Pos oleh :

PSPK UGM

Ujian Inpres Beras | Kedaulatan Rakyat

Oleh: M Maksum Machfoedz

 

TIDAK senonoh! Begitu komentar teman terhadap kontroversi perberasan yang menghangat minggu ini. Dan menurutnya bernuansa politis. Politisasi itupun berimbas sampai pelaku pasar yang gemetar karena sudah melibatkan para penggede negara, politisi, dan aneka orang besar. Bahkan berbumbu manipulasi, oplosan, kerugian negara, harga eceran tertinggi (HET), varietas, penyelewengan raskin hingga SARA.

Mereka yang bijak mencoba menengahi kontroversi. Mengajak publik tidak perlu mengkhawatirkan prosesi ini sembari menunggu proses pengadilan yang segera diselesaikan untuk tidak membiarkan kontroversi berkepanjangan. Ketegangan pasar itulah salah satu imbas pro-kontra. Penengahan yang masuk akal. Semua dalih dalam pro-kontra itu, tidak ada satupun yang menyentuh landasan utama kontroversi, yaitu Inpres Perberasan, Inpres 05/2015. Harusnya semuanya didasarkan atas landasan utama dalam tataniaga perberasan. Karena hakikatnya inpres itu sendiri teramat problematik.

Nalarnya? Tentu harus hati-hati mengkaji Inpres 05/2015 yang diundangkan 17 Maret 2015. Kecuali urusan stabilisasi dan pengadaan cadangan beras pemerintah, inpres ini mengatur juga Harga Pembelian Pemerintah (HPP), Gabah Kering Panen (GKP), Gabah Kering Giling (GKG), dan Beras. Angka HPP ini perlu dicermati kalo ingin melihat efektivitas inpres berikut segala persoalannya.

Mari lihat ulang angka HPP GKP-GKG-Beras. Inpres dimaksud memandatkan HPP-GKP di penggilingan sebesar Rp 3.750/kilogram, HPP-GKG di gudang Bulog Rp 4.600, dan HPP-Beras Rp 7.300 di gudang Bulog. Konsentrasi telaah bisa pada angka HPP GKP-GKG-Beras sebesar Rp 3.750- Rp 4.600- Rp 7.300. Ada dua cara untuk melihat kelayakan angka ini: pada tingkat lapangan dan penggilingan, sampai pada level laboratorium bilamana diperlukan.

Pada tingkat lapangan bisa kita amati bahwa petani memiliki banyak pilihan untuk bisa melepas gabahnya baik dalam bentuk GKP maupun GKG. Karena faktanya, harga HPP Inpres tidak cukup menarik. Harga pasar pada umumnya lebih tinggi. Sementara itu, pada tingkat penggilingan dengan HPP beras Rp 7.300 dan GKG Rp 4.600, hanya bisa terjadi ketika rendemen gilingnya 67%. Untuk beras kualitas medium, angka ini tidak pernah ada dalam tingkat laboratorium sekalipun. Kesimpulannya, sungguh tidak mungkin dengan HPP-GKG Rp 4.600 bisa dihasilkan HPP-Beras Rp 7.300. Apalagi kalau harga GKG di lapangan lebih besar dari HPP GKG yang Rp 4.600.

Pemaksaan proporsi harga telah berdarah-darah dilakukan melalui aneka bantuan pemerintah. Salah satunya melalui Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM) yang membanjiri 500 Gapoktan dengan bantuan dana masing-masing sebesar Rp 200 juta, tahun 2016. Untuk bisa bekerja sama dengan toko tani agar bisa menjual pangan murah. Pengamanan harga yang tidak mendasar ini pun tidak efektif dan persoalan beras setia menghiasi berita harian.

Kita lihat ulang HPP-GKG dan HPP-Beras: Rp 4.600 – Rp 7.300. Proporsionalitas ini jelas tidak mungkin terjadi, kecuali ada invisible hand atau tepatnya kebijakan ajaib seperti PUPM, kalau efektif. Lebih tidak mungkin lagi manakala HPH-GKG dalam kenyataannya lebih rendah dari harga pasar yang lebih mudah diakses rakyat tani.

Aneh-bin-ajaib! Fakta ini selalu dibesar-besarkan penguasa urusan pangan dan Kabinet Kerja pada umumnya dengan mengatakan bahwa itu akibat ulah mafia yang mempermainkan harga. Alih-alih menyadari adanya landasan sistem legal yang perlu dibenahi. Yang terjadi malah menyalahkan para pedagang yang masuk pasar oleh karena tidak mungkin efektifnya inpres.

Teringat dua tahun lalu, seorang petani-penggiling Sragen, Parmin Djakfar. Begitu tahu Inpres Perberasan, langsung ngiwut nguyang, jajah desa milang kori, melakukan pembelian gabah karena yakin harga beras esok hari melangit. HPP terlalu rendah, Gudang Bulog bakal kosong, dan operasi pasar bakal jeblog. Ribuan Parmin, kecil dan besar, melakukan hal sama. Apa yang terjadi dalam dinamika perberasan mulai dari nguyang, rekayasa kualitas, penyimpanan, itu semua karena inpres. Kenapa tidak?

Kalau harga pasar tidak terkendali maka muncullah kesempatan ekonomi. Solusinya? Ya mari bersegera menebus dosa besar sanak-kadhang yang main-main dengan angka, sehingga Pak Presiden tanda tangan Inpres Bodong.. Inilah akibat kebangsaannya. Benahi inpres adalah solusinya. …. insya Allah…

(Penulis adalah Guru Besar Agroindustri UGM dan Wakil Ketua Umum PBNU)

*Sumber: artikel ini dimuat dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 26 Juli 2017 | Ilustrasi: beras/ Kedaulatan Rakyat

Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat di Desa Jomboran, Klaten, Jawa Tengah

    1. Judul Kegiatan

Penguatan Peran Warga Masyarakat Dalam Perencanaan, Penganggaran, dan Evaluasi Hasil Pembangunan Desa di Desa Jomboran, Kecamatan Klaten Tengah, Kabupaten Klaten

    1. Latar Belakang Kegiatan

Undang-Undang No 6 Tahun 2014 mengamanatkan bahwa perencanaan pembangunan desa harus dilaksanakan secara partisipatif, melibatkan seluruh masyarakat termasuk kelompok rentan (minoritas, difabel, perempuan, miskin). Hal itu bertujuan agar pembangunan yang dilaksanakan oleh desa benar-benar bermanfaat bagi seluruh warga masyarakat di desa tersebut, termasuk warga masyarakat yang tergolong sebagai kelompok rentan.

