Arsip:

Pengabdian Masyarakat

Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat di Desa Jomboran, Klaten, Jawa Tengah

    1. Judul Kegiatan

Penguatan Peran Warga Masyarakat Dalam Perencanaan, Penganggaran, dan Evaluasi Hasil Pembangunan Desa di Desa Jomboran, Kecamatan Klaten Tengah, Kabupaten Klaten

    1. Latar Belakang Kegiatan

Undang-Undang No 6 Tahun 2014 mengamanatkan bahwa perencanaan pembangunan desa harus dilaksanakan secara partisipatif, melibatkan seluruh masyarakat termasuk kelompok rentan (minoritas, difabel, perempuan, miskin). Hal itu bertujuan agar pembangunan yang dilaksanakan oleh desa benar-benar bermanfaat bagi seluruh warga masyarakat di desa tersebut, termasuk warga masyarakat yang tergolong sebagai kelompok rentan.

  1. Tujuan Kegiatan
    1. Meningkatkan kesadaran dari warga masyarakat termasuk kelompok rentan dalam proses perencanaan, penganggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa sehingga perencanaan, penggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa benar-benar mencerminkan prinsip partisipatif, yaitu melibatkan seluruh warga masyarakat.
    2. Meningkatkan kesadaran organisasi sosial kemasyarakatan (PKK, Karang Taruna, Kelompok Tani, P3A, dasawisma, dll) organisasi sosial keagamaan ( majelis taklim, TPA, kelompok pengajian, dll) dan institusi/pranata sosial (rembug warga, pertemuan RT/RW, gotong royong,, dll) yang ada di desa Jomboran menjadi ajang pengorganisasikan perencanaan, penganggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa.
    3. Meningkatkan kesadaran pemerintahan desa (pemerintah desa dan BPD) untuk lebih terbuka dan berani secara aktif menjaring aspirasi dari seluruh warga masyarakat termasuk aspirasi dari kelompok rentan (minoritas, difabel, perempuan dan miskin) sehingga perencanaan, penganggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa benar-benar bersifat partisipatif.
  2. Luaran Kegiatan
    1. Meningkatnya kesadaran dari warga masyarakat termasuk kelompok rentan untuk ikut terlibat secara aktif dalam proses perencanaan penganggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa (indikator: terbangunnya komitmen dari warga masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan)
    2. Meningkatnya kesadaran organisasi sosial kemasyarakat, organisasi sosial keagamaan, dan instisusi/pranata sosial yang bisa menjadi ajang pengorganisasian perencanaan, penganggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa (indikator: terbangunnya komitmen organisasi warga untuk mulai mempraktekkan dan mendiskusikan tata cara perencanaan, penganggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa dengan prosedur yang baik)
    3. Meningkatnya kesadaran pemerintahan desa (pemerintah desa dan BPD) yang lebih terbuka dan berani secara aktif menjaring aspirasi dari seluruh warga masyarakat termasuk aspirasi dari kelompok rentan dalam rangka mewujudkan perencanaan, penganggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa yang benar-benar partisipatif (indikator: terbangunnya komitmen aparat pemerintahan desa untuk terbuka, responsif, dan akuntabel dalam perencanaan, penganggaran, dan evaluasi hasil pembangunan desa)
    4. Perencanaan pembangunan desa yang partisipatif (indikator: tersusunnya contoh rencana pembangunan desa yang lebih partisipatif (APBDes bayangan)
  3. Metode Kegiatan
    1. Sosialisasi kegiatan
      1. Peserta: perwakilan warga masyarakat serta perwakilan aparat pemerintah desa dan BPD
      2. Rencana pelaksanaan: April (akhir)
    2. Pelatihan perencanaan pembangunan bagi warga masyarakat
      1. Peserta: perwakilan warga masyarakat, termasuk kelompok rentan
      2. Rencana pelaksanaan: Mei (pertengahan)
    3. Pelatihan bagi pengurus organisiasi sosial/organisasi keagamaan, dll
      1. Peserta: perwakilan pengurus organisasi sosial kemasyarakatan (PKK, Karang Taruna, Dasa Wisma, dll), perwakilan pengurus organisasi sosial keagamaan (kelompok pengajian, majelis taklim, TPA, kelompok gereja, dll), serta perwakilan pengurus organisasi sosial ekonomi (kelompok tani, P3A, dll)
      2. Rencana pelaksanaan: Juli (pertengahan)
    4. Pelatihan bagi aparat pemerintah desa dan anggota BPD
      1. Peserta: kepala desa dan aparat pemerintah desa, anggota BPD, serta anggota tim 11
      2. Rencana pelaksanaan: Agustus (pertengahan)
    5. Simulasi penyusunan perencanaan pembangunan yang lebih bersifat partisipatif
      1. Peserta: (1) perwakilan warga masyarakat termasuk kelompok rentan; (2) perwakilan aparat desa, BPD dan tim 11; serta (3) perwakilan pengurus organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi sosial keagamaan, dan organisasi sosial ekonomi(/li>
      2. Rencana pelaksanaan: September (pertengahan)

Penguatan Ketahanan Pangan Melalui Diversifikasi Makanan Pokok Berbasis Produk Lokal

Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada pada tahun 2015 mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat di Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Gunung Kidul. Kegiatan ini mengangkat tema “Penguatan Ketahanan Pangan Melalui Diversifikasi Makanan Pokok Berbasis Produk Lokal”. Pemilihan tema kegiatan pengabdian masyarakat ini didasari oleh keprihatinan rentannya ketahanan pangan akibat tingginya tingkat ketergantungan pada beras. Meskipun memiliki potensi produk pangan lokal yang dapat dijadikan makanan pokok pengganti beras, namun sebagian rakyat Indonesia enggan untuk memanfaatkan potensi tersebut akibat kebijakan penyeragaman makanan pokok pada masa lalu. Di era Orde Baru ada kebijakan penyeragaman makanan pokok rakyat Indonesia dengan beras, menggantikan komoditas lokal (singkong, sagu, ubi jalar, jagung, dll) yang telah lama menjadi makanan pokok masyarakat di daerah-daerah tertentu.

