“Salah satu faktor yang menjadi penyebab timbulnya masalah kemiskinan yang berlarut-larut yang dialami oleh kaum tani Indonesia adalah tidak adanya kebijakan pemerintah yang benar-benar berpihak kepada kaum tani.” Demikian pernyataan Dr. Rimawan Pradipto, salah seorang pakar yang tampil sebagai pembedah dari buku Rakyat Tani Miskin: Korban Terorisme Pembangunan karya Prof. Dr. Mochammad Maksum, guru besar Fakultas Teknologi Pertanian dan peneliti senior PSPK UGM. Kegiatan yang dilaksanakan sebagai salah satu bentuk kegiatan dari serangkaian kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka peringatan hari ulang tahun PSPK UGM tersebut dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 7 April 2011 di ruang sidang besar Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Bulaksumur G-7 Yogyakarta. Kegiatan bedah buku tersebut, selain menampilkan Dr. Rimawan Pradipta, juga menampilkan Fadmi Sustiwi, salah seorang redaktur SKH Kedaulatan Rakyat yang menjadi editor dari buku karya Prof. Maksum tersebut.
“Bangsa Indonesia adalah salah satu bangsa di dunia yang memiliki rakyat miskin dalam jumlah besar, khususnya rakyat tani. Namun sangat disayangkan dalam perjalanan sejarahnya bangsa ini selalu memiliki pemerintah atau penguasa yang tidak berpihak atau kurang peka pada kemiskinan yang dialami oleh rakyat tani. Pada masa dulu ketika di negeri ini berkembang sistim pemerintahan kerajaan. Sangat sedikit raja atau penguasa kerajaan yang memperhatikan nasib para petani. Para penguasa tersebut malah menjadikan kaum tani sebagai sapi perah bagi mereka. Selain mengeksploitasi kaum tani sebagai penyangga kebutuhan logistik kerajaan melalui mekanisme pajak atau upeti yang harus disetor oleh kaum tani kepada para penguasa, kaum tani juga menjadi sumber tenaga kerja bagi setiap program yang dijalankan oleh sang penguasa. Kita semua tahu bahwa tanpa dukungan rakyat tani, mustahil bagi wangsa Syailendra untuk membangun Candi Borobudur yang termasyur itu, demikian pula merupakan hal yang mustahil bagi Sultan Agung dari Mataram melakukan penyerangan pada pasukan VOC di Jayakarta tanpa dukungan dari rakyat tani.” lanjut pembahas.
Pada masa penjajahan kondisi kaum tani setali tiga uang alias sama saja. Mereka tetap menjadi sapi perah bagi kaum penjajah. Bahkan ada sebuah kebijakan dari penguasa penjajah yang tidak hanya mengakibatkan timbulnya dampak buruk jangka pendek, tapi jangka panjang bahkan dampak kebijakan tersebut terasa sampai saat ini. Salah satu kebijakan penguasa colonial yang dampaknya terasa sampai saat ini adalah kebijakan culture stelsel, yaitu kebijakan yang mewajibkan rakyat Hindia Belanda untuk membudidayakan tanaman perkebunan untuk memenuhi kebutuhan komoditas perkebunan pasar dunia. Kebijakan ini telah mencabut rakyat Nusantara dari budaya aslinya, yaitu maritime menjadi agraris. Namun sayang kebijakan tersebut tidak mampu mengantarkan rakyat Nusantara untuk sepenuhnya meninggalkan budaya maritime dan sepenuhnya menganut budaya agraris, rakyat nusantara berada pada posisi tengah-tengah, maritime bukan agraris pun bukan.
Kondis tersebut terus berlangsung hingga saat ini, sehingga penguasa pada masa sekarang tidak dapat merumuskan kebijakan yang tepat. Esok tempe, sore dele adalah satu ungkapan yang sering ditemukan dalam buku karya Prof. Maksum, yang menggambarkan betapa mudahnya pemerintah mengubah kebijakan, pada saat ini kita menjalankan kebijakan untuk ekspor beras namun besok kita menjalankan kebijakan impor. Kenyataan ini menjadi salah satu penyebab penguasa kita, baik penguasa masa lalu maupun penguasa sekarang tidak mampu mengatasi masalah krusial yang selama ini menjerat rakyat tani, yaitu kemiskinan. “Bidang logistik merupakan bidang yang perlu penangan serius dan tidak boleh bersifat temporer. Kalau bangsa ini menetapkan kebijakan untuk menjadi pengimpor maka kita harus konsisten untuk menerapkan kebijakan tersebut, kita tidak perlu memaksakan diri untuk menjadi bangsa pengekspor. Sebaliknya, bila kita telah memantapkan diri untuk menjadi pengekspor maka kita harus menjaga kebijakan tersebut. Konsistensi dalam menerapkan suatu kebijakan akan menuntun kita untuk menjalankan program-program yang mengarah pada tujuan yang jelas, sehingga akhirnya kita mampu mengembangkan potensi utama yang kita miliki, tanpa harus bergantung pada bangsa lain. Penerapan kebijakan yang tepat akan menyebabkan semua permasalahan yang membelit bangsa ini akan dapat teratasi, termasuk masalah kemiskinan rakyat tani.