  1. Tujuan Kegiatan
    1. Meningkatkan kesadaran dari warga masyarakat termasuk kelompok rentan dalam proses perencanaan, penganggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa sehingga perencanaan, penggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa benar-benar mencerminkan prinsip partisipatif, yaitu melibatkan seluruh warga masyarakat.
    2. Meningkatkan kesadaran organisasi sosial kemasyarakatan (PKK, Karang Taruna, Kelompok Tani, P3A, dasawisma, dll) organisasi sosial keagamaan ( majelis taklim, TPA, kelompok pengajian, dll) dan institusi/pranata sosial (rembug warga, pertemuan RT/RW, gotong royong,, dll) yang ada di desa Jomboran menjadi ajang pengorganisasikan perencanaan, penganggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa.
    3. Meningkatkan kesadaran pemerintahan desa (pemerintah desa dan BPD) untuk lebih terbuka dan berani secara aktif menjaring aspirasi dari seluruh warga masyarakat termasuk aspirasi dari kelompok rentan (minoritas, difabel, perempuan dan miskin) sehingga perencanaan, penganggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa benar-benar bersifat partisipatif.
  2. Luaran Kegiatan
    1. Meningkatnya kesadaran dari warga masyarakat termasuk kelompok rentan untuk ikut terlibat secara aktif dalam proses perencanaan penganggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa (indikator: terbangunnya komitmen dari warga masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan)
    2. Meningkatnya kesadaran organisasi sosial kemasyarakat, organisasi sosial keagamaan, dan instisusi/pranata sosial yang bisa menjadi ajang pengorganisasian perencanaan, penganggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa (indikator: terbangunnya komitmen organisasi warga untuk mulai mempraktekkan dan mendiskusikan tata cara perencanaan, penganggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa dengan prosedur yang baik)
    3. Meningkatnya kesadaran pemerintahan desa (pemerintah desa dan BPD) yang lebih terbuka dan berani secara aktif menjaring aspirasi dari seluruh warga masyarakat termasuk aspirasi dari kelompok rentan dalam rangka mewujudkan perencanaan, penganggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa yang benar-benar partisipatif (indikator: terbangunnya komitmen aparat pemerintahan desa untuk terbuka, responsif, dan akuntabel dalam perencanaan, penganggaran, dan evaluasi hasil pembangunan desa)
    4. Perencanaan pembangunan desa yang partisipatif (indikator: tersusunnya contoh rencana pembangunan desa yang lebih partisipatif (APBDes bayangan)
  3. Metode Kegiatan
    1. Sosialisasi kegiatan
      1. Peserta: perwakilan warga masyarakat serta perwakilan aparat pemerintah desa dan BPD
      2. Rencana pelaksanaan: April (akhir)
    2. Pelatihan perencanaan pembangunan bagi warga masyarakat
      1. Peserta: perwakilan warga masyarakat, termasuk kelompok rentan
      2. Rencana pelaksanaan: Mei (pertengahan)
    3. Pelatihan bagi pengurus organisiasi sosial/organisasi keagamaan, dll
      1. Peserta: perwakilan pengurus organisasi sosial kemasyarakatan (PKK, Karang Taruna, Dasa Wisma, dll), perwakilan pengurus organisasi sosial keagamaan (kelompok pengajian, majelis taklim, TPA, kelompok gereja, dll), serta perwakilan pengurus organisasi sosial ekonomi (kelompok tani, P3A, dll)
      2. Rencana pelaksanaan: Juli (pertengahan)
    4. Pelatihan bagi aparat pemerintah desa dan anggota BPD
      1. Peserta: kepala desa dan aparat pemerintah desa, anggota BPD, serta anggota tim 11
      2. Rencana pelaksanaan: Agustus (pertengahan)
    5. Simulasi penyusunan perencanaan pembangunan yang lebih bersifat partisipatif
      1. Peserta: (1) perwakilan warga masyarakat termasuk kelompok rentan; (2) perwakilan aparat desa, BPD dan tim 11; serta (3) perwakilan pengurus organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi sosial keagamaan, dan organisasi sosial ekonomi(/li>
      2. Rencana pelaksanaan: September (pertengahan)

Struktur Organisasi

Sebagai sebuah institusi yang berada di bawah naungan Universitas Gadjah Mada, dalam perjalanan sejarahnya, PSPK UGM selalu dipimpin oleh pakar/ilmuwan dari lingkungan Universitas Gadjah Mada yang tidak diragukan lagi kredibilitas dan kompetensinya. Mereka adalah para guru besar dan doktor yang dimiliki oleh Universitas Gadjah Mada.

 

 

Dewan Penasehat

Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, M.Sc

Prof. Dr. Susetiawan, SU

Dr. Dja’far Shiddieq, M.Sc

Drs. Rahardjo, M.Sc

 

Kepala

Dr. Bambang Hudayana, MA

 

Peneliti Senior

Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, M.Sc (Kebijakan Pertanian)

Prof. Dr. Susetiawan, SU (Hubungan Industrial, Industrialisasi Pedesaan)

Dr. Bambang Hudayana, MA (Ekonomi Pedesaan dan Pemberdayaan Masyarakat)

Dr. Suharko (Sosiologi Lingkungan, Sustainable Rural Development)

Dr. Arie Sujito, M.Si (Politik Lokal dan Gerakan Sosial)

Dr. Dja’far Shiddieq, M.Sc (Ilmu Tanah, Perhutanan Sosial)

Drs. Rahardjo, M.Sc (Sosiologi Pedesaan)

 

Tim Ahli

Dr. Ir. Dyah Ismoyowati, M.Sc (Gender dan Teknologi Pertanian)

Dr. Any Suryantini (Pertanian dan Sumber Daya Perekonomian)

Dr. Subejo, S.P, M.Sc (Kedaulatan Pangan)

Dr. Murtiningrum, S.TP, M.Eng (Manajemen Irigasi)

Bahagia, S.P., M.Sc (Community Based-Adaptation and Climate Change Resilience)

Suparjan, M.Si (Corporate Social Responsibility)

Andi Sandi, SH, LLM (Hukum Adat dan Tata Pemerintahan Desa)

Satyaguna Rakhmatullah, S.Pt., M.Sc (Peternakan)

 

Peneliti

Dr. AB Widyanta, MA (Resolusi Konflik dan Pembangunan Perdamaian)

Drs. Jarwo Susetyo Edy Yuwono, M.Sc (Arkeologi)