Kebijakan konversi makanan pokok tersebut menimbulkan kerentanan di bidang ketahanan pangan karena mereka menjadi sangat tergantung dengan daerah lain. Ketergantungan ini akibat keterbatasan komoditas beras yang dihasilkan oleh petani lokal. Apabila kondisi tersebut berlangsung terus maka ada potensi warga di daerah tersebut akan mengalami kekurangan pangan, apabila pasokan beras dari luar berkurang atau terhenti.

Guna menghilangkan kerentanan di bidang ketahanan pangan maka perlu ada upaya untuk mengembalikan tradisi yang telah lama di tinggalkan, yaitu menjadikan singkong menjadi makanan pokok kembali. Alasan utama menjadikan singkong sebagai makanan pokok warga desa Beji karena singkong merupakan komoditas yang banyak dihasilkan oleh petani lokal.  Namun upaya ini tidak mudah karena di tengah masyarakat sudah terlanjur ada anggapan bahwa mengkonsumsi singkong identik dengan kemiskinan.

Salah satu langkah yang bisa ditempuh adalah dengan memperkenalkan teknik baru pengolahan singkong. Dengan teknik tersebut singkong tidak hanya diolah menjadi makanan tradisional seperti tiwul, dan gatot, tetapi menjadi makanan yang “modern” yang memiliki prestise sosial dan nilai jual yang tinggi.

Singkong layak untuk dijadikan makanan pokok menggantikan beras, selain karena singkong merupakan komoditas lokal yang banyak dihasilkan oleh petani di Desa Beji, juga karena dilihat dari sisi nutrisi, kandungan nutrisi singkong cukup lengkap, yaitu kalori, air, karbohidrat, kalsium, vitamin, proten, besi, lemak, dan vitamin B1.

Kegiatan pengabdian masyarakat yang dilaksanaan oleh PSPK UGM ini diwujudkan dalam beberapa betuk kegiatan, antara lain pelatihan pengolahan makanan berbahan baku singkong, pembentukan kelompok usaha pengolahan singkong, penguatan kapasitas kelompok melalui kegiatan pelatihan manajemen kelompok, pelatihan produksi, dan pengemasan, penguatan modal san penguatan jaringan pasar.

Kegiatan Pelatihan Aparatur Desa dalam Bidang Manajemen Pemerintah Desa

Pada hari Rabu, tanggal 27 Mei 2015 di Ruang Sekip University Club UGM, PSPK UGM bekerja sama dengan IRE dan Pemerintah Kabupaten Sekadau menyelenggarakan kegiatan pelatihan aparatur desa dalam bidang manajemen pemerintah desa. Dalam kegiatan yang diikuti oleh aparatur desa tersebut hadir Dr. Bambang Hudayana, MA (kepala PSPK UGM) sebagai salah satu narasumber. Dalam pelatihan tersebut Dr. Bambang Hudayana menyampaikan materi pelatihan Sumberdaya Alam untuk Kesejahteraan Masyarakat Desa Melalui Skema Pades dan BUMDes.

Dalam pemaparannya, Dr. Bambang Hudayana, MA menyampaikan bahwa desa adalah penyangga kehidupan di nusantara karena desa menyediakan segala kebutuhan hidup seperti pangan, energi, tanah, air, hutan, dan tumbuhan. Sayangnya pada masa Orde Baru desa dikorbankan, sumber daya alam yang ada di desa justru digunakan sebesar-benarnya untuk kepentingan pusat seperti tambang, hutan dll. UU Desa sepertinya memberikan kesempatan yang lebih baik pada Pemerintahan Desa untuk mengelola sumber daya alam. Kepentingan ini harus diperjuangkan dan diraih oleh Pemerintah Desa dibantu dengan pemerintah daerah agar dapat menjadi sumber pendapatan desa. Metode dalam mengelola potensi sumber daya terutama sumber daya alam yang tidak dapat diperbaruhi pun harus diperhatikan agar dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang dan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan karena kesejahteraan hidup manusia bertumpu pada sumber daya alam.

Ketika dikelompokkan sumber daya alam dapat dibedakan menurut jenisnya, yaitu pertama, sumber daya alam hayati. Pemerintah desa dapat menuntut hak bagi hasil, termasuk untuk sumber daya alam hayati seperti tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh industri. Pendapatan jangan hanya dari minyak bumi atau industri ekstraktif tetapi masih banyak potensi lain yang dapat dikembangkan. Pengembangan lain dapat memanfaatkan alam untuk tourism (sustainable ecological tourism). Kedua, sumber daya alam non hayati. Eksplorasi sumber daya alam atau industri ekstraktif. Pemanfaatan sumber daya alam non hayati harus memperhatikan aspek lingkungan agar jangan menjadi bencana.

