Pos oleh :

PSPK UGM

Monthly Event: Rural Corner Agustus 2019

UU Desa mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengalokasikan Dana Desa (DD). Pertanyaan yang sering muncul di kalangan praktisi dan akademisi desa adalah sejauhmana DD mampu meningkatkan kesejahteraan petani demi mewujudkan ketahanan pangan nasional?

Dengan tema “Pemanfaatan Dana Desa untuk Kesejahteraan Petani dan Ketahanan Pangan,” Seminar bulanan Rural Corner-PSPK UGM kembali hadir pada Kamis, 1 Agustus 2019 pukul 15.00 WIB di Ruang Sartono, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Bulaksumur G-7. Diskusi kali ini akan dipantik oleh Subejo, P.hD (PSPK UGM dan Departemen Sosek Pertanian UGM) & Supardi (Ketua Kelompok Tani Margo Rukun, Gunungkidul).

Mari ramaikan. Gratis untuk umum dan free jajanan sore.

 

Evaluasi 5 Tahun Implementasi UUDesa, Problematika & Alternatif Solusinya

“Harus diakui bahwa pelaksanaan UU no 6 tahun 2014 tentang Desa telah membawa banyak kemajuan di desa, seperti banyaknya desa wisata, BUMDES yang memiliki kekayaan milyaran, dll, namun harus diakui pula bahwa masih banyak persoalan yang harus dibenahi agar pelaksanaan UU desa benar-benar bisa mewujudkan tujuan utama penetapan UU Desa yaitu mewujudkan masyarakat desa yang mandiri dan partisipatif.” papar Dr. Arie Sujito dalam kegiatan Rural Corner, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, Kamis 4 Juli 2019 di ruang Sartono. Selain menghadirkan Dr. Arie Sujito, peneliti Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM/ Dosen FISIPOL/ Aktivis Desa, kegiatan Rural Corneryang merupakan forum diskusi yang diselenggarakan secara rutin setiap hari kamis minggu pertama setiap bulan tersebut juga menghadirkan praktisi desa, Titik Istiwayatun Khasanah, S.IP, selaku Lurah Desa Sriharjo, Imogiri, Bantul, dengan moderator Dr. Suharko selaku Kepala PSPK UGM.

Semangat utama penetapan UU Desa adalah mendorong terciptanya kemandirian dan partisipasi di desa. Kemandirian Desa dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan berbagai hal yang dibutuhkan oleh Desa, misalnya dalam merencanakan dan melaksanakan program-program pembangunan desa. Partisipasi semua komponen masyarakat desa dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan berbagai hal yang dibutuhkan oleh desa, khususnya kelompok warga masyarakat yang selama ini terabaikan dalam proses pengambilan keputusan di desa. Namun menurut narasumber dalam kurun waktu 5 tahun pelaksanaan UU Desa, semangat tersebut tereduksi oleh kebijakan elit pemerintahan yang lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat teknokratis dan birokratis, karena tidak faham dengan semangat yang melandasi penetapan UU Desa. Kepala desa dan perangkat desa lebih banyak dituntut untuk melaksanakan tugas-tugas yang bersifat administratif seperti membuat Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) pemanfaatan dana desa, dsb.

Menurut narasumber tugas-tugas yang bersifat teknokratis dan birokratis memang harus dilakukan, namun hal itu tidak boleh mengorbankan misi utama penetapan UU Desa yaitu mengembangkan kemandirian dan partisipasi di Desa. Kepala desa dan aparat desa harus didorong untuk belajar strategi membangun kemandirian dan partisipasi di desa karena belajar tentang masalah teknis administratif merupakan hal yang mudah, dalam jangka waktu singkat bisa dilakukan, namun untuk belajar tentang strategi meningkatkan kemandirian dan partisipasi desa perlu proses panjang. Salah satu langkah yang bisa dilakukan oleh elit desa untuk membangun kemandirian dan partisipasi adalah dengan membentuk kelompok/komunitas anak muda desa yang peduli dengan kemajuan desa. Anak muda merupakan agen pembaharuan desa yang diharapkan bisa melakukan perubahan di desa.