DC. Mulyono, MA (Kelembagaan Desa)

Muh. Yunan Roniardian, M.Sc (Sosial-Ekonomi Pertanian)

Anda Candra, MPA (Public Policy and Good Governance)

Medda Maya Pravita, MA (Cultural Studies)

Ika Ayu Kristianingrum, MA (Gender and Development)

Wahyu Kustiningsih, MA (Penelitian Kuantitatif)

Rezaldi Alief Pramadha, S.E., M.S.S (Social Entrepreneurship)

Mohammad Ghofur, M.Sc (Food and Nutrition Security)

Suharto, S.Sos (Dampak Sosial Indusrialisasi Pedesaan)

Angie Purbawisesa, S.Sos (Rural Livelihoods)

 

Asisten Peneliti

Olga Aurora Nadhiswara, S.Ant

Rakryan Wijdaan Dhiya Ulhaq, S.I.P

 

Administrasi

Sekretariat                : Olga Aurora Nadhiswara, S.Ant

Keuangan dan Aset : Rr. Yuliarti

SDM                           : Anda Candra, MPA

Perpustakaan           : FX. Danang Sapto Nugroho

Rumah Tangga        : Slamet Lestari

Seminar Peluang dan Tantangan Integrasi CSR dengan Pembangunan Desa

Bekerja sama dengan IRE Yogyakarta, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada pada hari Selasa, 26 Mei 2015, mengadakan seminar tentang “Peluang dan Tantangan Integrasi Corporate Social Responsibility dengan Pembanguan Desa.” Seminar diselenggarakan mulai pukul 13.00. WIB hingga 15.00. WIB, di ruang sidang besar PSPK UGM, Bulaksumur G-7 Yogyakarta dengan menghadirkan 3 (tiga) orang narasumber, yaitu Dr. Bambang Hudayana, MA (kepala PSPK UGM), Sukasmanto, M.Si (peneliti IRE), dan Jamil Bahruddin, S.Sos, M.Sc, dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM.

Dalam seminar tersebut, Dr. Bambang Hudayana membahas tantangan dan strategi membangun kemitraan antara desa-perusahaan-daerah guna menyambut UU Desa. Sukasmanto, M.Sc membahas tentang perubahan kedudukan, kewenangan, perencanaan, dan keuangan desa sebagai peluang baru bagi desa-perusahaan-daerah untuk menjalin relasi yang lebih sinergis dengan porsi sharing sumber daya dan peran yang lebih proporsional. Sedangkan, Jamil Bahrudin membahas kerangka regulasi CSR yang enabling maupun constraining bagi inisiatif “CSR integrasi dengan UU Desa”, existing inisiatif-inisiatif good practices CSR, serta strategi untuk mengelola dinamika internal perusahaan untuk mendorong praktik CSR yang sinergis dan integrative dengan pelaksanaan UU Desa.

Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa memberi peluang bagi kalangan perusahaan dalam melaksanakan program Corporate Social and Responsibility (CSR). Desa oleh UU ini memiliki kedudukan yang lebih kuat terkait kewenangan, perencanaan pembangunan, dan keuangan. Desa kini punya ruang mendefinisikan lingkup kewenangan asal-usul dan lokal berskala desa (Permendesa 1/2015). Kewenangan tersebut menjadi pijakan perencanan desa (RPJM Desa dan RKP Desa), yang mana juga wajib dihormati oleh pemerintah, provinsi, kabupaten dan pihak ketiga (perusahaan, lembaga donor internasional, dll.) ketika ingin melakukan pembangunan di desa. Agar kewenanangan dan perencanaan secara nyata bisa dilaksanakan, UU Desa telah menggariskan bahwa desa mendapatkan alokasi APBN berupa Dana Desa dan Alokasi Dana Desa.

Perubahan kebijakan Negara terhadap desa di atas tentu merupakan angin segar, tak terkecuali bagi perusahaan. Ketika APBD habis untuk belanja pegawai dan alokasi untuk pembangunan dan pelayanan publik sedikit, desa selama ini memiliki harapan besar terhadap peran swasta (Welker, 2007). Terlebih, bagi industri ekstraktif yang sejak fase konstruksi telah menimbulkan ekses negatif baik itu yang bersifat sosial maupun lingkungan.

Namun tentu, itikad dan iktiar perusahaan untuk mengatasi ekses negatif sekaligus berkontribusi positif  bagi masyarakat tidak mudah.

  1. Pertama, masyarakat dan pemerintah sejatinya tidak tunggal. Perusahaan kiranya tidak mudah menemukan mitra yang memang memiliki kemauan politik untuk sungguh-sungguh memberdayakan masyarakat dan membangun daerah, kendati aktor local champion (pembaharu) bukannya tidak ada. Tak jarang, aktor yang bersifat predatory (preman, elit lokal yang korup, dst.) justru lebih diperhatikan oleh perusahaan karena pertimbangan mitigasi resiko ketimbang aktor-aktor champions.
  2. Kedua, sejak lama perusahaan telah menempuh pendekatan karitatif dan secara tak sadar menumbuhkan mindset ketergantungan. Pemerintah daerah, pemerintah desa dan masyarakat sudah sedemikian terbiasa. Alhasil, ketika perusahaan ingin mengubah pendekatan dan strategi program CSR, ada hambatan berupa keengganan bahkan penolakan stakeholders karena dirasa sulit, rumit, dan butuh sharing kontribusi. Kita masih sering medengar seorang bupati yang bangga bisa memarahi perusahaan karena kecamatan lokasi industri masih miskin meskipun wilayah tersebut sejatinya berada di luar Ring I. Pemda dan pemdes tidak sadar menimpakan eksternalitas negative dari mis-alokasi suberdaya publik: mengalokasikan APBD dan APB Desa untuk kepentingan elit dan menimpakan tanggung jawab normatifnya kepada perusahaan.
  3. Ketiga, cara pandang di internal perusahaan juga sulit berubah. Misalnya, pendekatan yang integratif dengan perencanaan pembangunan daerah dan desa, yang lebih inklusif dan partisipatif beyond elit lokal, serta yang berorientasi outcome kualitatif dan  jangka panjang ketimbang pencapaian ukuran-ukuran kuantitatif jangka pendek juga masih sulit diterima oleh sebagian besar manajemen perusahaan. Padahal, lanskap sosial-politik telah berubah dari yang dulu bersifat sentralistis, top-down, menekankan pendekatan keamanan.
  4. Keempat, CSR adalah keseluruhan dari praktik industri. CSR bukan bermakna bahwa perusahaan bisa menjalankan operasi bisnis semaunya untuk kemudian membagikan sejumlah persen keuntungan kepada stakeholders (Hamman, 2003). Implikasinya, CSR adalah agenda perusahaan secara kelembagaan dan bukan sebatas program/kegiatan divisi humas/divisi comdev atau yang disebut lain. Komitmennya merentang dari top manajemen dan harus terjaga hingga sub-kontraktor. Kegagalan menginternalisasi agenda ini secara kelembagaan, niscaya akan membuat program CSR tidak mencapai tujuan yang diharapkan.