Dalam materi yang dipaparkan Dr. Bambang juga mengajak peserta pelatihan untuk mengidentifikasi sumber daya alam yang ada di desa dan permasalahannya. Beberapa jenis sumber daya alam yang ada di desa, pertama Flora yang penggunaaannya untuk perindang, obat-obatan, sayuran, tanaman hias. Selama ini kebanyakan digunakan untuk kebutuhan subsisten, usaha ekonomi kerakyatan. Sayangnya jarang digunakan oleh desa untuk sumber pendapatan yang kemudian dapat diredistribusikan kepada seluruh masyarakat. Kedua, Fauna yaitu Binatang, madu. Contoh, Kabupaten Sumbawa Barat, masyarakat memelihara hutan dan dari hutan masyarakat bisa memperoleh madu yang memliki nilai ekonomi tinggi. Pemerintah desa dapat menggunakan peraturan desa yang melarang pengambilan satwa hutan yang berlebih untuk menjamin keberlangsungan hidupnya. Ketiga, Hutan. Menjaga ekosistem hutan sangat dibutuhkan untuk mendukung keberlangsungan hidup. Desa tanpa hutan maka akan kehilangan arti karena kehilangan pelindung dan potensi. Tren saat ini hutan dikembangkan untuk wisata alam yang mampu menjadi sumber pemasukan bagi desa. Modal yang dibutuhkan adalah memelihara hutan itu sendiri. Kita memiliki sumber daya alam yang melimpah tetapi belum banyak dimanfaatkan terlebih dengan cara yang benar.

Sumber daya alam non hayati. Antara lain, pertama, Tambang. Sejak lama masyarakat sudah mulai melakukan penambangan, tetapi saat ini pertambangan rakyat dianggap tidak ramah lingkungan, apdahal hal tersebut muncul karena mereka tidak mampu mengakses modal maupun lokasi prioritas sehingga hanya mencari lahan-lahan marginal yang hanya ada sedikit mineral berharga dengan metode yang seadanya. Kedua, Air. Mulai menjadi sebuah trend usaha desa pengemasan air minum maupun isi ulang dimana desa dapat menyediakan air untuk warganya. Ketiga, Tanah Untuk meningkatkan pendapatan daerah dan desa dapat dilakukan dengan pembayaran retribusi ketika panen. Desa mencari penghasilan dengan mengelola lingkungan hidup untuk pemasukan desa yang dapat dimanfaatkan oleh pembangunan desa. Tanah kas desa, tanah sitisoro (tanah disewakan kepada warga yang tidak memliliki tanah) saat ini kurang dapat dimanfaatkan dengan baik padahal tanah dapat menjadi potensi yang sangat baik untuk dikelola. Luas tanah pun dapat ditingkatkan dengan ide-ide kreatif, misal menjual tanah yang berada di lokasi strategis dan membeli di lokasi lain yang lebih murah sehingga dapat memperoleh hasil yang lebih luas. Selanjutnya tanah tersebut diberikan hak penggunaannya kepada masyarakat misal untuk kandang ternak, perkebunan, maupun penanaman tanaman bernilai ekonomi tinggi. Keempat, Arus sungai. Dapat digunakan untuk teknologi micro hydro untuk mencukupi kebutuhan listrik masyarakat, trend ini mulai banyak digunakan di desa-desa di Papua.

Dalam pemaparannya, Dr. Bambang juga menyampaikan Peta jalan Pengembangan Sumber Daya Alam oleh Desa. Yang perlu dilakukan menurut beliau adalah, pertama, Pemetaan batas wilayah desa. Kedua, Pemetaan potensi SDA desa. Sudah dimanfaatkan seperti apa, bagaimana kondisinya. Dilakukan dengan pendekatan parsipatoris dengan warga dimana warga mendefinisikan keadaan dan kebutuhannya. Ketiga, Penyusunan arah kebijakan pengelolaan potensi pengembangan SDA desa. Arah kebijakan perlu disusun dalam jangka pendek, menengah, panjang pengembangan sumber daya alam desa. Keempat, Penyusunan kebijakan tata ruang desa. Untuk menyusun RPJMDesa, tata ruang harus disusun secara jelas dan jangan sampai dialihfungsikan secara sembarangan. Selain itu juga mengatur kawasan konservasi. Kelima, Penyusunan program-program pengelolaan lingkungan hidup dan ekonomi desa. Berbagai hal dapat dilakukan untuk mengelola lingkungan yang berpotensi mendatangkan potensi ekonomi bagi desa, seperti: (a) Pengelolaan hutan berbasis masyarakat; (b) Eksplorasi sumber daya pertambangan berbasis kearifkan lokal; (c) Pengembangan ekowisata; (d) >Revitalisasi area rawan bencana. Keenam, Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (pembinaan masyarakat di sekitar hutan, rehabilitasi hutan dan lahan, perlindungan dan konservasi sumber daya hutan, pemanfaatan), (b) Eksplorasi sumber daya pertambangan berbasis kearifan lokal.(Identifikasi produk, Kerjasama kemitraan antar desa, Mengembangkan pola bagi hasil yang adil, Mendorong dan mengembangkan partisipasi masyarakat, Pengembangan sumber daya listrik mikro, Pengembangan BUMDesa); (c) Pengembangan ekowisata (Pengembangan sarana dan prasarana dan destinasi objek pariwisata, Promosi kawasan wisata), (d) Revitalisasi area rawan bencana; (e) Pembangunan kembali sarana dan prasarana; (f) Sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat; (g) Pendanaan dan pembangunan daerah rawan; (g) Peningkatan partisipasi masyarakat; (h) Pembangunan pusat-pusat reboisasi dan pengembalian ekosistem

Untuk membangun desa jangan terkecoh dengan urusan dana desa tetapi lupa bahwa sebenarnya desa memiliki kekayaaan alam yang luar biasa yang dapat menjadi sumber kehidupan bagi masyarakatnya. Pembangunan desa dapat dikembangkan dengan konsep green village. Mari membangun desa dengan menjaga kelestarian hidupnya. Anggaran Dana Desa (ADD) jangan dihabiskan untuk proyek-proyek fisik tetapi bagaimana untuk menggerakkan masyarakat dan memanfaatkan sumber daya alam agar dapat menjadi produk berkelanjutan yang bermanfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu mari kita kembangkan BUM Desa.

