatif-inisiatif good practices CSR, serta strategi untuk mengelola dinamika internal perusahaan untuk mendorong praktik CSR yang sinergis dan integrative dengan pelaksanaan UU Desa.

Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa memberi peluang bagi kalangan perusahaan dalam melaksanakan program Corporate Social and Responsibility (CSR). Desa oleh UU ini memiliki kedudukan yang lebih kuat terkait kewenangan, perencanaan pembangunan, dan keuangan. Desa kini punya ruang mendefinisikan lingkup kewenangan asal-usul dan lokal berskala desa (Permendesa 1/2015). Kewenangan tersebut menjadi pijakan perencanan desa (RPJM Desa dan RKP Desa), yang mana juga wajib dihormati oleh pemerintah, provinsi, kabupaten dan pihak ketiga (perusahaan, lembaga donor internasional, dll.) ketika ingin melakukan pembangunan di desa. Agar kewenanangan dan perencanaan secara nyata bisa dilaksanakan, UU Desa telah menggariskan bahwa desa mendapatkan alokasi APBN berupa Dana Desa dan Alokasi Dana Desa.

Perubahan kebijakan Negara terhadap desa di atas tentu merupakan angin segar, tak terkecuali bagi perusahaan. Ketika APBD habis untuk belanja pegawai dan alokasi untuk pembangunan dan pelayanan publik sedikit, desa selama ini memiliki harapan besar terhadap peran swasta (Welker, 2007). Terlebih, bagi industri ekstraktif yang sejak fase konstruksi telah menimbulkan ekses negatif baik itu yang bersifat sosial maupun lingkungan.

Namun tentu, itikad dan iktiar perusahaan untuk mengatasi ekses negatif sekaligus berkontribusi positif  bagi masyarakat tidak mudah.

  1. Pertama, masyarakat dan pemerintah sejatinya tidak tunggal. Perusahaan kiranya tidak mudah menemukan mitra yang memang memiliki kemauan politik untuk sungguh-sungguh memberdayakan masyarakat dan membangun daerah, kendati aktor local champion (pembaharu) bukannya tidak ada. Tak jarang, aktor yang bersifat predatory (preman, elit lokal yang korup, dst.) justru lebih diperhatikan oleh perusahaan karena pertimbangan mitigasi resiko ketimbang aktor-aktor champions.
  2. Kedua, sejak lama perusahaan telah menempuh pendekatan karitatif dan secara tak sadar menumbuhkan mindset ketergantungan. Pemerintah daerah, pemerintah desa dan masyarakat sudah sedemikian terbiasa. Alhasil, ketika perusahaan ingin mengubah pendekatan dan strategi program CSR, ada hambatan berupa keengganan bahkan penolakan stakeholders karena dirasa sulit, rumit, dan butuh sharing kontribusi. Kita masih sering medengar seorang bupati yang bangga bisa memarahi perusahaan karena kecamatan lokasi industri masih miskin meskipun wilayah tersebut sejatinya berada di luar Ring I. Pemda dan pemdes tidak sadar menimpakan eksternalitas negative dari mis-alokasi suberdaya publik: mengalokasikan APBD dan APB Desa untuk kepentingan elit dan menimpakan tanggung jawab normatifnya kepada perusahaan.
  3. Ketiga, cara pandang di internal perusahaan juga sulit berubah. Misalnya, pendekatan yang integratif dengan perencanaan pembangunan daerah dan desa, yang lebih inklusif dan partisipatif beyond elit lokal, serta yang berorientasi outcome kualitatif dan  jangka panjang ketimbang pencapaian ukuran-ukuran kuantitatif jangka pendek juga masih sulit diterima oleh sebagian besar manajemen perusahaan. Padahal, lanskap sosial-politik telah berubah dari yang dulu bersifat sentralistis, top-down, menekankan pendekatan keamanan.
  4. Keempat, CSR adalah keseluruhan dari praktik industri. CSR bukan bermakna bahwa perusahaan bisa menjalankan operasi bisnis semaunya untuk kemudian membagikan sejumlah persen keuntungan kepada stakeholders (Hamman, 2003). Implikasinya, CSR adalah agenda perusahaan secara kelembagaan dan bukan sebatas program/kegiatan divisi humas/divisi comdev atau yang disebut lain. Komitmennya merentang dari top manajemen dan harus terjaga hingga sub-kontraktor. Kegagalan menginternalisasi agenda ini secara kelembagaan, niscaya akan membuat program CSR tidak mencapai tujuan yang diharapkan.

Hilangkan Batasan Akses Ekonomi yang Merugikan Perempuan Desa

Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM bersama-sama dengan HAPSARI dan Institute for Research and Empowerment (IRE) menyerukan kepada pemerintah dan semua pihak untuk menghilangkan batasan-batasan akses ekonomi yang merugikan perempuan, khususnya perempuan di pedesaan dan daerah marjinal. “Perempuan, harus bisa ikut mengakses semua sumber daya di sekelilingnya tanpa batasan, termasuk akses ke sumber penghasilan dan sumber daya alam di lingkungannya. Dan yang terpenting, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan baik oleh pemerintah maupun swasta, termasuk bank dan sumber pembiayaan lain, harus mengakomodir kebutuhan ekonomi perempuan,” tutur Lely Zailani, Ketua Dewan Pengurus Nasional HAPSARI dalam Sarasehan Nasional yang dihadiri oleh menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, Yohana S. Yembise. Menurut Lely, saat ini kebijakan ekonomi yang ada belum berpihak dan cenderung merugikan perempuan. Padahal, menurutnya perempuanlah penggerak utama perubahan di keluarga dan masyarakat. “Perempuan yang tidak mandiri secara ekonomi cenderung rentan terhadap kekerasan baik fisik maupun psikologis meski sebenarnya peran mereka di lingkungan dan keluarga besar,” tambah Lely.

Dengan dukungan Program Representasi (ProRep), HAPSARI melakukan penelitian tentang tantangan ekonomi yang dihadapi perempuan akar rumput. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa ada enam tantangan inti yang dihadapi perempuan, antara lain: kesulitan akses permodalan; akses perizinan untuk usaha sertifikasi produk dan koperasi; infrastruktur; produksi; pengemasan; dan pemasaran.