Penguatan Ketahanan Pangan Melalui Diversifikasi Makanan Pokok Berbasis Produk Lokal

Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada pada tahun 2015 mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat di Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Gunung Kidul. Kegiatan ini mengangkat tema “Penguatan Ketahanan Pangan Melalui Diversifikasi Makanan Pokok Berbasis Produk Lokal”. Pemilihan tema kegiatan pengabdian masyarakat ini didasari oleh keprihatinan rentannya ketahanan pangan akibat tingginya tingkat ketergantungan pada beras. Meskipun memiliki potensi produk pangan lokal yang dapat dijadikan makanan pokok pengganti beras, namun sebagian rakyat Indonesia enggan untuk memanfaatkan potensi tersebut akibat kebijakan penyeragaman makanan pokok pada masa lalu. Di era Orde Baru ada kebijakan penyeragaman makanan pokok rakyat Indonesia dengan beras, menggantikan komoditas lokal (singkong, sagu, ubi jalar, jagung, dll) yang telah lama menjadi makanan pokok masyarakat di daerah-daerah tertentu.

Kebijakan konversi makanan pokok tersebut menimbulkan kerentanan di bidang ketahanan pangan karena mereka menjadi sangat tergantung dengan daerah lain. Ketergantungan ini akibat keterbatasan komoditas beras yang dihasilkan oleh petani lokal. Apabila kondisi tersebut berlangsung terus maka ada potensi warga di daerah tersebut akan mengalami kekurangan pangan, apabila pasokan beras dari luar berkurang atau terhenti.

Guna menghilangkan kerentanan di bidang ketahanan pangan maka perlu ada upaya untuk mengembalikan tradisi yang telah lama di tinggalkan, yaitu menjadikan singkong menjadi makanan pokok kembali. Alasan utama menjadikan singkong sebagai makanan pokok warga desa Beji karena singkong merupakan komoditas yang banyak dihasilkan oleh petani lokal.  Namun upaya ini tidak mudah karena di tengah masyarakat sudah terlanjur ada anggapan bahwa mengkonsumsi singkong identik dengan kemiskinan.

Salah satu langkah yang bisa ditempuh adalah dengan memperkenalkan teknik baru pengolahan singkong. Dengan teknik tersebut singkong tidak hanya diolah menjadi makanan tradisional seperti tiwul, dan gatot, tetapi menjadi makanan yang “modern” yang memiliki prestise sosial dan nilai jual yang tinggi.

Singkong layak untuk dijadikan makanan pokok menggantikan beras, selain karena singkong merupakan komoditas lokal yang banyak dihasilkan oleh petani di Desa Beji, juga karena dilihat dari sisi nutrisi, kandungan nutrisi singkong cukup lengkap, yaitu kalori, air, karbohidrat, kalsium, vitamin, proten, besi, lemak, dan vitamin B1.

Kegiatan pengabdian masyarakat yang dilaksanaan oleh PSPK UGM ini diwujudkan dalam beberapa betuk kegiatan, antara lain pelatihan pengolahan makanan berbahan baku singkong, pembentukan kelompok usaha pengolahan singkong, penguatan kapasitas kelompok melalui kegiatan pelatihan manajemen kelompok, pelatihan produksi, dan pengemasan, penguatan modal san penguatan jaringan pasar.

Studi Kewirausahaan Perempuan dalam Produksi Makanan Lokal Berbasis Ubi Kayu (Singkong)

Ketahanan pangan menjadi program yang gencar dilakukan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir ini. Indonesia, sebagai penghasil sumberdaya alam dari pertanian dan perkebunan yang sangat banyak, terasa belum cukup menyediakan makanan bagi masyarakatnya sendiri. Padahal, Indonesia adalah Negara nomor tiga di dunia yang mempunyai keanekaragaman sumberdaya (megadiversity), karena itu adalah wajar kalau Indonesia mempunyai sumber kekayaan yang sangat besar untuk ketahanan pangan, air, energi dan lain-lain. Impor berbagai jenis pangan dari luar negeri seperti beras, gandum, buah-buahan bahkan sayur-sayuran menunjukkan kurang efisiennya pengelolaan sumberdaya alam dan biodiversitas dari Indonesia (Suhardi, 2010).

Tujuan dari program kedaulatan pangan yang diberikan oleh pemerintah sekiranya bisa mengurangi ketergantungan masyarakat akan makanan pokok, yakni beras. Pengolahan bahan makanan lain melalui diversifikasi pangan, seperti umbi-umbian dan jagung, menjadi alternatif masyarakat untuk memenuhi gizi dan nutrisi pengganti yang terdapat pada makanan pokok tersebut. Sejalan dengan program kedaulatan pangan yang dibuat oleh pemerintah, usaha kecil dirasa mampu menjadi agen-agen pelopor pembuat inovasi di berbagai bidang diversifikasi pangan.

Salah satu usaha riil dalam usaha mencapai kedaulatan pangan adalah mengolah berbagai bahan makanan yang dihasilkan dari pertanian lokal. Dalam konteks ini, Gunungkidul merupakan salah satu wilayah yang terkenal sebagai areal pertanian kering sehingga budidaya singkong sudah dibudidayakan oleh masyarakat di wilayah ini sejak lampau. Tidak hanya bertindak sebagai produsen, berangsur angsur sebagian warga Gunungkidul mengembangkan unit usaha produksi makanan lokal berbasis pada singkong. Menariknya, sebagian besar usaha ini justru dimotori oleh para perempuan sehingga sifat kewirausahaan pada kelompok ini mengalami perkembangan yang signifikan. Jika dahulu mereka ditempatkan sebagai para bakul, penjaja makanan, saat ini mereka mulai mengembangkan sikap wirausaha dengan mengolah berbagai produk dari bahan baku singkong.