Pelatihan TOT Pengembangan Kapasitas SDM dan Kelembagaan Sosial

Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) bekerja sama dengan KENARI dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Klaten menyelenggarakan pelatihan Training of Trainer (TOT) Pengembangan Kapasitas SDM dan Kelembagaan Sosial Masyarakat pada “Program Pengarusutamaan Pengurangan Resiko Bencana (PRB) Berbasis Tata Ruang”. Kegiatan yang dilaksanakan selama 5 hari mulai tanggal 20 September hingga 25 September 2012 tersebut diikuti oleh 20 orang peserta yang akan diterjunkan di lapangan sebagai pendamping masyarakat di daerah rawan bencana alam letusan Gunung Merapi, yaitu di desa-desa di Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten.

Materi pelatihan diberikan oleh para pakar, baik dari lingkungan Universitas Gadjah Mada maupun dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki kepedulian pada upaya pengurangan resiko bencana. Beberapa narasumber yang tampil dalam pelatihan tersebut antara lain Prof. Dr. Susetiawan, Prof Dr. Ir. Moch. Maksum, Dr. Bambang Hudayana, Dr. Partini, dan lain-lain dengan fasilitator Drs. Suharman dan AB Widyanto.

Beberapa materi yang disampaikan dalam pelatihan antara lain: (1) Konsep dan Filosofi Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan rawan Bencana, (2) Pemahaman Nilai-Nilai dan Prinsip Bekerja dengan Masyarakat, (3) Pemihakan kepada Korban Bencana sebagai “Disadvantage People“, dan lain sebagainya. Materi lain yang juga disajikan dalam pelatihan ini antara lain pengalaman dari para relawan dalam menghadapi dan menangani dampak bencana erupsi Merapi, misalnya tentang penanganan pengungsi, informasi dan jejaring komunitas.

Penguatan Kelembagaan Bagi Masyarakat Korban Gempa di Klaten

Sebagai tindak lanjut dari program pendampingan terhadap warga masyarakat korban gempa di Kabupaten Klaten yang telah dilaksanakan oleh PSPK UGM sejak tahun 2008, pada tahun 2009 PSPK UGM kembali melakukan beberapa jenis program pendampingan. Jenis program pendampingan yang dilaksanakan pada tahun 2009 ini adalah pembentukan lembaga keuangan mikro di tingkat Rukun Warga (RW) di Desa Gesikan dan Desa Ceporan, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten. Sekedar tambahan informasi, kegiatan pendampingan yang dilaksanakan oleh PSPK UGM pada tahun 2009 ini juga bekerja sama dengan Australia Indonesia Partnership Program (AIP). Program kegiatan ini dilaksanakan selama 10 bulan yaitu sejak bulan Maret hingga Desember 2009.

Beberapa jenis kegiatan yang dilaksanakan sebagai perwujudan dari pelaksanaan program pembentukan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah pembentukan LKM di tingkat RW, pelatihan manajemen keuangan bagi pengurus LKM, dan pengadaan modal dan sarana kerja LKM.

Melalui pendampingan yang dilaksanakan secara intensif oleh para pendamping dari PSPK UGM, maka pada akhir bulan pertama pelaksanaan program telah terbentuk lembaga keuangan mikro di 19 RW yang ada di Desa Gesikan dan Desa Ceporan. LKM ini beranggotakan ibu-ibu di lingkungan RW tersebut yang memiliki usaha produktif, sedangkan pengurus dipilih secara demokratis oleh seluruh anggota LKM. Guna memperkuat sistem kelembagaan LKM maka setiap LKM yang terbentuk kemudian menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) LKM yang memuat berbagai aturan terkait dengan LKM, misalnya aturan tentang keanggotaan LKM, hak dan kewajiban pengurus, aturan peminjaman, sanksi dll.

Guna meningkatkan pengetahuan dalam melaksanakan kegiatan LKM, maka program juga melaksanakan kegiatan pelatihan manajemen keuangan bagi para pengurus LKM. Kegiatan dilaksanakan di dua tempat, yaitu di Balai Desa Gesikan dan Balai Desa Ceporan, dan diikuti oleh semua pengurus LKM di desa tersebut. Pelatihan  dilaksanakan selama 2 hari dengan menghadirkan narasumber yang berkompeten, baik dari lingkungan UGM maupun lembaga lain.

Sebagai modal awal LKM maka program memberikan dana hibah sebesar 10 juta rupiah per LKM. Dana tersebut dikelola oleh LKM dengan menyediakan fasilitas kredit tanpa agunan bagi para anggotanya. Diharapkan melalui fasilitas kredit tersebut LKM dapat membantu mengatasi kesulitan permodalan yang banyak dialami oleh anggota LKM untuk mengembangkan usahanya. Selain itu, diharapkan semakin lama modal yang dimiliki oleh LKM bisa terus berkembangberkat jasa dan juga simpanan para anggota LKM.

Pendampingan bagi Warga Masyarakat Korban Bencana Erupsi Merapi

Letusan Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta pada akhir tahun 2010 pada saat ini sudah mereda, namun dampak yang ditimbulkan masih terasa sampai saat ini. Bukan hanya dampak jatuhnya korban nyawa dan kerusakan fisik (hancurnya rumah dan prasarana umum) yang ditimbulkan oleh bencana susulan yaitu banjir lahar dingin yang menerjang di sepanjang alur sungai yang berhulu di puncak Merapi, tapi juga terjadinya kerusakan alam termasuk lahan pertanian akibat timbunan abu vulkanik yang dilontarkan oleh gunung berapi saat terjadi erupsi.