Berkat pergulatan panjangnya, HAPSARI menuai buah keberhasilan. Salah satu contohnya adalah Koperasi HAPSARI di Kulon Progo Yogyakarta. Koperasi ini mampu mengolah produk kopi dan teh dari anggotanya menjadi produk lokal yang menghasilkan tambahan ekonomi bagi para anggotanya. Melalui koperasi, para petani kopi dan teh kini menikmati harga jual panenan yang lebih baik dbandingkan dengan harga jual ke para pengepul (tengkulak). Sukses itu tidak terlepas dari intervensi program Pemerintah Daerah Kulon Progo melalui Dinas Koperasi yang memberi kemudahan mulai dari proses pendirian koperasi, perizinan (badan hukum), perizinan produk, promosi produk, hingga akses permodalan. Kesuksesan Koperasi HAPSARI Kulon Progo itu menginspirasi tumbuhnya koperasi-koperasi di berbagai desa lain yang menjadi anggota HAPSARI, seperti di Deli Serdang, Serdang Bedagai, Labuhanbatu, dan Pekalongan. Koperasi-koperasi ini mulai menangani pengolahan ikan asin di Kabupaten Serdang Bedagai dan keripik koin dari singkong di Deli Serdang. Koperasi-koperasi itu berhasil memperkuat potensi dan sumber pendapatan bagi ekonomi rumah tangga mereka.

Keterbukaan akses bisa menjadi langkah kunci dalam mengafirmasi gerakan perempuan dalam membangun wilayahnya. Contoh yang menarik, penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Gadjah Mada (LPPM UGM) pada tahun 2010-2011 tentang pengolaan koperasi di masyarakat membuktikan bahwa koperasi yang dikelola para perempuan lebih maju dibandingkan dengan kelompok laki-laki. “Tingkat pengembalian pinjaman kelompok perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok laki-laki,” ungkap Soeprapto dari Pusat Studi Wanita UGM. “Itulah salah satu bukti bahwa perempuan, termasuk perempuan di pedesaan, bukan obyek pembangunan melainkan subyek pembangunan yang aktif dan produktif,” tambahnya.

Beban ganda yang diusung perempuan karena berbagai hambatan struktural harus segera dibongkar demi memberikan nafas keadilan dalam gerak pemberdayaan kelompok ekonomi produktif perempuan di pedesaan dan daerah marjinal,” tutur AB Widyanta dari Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM. “Tiga matra pemberdayaan kelompok perempuan yang mesti diperjuangkan adalah: pertama, penguatan substantif partisipasi sipil dan politik kaum perempuan; kedua, membuka kesempatan dan akses yang sama dalam aktivitas pembangunan; dan ketiga, menjamin implementasi berbagai kebijakan alternatif bagi gerakan pemberdayaan kelompok perempuan berikut jejaringnya,” tambah Widyanta.

Seminar Nasional Pembaharuan Desa dan Reformasi Agraria

Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dimungkinkan menitikberatkan pembangunan di tingkat desa, seiring lahirnya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

“Desa masih merupakan kantong kemiskinan dan rawan mengalami ketidakadilan sosial. Terus mengalami keterisolasian. Secara politik tertinggal dari orang kota, bahkan sering jadi obyek politik,” kata Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Bambang Hudayana, dalam diskusi Pembaruan Desa dan Reformasi Agraria di ruang seminar PSPK UGM, Selasa (26/8/2014).

Hadir sebagai pembicara lain, Sosiolog UGM Arie Sudjito dan Anggota DPR RI Budiman Sudjatmiko.

Menurut Bambang, prioritas pembangunan pemerintah mendatang diharapkan fokus pada tingkat desa sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru dan pemerataan pembangunan. Pasalnya, sepanjang 68 tahun merdeka, 72 ribu desa yang kini sebagai tempat tinggal bagi 50,02 persen penduduk terus mengalami marginalisasi, keterisolasian, keterbatasan akses sumberdaya, akses pembangunan, serta keterbatasan akses politik.

“Undang-Undang Desa potensial untuk payung penguatan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat desa, tetapi masih miskin roadmap dan rencana agenda aksi,” tuturnya.

Bambang mengusulkan, desa tidak lagi sebagai area proyek pembangunan, namun lebih dititikberatkan pada pemberdayaan masyarakat. Pengalaman selama ini, umumnya proyek yang dilaksanakan di desa sangat tidak populis dan tidak memperkuat perekonomian desa.

“Akibatnya, dalam jangka panjang, pembangunan lebih dirasakan oleh masyarakat kota, golongan elite, dan kelas menengah,” katanya.

Tidak hanya itu, imbuhnya, reformasi agraria yang diemban oleh pemerintahan saat ini masih sebatas jargon dan tidak menjawab masalah struktural dan sistematis masyarakat desa.

Kelas Menengah Baru

Sementara itu, menurut Budiman Sudjatmiko, UU Desa memungkinkan masyarakat bisa terlibat secara langsung dalam proses perencanaan pembangunan serta ikut serta dalam pemberdayaan masyarakat. Meski UU ini sudah diterbitkan, namun pemerintah hanya menggelontorkan dana sekitar Rp9 triliun dari Rp64 triliun dana APBN untuk dialokasikan ke desa.

“Artinya, hanya Rp450 juta yang disediakan untuk desa, pasca-pergantian pemerintah. Kita harapkan dari tahun ke tahun dananya akan meningkat,” ungkapnya.

Ia menambahkan, UU Desa membawa misi pemberantasan kemiskinan di desa, mencegah urbanisasi, membangun sentra ekonomi baru di desa, serta lahirnya kelas menegah baru di desa.

“Belajar dari Brasil, sekitar 40 persen dana pembangunan dibahas oleh komunitas, sehingga memunculkan 10 persen kelas menengah baru dari kampung-kampung kumuh,” katanya.