Pemaparan mengenai perkembangan kewirausahaan dalam pengolahan makanan berbasis produk pertanian lokal terutama singkong dapat ditempatkan sebagai sebuah studi yang komprehensif tentang perubahan peran perempuan di pedesaan. Posisi mereka yang dianggap marjinal, kemudian mulai menempati peran sentral dalam menggerakkan ekonomi rumah tangga, ataupun ekonomi desa, dan dalam tataran yang lebih luas, menggerakkan ekonomi regional.

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh tim PSPK UGM dapat diketahui bahwa terdapat beberapa pola penguasaan pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang pembuatan makanan berbahan baku ubi kayu/singkong, yaitu warisan turun-temurun dari orang tua/generasi terdahulu, pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh dinas pemerintah maupun LSM, dan inovasi pribadi.

Terkait dengan permodalan pengusaha perempuan di bidang kuliner berbahan ubi kayu/singkong terdiri dari 3 bentuk, yaitu pertama, modal ekonomi baik yang berupa bahan baku maupun dana/uang, kedua, modal sosial yang bisa dimaknai sebagai interaksi sosial/perilaku sosial yang dilakukan oleh ibu-ibu yang menekuni usaha pengolahan makanan berbahan baku singkong yang dapat menunjang berkembangnya usaha tersebut, misalnya tradisi pinjam singkong ke tetangga untuk mensiasati ketiadaan bahan baku (singkong) saat hendak melakukan kegiatan produksi, saling membantu dalam kegiatan produksi pada saat ada ibu yang mendapat pesanan dalam jumlah besar, saling meminjam alat produksi ketika alat produksi, saling membantu mengangkat produk dari tempat penjemuran ketika tiba-tiba turun hujan, menukar/barter produk yang belum laku dengan produk lain misalnya menukar produk dengan sayuran, bumbu dapur, dll, dan kebiasaan membagi order/pesanan yang diterima kepada pelaku usaha lain saat merasa tidak mampu untuk memenuhi pesanan tersebut. Ketiga, modal budaya, yang dapat dipahami sebagai nilai-nilai budaya/ tradisi turun temurun yang masih dianut oleh ibu-ibu produsen olahan makanan berbahan baku singkong, misalnya jaringan kekerabatan, dan tradisi rewang (kegiatan memasak yang dilakukan oleh banyak orang untuk acara hajatan dan biasanya dilakukan selama beberapa hari).

Terkait dengan peluang dan tren bisnis kuliner lokal berbahan baku ubi kayu, di masa yang akan datang usaha pengolahan makanan berbahan baku singkong diperkirakan akan semakin meningkat. Hal itu karena adanya beberapa peluang usaha yang bisa dimaanfaatkan oleh para ibu-ibu produsen olahan makanan berbahan baku singkong, yaitu pertama, pangsa pasar masih terbuka (pasar modern, lokasi wisata dan pasar di kota-kota besar), kedua, adanya dukungan dari dinas/instansi terkait dan LSM (penyuluhan, pelatihan, penyelenggaraan pameran, dll), ketiga, kebijakan diversifikasi makanan pokok yang digalakkan oleh pemerintah, keempat, adanya koperasi, bank yang menyediakan fasilitas kredit apabila usaha tersebut memerlukan tambahan modal. Meskipun demikian, peluang usaha yang ada akan mubazir apabila para produsen pengolahan makanan berbahan baku singkong tidak mampu mengatasi kelemahan dan ancaman yang selama ini melekat pada usaha yang dijalankan, misalnya masalah kontinuitas bahan baku, masalah SDM (ketersediaan tenaga kerja, lemahnya inovasi produk), keterbatasan sumber daya alam (air, cuaca (mendung/ hujan), keterbatasan sarana dan prasarana produksi,. Lemahnya manajemen usaha, dan persaingan usaha baik produk sejenis dari luar daerah maupun produk makanan olahan lainnya.

Rekomendasi

Guna mengatasi kelemahan dan ancaman yang dihadapi usaha pengolahan makanan berbahan baku singkong, maka disampaikan beberapa rekomendasi, yaitu pertama, untuk mengatasi masalah kontinuitas bahan baku maka perlu dijalin kerja sama dengan kelompok tani produsen singkong baik di lokal maupun dari luar daerah. Kedua, untuk mengatasi keterbatasan tenaga kerja maka perlu dibentuk usaha yang berbasis kelompok sehingga tenaga anggota bisa diberdayakan dalam kegiatan usaha. Untuk mencegah terjadinya kecemburuan antar anggota maka perlu disusun aturan yang tegas tentang hak dan kewajiban anggota kelompok. Ketiga, guna mendorong munculnya semangat untuk melakukan inovasi produk maka perlu dilakukan pelatihan-pelatihan pengolahan makanan berbahan baku singkong. Keempat, untuk mengatasi keterbatasan air yang diperlukan dalam proses produksi maka perlu dibangun jaringan air bersih, pembuatan sumur atau bak penampungan air hujan. Gangguan cuaca (musim penghujan) diatasi dengan menerapkan sistem stok, memproduksi dalam jumlah yang lebih banyak pada musim kemarau untuk dipasarkan pada musim penghujan. Keterbasan sarana (alat produksi) dan prasarana produksi dapat diatasi dengan membentuk usaha kelompok, sehingga peralatan milik anggota kelompok dapat lebih diberdayakan, dan pengadaan alat baru yang lebih modern (mekanisasi alat produksi). Kelima, perlu dilakukan pelatihan manajemen pengelolaan usaha yang lebih baik guna mengatasi kelemahan manajemen usaha yang dijalankan oleh para pengusaha olahan makanan berbahan baku singkong. Guna memenangkan persaingan dengan produk sejenis dari luar daerah atau produk olahan makanan lainnya maka perlu peningkatan kualitas produk, misalnya penggunaan bahan baku yang berkualitas, pemakaian alat produksi yang lebih modern, pengemasan produk yang lebih baik dan lebih menarik.

Kegiatan Pelatihan Aparatur Desa dalam Bidang Manajemen Pemerintah Desa

Pada hari Rabu, tanggal 27 Mei 2015 di Ruang Sekip University Club UGM, PSPK UGM bekerja sama dengan IRE dan Pemerintah Kabupaten Sekadau menyelenggarakan kegiatan pelatihan aparatur desa dalam bidang manajemen pemerintah desa. Dalam kegiatan yang diikuti oleh aparatur desa tersebut hadir Dr. Bambang Hudayana, MA (kepala PSPK UGM) sebagai salah satu narasumber. Dalam pelatihan tersebut Dr. Bambang Hudayana menyampaikan materi pelatihan Sumberdaya Alam untuk Kesejahteraan Masyarakat Desa Melalui Skema Pades dan BUMDes.