Dalam presentasinya, Tutik Istiwayatun Khasanah, SIP sebagai pembicara kedua memaparkan pengalamannya selama menjabat sebagai kepala desa di Desa Sriharjo, Imogiri, Bantul. Ia menyatakan bahwa selama 8 bulan menjabat, ia memang belum menangani pelaksanaan infrastruktur, namun ia merasa beban tugas sebagai kepala desa cukup berat. Selain harus memenuhi berbagai undangan dari dinas/instansi terkait, ia juga harus melaksanakan tugas kultural misalnya hadir dalam even takziah, tradisi manten, mengurusi masalah tanah, mengurusi irigasi desa, dll.

Terkait dengan program pembangunan fisik, untuk meningkatkan partisipasi warga masyarakat BuTutik memaparkan pengalamannya. Karena program pembangunan infrastruktur dilaksanakan di semua pedukuhan, maka ia membentuk Tim Pengelola Kegiatan (TPK) sesuai dengan jumlah pedukuhan, dan melibatkan kepala dukuh sebagai anggota TPK. Namun untuk meningkatkan partisipasi warga dalam proyek pembangunan infrstruktur, ia merasa terkendala dengan aturan bahwa proyek infrastruktur harus menerapkan sistem Hari Orang Kerja (HOK). Sementara warga masyarakat memiliki tradisi gotong royong dalam melaksanakan suatu kegiatan, sehingga aturan HOK mengancam keberadaan tradisi gotong royong. Salah satu solusi yang diterapkan, warga boleh melaksanakan proyek dengan sistem gotong royong namun harus membuat LPJ sesuai dengan aturan.

Untuk menggerakkan partisipasi warga masyarakat, Bu Tutik menggerakkan kaum muda di desa sebagai agen pembaharuan. Untuk melakukan perubahan kondisi sosio-kultral di desa memang memerlukan proses panjang dan penuh tantangan karena banyak elit desa yang bersifat kontra, oleh karena itu langkah yang bisa dilaksanakan adalah dengan mengajak kaum muda untuk menjadi agen perubahan.

Dalam kaitannya dengan kemandirian desa, menurut Bu Tutik yang sebelum menjabat sebagai lurah juga seorang aktivis desa, selama ini desa memiliki kemandirian dalam membuat keputusan, khususnya dalam penyusunan program pembangunan desa. Namun akhir-akhir ini mulai ada intervensi dari supra desa. Pemerintah kabupaten menitipkan program untuk dilaksanakan oleh pemerintah desa, misalnya program pusat kesehatan sosial, progam Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), dll. Terkait dengan program RTLH pemerintah kabupaten mewajibkan desa untuk menganggarkan dalam APBDES dana sebesar 100 juta.

Dalam sesi diskusi, Sumantara, seorang peserta diskusi menyatakan bahwa pelaksanakaan UU Desa membawa dampak negatif yaitu munculnya raja-raja kecil di desa. Kepala desa menjadi penguasa di desa yang memiliki kewenangan penuh untuk mengelola pembangunan desa. Sebagai gambaran, perencanaan pembangunan desa dilakukan secara elitis dan belum bersifat partisipatif. Banyak desa yang dalam membuat perencanaan pembangunan desa cenderung tidak melibatkan seluruh komponen masyarakat, dan hanya dilakukan oleh elit desa. Memang ada musrenbangdes namun sifatnya hanya formalitas karena semua rencana program pembangunan sudah dibuat oleh kepala desa. Musrenbangdes tersebut biasanya juga tidak mengundang warga yang memiliki sikap kritis karena dianggap akan menimbulkan masalah. Berdasarkan pengamatannya, pelaksanaan UU Desa membuat yang berkuasa semakin berkuasa, sedangkan warga yang miskin dan lemah akan semakin lemah. Thomas, peserta lain yang berasal dari Klaten menyatakan bahwa berdasarkan pengamatannya sebagian besar program pembangunan desa bersifat fisik, sedangkan program pemberdayaan masyarakat sangat terbatas. Pelaksanaan program pembangunan fisik juga sering mengalami penyimpangan/tidak sesuai dengan bestek. Besaran proyek juga sering mengalami mark up, yang berdasarkan kalkulasinya bisa sampai 10%. Zaini, peserta lain menyatakan bahwa ada dominasi di pemerintahan desa. Program pemangunan desa hanya dirancang oleh elit desa karena ada anggapan mereka sudah tahu kebutuhan di desa. Banyak usulan program yang disusun berdasarkan usulan RT/RW semata, dan bukan usulan warga karena warga tidak pernah diajak bermusyawarah merumuskan usulan program. Dalam musrenbang banyak warga yang dianggap vokal tidak diaundang karena dianggap akan mengacau.