Terjadinya kerusakan lahan pertanian di wilayah sekitar gunung merapi menyebabkan para petani tidak dapat lagi memanfaatkan lahan tersebut untuk melakukan kegiatan budidaya tanaman pangan, seperti pada saat sebelum terjadi bencana letusan Gunung Merapi. Permasalahan ini apabila dibiarkan saja akan sangat mengancam keberlangsungan hidup para petani karena mereka akan kehilangan sumber mata pencaharian yang selama ini mereka andalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Karena merasa ikut bertanggung jawab untuk membantu masyarakat memecahkan permasalahan yang dihadapi, PSPK UGM bekerja sama dengan berbagai donatur yang berasal dari dalam dan luar negeri melaksanakan kegiatan pendampingan bagi warga masyarakat korban bencana erupsi Merapi. Salah satu program pendampingan yang saat ini sedang dilaksanakan oleh PSPK UGM adalah pendampingan bagi petani untuk melakukan kegiatan budidaya pertanian di lahan pasir vulkanik. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan pembuatan demplot pertanian lahan pasir vulkanik di wilayah kecamatan Cangkringan, Sleman. Dengan melibatkan petani lokal sebagai pelaksana, para staf peneliti dari PSPK UGM memberikan bimbingan ilmu tentang budidaya pertanian di lahan pasir vulkanik. Selain itu, PSPK UGM juga memberikan bantuan bibit dan sarana pertanian lainnya. Pada saat ini lahan demplot pertanian lahan pasir vulkanik yang dibuat oleh PSPK UGM bersama petani lokal tersebut telah menampakkan kemajuan yang menggembirakan. Di atas lahan pasir vulkanik yang nampaknya tidak dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pertanian tersebut telah tumbuh subur tanaman kacang tanah dan kedelai. Diharapkan setelah melihat hasil dari demplot pertanian ini warga masyarakat petani yang sebelumnya takut untuk membudidayakan tanaman pertanian di lahan sawah yang telah berubah menjadi lahan pasir vulkanik, menjadi bersemangat lagi untuk memanfaatkan lahan yang ada.

Salah satu kunci keberhasilan demplot pertanian lahan pasir vulkanik untuk pembudidayaan tanaman pangan (kacang dan kedelai) menurut para pakar pertanian dari PSPK UGM adalah pemanfaatan pupuk kandang. Pupuk kandang merupakan faktor yang ikut menentukan keberhasilan pertanian di lahan pasir vulkanik. Pupuk kandang dengan dosis yang pas sangat dibutuhkan oleh tanaman yang dibudidayakan di lahan pertanian pasir vulkanik karena kandungan unsur hara di dalam lahan pasir vulkanik sangat minim. Oleh karena itu idealnya setiap petani yang membudidayakan tanaman pertanian di lahan pasir vulkanik juga memelihara ternak sebagai sumber pupuk kandang.

Kedepan keberhasilan program demplot pertanian lahan pasir vulkanik yang telah dirintis oleh PSPK UGM ini akan ditindaklanjuti dengan kegiatan pendampingan bagi para petani di wilayah lereng Merapi untuk membudidayakan tanaman pertanian di lahan masing-masing. PSPK bersama donatur yang berasal dari berbagai wilayah baik dalam dan luar negeri akan berusaha untuk memberikan bantuan kepada mereka, baik dalam hal ilmu budidaya pertanian di lahan pasir vulkanik maupun sarana dan prasaran pertanian yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut, termasuk bantuan yang berujud ternak yang akan dapat menjadi sumber pupuk kandang yang sangat dibutuhkan oleh para petani.

Anda tertarik dengan kegiatan ini dan ingin memberikan bantuan untuk kesuksesan kegiatan ini? Kami persilahkan anda untuk menghubungi kami. Semua bantuan yang anda sumbangkan akan kami kelola dengan baik demi tercapainya tujuan program yaitu pemulihan sumber penghidupan bagi para petani korban erupsi gunung Merapi. Kami tunggu partisipasi anda. (*dc)

Pendampingan Pengrajin Rambak di Klaten

Guna membantu memulihkan sumber penghidupan warga masyarakat korban Gempa Bumi di Desa Gesikan, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten, khususnya warga masyarakat yang menekuni kegiatan pembuatan krupuk rambak yang sempat terhenti akibat bencana gempa, PSPK UGM bekerja sama dengan YCAP (Yogya Central Java Community Assistance Program) melaksanakan sebuah program pendampingan. Program yang berlangsung sejak tahun 2008 tersebut mencakup beberapa jenis kegiatan, >baik yang bersifat fisik maupun penguatan kelembagaan. Program kegiatan yang bersifat fisik antara lain pemulihan tempat usaha/dapur yang memperhatikan aspek keselamatan kerja, pengadaan peralatan produksi, pengadaan modal kerja, peningkatan kualitas produk dan pemasaran. Sedangkan kegiatan penguatan kelembagaan berupa pembentukan dan pendampingan kelompok pengrajin rambak di desa Gesikan.