Dalam pemaparannya, Dr. Bambang Hudayana, MA menyampaikan bahwa desa adalah penyangga kehidupan di nusantara karena desa menyediakan segala kebutuhan hidup seperti pangan, energi, tanah, air, hutan, dan tumbuhan. Sayangnya pada masa Orde Baru desa dikorbankan, sumber daya alam yang ada di desa justru digunakan sebesar-benarnya untuk kepentingan pusat seperti tambang, hutan dll. UU Desa sepertinya memberikan kesempatan yang lebih baik pada Pemerintahan Desa untuk mengelola sumber daya alam. Kepentingan ini harus diperjuangkan dan diraih oleh Pemerintah Desa dibantu dengan pemerintah daerah agar dapat menjadi sumber pendapatan desa. Metode dalam mengelola potensi sumber daya terutama sumber daya alam yang tidak dapat diperbaruhi pun harus diperhatikan agar dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang dan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan karena kesejahteraan hidup manusia bertumpu pada sumber daya alam.

Ketika dikelompokkan sumber daya alam dapat dibedakan menurut jenisnya, yaitu pertama, sumber daya alam hayati. Pemerintah desa dapat menuntut hak bagi hasil, termasuk untuk sumber daya alam hayati seperti tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh industri. Pendapatan jangan hanya dari minyak bumi atau industri ekstraktif tetapi masih banyak potensi lain yang dapat dikembangkan. Pengembangan lain dapat memanfaatkan alam untuk tourism (sustainable ecological tourism). Kedua, sumber daya alam non hayati. Eksplorasi sumber daya alam atau industri ekstraktif. Pemanfaatan sumber daya alam non hayati harus memperhatikan aspek lingkungan agar jangan menjadi bencana.

Dalam materi yang dipaparkan Dr. Bambang juga mengajak peserta pelatihan untuk mengidentifikasi sumber daya alam yang ada di desa dan permasalahannya. Beberapa jenis sumber daya alam yang ada di desa, pertama Flora yang penggunaaannya untuk perindang, obat-obatan, sayuran, tanaman hias. Selama ini kebanyakan digunakan untuk kebutuhan subsisten, usaha ekonomi kerakyatan. Sayangnya jarang digunakan oleh desa untuk sumber pendapatan yang kemudian dapat diredistribusikan kepada seluruh masyarakat. Kedua, Fauna yaitu Binatang, madu. Contoh, Kabupaten Sumbawa Barat, masyarakat memelihara hutan dan dari hutan masyarakat bisa memperoleh madu yang memliki nilai ekonomi tinggi. Pemerintah desa dapat menggunakan peraturan desa yang melarang pengambilan satwa hutan yang berlebih untuk menjamin keberlangsungan hidupnya. Ketiga, Hutan. Menjaga ekosistem hutan sangat dibutuhkan untuk mendukung keberlangsungan hidup. Desa tanpa hutan maka akan kehilangan arti karena kehilangan pelindung dan potensi. Tren saat ini hutan dikembangkan untuk wisata alam yang mampu menjadi sumber pemasukan bagi desa. Modal yang dibutuhkan adalah memelihara hutan itu sendiri. Kita memiliki sumber daya alam yang melimpah tetapi belum banyak dimanfaatkan terlebih dengan cara yang benar.

Sumber daya alam non hayati. Antara lain, pertama, Tambang. Sejak lama masyarakat sudah mulai melakukan penambangan, tetapi saat ini pertambangan rakyat dianggap tidak ramah lingkungan, apdahal hal tersebut muncul karena mereka tidak mampu mengakses modal maupun lokasi prioritas sehingga hanya mencari lahan-lahan marginal yang hanya ada sedikit mineral berharga dengan metode yang seadanya. Kedua, Air. Mulai menjadi sebuah trend usaha desa pengemasan air minum maupun isi ulang dimana desa dapat menyediakan air untuk warganya. Ketiga, Tanah Untuk meningkatkan pendapatan daerah dan desa dapat dilakukan dengan pembayaran retribusi ketika panen. Desa mencari penghasilan dengan mengelola lingkungan hidup untuk pemasukan desa yang dapat dimanfaatkan oleh pembangunan desa. Tanah kas desa, tanah sitisoro (tanah disewakan kepada warga yang tidak memliliki tanah) saat ini kurang dapat dimanfaatkan dengan baik padahal tanah dapat menjadi potensi yang sangat baik untuk dikelola. Luas tanah pun dapat ditingkatkan dengan ide-ide kreatif, misal menjual tanah yang berada di lokasi strategis dan membeli di lokasi lain yang lebih murah sehingga dapat memperoleh hasil yang lebih luas. Selanjutnya tanah tersebut diberikan hak penggunaannya kepada masyarakat misal untuk kandang ternak, perkebunan, maupun penanaman tanaman bernilai ekonomi tinggi. Keempat, Arus sungai. Dapat digunakan untuk teknologi micro hydro untuk mencukupi kebutuhan listrik masyarakat, trend ini mulai banyak digunakan di desa-desa di Papua.

Dalam pemaparannya, Dr. Bambang juga menyampaikan Peta jalan Pengembangan Sumber Daya Alam oleh Desa. Yang perlu dilakukan menurut beliau adalah, pertama, Pemetaan batas wilayah desa. Kedua, Pemetaan potensi SDA desa. Sudah dimanfaatkan seperti apa, bagaimana kondisinya. Dilakukan dengan pendekatan parsipatoris dengan warga dimana warga mendefinisikan keadaan dan kebutuhannya. Ketiga, Penyusunan arah kebijakan pengelolaan potensi pengembangan SDA desa. Arah kebijakan perlu disusun dalam jangka pendek, menengah, panjang pengembangan sumber daya alam desa. Keempat, Penyusunan kebijakan tata ruang desa. Untuk menyusun RPJMDesa, tata ruang harus disusun secara jelas dan jangan sampai dialihfungsikan secara sembarangan. Selain itu juga mengatur kawasan konservasi. Kelima, Penyusunan program-program pengelolaan lingkungan hidup dan ekonomi desa. Berbagai hal dapat dilakukan untuk mengelola lingkungan yang berpotensi mendatangkan potensi ekonomi bagi desa, seperti: (a) Pengelolaan hutan berbasis masyarakat; (b) Eksplorasi sumber daya pertambangan berbasis kearifkan lokal; (c) Pengembangan ekowisata; (d) >Revitalisasi area rawan bencana. Keenam, Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (pembinaan masyarakat di sekitar hutan, rehabilitasi hutan dan lahan, perlindungan dan konservasi sumber daya hutan, pemanfaatan), (b) Eksplorasi sumber daya pertambangan berbasis kearifan lokal.(Identifikasi produk, Kerjasama kemitraan antar desa, Mengembangkan pola bagi hasil yang adil, Mendorong dan mengembangkan partisipasi masyarakat, Pengembangan sumber daya listrik mikro, Pengembangan BUMDesa); (c) Pengembangan ekowisata (Pengembangan sarana dan prasarana dan destinasi objek pariwisata, Promosi kawasan wisata), (d) Revitalisasi area rawan bencana; (e) Pembangunan kembali sarana dan prasarana; (f) Sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat; (g) Pendanaan dan pembangunan daerah rawan; (g) Peningkatan partisipasi masyarakat; (h) Pembangunan pusat-pusat reboisasi dan pengembalian ekosistem