Sosiolog Arie Sudjito menambahkan, UU Desa bukan semata-mata urusan pembagian dana dari pusat ke tingkat desa, tapi memungkinkan masyarakat desa ikut serta dalam proses pembangunan. Tantangan yang tidak mudah bagi pemerintah mendatang, sambung Arie, adalah lambannya kerja birokrasi untuk mendukung percepatan pembaruan desa dan reformasi agraria, sehingga masyarakat sipil terus mengawal reformasi birokrasi agar bisa selaras pembaruan desa.

“Kita harus mengawal. Jika tidak, akan muncul pencoleng-pencoleng baru,” pungkasnya.

Seminar Publik Peran Perempuan Dalam Pengembangan Ekonomi Lokal

PSPK UGM bekerjasama dengan HAPSARI menyelenggarakan seminar publik peran perempuan dalam pengembangan ekonomi lokal. Seminar dilaksanakan tanggal 17 November 2014 di Aula PSPK UGM, dihadiri oleh 60 orang partisipan. Dipandu oleh AB.Widhyanto dari PSPK sebagai moderator, dihadiri oleh dua orang peneliti ahli dari PSPK dan PSW yang menjadi menjadi narasumber pembanding, yaitu Mulyono, MA (PSPK) dan Drs. Soeprapto yang juga merupakan Ketua PSW, Dina Mariana,SH selaku peneliti ahli dari LSM IRE, serta Dra.Hermintarti selaku Kepala Dinas Koperasi kabupaten Kulon Progo.

Dalam seminar ini, selain berbagai masukan (kritik dan saran terhadap hasil penelitian), juga mencatat adanya pernyataan komitmen dukungan dari lembaga penelitian, LSM dan Dinas Koperasi untuk bermitra dan mendukung HAPSARI dalam pengembangan program dan advokasi untuk penguatan ekonomi perempuan di masa datang.

Agenda Presiden Baru tentang Pembaharuan Desa dan Reforma Agraria

“Sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di desa, namun selama ini pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah RI masih belum berpihak pada masyarakat desa. Hal itu nampak dari realita yang hingga saat ini masih berlangsung di desa, yaitu desa merupakan kantong kemiskinan dan rawan mengalami ketidakadilan, desa hanya menjadi objek pembangunan dan belum menjadi subjek pembangunan, orang desa hidup dalam krisis kedaulatan pangan, ekologi, keterbatasan dan pencabutan hak atas sumber daya agraria” kata Dr. Bambang Hudayana, kepala PSPK UGM dalam seminar nasional yang dilaksanakan di ruang sidang besar PSPK UGM hari Selasa, 26 Agustus 2014. Seminar yang menghadirkan tiga orang pembicara tersebut, yaitu Budiman Sujatmiko, anggota DPR RI, Dr. Arie Sujito dosen Fisipol UGM dan Dr. Bambang Hudayana mengangkat tema ”Agenda Presiden Baru tentang Pembaharuan Desa dan Reforma Agraria.”

Untuk memecahkan permasalahan tersebut, Dr. Bambang Hudayana memandang presiden baru yang akan memimpin negeri ini perlu membuat beberapa agenda, antara lain melaksanakan kebijakan reformasi agraria guna memastikan ketersediaan lahan yang mencukupi bagi para petani untuk melaksanakan usaha tani yang produktif. Selain itu, pemerintahan yang baru juga perlu mengupayakan agar para petani mampu meningkatkan kemandirian mereka dalam mendiakan saprotan sehingga mereka tidak dipermainkan oleh para pedagang saprotan.

Sementara itu, Budiman Sujatmiko memaparkan bahwa pada mulanya ia merasa enggan untuk masuk ke parlemen, namun setelah didorong oleh banyak pihak ia akhirnya mau mencalonkan diri. Kemauan itu didasari oleh keinginan untuk bisa merealisasikan agenda politik yang selama ini menemukan jalan buntu akibat tidak adanya kekuatan yang dimiliki. Ia membawa agenda politik untuk mengegolkan RUU desa yang selama ini tidak menjadi prioritas sebagian besar anggota parlemen karena akan mengusik kemapanan mereka. Perjuangan di parlemen akhirnya bisa membuahkan hasil, pada tahun 2014 RUU desa disahkan oleh parlemen sebagai UU Desa.

UU Desa merupakan undang-undang yang sangat fenomenal karena akan mengubah kehidupan sebagian besar warga negara Indonesia. UU desa bukan hanya bertujuan untuk memberikan dana yang cukup kepada desa melalui mekanisme penyediaan pos anggaran bantuan ke desa di APBN, namun yang paling utama adalah memperkuat posisi warga desa agar mampu terlibat dalam pengelolaan aset/sumber daya desa. Selama ini mereka hanya menjadi obyek pembangunan sehingga tidak berhak untuk ikut terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan, melalui undang-undang tersebut, warga desa diposisikan sebagai subyek yang berhak untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan di desa.

Perubahan itu dimungkinkan karena berbeda dengan paradigma pembangunan yang selama ini dilaksanakan oleh rejim penguasa Indonesia yang bersifat elitis, UU Desa mengembangkan pendekatan partisipatif yang memberikan ruang bagi semua warga masyarakat desa untuk terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan. UU desa memiliki kerangka 3 yaitu otonomi daerah, pemberdayaan masyarakat, dan penguatan demokrasi.

UU Desa mengadopsi semangat mengembangkan otonomi daerah. Namun otonomi daerah yang diperjuangkan oleh UU Desa bukan seperti otonomi daerah yang dimiliki oleh kabupaten/kota yang tidak memiliki akar sejarah sama sekali. Otonomi daerah yang dikembangkan oleh UU Desa adalah otonomi daerah yang bersifat rekognisi, yaitu yang sudah dimiliki oleh desa-desa sejak masa lalu. Dalam undang-undang itu negara mengakui hak asal-usul desa, hak untuk mengatur kehidupannya sendiri, khususnya dalam mengelola aset milik desa, termasuk aset tanah.

Pemberdayaan masyarakat, UU desa mengembangkan semangat untuk memberdayakan masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan. Warga masyarakat desa tidak hanya menjadi objek pembangunan tetapi menjadi subyek yang memiliki hak untuk menentukan program apa yang perlu dilaksanakan di desa.