Kegiatan pembangunan tempat usaha dilaksanakan pada tahun pertama dan telah berhasil membangun 19 unit bangunan dapur yang memenuhi standar tahan gempa. Guna meminimalisir dampak negatif dari kegiatan usaha pembuatan krupuk rambak terhadap lingkungan, bangunan dapur tersebut dilengkapi dengan instalasi pengolahan air limbah. Kegiatan pengadaan peralatan produksi dilaksanakan dengan memberikan bantuan seperangkat alat kerja yaitu kompor, panci, wajan, alat penjemur, alat pengepan dll. Kegiatan pengadaan bahan baku dilaksanakan dengan memberikan sejumlah bahan baku yang diperlukan untuk membuat krupuk rambak, yaitu tepung terigu, tepung tapioca, minyak goring, dll. Kegiatan peningkatan kualitas produksi dilaksakan dengan melaksanakan pelatihan produksi yang mengutamakan aspek higienitas. Sedangkan kegiatan penguatan pasar dilaksanakan dengan perintisan pasar ke supermarket dan pasar di luar daerah.

Kegitan penguatan kelembagaan dilaksanakan dengan pembentukan kelompok pengrajin rambak di desa Gesikan. Pembentukan kelompok ini dirasa sangat diperlukan guna mengatasi beberapa masalah yang sering dialami oleh para pengrajin, antara lain kesulitan pengadaan bahan baku dan pemasaran akibat persaingan harga. Kesulitan dalam pengadaan bahan baku sering terjadi akibat adanya ketergantungan para pengrajin terhadap para pedagang bahan baku. Ketergantungan itu menyebabkan harga bahan sering berfluktuasi (naik) dan tidak dapat dijangkau oleh para pengrajin atau bahan sering langka/menghilang dari pasaran. Kesulitan pemasaran sering terjadi akibat adanya persaingan tidak sehat antar pengrajin. Guna menarik pelanggan banyak pengrajin yang menurunkan harga jual. Dengan adanya kelompok diharapkan kesulitan dalam pengadaan bahan baku dan pemasaran dapat diatasi. Langkah yang ditempuh oleh kelompok untuk memecahkan masalah kesulitan dalam pengadaan modal adalah dengan mengkoordinasikan pengadaan bahan baku bagi para pengrajin. Guna menekan harga maka kelompok memotong mata rantai distribusi bahan baku dengan cara membeli bahan baku langsung dari produsen. Kegiatan ini dapat berjalan dengan baik dan pada saat ini para pengrajin sudah tidak mengalami kesulitan dalam pengadaan bahan baku. Sedangkan langkah yang ditempuh kelompok untuk mengatasi masalah pemasaran adalah dengan membina kebersamaan antar pengrajin. Setiap bulan kelompok menyelenggarakan pertemuan anggota yang selain bermanfaat untuk membina kebersamaan antar anggota kelompok juga menjadi ajang musyawarah bagi anggota untuk mencari solusi atas berbagai masalah yang dihadapi oleh para pengrajin termasuk masalah pemasaran. Guna mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar pengrajin maka kelompok melalui pertemuan tersebut membuat kesepakatan bersama tentang harga jual produk. Guna meningkatkan peluang pasar kelompok bekerja sama dengan berbagai pihak menyelenggarakan kegiatan pameran hasil produksi.

Setelah berjalan hampir dua tahun kelompok pengrajin rambak di desa Gesikan yang pada mulanya hanya berbentuk paguyuban pada saat ini telah meningkat menjadi koperasi. Omset yang dimiliki telah berkembang pesat dan pelayanan yang diberikan juga telah bertambah, bukan hanya melayani pengadaan bahan baku tapi juga memberikan fasilitas kredit produktif bagi para anggotanya.*(dc)

Kepedulian PSPK UGM pada Korban Letusan Merapi

Letusan Gunung Merapi yang berada di perbatasan propinsi DIY dan Jawa Tengah yang berlangusng sejak tanggal 26 Okober telah menimbulkan korban yang tidak sedikit, baik korban harta benda maupun nyawa. Ribuan rumah tinggal dan fasilitas umum hancur, ribuan ekor binatang ternak dan ribuan hektar tanaman pertanian/perkebunan musnah, serta ratusan nyawa manusia melayang dan luka-luka akibat letusan merapi.

Jatuhnya korban akibat bencana Merapi telah mendorong banyak pihak, baik secara pribadi maupun kelembagaan untuk menyalurkan bantuan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Salah satu lembaga yang memiliki kepedulian pada para korban letusan Merapi adalah Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM. Dengan menjalin kerjasama dengan Komite Kemanusiaan Yogyakarta (sebuah lembaga kemanusiaan yang dibentuk dan beranggotakan sejumlah tokoh masyarakat, yang berasal dari berbagai pihak yaitu akademisi, budayawan, rohaniwan, pengusaha, dll), PSPK UGM telah menyalurkan sejumlah bantuan kepada para korban bencana Merapi.

Dengan melibatkan relawan yang berjumlah kurang lebih 30 orang pemuda dan mahasiswa, dalam masa tanggap darurat bencana Merapi yang berlangsung sejak pertama kali Gunung Merapi Meletus tanggal 26 Oktober 2010 hingga akhir November 2010, PSPK UGM dan KKY telah berhasil menghimpun bantuan dari berbagai kalangan masyarakat dan menyalurkannya kepada para korban Merapi. Sejumlah bantuan yang berhasil disalurkan oleh PSPK UGM dan KKY kepada para korban Merapi antara lain berupa makanan cepat saji, sembako (beras, minyak goreng, gula, dll), selimut dan pakaian pantas pakai, serta obat-obatan.

Guna menghindari terjadinya tumpang tindih dalam penyaluran bantuan kepada korban Merapi, sebelum melakukan kegiatan penyaluran bantuan para relawan terlebih dahulu melakukan pemetaan sosial, yaitu kegiatan yang bertujuan untuk mengumpulkan berbagai informasi tentang jenis bantuan yang dibutuhkan oleh para korban dan lokasi sarasan yang belum tersentuh bantuan dari pihak lain. Hasil kegiatan pemetaan sosial ini sangat berguna untuk memaksimalkan manfaat dari bantuan yang disalurkan oleh PSPK UGM dan KKY. Salah satu manfaat yang dapat diraih dari kegiatan pemetaan sosial yang dilakukan sebelum penyaluran bantuan adalah dapat ter-cover-nya komunitas korban Merapi yang semula luput dari perhatian para donatur. Salah satu komunitas tersebut adalah komunitas korban Merapi yang berada di tepian Kali Code.