Untuk membangun desa jangan terkecoh dengan urusan dana desa tetapi lupa bahwa sebenarnya desa memiliki kekayaaan alam yang luar biasa yang dapat menjadi sumber kehidupan bagi masyarakatnya. Pembangunan desa dapat dikembangkan dengan konsep green village. Mari membangun desa dengan menjaga kelestarian hidupnya. Anggaran Dana Desa (ADD) jangan dihabiskan untuk proyek-proyek fisik tetapi bagaimana untuk menggerakkan masyarakat dan memanfaatkan sumber daya alam agar dapat menjadi produk berkelanjutan yang bermanfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu mari kita kembangkan BUM Desa.

Penandatanganan Nota Kesepahaman Bersama antara UGM dengan Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

Pada hari Jumat tanggal 6 Maret 2015 telah ditandatangani nota kesepahaman bersama antara Universitas Gadjah Mada dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi di balai senat UGM. Universitas Gadjah Mada diwakili oleh rektor Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc, Ph.D, sedangkan kementrian Desa, PDT, dan Transmigrasi diwakili oleh Marwan Ja’far, menteri Desa, PDT dan Transmigrasi. Nota kesepahaman tersebut merupakan payung hukum antara kedua belah pihak untuk melakukan kerjasama di bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat, untuk jangka waktu 5 tahun ke depan.

Dalam sambutannya, Rektor UGM Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., mengatakan pihaknya mendukung program pemerintah yang akan memprioritaskan pembangunan yang dimulai dari desa. UGM,sesuai dengan kerja sama yang sudah dijalin tersebut, siap mengerahkan 7.500 mahasiswa setiap tahunnya melalui program Kuliah Kerja Nyata. Mahasiswa KKN PPM UGM ini akan diterjunkan di desa-desa tertinggal di seluruh Indonesia. “Kita terjunkan secara reguler dan bergelombang agar bisa bisa mendukung program kementerian desa dalam pengentasan desa tertinggal,” katanya. Menurut Dwikorita, pengentasan kemiskinan desa yang dilakukan UGM dilakukan dengan berbasis riset, kajian dan solusi strategis dengan merintis desa tangguh dalam bidang kebencanaan, sosial ekonomi dan kemandirian energi dan semangat anti korupsi.

Sementara itu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Marwan Jafar mengatakan pemerintah akan mengakhiri program kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) pada akhir April 2015. Sebagai gantinya pemerintah akan melaksnakan program pendampingan desa dengan merekrut tenaga pendamping desa untuk mengawal pembangunan desa seiring pengucuran dana desa dari pemerintah pusat. Tenaga pendamping ini, kata Marwan, akan melakukan penguatan kapasitas aparatur desa dan pendampingan administrasi keuangan. “Idealnya satu desa satu pendamping, tenaga pendamping akan direkrut setelah bulan april ini,” kata Marwan Ja’far.

Marwan menyebutkan puluhan ribu tenaga pendamping desa ini akan ditempatkan pada 43 ribu desa tetinggal, dimana 17.500 desa diantaranya masuk dalam kategori desa sangat tertinggal. Sebelum menerjunkan tenaga pendamping, kata Marwan, kementeriannya akan mengindentifikasi kebutuhan desa, jumlah ketersediaan pangan dan kebutuhan air bersih serta sarana dan prasarana infrastruktur. “Kita menyiapkan dananya sekitar Rp 29 Triliun untuk desa sangat tertinggal ini, namun masuk dalam perencanaan 2016 nanti,” ujarnya.

Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Dr. Bambang Hudayana, mengatakan pihaknya mengaku siap dilibatkan dalam penguatan kapasitas tenaga pendamping desa melalui program sekolah desa. Menurutnya, kegiatan tersebut diharapkan agar memperkuat kapasitas tenaga pendamping desa saat bekerja di lapangan. “Jangan sampai pembangunan desa hanya menjadi wacana publik. Perguruan tinggi dan masyarakat sipil saya kira perlu mengawal pembangunan desa tersebut agar bisa terealisasi dengan baik,” ungkapnya.

Hilangkan Batasan Akses Ekonomi yang Merugikan Perempuan Desa

Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM bersama-sama dengan HAPSARI dan Institute for Research and Empowerment (IRE) menyerukan kepada pemerintah dan semua pihak untuk menghilangkan batasan-batasan akses ekonomi yang merugikan perempuan, khususnya perempuan di pedesaan dan daerah marjinal. “Perempuan, harus bisa ikut mengakses semua sumber daya di sekelilingnya tanpa batasan, termasuk akses ke sumber penghasilan dan sumber daya alam di lingkungannya. Dan yang terpenting, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan baik oleh pemerintah maupun swasta, termasuk bank dan sumber pembiayaan lain, harus mengakomodir kebutuhan ekonomi perempuan,” tutur Lely Zailani, Ketua Dewan Pengurus Nasional HAPSARI dalam Sarasehan Nasional yang dihadiri oleh menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, Yohana S. Yembise. Menurut Lely, saat ini kebijakan ekonomi yang ada belum berpihak dan cenderung merugikan perempuan. Padahal, menurutnya perempuanlah penggerak utama perubahan di keluarga dan masyarakat. “Perempuan yang tidak mandiri secara ekonomi cenderung rentan terhadap kekerasan baik fisik maupun psikologis meski sebenarnya peran mereka di lingkungan dan keluarga besar,” tambah Lely.

Dengan dukungan Program Representasi (ProRep), HAPSARI melakukan penelitian tentang tantangan ekonomi yang dihadapi perempuan akar rumput. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa ada enam tantangan inti yang dihadapi perempuan, antara lain: kesulitan akses permodalan; akses perizinan untuk usaha sertifikasi produk dan koperasi; infrastruktur; produksi; pengemasan; dan pemasaran.

