Oleh: M Maksum Machfoedz
TIDAK senonoh! Begitu komentar teman terhadap kontroversi perberasan yang menghangat minggu ini. Dan menurutnya bernuansa politis. Politisasi itupun berimbas sampai pelaku pasar yang gemetar karena sudah melibatkan para penggede negara, politisi, dan aneka orang besar. Bahkan berbumbu manipulasi, oplosan, kerugian negara, harga eceran tertinggi (HET), varietas, penyelewengan raskin hingga SARA.
Mereka yang bijak mencoba menengahi kontroversi. Mengajak publik tidak perlu mengkhawatirkan prosesi ini sembari menunggu proses pengadilan yang segera diselesaikan untuk tidak membiarkan kontroversi berkepanjangan. Ketegangan pasar itulah salah satu imbas pro-kontra. Penengahan yang masuk akal. Semua dalih dalam pro-kontra itu, tidak ada satupun yang menyentuh landasan utama kontroversi, yaitu Inpres Perberasan, Inpres 05/2015. Harusnya semuanya didasarkan atas landasan utama dalam tataniaga perberasan. Karena hakikatnya inpres itu sendiri teramat problematik.
Nalarnya? Tentu harus hati-hati mengkaji Inpres 05/2015 yang diundangkan 17 Maret 2015. Kecuali urusan stabilisasi dan pengadaan cadangan beras pemerintah, inpres ini mengatur juga Harga Pembelian Pemerintah (HPP), Gabah Kering Panen (GKP), Gabah Kering Giling (GKG), dan Beras. Angka HPP ini perlu dicermati kalo ingin melihat efektivitas inpres berikut segala persoalannya.
Mari lihat ulang angka HPP GKP-GKG-Beras. Inpres dimaksud memandatkan HPP-GKP di penggilingan sebesar Rp 3.750/kilogram, HPP-GKG di gudang Bulog Rp 4.600, dan HPP-Beras Rp 7.300 di gudang Bulog. Konsentrasi telaah bisa pada angka HPP GKP-GKG-Beras sebesar Rp 3.750- Rp 4.600- Rp 7.300. Ada dua cara untuk melihat kelayakan angka ini: pada tingkat lapangan dan penggilingan, sampai pada level laboratorium bilamana diperlukan.
Pada tingkat lapangan bisa kita amati bahwa petani memiliki banyak pilihan untuk bisa melepas gabahnya baik dalam bentuk GKP maupun GKG. Karena faktanya, harga HPP Inpres tidak cukup menarik. Harga pasar pada umumnya lebih tinggi. Sementara itu, pada tingkat penggilingan dengan HPP beras Rp 7.300 dan GKG Rp 4.600, hanya bisa terjadi ketika rendemen gilingnya 67%. Untuk beras kualitas medium, angka ini tidak pernah ada dalam tingkat laboratorium sekalipun. Kesimpulannya, sungguh tidak mungkin dengan HPP-GKG Rp 4.600 bisa dihasilkan HPP-Beras Rp 7.300. Apalagi kalau harga GKG di lapangan lebih besar dari HPP GKG yang Rp 4.600.
Pemaksaan proporsi harga telah berdarah-darah dilakukan melalui aneka bantuan pemerintah. Salah satunya melalui Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM) yang membanjiri 500 Gapoktan dengan bantuan dana masing-masing sebesar Rp 200 juta, tahun 2016. Untuk bisa bekerja sama dengan toko tani agar bisa menjual pangan murah. Pengamanan harga yang tidak mendasar ini pun tidak efektif dan persoalan beras setia menghiasi berita harian.
Kita lihat ulang HPP-GKG dan HPP-Beras: Rp 4.600 – Rp 7.300. Proporsionalitas ini jelas tidak mungkin terjadi, kecuali ada invisible hand atau tepatnya kebijakan ajaib seperti PUPM, kalau efektif. Lebih tidak mungkin lagi manakala HPH-GKG dalam kenyataannya lebih rendah dari harga pasar yang lebih mudah diakses rakyat tani.
Aneh-bin-ajaib! Fakta ini selalu dibesar-besarkan penguasa urusan pangan dan Kabinet Kerja pada umumnya dengan mengatakan bahwa itu akibat ulah mafia yang mempermainkan harga. Alih-alih menyadari adanya landasan sistem legal yang perlu dibenahi. Yang terjadi malah menyalahkan para pedagang yang masuk pasar oleh karena tidak mungkin efektifnya inpres.
Teringat dua tahun lalu, seorang petani-penggiling Sragen, Parmin Djakfar. Begitu tahu Inpres Perberasan, langsung ngiwut nguyang, jajah desa milang kori, melakukan pembelian gabah karena yakin harga beras esok hari melangit. HPP terlalu rendah, Gudang Bulog bakal kosong, dan operasi pasar bakal jeblog. Ribuan Parmin, kecil dan besar, melakukan hal sama. Apa yang terjadi dalam dinamika perberasan mulai dari nguyang, rekayasa kualitas, penyimpanan, itu semua karena inpres. Kenapa tidak?
Kalau harga pasar tidak terkendali maka muncullah kesempatan ekonomi. Solusinya? Ya mari bersegera menebus dosa besar sanak-kadhang yang main-main dengan angka, sehingga Pak Presiden tanda tangan Inpres Bodong.. Inilah akibat kebangsaannya. Benahi inpres adalah solusinya. …. insya Allah…
(Penulis adalah Guru Besar Agroindustri UGM dan Wakil Ketua Umum PBNU)
*Sumber: artikel ini dimuat dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 26 Juli 2017 | Ilustrasi: beras/ Kedaulatan Rakyat