Menanggapai pertanyaan dan tanggapan dari peserta Dr. Arie Sujito menyatakan bahwa memang tidak mudah untuk melakukan perubahan di desa. Oleh karena itu, perlu ada strategi untuk melakukan perubahan. Perubahan jangan dilakukan secara radikal tetapi harus melalui proses, misalnya dengan membangun komunitas, misalnya komunitas anak muda. Melalui komunitas tersebut kita mendorong anak muda untuk berani tampil di depan untuk melakukan perubahan  dengan menduduki berbagai posisi strategis di desa, misalnya BPD, LKMD, dll. Sementara itu Bu Tutik menyampaikan tanggapan, kalau kondisi Desa tidak sesuai dengan harapan maka kita harus berani merebut kekuasaan di desa, dengan tampil menjadi elit desa (Kepala Desa, BPD, Perangkat Desa, dll agar kita bisa melakukan perubahan. “Terlepas dari segala problematika implementasinya, UU Desa masih sangat relevan untuk membangun prakarsa dan partisipasi masyarakat, guna menuju kemandirian desa. Aturan teknis di bawahnya yang bersifat teknokratis dan birokratis harus dibenahi agar UU Desa ini berjalan sesuai dengan filosofinya” kata Bu Titik mengakiri diskusi Rural Corner pada kesempatan sore itu. (Mulyono).

 

Monthly Event: Rural Corner Juli 2019

Berlakunya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa memberi harapan dan peluang bagi desa untuk membangun dan menata desa secara mandiri. Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 menjelaskan bahwa tujuan pembangunan desa adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Namun seiring berjalannya waktu, tepatnya sejak 5 tahun sejak diundangkan, pelaksanaan UU Desa ternyata masih memiliki hambatan dan tantangan yang harus segera diatasi.

Apa saja hambatan dan tantangan yang terjadi dalam lima tahun pelaksanaan UU Desa? Seperti apa alternatif solusi yang ditawarkan untuk berbagai permasalahan yang muncul, baik dari aspek akademis maupun praktis?

Mari mendiskusikan pertanyaan tersebut dalam acara seminar bulanan Rural Corner – PSPK UGM, dengan tema “Evaluasi 5 Tahun Implementasi UUDesa: Problematika dan Alternatif Solusinya” pada Kamis 4 Juli 2019 pukul 15.00 WIB di Ruang Sartono, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Bulaksumur G-7. Diskusi ini akan dipantik oleh Dr. Arie Sujito (PSPK UGM) & Titik Istiwayatun Khasanah (Kepala Desa Sriharjo, Bantul). Mari merapat. Gratis untuk umum dan free jajanan sore!

PSPK UGM Gelar Acara Syawalan

Sambutan dari Kepala PSPK: Dr. Suharko
Sambutan dari Kepala PSPK: Dr. Suharko

Pada acara syawalan tanggal 17 Juni 2019, Dr. Suharko menyampaikan beberapa hal meliputi perencanaan pengembangan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM. Saat ini PSPK yang sedang digawangi oleh generasi yang lebih muda diharapkan mampu merancang kajian dan produksi pengetahuan mengenai ranah pedesaan dan kawasan yang lebih dapat diterima oleh generasi milenial. Beberapa gagasan yang telah dibicarakan adalah menghidupkan kembali seminar bulanan yang telah menjadi tulang punggung kajian pedesaan dan kawasan di masa lalu.

Dengan upaya branding yang harapannya dapat diterima generasi milenial dengan tajuk “Rural Corner”. Salah satu pembahasan yang dapat dilakukan pada tahun ini didalam aktivitas Rural Corner ialah evaluasi 5 tahun pasca diimplementasikannya UU Desa. Demi memasyarakatkan kajian pedesaan dan kawasan, PSPK juga sedang berupaya membenahi sistem publikasi yang lebih menarik melalui perbaikan web dan pemanfaatan sosial media yang lebih luas.

Segala rancangan perbaikan yang telah direncanakan juga harus ditunjang dengan meningkatnya performa pegiat PSPK. Salah satu upaya Kepala PSPK Dr. Suharko adalah dengan melakukan perbaikan lingkungan kerja yang lebih kondusif. Salah satunya ialah perbaikan sarana dan infrastruktur PSPK berupa pembangunan taman kerja yang lebih mengakomodasi ide-ide mengenai kajian dan produksi ilmu pengetahuan mengenai pedesaan dan kawasan.