Meski lokasi komunitas masyarakat Kali Code jauh dari puncak Merapi namun karena sungai yang membelah kota Yogyakarta itu berhulu di lereng Merapi maka dampak letusan Merapi juga dirasakan oleh komunitas tersebut. Namun bukan awan panas yang mengancam mereka melainkan banjir lahar dingin. Lahar dingin yang terbawa arus air di Kali Code telah menyebabkan sungai Code mengalami pendangkalan sehingga akhirnya pemukiman di sekitar kali tersebut terkena banjir.

Meskipun masa tanggap darurat akan segera berakhir namun kepedulian PSPK UGM dan KKY pada masayarakat koban bencana Merapi akan terus dilanjutkan. Pada masa rekonstroduksi PSPK UGM dan KKY telah membuat perencanaan untuk membantu pengadaan air bersih bagi warga masyarakat di sejumlah desa di lereng Merapi, baik yang berada di Propinsi DIY maupun Propinsi Jawa Tengah, dengan memberikan sejumlah alat penyaring air besih. Di samping itu, PSPK UGM dan KKY juga akan mendampingi warga masyarakat korban bencana Merapi agar dapat memulihkan atau menciptakan sumber penghidupan baru dengan harapan mereka segera dapat mandiri dan tidak berrgantung lagi pada pihak lain.

Apabila anda memiliki kepedulian pada para korban bencana Merapi dan ingin memberikan bantuan kepada mereka, namun anda tidak mengetahui cara untuk menyalurkannya, percayakan bantuan anda kepada kami maka kami akan menyalurkan bantuan tersebut kepada pihak/korban yang benar-benar membutuhkan. Kami tunggu partisipasi anda.

Program Peningkatan Ketahanan Ekonomi dan Pemahaman terhadap Potensi Bencana Warga Masyarakat Korban Bencana Gempa di Klaten

Selama 8 bulan kedepan yaitu sejak bulan April hingga bulan November 2009, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM bekerjasama dengan Yogya Central Java Community Assistance Program (YCAP) melakukan program pendampingan pada masyarakat korban bencana gempa di Kabupaten Klaten. Program yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan ekonomi dan kesadaran terhadap potensi bencana warga masyarakat korban bencana gempa di daerah perdesaan tersebut akan dijabarkan dalam beberapa bentuk kegiatan, yaitu:

Pertama, pembentukan lembaga keuangan mikro (LKM) di tingkat Rukun Warga (RW). Kegiatan ini akan akan dijabarkan dalam beberapa sub kegiatan antara lain fasilitasi pembentukan LKM, pembentukan pengurus LKM, penyusunan AD/ART, pelatihan bagi pengurus LKM, penyediaan sarana penunjang, dan pengadaan modal LKM. Kegiatan ini dipilih atas dasar kenyataan bahwa hingga saat ini masih banyak warga masyarakat korban gempa yang belum mampu memulihkan sumber penghidupan mereka atau sudah mampu memulihkan sumber penghidupan mereka namun usaha tersebut belum mampu berkembang sesuai dengan harapan. Kendala utama yang dihadapi oleh warga masyarakat korban bencana gempa di daerah perdesaan untuk memulihkan kembali sumber penghidupan yang pernah ditekuni atau mengembangkan usaha yang ditekuni adalah keterbatasan modal usaha. Meskipun di sekitar mereka terdapat lembaga keuangan resmi (bank) yang memberikan fasilitas kredit, namun tidak semua warga masyarakat mampu untuk memanfaatkan fasilitas tersebut. Hal itu antara lain karena mereka tidak dapat memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh pihak bank. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka perlu adanya lembaga keuangan mikro (LKM) di desa yang mampu memberikan fasilitas kredit bagi warga masyarakat pedesaan secara cepat dan mudah. Pembentukan LKM di tingkat RW ini diharapkan akan dapat berjalan dengan lancar karena berdasarkan assesment yang telah dilakukan, sebagian besar RW di kedua desa calon penerima program telah memiliki pengalaman dalam melakukan pengelolaan dana bersama. Di setiap RW terdapat paguyuban RW yang memiliki kegiatan arisan dan simpan pinjam.

Kedua, pendampingan usaha pengolahan makanan skala rumah tangga yang akan dijabarkan dalam beberapa sub kegiatan, yaitu pelatihan peningkatan kualitas produksi, penanganan pasca produksi, dan penguatan akses pasar. Kegiatan ini selain bertujuan untuk melanjutkan fasilitasi bagi para pengrajin rambak di desa Gesikan yang pada program YCAP I telah mendapat pendampingan untuk memulihkan usaha namun belum dapat berkembang secara maksimal akibat berbagai kendala yang masih dihadapi, juga bertujuan untuk memfasilitasi usaha pengolahan makanan skala rumah tangga di desa Ceporan yang juga telah bangkit dari keterpurukan akibat gempa namun belum dapat berkembang secara maksimal akibat berbagai kendala yang juga masih dihadapi. Beberapa usaha pengolahan makanan skala rumah tangga yang akan difasilitasi melalui program ini antara lain usaha pembuatan krupuk rambak, usaha pembuatan emping mlinjo, usaha pembuatan kripik sukun, usaha pembuatan roti/kue kering, usaha pembuatan kripik belut, dll.