Penguatan demokrasi juga menyemangati UU Desa. Apabila di desa telah berkembang demokrasi maka warga desa tidak akan mudah diperdaya oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Selama ini banyak caleg yang menjadikan desa sebagai lumbung suara dalam pemilihan hanya dengan melakukan politik uang, sehingga ketika caleg itu jadi maka ia sama sekali tidak mau memperjuangkan kepentingan warga desa. Suatu saat nanti bila demokrasi telah mengakar kuat di desa maka warga desa akan bisa memilih wakil-wakil rakyat yang bersedia untuk memperjuangkan kepentingan desa.

Arie Sujito pada sesi ketiga menyatakan bahwa UU Desa merupakan pintu masuk yang bisa dimasuki oleh siapapun, bukan hanya oleh para pejuang desa yang ingin memperjuangkan kepentingan rakyat desa tapi juga oleh orang-orang yang ingin mendapatkan keuntungan pribadi dari pelaksanaan undang-undang tersebut. Oleh karena itu, perlu pengawasan yang ketat dari semua pihak agar pelaksanaan undang-undang tersebut benar-benar dapat memperjuangkan kepentingan masyarakat desa.

Perlu diketahui bahwa tujuan utama undang-undang desa bukan bagi-bagi uang bagi desa. namun pemberdayaan warga desa agar mereka mampu mengembangkan diri sehingga dapat terlibat dalam pengelolaan aset desa. Tugas para pejuang desa bukan hanya mengajari warga desa membuat kuitansi LPJ dana yang diterima, tetapi membumikan semangat pembaharuan desa dan reforma agraria. Tantangan utama yang menghadang tujuan itu adalah bagiamana bisa merubah sikap birokrat agar selaras denmgan semangat tersebut. Selama ini sebagian besar birokrat belum memiliki kesiapan untuk melaksanakan pembaruan desa dan reforma agraria.*

Tantangan dan Kiprah Caleg Perempuan dalam Pemilu 2014

“Harus diakui bahwa selama ini peran kaum perempuan dalam bidang politik masih kalah dibanding kaum pria. Hal ini mendorong PSPK UGM dalam seminar bulanan ini menghadirkan para politisi perempuan yang mencalonkan diri dalam pemilu legislatif tahun ini. Diharapkan dalam seminar ini terjadi sharing pengalaman dan juga pemikiran yang dapat semakin memperkuat posisi kaum perempuan di dunia politik. Kita berharap di masa depan kaum perempuan semakin mendapatkan posisi yang setara dengan kaum laki-laki.” Demikian harapan Dr. Bambang Hudayana dalam sambutan pembukaan seminar bulanan yang dilaksanakan oleh PSPK UGM pada hari Kamis, tanggal 13 Maret 2014. Seminar yang dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan tersebut mengangkat tema “Tantangan dan Kiprah Caleg Perempuan dalam Pemilu 2014”, menghadirkan 3 orang narasumber caleg perempuan dari tiga parpol, yaitu Ibu Esti Wijayanti (PDI-P), Ibu Yuliana (Partai Gerindra). dan Ibu Maya Sila (Partai Golkar).

Dalam pemaparannya, ketiga caleg menyampaikan latar belakang mereka terjun di dunia politik. Ibu Maya yang merupakan caleg di tingkat kabupaten menyampaikan bahwa ia terdorong untuk terjun di dunia politik karena merasa prihatin dengan sistem birokrasi di daerahnya yang korup. Kenyataan ini ia temukan sendiri saat ditunjuk sebagai ketua sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah daerah. Badan tersebut dibiayai oleh APBD dan ia menemukan bahwa penggunaan anggaran di badan tersebut sangat tidak transparan, banyak dana yang penggunaannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ketika ia melaporkan masalah tersebut kepada bupati, ternyata tidak direspon sama sekali bahkan ia mendapat perintah untuk diam apabila masih ingin berada di dalam sistem. Ia sangat prihatin dengan kondisi ini dan berharap dapat melakukan pembenahan saat menjadi anggota legislatif nanti.

Ibu Yuliana yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif tingkat provinsi menyampaikan bahwa ia terjun di dunia politik dengan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif karena menemukan realitas kehidupan rakyat Indonesia yang belum sesuai dengan harapan. Biaya pendidikan mahal, tingkat korupsi tinggi, harga kebutuhan hidup sehari-hari mahal, dll. Dengan terjun di  dunia politik ia berharap Indonesia akan mengalami perubahan menuju lebih baik. Ibu Esti yang mencalonkaan diri sebagai anggota DPR RI menyampaikan bahwa panggilan jiwanya untuk terjun di dunia politik sudah muncul sejak masih belia. Ketika belum memiliki hak pilih, ia sudah aktif di dunia politik, meski masih sebatas ikut kampanye. Pengetahuan di bidang politik diperoleh dari orang tuanya yang seorang guru mata pelajaran PMP. Sebelum mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di tingkat pusat, ibu Esti adalah anggota legislatif di tingkat provinsi selama 2 periode, dan pernah pula menjadi anggota legislatif di tingkat kabupaten. Banyaknya permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rakyat mendorong dirinya untuk membantu memecahkan masalah tersebut. Dulu saat belum menjadi anggota legislatif ia mencoba membantu memecahkan masalah dengan kekuatan sendiri, dengan dana pribadi yang dimiliki. Karena keterbatasan sumber daya, hasilnya tidak maksimal. Ketika ia masuk di lembaga legislatif ia dapat membantu memecahkan masalah tersebut dengan mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang pro rakyat, dan hasilnya jauh lebih signifikan.