Swasembada Kedelai? | Kedaulatan Rakyat

SWASEMBADA gagal, swasembada-gagal lagi, swasembada-dibatalkan dan seterusnya seringkali diperdengarkan pemerintah. Awal minggu ini ceblang-ceblung politis dalam keseluruhan konfigurasi politik nasional semenjak zamannya Kabinet Pembangunan, Kabinet Indonesia Bersatu, sampai Kabinet Kerja terungkap ketika seorang promovendus mempertahankan hasil penelitiannya tentang prospek keswasembadaan kedelai. Banyak sekali kritik akademik untuk perihal keswasembadaan kedelai yang dimaksud.

Secara methodologis, dengan memanfaatkan benah supply chain, rantai pasok, sistem produksi kedelai mudah sekali dibenahi untuk bisa meningkatkan kinerja nasionalnya menuju swasembada kedelai. Ketika dalam setiap titik pada rantai pasok dimaksud mampu dibangun untuk mengembangkan keuntungan ekonomis bagi setiap unsur stakeholders, maka di situlah ada jaminan pengembangan untuk swasembada kedelai beberapa tahun ke depan.

Persoalan mendasarnya ketika hal itu diharapkan harus terjadi, maka sangatlah dibutuhkan kendali pemerintah untuk intervensi bagi profitability assurance, jaminan terhadap perolehan manfaat dan keuntungan bagi para pihak yang terlibat pada setiap titik rantai pasok. Begitukah yang terjadi dalam dunia nyata? Ternyata sama sekali jauh dari harapan. Jauh panggang dari api. Mari berguru pada swasembada beras.

Ketika beras dicanangkan untuk swasembada, sejak beberapa dekade yang lalu, segala potensi pembangunan dipersembahkan mati-matian, at all cost. Mulai dari benah prasarana produksi, sarana produksi, sistem pasar, urusan perbangkan, financial inclusion, benah pemuliaan perbenihan, benah tataniaga, dan lain sebagainya. Untuk perberasan nasional : semua dilakukan dan bahkan cenderung berlebihan. Seorang kepala desa bisa saja diparkir dan tidak menjabat lagi untuk jabatan kedua ketika kinerja produksi berasnya merosot. Dalam jargon keswasembadaan yang sama: begitukah yang terjadi untuk sistem produksi kedele.. Never!!

Usahatani kedelai yang terlanjur dicanangkan dan/atau dibatalkan keswasembadaannya secara ceblang-ceblung selama ini dibiarkan secara liar terjadi. Nyaris sak maunya petani, sak karepe dewe. Dalam banyak hal, akhirnya komoditas strategis ini acapkali diposisikan sebagai pilihan terakhir, ketika komoditas lain sudah tidak lagi bisa ditanam karena keterbatasan kondisi lahan, keterbatasan air dan sebagainya.

Dalam kondisi demikian, sungguh tidak pantas kalau dicanangkan swasembada. Ketika kali ini diralat, ya memang sudah sejak awal seharusnya dirancang programatik. Kalau mau swasembada ya ada konsekuensi kebijakan yang harus dilakukan pada pihak pemerintah. Bukan menginginkan swsembada kedelai tetapi dengan berpangku tangan, kemudian diralat. Periode berikutnya dicanangkan lagi, dan diralat lagi. Mundur lagi, mundur lagi, apaan tuh?

Kehati-hatian programatik dalam urusan keswasembadaan memang harus cermat ditentukan karena produktifitas nasional menjadi sangat penting. Manakala mengingat mandat pengembangan sistem pangan nasional yang harus mengedepankan prinsip ketahanan-kemandirian-kedaulatan pangan sebagaimana diperintahkan Undang-undang Nomer 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Konsekuensi legal dari mandat legal ini tentu perlu prioritas komoditas, mana yang harus dipandang strategis dan mana yang tidak perlu masuk.

Pada pertimbangan publik harus dilakuan, pertimbangan tentu multidimensional. Mulai dari urusan sosial-ekonomi, perekonomian pada tingkat petani, kapasitas sumberdaya alam, peran nutrisi dalam pemenuhan pangan dan gizi masyarakat, daya beli publik. Juga relasi industri, potensi substitusi sampai urusan kultural dalam pemenuhan pangan dan gizi.