Berkat pergulatan panjangnya, HAPSARI menuai buah keberhasilan. Salah satu contohnya adalah Koperasi HAPSARI di Kulon Progo Yogyakarta. Koperasi ini mampu mengolah produk kopi dan teh dari anggotanya menjadi produk lokal yang menghasilkan tambahan ekonomi bagi para anggotanya. Melalui koperasi, para petani kopi dan teh kini menikmati harga jual panenan yang lebih baik dbandingkan dengan harga jual ke para pengepul (tengkulak). Sukses itu tidak terlepas dari intervensi program Pemerintah Daerah Kulon Progo melalui Dinas Koperasi yang memberi kemudahan mulai dari proses pendirian koperasi, perizinan (badan hukum), perizinan produk, promosi produk, hingga akses permodalan. Kesuksesan Koperasi HAPSARI Kulon Progo itu menginspirasi tumbuhnya koperasi-koperasi di berbagai desa lain yang menjadi anggota HAPSARI, seperti di Deli Serdang, Serdang Bedagai, Labuhanbatu, dan Pekalongan. Koperasi-koperasi ini mulai menangani pengolahan ikan asin di Kabupaten Serdang Bedagai dan keripik koin dari singkong di Deli Serdang. Koperasi-koperasi itu berhasil memperkuat potensi dan sumber pendapatan bagi ekonomi rumah tangga mereka.

Keterbukaan akses bisa menjadi langkah kunci dalam mengafirmasi gerakan perempuan dalam membangun wilayahnya. Contoh yang menarik, penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Gadjah Mada (LPPM UGM) pada tahun 2010-2011 tentang pengolaan koperasi di masyarakat membuktikan bahwa koperasi yang dikelola para perempuan lebih maju dibandingkan dengan kelompok laki-laki. “Tingkat pengembalian pinjaman kelompok perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok laki-laki,” ungkap Soeprapto dari Pusat Studi Wanita UGM. “Itulah salah satu bukti bahwa perempuan, termasuk perempuan di pedesaan, bukan obyek pembangunan melainkan subyek pembangunan yang aktif dan produktif,” tambahnya.

Beban ganda yang diusung perempuan karena berbagai hambatan struktural harus segera dibongkar demi memberikan nafas keadilan dalam gerak pemberdayaan kelompok ekonomi produktif perempuan di pedesaan dan daerah marjinal,” tutur AB Widyanta dari Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM. “Tiga matra pemberdayaan kelompok perempuan yang mesti diperjuangkan adalah: pertama, penguatan substantif partisipasi sipil dan politik kaum perempuan; kedua, membuka kesempatan dan akses yang sama dalam aktivitas pembangunan; dan ketiga, menjamin implementasi berbagai kebijakan alternatif bagi gerakan pemberdayaan kelompok perempuan berikut jejaringnya,” tambah Widyanta.

Seminar Nasional Pembaharuan Desa dan Reformasi Agraria

Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dimungkinkan menitikberatkan pembangunan di tingkat desa, seiring lahirnya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

“Desa masih merupakan kantong kemiskinan dan rawan mengalami ketidakadilan sosial. Terus mengalami keterisolasian. Secara politik tertinggal dari orang kota, bahkan sering jadi obyek politik,” kata Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Bambang Hudayana, dalam diskusi Pembaruan Desa dan Reformasi Agraria di ruang seminar PSPK UGM, Selasa (26/8/2014).

Hadir sebagai pembicara lain, Sosiolog UGM Arie Sudjito dan Anggota DPR RI Budiman Sudjatmiko.

Menurut Bambang, prioritas pembangunan pemerintah mendatang diharapkan fokus pada tingkat desa sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru dan pemerataan pembangunan. Pasalnya, sepanjang 68 tahun merdeka, 72 ribu desa yang kini sebagai tempat tinggal bagi 50,02 persen penduduk terus mengalami marginalisasi, keterisolasian, keterbatasan akses sumberdaya, akses pembangunan, serta keterbatasan akses politik.

“Undang-Undang Desa potensial untuk payung penguatan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat desa, tetapi masih miskin roadmap dan rencana agenda aksi,” tuturnya.

Bambang mengusulkan, desa tidak lagi sebagai area proyek pembangunan, namun lebih dititikberatkan pada pemberdayaan masyarakat. Pengalaman selama ini, umumnya proyek yang dilaksanakan di desa sangat tidak populis dan tidak memperkuat perekonomian desa.

“Akibatnya, dalam jangka panjang, pembangunan lebih dirasakan oleh masyarakat kota, golongan elite, dan kelas menengah,” katanya.

Tidak hanya itu, imbuhnya, reformasi agraria yang diemban oleh pemerintahan saat ini masih sebatas jargon dan tidak menjawab masalah struktural dan sistematis masyarakat desa.

Kelas Menengah Baru

Sementara itu, menurut Budiman Sudjatmiko, UU Desa memungkinkan masyarakat bisa terlibat secara langsung dalam proses perencanaan pembangunan serta ikut serta dalam pemberdayaan masyarakat. Meski UU ini sudah diterbitkan, namun pemerintah hanya menggelontorkan dana sekitar Rp9 triliun dari Rp64 triliun dana APBN untuk dialokasikan ke desa.

“Artinya, hanya Rp450 juta yang disediakan untuk desa, pasca-pergantian pemerintah. Kita harapkan dari tahun ke tahun dananya akan meningkat,” ungkapnya.

Ia menambahkan, UU Desa membawa misi pemberantasan kemiskinan di desa, mencegah urbanisasi, membangun sentra ekonomi baru di desa, serta lahirnya kelas menegah baru di desa.

“Belajar dari Brasil, sekitar 40 persen dana pembangunan dibahas oleh komunitas, sehingga memunculkan 10 persen kelas menengah baru dari kampung-kampung kumuh,” katanya.

Sosiolog Arie Sudjito menambahkan, UU Desa bukan semata-mata urusan pembagian dana dari pusat ke tingkat desa, tapi memungkinkan masyarakat desa ikut serta dalam proses pembangunan. Tantangan yang tidak mudah bagi pemerintah mendatang, sambung Arie, adalah lambannya kerja birokrasi untuk mendukung percepatan pembaruan desa dan reformasi agraria, sehingga masyarakat sipil terus mengawal reformasi birokrasi agar bisa selaras pembaruan desa.

“Kita harus mengawal. Jika tidak, akan muncul pencoleng-pencoleng baru,” pungkasnya.