Terkait dengan tantangan caleg perempuan dalam pemilu 2014, para narasumber sepakat bahwa tantangannya semakin berat. Pada saat ini banyak anggota masyarakat Indonesia yang apatis dengan pemilu yang akan dilaksanakan. Mereka memiliki pandangan bahwa proses  pemilu sama sekali tidak mendatangkan manfaat bagi rakyat. Yang diuntungkan hanya para caleg yang terpilih menjadi anggota legislatif yang dapat hidup makmur dan mewah berkat gaji dan  fasilita yang diterima dari negara, serta berkat tindak Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) yang dilakukannya. Karena merasa sama sekali tidak mendapat manfaat dari pesta demokrasi yang diselenggarakan maka mereka cenderung untuk golput/tidak menggunakan  hak pilih mereka. Sementara itu, ada pula warga masyarakat yang mencoba mencari keuntungan materi dari proses pemilu yang dilaksanakan. Mereka mau menggunakan hak pilih mereka asalkan  mendapat imbalan sejumlah uang. Yang lebih parah, ada pula warga masyarakat yang bersedia menerima uang dari beberapa caleg/partai meski ia hanya memiliki satu hak pilih. Prinsipnya, “terima dulu uangnya, perkara pilihan belakangan”.

Menanggapi realitas tersebut, para pembicara menyampaikan pendapatnya. Ibu Maya berharap bahwa ia akan mampu memberi penyadaran kepada warga masyarakat untuk menggunakan hak pilih dengan baik dan menentukan pilihan berdasarkan hati nurani, bukan berdasarkan uang yang diterima. Ibu Yuliana menyatakan bahwa politik uang tidak mendidik dan ia tidak akan melakukannya. Hal itu karena selain bertentangan dengan undang-undang, politik uang juga membutuhkan dana relatif besar dan ia tidak memiliki dana tersebut. Ibu Esti mensinyalir bahwa munculnya apatisme di kalangan masyarakat bukan murni atas kesadaran sendiri namun karena ada manuver politik dari kalangan tertentu, dengan harapan dapat mengurangi suara yang akan diperoleh oleh partai lain. Terkait dengan politik uang, ia sangat menyayangkan terjadinya hal tersebut. Ia tidak hanya menyalahkan pihak pemberi tetapi juga pihak penerim yang kadang kala menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Bersedia menerima pemberian bantuan dari pihak manapun. Menurut ibu Esti, kondisi ini masih bisa dimaklumi bila terjadi di daerah-daerah miskin, namun realitanya banyak warga dari kalangan menengah yang juga melakukan hal tersebut.

Salah satu hal yang ikut menentukan keberhasilan sebuah partai atau seorang caleg mendapatkan dukungan suara dari rakyat, menurut Dr. Bambang Hudayana, adalah kaderisari. Terkait dengan hal tersebut, Ibu Maya menyatakan bahwa ia telah memiliki jaringan yang dapat mendukung langkahnya menuju gedung dewan, yaitu dukungan dari sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang kebetulan keanggotaannya hingga akar rumput. Selain itu, ia juga mengandalkan partai politiknya yang juga memiliki massa hingga akar rumput. Ibu Yuliana menanggapi bahwa ia yakin mampu merebut dukungan rakyat karena program kerja partai yang sangat pro rakyat. Selain itu, juga kepribadian yang dimilikinya, yaitu supel dan jujur. Sebagai gambaran, banyak teman di kantor yang merasa kehilangan saat ia tidak masuk kantor. Ibu Esti menanggapi isu kaderisasi, bahwa partainya sangat menekankan proses kaderisasi. Bahkan, ia merupakan kader lulusan pertama dari sekolah diklat yang dilaksakan oleh PDIP. Selain itu, komunikasi politik selalu ia bangu dengan konstituennya. Bahkan akhir-akhir ini, komunikasi itu semakin intensif. Hampir setiap hari ia sampai di rumah jam 22 malam karena kesibukan komunikasi politik yang ia lakukan dengan konstituennya.

Sebagai calon wakil rakyat yang memiliki konstituen di DIY, tentu para narasumber tidak dapat terlepas dari persoalan-persoalan yang terjadi di DIY. Persoalan kritis terkait dengan keistimewaan DIY adalah masalah agrarian. Ada isu bahwa semua tanah milik kraton dan pakualaman akan ditarik dan tidak boleh dimanfaatkan lagi oleh warga yang selama ini memanfaatkannya. Terkait dengan hal itu, Ibu Maya menyatakan bahwa ia merupakan salah satu pihak yang sebenarnya tidak setuju dengan keistimewaan DIY karena ia yakin hal itu akan menimbulkan banyak masalah, seperti yang muncul saat ini. Ia berpendapat bahwa tanah idealnya dikuasai oleh negara dan rakyat sebatas menggunakannya, seperti sistem yang berlaku di negara-negara barat dan juga Singapura. Jadi tidak boleh ada warga negara yang memiliki tanah, semua hanya hak guna. Ibu Yuliana menanggapi bahwa pihak kraton tidak akan keberatan tanah milik kraton dimanfaatkan oleh rakyat. Sejarah telah menunjukkan bahwa selama ini kraton telah rela berkorban apapun untuk kesejahteraan rakyat, bukan hanya tanah. Jadi bila ada persoalan terkait dengan tanah, silahkan kontak saya, nanti saya bantu karena saya mempunyai banyak kenalan dari kalangan kraton. Ibu Esti menyatakan bahwa sebelumnya memang ada wacana penarikan kembali tanah kraton yang dituangkan dalam rancangan perda terkait keistimewaan DIY.  Namun setelah muncul aspirasi dari warga masyarakat yang menentang rancangan tersebut, maka DPRD mengubah rancangan tersebut. Warga masyarakat yang selama ini memanfaatkan tanah kraton tetap boleh memanfaatkannya dengan syarat meminta ijin kraton. Anak cucu  dari sebuah kelaurga yang tinggal di tanah magersari boleh terus memanfaatkan tanah tersebut dengan syarat memperbaharui perjanjian dengan pihak kraaton.

Terkait dengan isu caleg yang harus asli daerah yang diwakili, ibu Maya kurang setuju dengan hal tersebut. Kita hidup di negeri Indonesia yang memiliki latar belakang suku, agama, ras yang berbeda-beda, dan kita berharap kita bisa membangun Indonesia yang mampu mengayomi semua warga negaranya, tak membeda-bedakan latar belakangnya. Semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama, termasuk dalam bidang politik. Oleh karena itu, wajar bila semua orang boleh dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di daerah manapun. Satu syarat yang diperlukan, yaitu ia mampu menyampaikan aspirasi dari konstituennya. Jadi dalam pemilu, saya kira tidak relevan lagi isu asli atau tidak asli. Kalau asli terus mengapa gitu lho.