Mempertimbangkan kepentingan multidimensional yang dipaparkan tersebut, mudah sekali dibayangkan signifikansi dan peran strategis komoditas kedelai, meski tidak sestrategis beras. Sehingga, sebetulnya mudah sekali memahami tekad keswasembadaan yang dicanangkan oleh Pemerintah. Tentu bukan ceblang-ceblunge yang pasti tidak bisa dipahami publik.

Konsekuensi dari segala tekad tersebut tentu saja perencanaan dan pemrograman yang memadai dan konsisten dengan tekat yang dimaksud.

Oleh: Prof. Dr. M. Maksum Machfoedz (Penulis adalah Guru Besar Agroindustri FTP UGM dan Waketum PBNU sekaligus mantan Kepala PSPK UGM)

*Sumber: artikel ini dimuat dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat 8 Desember 2017 | Ilustrasi: kedelai/Mirror Daily

Membangun Moralitas, Tantangan Pembangunan | Kedaulatan Rakyat

Oleh: Prof. Dr. Susetiawan

morality

KETIKA menyimak berbagai pemberitaan, berita tentang perilaku dehumanisasi, yang merugikan masyarakat merebak dimana-mana. Seperti fraud (penipuan, penggelapan), korupsi termasuk pelanggaran terhadap aturan yang disengaja. Dan berbagai tidakan kekerasan lainnya mewarnai kehidupan sehari-hari, yang membuat hidup tidak aman dan nyaman. Tidak tanggung-tanggung, perbuatan seperti ini dilakukan aparatur negara sampai dengan masyarakat biasa. Korupsi misalnya. Upaya pemberantasan oleh KPK tidak begitu saja mulus. Usaha ‘membunuh’ KPK dilakukan politisi secara sistematis. Kekerasan terhadap Novel Baswedan, salah seorang penyidik KPK, tidak jelas bagaimana diselesaikan Kepolisian.

Banyak perilaku amoral, yang tidak akan cukup bila ditorehkan. Ironisnya, terjadi dalam Negara Pancasila, dimana tidak ada warga negara yang tidak beragama. Jumlah masjid, gereja dan sarana ibadah, demikian juga para ustad, kyai, pastor dan pendeta bertambah banyak jika dibandingkan dengan masa lalu. Agama kelihatannya belum mampu membendung tindakan amoral yang kian meningkat. Pertanyaannya, institusi macam apa seharusnya bertanggung jawab untuk membangun moralitas?

Indikator Utama

Sejak awal hingga kini pembangunan di Indonesia tidak dirancang untuk membangun moralitas. Pencapaian perkembangan ekonomi menjadi indikator utama keberhasilan bangsa, yang kelihatannya mengabaikan pentingnya moralitas dalam perilaku pembangunan. Rencana strategis bagaimana membangun moral tidak ditemukan dalam perencanaan pembangunan bangsa. Sekurang-kurangnya, moralitas itu menunjuk pada penilaian benar-salah dan baik-buruk sebuah perbuatan. Benar-salah dapat dinilai dari banyak sedikitnya perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan. Sedang baik buruk mendasarkan diri pada nilai yang telah disepakati dalam kehidupan bermasyarakat.

Kata moralitas sangat erat kaitannya dengan menghormati, menghargai dan menyelamatkan manusia dari perbuatan manusia, yang secara sengaja merampas hak-haknya. Tanpa moralitas, bertambahnya penduduk yang pesat, kebutuhan yang semakin kompleks dan berkembangnya teknologi informasi melalui media elektronik, akan membuat orang dengan mudah melakukan perbuatan mulai membuli sampai melakukan penipuan tanpa rasa bersalah. Demikian halnya dengan para pelaksana program pembangunan, para penegak hukum, politisi, yang berkaitan dengan pelaksanaan program pembangunan dapat melakukan korupsi, manipulasi, gratifikasi dengan anggapan sebagai kewajaran. Meskipun banyak pelaku yang masuk penjara, ada juga yang lolos, seperti kasus Setya Novanto.