Ketiga, pembuatan peta rawan bencana desa dan sosialisasi peta rawan bencana beserta teknik penanggulangannya kepada seluruh warga masyarakat. Kegiatan ini didasari oleh kenyataan bahwa pada saat ini tingkat kewaspadaan warga masyarakat terhadap potensi bencana semakin menurun. Setelah lebih dari 2 (dua) tahun bencana gempa berlalu, kondisi psikologis warga masyarakat korban gempa telah pulih kembali. Kehidupan sosial masyarakat berjalan seperti pada saat sebelum bencana dan tingkat kewaspadaan warga masyarakat terhadap potensi bencana pun mulai menurun. Kondisi ini sangat berbahaya karena sewaktu-waktu bencana bisa terjadi kembali, dan tanpa adanya kewaspadaan warga masyarakat maka potensi jatuhnya korban niscaya akan sangat besar. Untuk mengatasi masalah tersebut maka perlu adanya upaya peningkatan pemahaman warga masyarakat akan potensi bencana yang ada di desa mereka melalui pembuatan peta rawan bencana desa secara partisipatif, yang dilanjutkan dengan sosialisasi secara intensif peta potensi bencana desa beserta teknik penanggulangannya kepada seluruh warga masyarakat.

Setelah pelaksanaan proyek, diharapkan ketahanan ekonomi warga masyarakat korban bencana gempa di daerah perdesaan akan semakin meningkat, berkat pulih dan berkembangnya sumber penghidupan yang mereka tekuni. Di samping itu, diharapkan pula semakin rendahnya potensi jatuh korban saat terjadi bencana di masa yang akan datang berkat meningkatnya kesadaran warga masyarakat korban bencana gempa terhadap potensi bencana yang ada di sekitar mereka. Indikator yang disepakati untuk melihat keberhasilan proyek ini adalah adanya LKM di tingkat RW (19 LKM) yang mampu memberikan fasilitas kredit kepada warga masyarakat korban bencana gempa secara cepat dan mudah, terciptanya produk usaha pengolahan makanan yang berkualitas sehingga dapat menembus pasar modern, dan tersedianya 2 (dua) buah peta potensi bencana desa, yaitu peta potensi bencana desa Ceporan dan peta potensi bencana desa Gesikan, yang tersosialisasi dengan baik pada seluruh warga masyarakat.

Lokasi proyek ini mencakup dua desa, yakni Desa Ceporan dan Desa Gesikan yang keduanya berada dalam wilayah administratif kecamatan yang sama, yakni Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten. Manfaat dari proyek yang dapat dirasakan oleh warga masyarakat korban bencana gempa di daerah perdesaan adalah peningkatan ketahanan ekonomi karena pulih dan berkembangnya sumber penghidupan mereka, berkat adanya kesempatan untuk memanfaatkan fasilitas kredit yang disediakan oleh LKM, berkembangnya usaha pengolahan makanan yang dijalankan oleh warga masyarakat berkat pendampingan usaha yang dilakukan baik dalam aspek produksi maupun pasca produksi, kesempatan kerja baru bagi warga masyarakat berkat terciptanya sumber penghidupan baru, dan adanya informasi tentang potensi bencana dan teknik penanggulangannya bagi warga masyarakat korban bencana gempa di daerah perdesaan.

Berdasarkan assesment yang telah dilakukan pada saat penyusunan perencanaan program, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan maka masyarakat akan memberikan kontribusi terhadap proyek yang berupa waktu, tenaga dan pikiran. Berkaitan dengan waktu warga masyarakat penerima proyek akan menyediakan waktu yang dimiliki untuk mengikuti semua kegiatan yang akan dilaksanakan, misalnya pertemuan rutin, pelatihan, sosialisasi, dll. Berkaitan dengan tenaga warga masyarakat penerima proyek bersedia untuk menyumbangkan tenaga yang dimiliki untuk membantu kelancaran pelaksanaan proyek, misalnya ikut membantu menyiapkan tempat pertemuan, dll. Sedangkan berkaitan dengan pikiran warga masyarakat penerima proyek bersedia menyumbangkan pemikiran mereka untuk kelancaran pelaksanaan proyek, misalnya ikut aktif dalam mempersiapkan AD/ART LKM, pemetaan potensi bencana secara partisipatif, dll.

Pelatihan

Kegiatan penelitian yang sangat bertumpuk menghasilkan berbagai topik pemikiran akan berbagai bidang keilmuan dan sangat erat dengan kehidupan sehari-hari yang terlihat ketika para staf peneliti melakukan kegiatan di lapangan. Teori metodologi dan realitas lapangan memperkaya khasanah wawasan P3PK (sekarang PSPK,red.) sehingga ada keinginan untuk berbagi dengan khalayak yang diwujudkan dengan program pelatihan, baik mandiri maupun bekerja sama dengan instansi tertentu seperti Departemen Tenaga Kerja RI, Departemen Pertanian RI dan lembaga swadaya masyarakat.

Pelatihan-pelatihan yang pernah dilakukan antara lain Program Pelatihan Tenaga Kerja Mandiri Profesional. Pelatihan yang berlanjut hingga 4 (empat) gelombang ini bekerja sama dengan Departemen Tenaga Kerja dengan tujuan mempersiapkan tenaga profesional mandiri yang diharapkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan dengan cara wiraswasta. Selain itu, pelatihan lapangan yang bertujuan untuk membina hubungan dengan masyarakat seringkali diadakan oleh P3PK (sekarang PSPK,red.) , bekerjasama dengan Kanwil Pertanian DIY, BIPP, Kanwil Koperasi, dan masih banyak lagi.