Terkait dengan isu bantuan yang sering kurang mendidik yang diberikan kepada kaum miskin, ibu Esti setuju bahwa bantuan yang diberikan kepada kaum miskin/pihak yang membutuhkan harus bersifat mendidik, yaitu bisa menumbuhkan kemampuan untuk mengatasi persoalannya sendiri tanpa bergantung dengan pihak lain. Namun demikian kita juga tidak dapat menutup mata, apabila kondisi sangat darurat maka bantuan dapat diberikan secara langsung/karitatif. Kalau rakyat mengalami kekeringan maka untuk pemberdayaan kita bisa memberikan bantuan pompa air, namun bila tingkat kekeringan sudah sangat parah maka bantuan berupa air bersih tidak boleh dilarang.

Terkait dengan isu liberalisasi pasar, Ibu Maya meyatakan bahwa kita tidak boleh anti pati dengan pemodal dari luar karena maju tidaknya suatu wilayah sangat tergantung dengan keberadaan modal. Yang kita perlukan adalah adanya regulasi/aturan yang jelas-jelas memiliki keberpihakan kepada rakyat. Dengan aturan tersebut diharapkan rakyat bukan hanya menjadi pihak penonton yang tidak memiliki peran sama sekali dalam perputaran roda perekonomian tetapi juga terlibat aktif dalam kegiatan tersebut sehingga mereka dapat ikut menikmati manfaatnya.*

Pemberdayaan Masyarakat Desa Pasca PNPM Mandiri Perdesaan (PNPM-MPd)

PNPM Mandiri Perdesaan merupakan salah satu program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesi, di samping program penanggulangan kemiskinan yang lain. Jangkauan program ini sangat luas mencapai 63.000 desa (80%), 5.146 kecamatan, 394 kabupaten/kota, dan 33 propinsi. Total dana yang telah dikucurkan oleh pemerintah untuk membiayai program ini selama 15 tahun lebih dari 70 trilyun. Namun ironisnya laju penurunan warga m,iskin melambat atau stagnan. Dalam periode tahun 2013 jumlah penduduk miskin justru meningkat, pada bulan maret tercatat sebanyak 28,07 juta penduduk miskin di Indonesia, namun pada bulan September pada tahun yang sama jumlah tersebut justru meningkat menjadi 28,55 juta jiwa. Selain itu ketimpangan ekonomi juga semakin melebar yang ditunjukkan dengan indexs gini yang terus melebar dan ketergantungan terhadap produk dan komoditas inpor semakin meningkat. Demikian penyataan narasumber dalam seminar bulanan yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM pada hari Kamis tanggala 13 Februari 2014. Pada kesempatan tersebut diangkat topik Pemberdayaan Masyarakat Desa Pasca PNPM Mandiri Perdesaan (PNPM-MPd). Tampil sebagai narasumber Dr. Suharko, dosen Fisipol UGM, dengan moderator AB. Widianto, M.A peneliti PSPK UGM.

“Pemberdayaan masyarakat desa masih menjadi agenda penting untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat miskin di Indonesia. PNPM Mandiri Perdesaan akan segera berakhir tahun ini dan masa depan program pemberdayaan masyarakat desa berada di tangan pemerintahan baru pasca pemilu tahun 2014. Apa agenda diskusi kita?”, kata penyaji. “Agenda diskusi kita pada saat ini adalah mengkritisi pendekatan PNPM MPd, proses pelaksanaan, capaian dan dampak program. Selain itu, kita juga akan mendiskusikan opsi-opsi alternatif kebijakan dan model pemberdayaan masyarakat desa yang tidak berbasis utang luar negeri, bertumpu pada aset dan sumberdaya nasional dan menempatkan komunitas desa sebagai subyek yang berdaulat.”

Kritik kami terhadap pendekatan PNPM MPd adalah pertama, pendekatan program yang pada mulanya adalah community driven development (CDD) dalam pelaksanaannya berubah menjadi money driven development, yang lebih tampak di lapangan pembangunan digerakkan oleh uang, bukan oleh value dan sumber daya komunitas. Kedua, secara normatif program PNPM MPd mengutamakan partisipasi warga miskin dan perempuan, namun dalam pelaksanaannya suara dan aspirasi kepentingan mereka kurang atau tidak terakomodasi. Ketiga, program PNPM MPd bersifat apolitis sehingga terjadi bias elite desa dalam pengambilan keputusan (fenomena elite capture). Keempat, program lebih mengutamakan pembentukan kelembagaan baru (UPK, TPK, dll) daripada memberdayakan kelembagaan lokal lama yang baik. Kelima, fasilitaor umumnya kurang memahami konteks permasalahan masyarakat lokal, akibat tingkat rotasi yang tinggi. Keenam, skema program kurang melibatkan pemerintah desa.

Kritik terhadap proses pelaksanaan, khususnya program open menu adalah pembangunan infrastuktur (jalan, jembatan, saluran irigasi, dll) dikerjakan dengan dua pola, yaitu pola padat karya dan pola tender. Dalam pola padat karya, atas nama “kearifan lokal” terpelanting menjadi menjadi tirani partisipasi- upah tidak memadai atau dipotong untuk penambahan volume pekerjaan. Dalam pola tender partisipasi warga sangat terbatas karena pengadaan barang dan tenaga oleh kontraktor, sehingga sesuai dengan orientasi pro-job. Sedangkan kritik terhadap proses pelaksanaan simpan pinjam kelompok perempuan (SPP), istilah SPP ditolak karena dianggap melecehkan, “simpan pinjam perempuan” . Selain itu, program tidak dapat mencapai warga perempuan yang benar benar miskin, dan ketersediaan dana relatif kecil untuk perguliran. Meskipun NPL relatif kecil tapi tidak bisa menjadi tolok ukur proses keberhasilan yang memadai. Selain itu, sejumlah perempuan memang berkelompok untuk akses dana, namun usaha ekonomi yang dijalankan umumnya individual bukan usaha bersama.