Tanggung jawab Institusi

Sekurang-kurangnya ada beberapa institusi yang dapat menjadi saluran membangun moralitas. Pertama, agama seharusnya menjadi institusi yang paling berkompeten untuk membangun moralitas, sayang kehadirannya masih jauh dari harapan. Karenanya, revitalisasi ajaran keagamaan sangat diperlukan. Bagaimanapun agama hanya merupakan metode agar manusia sampai pada tujuan hidup, yakni kesempurnaan diri. Sempurnanya diri itu dicapai dengan cara memuliakan Tuhan, yakni menjauhi larangannya dan menjalankan perintahnya, salah satunya adalah menyelamatkan mahluk hidup dan lingkungan yang diciptakanNya. Penyelamatan kemanusiaan seharusnya mendapat porsi tertinggi dalam siar keagamaan karena ajaran ini adalah mengasah batin untuk menuju moralitas dan bukan intoleransi.

Kedua, pendidikan baik formal, informal maupun non formal bukan hanya memberi pelajaran mengasah otak melainkan juga batin. Pelajaran yang mengajarkan kecintaan terhadap kemanusiaan, penuh toleransi dan kepedulian terhadap sesama serta lingkungan. Ketiga, membangun penegakan hukum positif yang tidak dapat diintervensi siapapun, tidak ada orang yang kebal hukum sekalipun itu pejabat tinggi. Hukum itu dirancang untuk menjamin keadilan demi pembelaan terhadap hak-hak kemanusiaan. Pelanggaran hukum adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Pembangunan tanpa moralitas, itu perusakan. Karenanya, pembangunan dengan membangun moralitas bermakna penyelamatan manusia di masa depan.

Membangun moralitas merupakan persoalan Pembangunan Sosial (PS). Selama ini PS hanya dipahami sebatas bagaimana bekerjanya kebijakan sosial negara dalam melayani masyarakat. PS lebih dipahami sebagai upaya memberdayakan komunitas rentan agar mandiri, yang orientasinya peningkatan kemampuan ekonomi.

Membangun moralitas tidak menjadi sorotan utama. Padahal ini penting digerakkan sebab pembangunan tanpa moralitas tidak akan sampai pada sebuah peradaban. Studi PS, dulu Sosiatri, yang telah berusia 60 tahun di Fisipol UGM kelihatan belum sedikitpun menggarap kajian, pembelajaran dan gerakan membangun moralitas. Ini tantangan masa depan program studi.

(Penulis adalah Kepala PSPK UGM dan Staf Pengajar Prodi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM)

*Sumber: artikel ini dimuat dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 26 Oktober 2017 | Ilustrasi: moralitas/Kompasiana

Musibah Abadi | Kedaulatan Rakyat

Oleh: M Maksum Machfoedz

 

SETIAP 24 September, rakyat tani dihibur dengan Hari Tani Nasional. Hari diundangkannya Undang-undang nomer 5/1960 yang terkenal dengan UU Pokok Agraria (UUPA). Menurut Bung Karno (BK) melambangkan hari kemenangan rakyat tani. Seringkali luar biasa meriah prosesi ritual harlah itu diselenggarakan, terutama setiap kali bangsa ini bersiap-siap menyongsong prosesi limatahunan, pemilu-pilkada. Prosesi yang nyaris palsu sempurna, untuk tidak menyebut palsu semuanya. Faktanya, lain harapan BK lain pula kenyataan.

Untuk mengenangnya marilah menengok Keppres RI No 169/1963 tentang penetapan 24 September sebagai hari tani. Esensi utama UUPA, ditegaskan dalam konsideran keppres itu: Bahwa tanggal 24 September, hari lahirnja Undang-undang Pokok Agraria merupakan hari kemenangan bagi rakyat tani Indonesia. Dengan diletakkannya dasar-dasar bagi penjelenggaraan ‘land reform’ untuk mengkikis habis sisa-sisa imperialisme dalam lapangan pertanahan, agar rakyat tani dapat membebaskan diri dari segala macam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan beralat tanah. Sehingga melempangkan jalan menuju ke arah masyarakat adil dan makmur.

Konsideran ini menegaskan dua butir penting. Pertama, betapa pentingnya reforma agraria (RA) yang wujudnya adalah redistribusi tanah, yang timpang pemilikannya. Mengingat tanah merupakan alat ekonomi utama, maka tidak ada jalan lain untuk mewujudkan keadilan ekonomi kecuali redistribusi tanah. Setelah 57 tahun UUPA, dan 72 tahun merdeka, kesenjangan pemilikan makin kronis. Mayoritas rakyat tani miskin (RTM) untuk tidur selonjor saja susah. Namun seorang kaya bisa punya ratusan ribu hektar.