Masalah lain yang juga diangkat dalam acara bedah buku tersebut adalah masalah agrarian. Salah seorang peserta menyayangkan buku karya Prof. Maksum belum mengangkat topik agrarian. Padahal semua orang tahu bahwa faktor lain yang juga menyebabkan berlarutnya kemiskinan yang dialami oleh kaum tani adalah keterbatasan pemilikan lahan pertanian. Semua orang tahu bahwa petani Indonesia adalah petani gurem, petani yang memiliki lahan relatif sempit. Bahkan banyak petani Indonesia yang hanya menjadi petani penggarap. Selama petani Indonesia hanya menjadi petani penggarap atau hanya memiliki lahan yang relatif sempit maka masalah kemiskinan yang dialami oleh para petani Indonesia tidak akan dapat diatasi. Menanggapi komentar tersebut, Prof. Maksum yang juga hadir dalam acara tersebut mengakui bahwa buku yang ditulisnya belum menyentuh masalah agraria. Hal itu karena buku ini merupakan kumpulan tulisan beliau yang dimuat di berbagai media massa yang sebenarnya merupakan respon terhadap berbagai masalah pertanian yang sedang actual di masa tesebut. Karena selama ini masalah agraria tidak banyak dibicarakan, maka Prof. Maksum juga belum tertarik untuk menulis masalah tersebut. Namun sebenarnya beliau juga pernah mengulas masalah agraria di dalam tulisannya yang dimuat di sebuah media massa, namun tulisan tersebut belum masuk dalam buku ini.
Dalam kesempatan sama, Fadmi Sustiwi yang berperan sebagai editor buku karya Prof. Maksum menyatakan kekaguman beliau pada Prof. Maksum yang dapat menuliskan ide dan gagasan secara lugas, tanpa tedeng aleng-aleng. Berbagai tulisan yang dimuat di buku ini merupakan kritik pedas yang dilontarkan oleh penulis terhadap berbagai permasalahan pangan yang terjadi di Indonesia, khususnya kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah yang tidak tepat. Posisi beliau pada saat ini, selain sebagai guru besar juga sebagai salah satu pimpinan ormas besar di Indonesia akan menyebabkan kritik yang dilontarkan akan memiliki bobot yang signifikan. Hal lain yang juga membuat buku ini menarik, menurut Fadmi Sustiwi, adalah adanya informasi yang disampaikan oleh penulis tentang seluk beluk dunia pertanian. Informasi ini jelas akan memperkaya khasanah pengetahuan pembaca mengenai masalah pertanian. Kita tahu bahwa pada saat ini banyak kaum muda yang memiliki pemahaman yang kurang tentang dunia pertanian. Mereka mengkonsumsi hasil pertanian tapi mereka tidak memiliki pemahaman tentang proses yang harus dilewati komoditas pangan sebelum komoditas tersebut terhidang di meja makan. Proses produksinya saja tidak tahu, apalagi permasalahan yang muncul di seputar pangan. Mudah-mudahan dengan terbitnya buku ini semakin banyak generasi muda yang paham dengan dunia pertanian dan tertarik untuk ikut berpartisi mengatasi masalah yang melilit dunia pertanian. Kita berharap setelah publikasi buku ini, banyak anak muda yang tertarik untuk masuk fakultas pertanian. Selama ini minat generasi muda untuk masuk ke fakultas pertanian relatif rendah. Semakin banyak anak muda yang belajar masalah pertanian maka akan semakin banyak orang yang diharapkan dapat ikut memikirkan masalah pertanian. Harapan Fadmi Sustiwi yang terlontar dalam forum tersebut.
Acara bedah buku yang dihadiri peserta dari berbagai kalangan, baik masyarakat umum, LSM dan akademisi dimeriahkan dengan pembagian doorprize dan bazaar buku dan ditutup pada pukul 18.00.WIB.(*dc).