Kritik terhadap capaian dan dampak program PNPM MPd yaitu, pengelolaan dan laporan administrasi program sangat baik, auditable, lapangan pekerjaan bertambah, terutama untuk fasilitator (desa, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi dan nasional mencapai kurang lebih 11.000 orang, tapi bukan untuk warga miskin. Terjadi penambahan infrastruktur pedesaan yang ekspansi karena 75% dana program dialokasikan untuk pembangunan prasarana dasar, sebagian besar dalam bentuk jalan, namun umumnya hal itu hanya terjadi di pulau jawa. Kritik terkait dampak SPP yaitu terjadinya peningkatan ketergantungan masyarakat desa terhadap akses dana dan terkikisnya kemandirian warga dalam akumulasi modal berbasis tindakan kolektif (melalui kelompok arisan, simpan pinjam, dan sejenisnya). Pemanfaatan modal usaha cenderung untuk konsomsi dan bukan untuk menunjang produksi, sehingga dampak terhadap kesejahteraan sulit diukur. Terjadinnya kesenjangan akses dalam pemanfaatan peluang pinjaman karena program mengharuskan pemilikan basis usaha ekonomi yang berjalan. Akibatnya, yang meningkat kesejahteraannya adalah warga yang mampu bukan warga miskin.

Terkait dengan peta jalan penguatan dan keberlanjutan PNPM MPd, para pemangku kepentingan PNPM telah menyusun peta jalan untuk memperkuat dan melanjutkan PNPM. Sejumlah tokoh yang diwawancarai dalam laporan KATADATA, seperti mendagri, wapres, konseptor PNPM dari Bank Dunia, dan lainn-lain menyatakan PNPM perlu dilanjutkan. Namun apakah peta jalan yang telah disusun akan dilanjutkan atau tidak , sangat tergantung pada pemerintahan baru sebagai hasil pemilu 2014.

Momentum Penguatan: Lahirnya UU Desa

Kelahiran UU desa membawa harapan besar bagi pemberdayaan masyarakat desa karena undang-undang tersebut mengamanatkan kepada pemerintah untuk mengalokasikan sejumlah dana yang jumlahnya antara 750 juta hingga 1,5 milyar bagi setiap desa. Dalam pasal 72 ditetapkan bahwa belanja desa diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang disepakati dalam musyawarah desa dan sesuai dengan prioritas pemerintah kabupaten/kota, pemerintah propinsi dan pemerintah pusat. Selanjutnya, kebutuhan pembangunan tersebut meliputi, tetapi tidak terbatas pada kebutuhan primer, pelayanan dasar, lingkungan, dan kegiatan pemberdayaaan masyarakat desa.

Dalam pasal 112 ayatt 3 dan 4 dinyatakan bahwa pemerintah, pemerintah propinsi, dan pemerintah kabupaten/kota memberdayakan masyarakat desa dengan menerapkan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dan temuan baru untuk kemajuan ekonomi dan pertanian masayarakat desa., meningkatkan kualitas pemerintahan dan masyarakat desa melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan, dan mengakui serta memfungsikan institusi asli dan/atau yang sudah ada di masayarakat desa. Selain itu pemberdayaan masyarakat desa dilaksanakan dengan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pembangunan desa dan kawasan perdesaan.>

Lalu, apa alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat desa pasca PNPM MPd? apakah lahirnya UU desa akan mampu menjadi pengganti program PNPM MPd dalam pemberdayaan masyarakat desa sehingga program PNPM MPd tidak diperlukan lagi. Ataukah PNPM MPd tetap perlu dilanjutkan meskipun sudah ada UU Desa, dengan harapan keduanya mampu saling bersinergi sehingga program pemberdayaan masayarakat bisa berjalan semakin optimal? untuk menemukan jawaban atas berbagai pertanyaan ini, kita menyelenggarakan diskusi ini. Namun dari berbagai harapan yang terlontar, khususnya dari para penyelenggara program PNPM, lahirnya UU Desa diharapkan tiddak akan menghapus program PNPM yang telah berjalan lebih dari 15 tahun itu. Atau paling tidak, jika program PNPM terpaksa dihentikan aset yang dimiliki oleh program PNPM bisa dimanfaatkan oleh pemerintah desa untuk mendukung pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat desa. Bukan hanya aset yang bersifat hasil program (institusi, finansial, aset fisik) tetapi juga aset SDM (fasilitator) yang telah memiliki pengalaman dalam melakukan pemberdayan masyarakat.

Terkait dengan pemaparan yang disampaikan oleh penyaji, Dr. Purwadi seorang peserta seminar menyampaikan ucapan terima kasih karena seminar ini telah mampu menambah pengetahuan/ilmu. Yang dimiliki. Selain itu, ia memberikan tanggapan bahwa ia sangat tidak setuju dengan realitas yang terjadi pada masa kini, dimana orang desa yang memiliki peran besar dalam kegiatan produksi diatur –atur oleh segelintir orang di pusat kekuasaan yang sebenarnya tidak tahu persis kondisi dan permasalahan yang terjadi dan di hadapi oleh masyarakat desa. Kedepan saya berharap, orang-orang desa diberi kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, ia bukan hanya menjadi obyek tetapi menjadi subyek berbagai program pembangunan yang dilaksanakan di desa.*

Meja Makan: Penentu Kedaulatan Pangan Kita

“Menu apa yang biasa kita makan sangat berpengaruh pada kedaulatan pangan di negeri ini. Hal itu bisa terjadi karena guna mewujudkan sebuah menu hidangan yang tersaji di meja makan, diperlukan banyak jenis bahan pangan yang berasal dari berbagai tempat. Misalkan tadi pagi kita makan nasi pecel maka bila kita cermati maka bahan pangan yang dibutuhkan untuk membuat nasi pecel bisa berasal dari banyak tempat, sayurnya dari lereng Merapi, berasnya dari Delanggu, kacangnya dari Sukoharjo, dll. Sebaliknya bila tadi pagi kita makan burger maka kita dapat mencermati bahwa bahan yang dibutuhkan untuk membuat burger berasal dari tempat yang lebih jauh, gandumnya dari Eropa, dagingnya dari USA, dll. Bila menu makan kita terbuat dari bahan pangan produk lokal maka kita sudah turut membangun kedaulatan pangan namun bila menu makan kita terbuat dari bahan pangan yang harus diimpor dari negara lain maka kita akan melemahkan kedaulatan pangan kita”, demikian pernyataan Dr. Baiquni membuka acara bedah buku hasil kajian CEES yang berjudul “Kisah Meja Makan: Pemberdayaan Masyarakat Urban Menuju Kedaulatan Pangan” yang diselenggarakan oleh CEES bekerja sama dengan Tifa, Pusat Studi Pariwisata UGM, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Impuls, dan Pintal. Acara yang diselenggarakan di ruang sidang besar PSPK UGM dan dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan tersebut, selain menghadirkan pembicara Dr. Baiquni dari Puspar UGM, juga menghadirkan Dr. Sri Peni Wastutiningsih dari CEES dan Baning P. seorang aktivis di bidang pertanian mandiri.

Untuk membangun kesadaran akan pentingnya bahan pangan lokal bagi kedaulatan pangan bukan hanya tanggung jawab LSM atau negara, namun juga tanggung jawab kita bersama. Partisipasi kita antara lain dengan mengubah kebiasaan makan kita. Bila selama ini kita memiliki kebiasaan mengkonsumsi menu makanan yang memiliki kandungan bahan pangan impor tinggi maka demi kedaulatan pangan kita harus berani meninggalkan kebiasaan tersebut dan beralih mengkonsumsi menu makanan yang terbuat dari bahan pangan yang ada di daerah kita. Hal ini memang tidak mudah karena selain terkait dengan kebutuhan fisik, menu makan yang kita makan juga terkait dengan kebutuhan psikis, yaitu prestasi sosial. Bagi sebagian orang, makan makanan fastfood misalkan Mc Donald, Pizza Hut, KFC, dll yang memiliki kandungan bahan pangan impor tinggi, bukan hanya dapat mendatangkan rasa kenyang tapi juga dianggap dapat meningkatkan prestise mereka. Sebaliknya bagi mereka mengkonsumsi makanan yang berbahan pangan lokal seperti ketela akan menurunkan prestise mereka.

Untuk membangun kesadaran akan arti penting pangan lokal bagi kedaulatan pangan di negeri ini dibutukan proses yang tidak singkat. Berkaca pada masyarakat Jepang yang membutuhkan waktu hampir 40 tahun untuk membangun kesadaran masyarakatnya agar bangga mengkonsumsi makanan lokal, maka untuk mewujudkan hal tersebut kita harus segera memulainya, dan harus ditanamkan sejak dini, sejak masa anak-anak, agar kita tidak terlambat. Meskipun hal itu berat, namun bila kita tidak segera memulainya maka dikhawatirkan bangsa Indonesia akan kehilangan kedaulatan pangan. Pada saat ini kita sudah mulai kehilangan kedaulatan pangan karena sebagian besar bahan pangan kita diimpor dari Negara lain, bukan hanya bahan pokok seperti beras tapi juga bahan pangan penunjang seperti kedelai, daging, garam. Bila tidak hati hati maka kita bisa terperosok dalam jurang krisis pangan, apa yang dapat kita lakukan bila Negara-negara tersebut menghentikan ekspor bahan pangannya ke negeri ini? tentu akan terjadi krisis pangan yang dapat membahayakan eksistensi bangsa dan Negara kita.

Sementara itu Baning P. dalam presentasinya menggambarkan bagaimana bangsa ini telah terjebak dalam situasi yang sulit. Para petani kita telah kehilangan kedaulatannya karena sebagian besar faktor produksi bidang pertanian misalnya bibit, pestisida, pupuk, dll telah dikuasai oleh perusahaan multi nasional. Pada saat ini petani tidak memiliki kemandirian lagi dan sangat tergantung dengan perusahaan multi nasional. Ketergantungan itu diperkuat oleh rendahnya kesadaran konsumen di negeri ini akan bahan pangan lokal. Mereka lebih senang membeli bahan pangan yang dihasilkan oleh pertanian modern karena wujud/penampakannya lebih baik dibanding komoditas sejenis yang dihasilkan oleh petani tradisional. Untuk mengatasi permasalahan ini maka perlu dibangun kesadaran dari para konsumen akan pentingnya bahan pangan yang dihasilkan oleh pertanian mandiri bagi kedaulatan bangsa.

Dr. Peni sebagai pembicara ketiga menekankan akan pentingnya dialog dalam berbagai aras guna meningkatkan peran serta masyarakat dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Dialog harus dibangun dalam berbagai aras, yaitu aras pengambil kebijakan, aras masyarakat dan aras teknologi. Dalam aras pengambil kebijakan, harus ada dialog antara para pengambil kebijakan dengan korporasi-korporasi internasional yang dapat mendukung terjadinya penguatan kedaulatan pangan di negeri ini. Para pengambil kebijakan harus berani menolak langkah-langkah yang ditempuh oleh korporasi internasional yang dapat melemahkan kedaulatan pangan kita. Dalam tataran masyarakat/konsumen harus dibangun dialog yang dapat membuka kesadaran akan perlunya pemanfaatan bahan pangan lokal sebagai pengganti bahan pangan sejenis yang harus diimpor dari luar negeri. Sebagai contoh, untuk mengurangi ketergantungan pada beras yang sebagian besar harus diimpor dari luar negeri maka kita harus mengkonsumsi komoditas lokal sebagai pengganti beras, misalnya ketela, ubi, sagu, dll. Untuk menggantikan tepung terigu yang harus diimpor dari luar negeri kita bisa menggunakan tepung mocaf. Dalam tataran teknologi juga harus dibangun dialog agar tumbuh kesadaran untuk menghargai pangan lokal.