Kedua, dengan beralat tanah, harapan BK, rakyat tani dapat membebaskan diri dari segala macam bentuk penghisapan manusia atas manusia, sehingga melempangkan jalan menuju ke arah masyarakat adil dan makmur. Melalui beralat tanah tersebut aneka model pembangunan dan stimulasi perekonomian bisa dilakukan. Untuk menuju kemerdekaan dan kemandirian perekonomian rakyat semesta yang dicita-citakan kemerdekaan.

Dalam apresiasi terhadap orientasi sentral perekonomian model BK, semuanya pasti ngelus dhadha: kenapa jauh sekali harapan itu dari kenyataan, capaian pembangunan anak-anak bangsa hari ini, diwarnai ketimpangan luar biasa pemilikan tanah. Redistribusi pun tidak memiliki kemajuan berarti kecuali didominasi sertifikasi pemilikan, yang hanya memantapkan kepemilikan belaka. RTM makin susah selonjor, pemilik ratusan ribu hektar makin tegar.

Pada tingkat stimulasi pembangunan, ketidakadilan yang dihadapi RTM tidak kalah serem dibandingkan RA. Pada saat mengenang kemenangan rakyat tani, aneka ketimpangan dan sumber penderitaan RTM kini semakin berjubel memenuhi pemberitaan.

Dalam urusan perberasan misalnya, RTM masih menghadapi tidak efektifnya Bulog dan Inpres 5/2015 tentang perberasan. Belum juga inpres dibenahi, RTM menghadapi program sergap dan RTM harus bekerja sama dengan aparat di lapangan, Sementara bodongnya tataniaga ditimpa pula ketetapan harga eceran tertinggi (HET). Aneka kisruh beras mutakhir menambah derita RTM.

Pergulaan nasional lebih seram. Beralasan terbatasnya produktivitas, pergulaan nasional selalu dibantai dengan gula kristal rafinasi (GKR) dan importasi gula mentah hari ini terancam kebijakan tataniaga perlelangan dan pengembangan pasar komoditas tidak jelas. RTM tebu masih ‘diancam’ pula dengan rencana dibekukannya pabrik kecil berdalih produktivitas dan pabrik tua. RTM dan pabrik kini pun mananti sakaratul-maut ketika pemerintah berencana memangkas bea masuk impor gula mentah Australia.

Kisruh komoditas lain melengkapi musibah kado harlah. Daging sapi menghamba importasi dan mandulnya kapal sapi, Pasar unggas dalam kendali 2-3 peternak akbar, cabai jatuh harga karena banjir produksi, bawang merah dan bawang putih terombang-ambing tanpa kendali, dan aneka komoditas lain yang RTM-nya berada antara hidup-mati.

Antara hidup-mati itupun kalau punya lahan. Bagaimana RTM berlahan minim dan tanpa lahan? Jeritannya sangat pasti: redistribusi adalah harga mati! Hanya melalui redistribusi akan ada alat produksi untuk memenuhi harapan BK: mandiri secara ekonomi.

(Penulis adalah Guru Besar Agroindustri FTP UGM dan Waketum PBNU)

*Sumber: artikel ini dimuat dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Senin 25 September 2017 | Ilustrasi: petani/Kedaulatan Rakyat

Ujian Inpres Beras | Kedaulatan Rakyat

Oleh: M Maksum Machfoedz

 

TIDAK senonoh! Begitu komentar teman terhadap kontroversi perberasan yang menghangat minggu ini. Dan menurutnya bernuansa politis. Politisasi itupun berimbas sampai pelaku pasar yang gemetar karena sudah melibatkan para penggede negara, politisi, dan aneka orang besar. Bahkan berbumbu manipulasi, oplosan, kerugian negara, harga eceran tertinggi (HET), varietas, penyelewengan raskin hingga SARA.

Mereka yang bijak mencoba menengahi kontroversi. Mengajak publik tidak perlu mengkhawatirkan prosesi ini sembari menunggu proses pengadilan yang segera diselesaikan untuk tidak membiarkan kontroversi berkepanjangan. Ketegangan pasar itulah salah satu imbas pro-kontra. Penengahan yang masuk akal. Semua dalih dalam pro-kontra itu, tidak ada satupun yang menyentuh landasan utama kontroversi, yaitu Inpres Perberasan, Inpres 05/2015. Harusnya semuanya didasarkan atas landasan utama dalam tataniaga perberasan. Karena hakikatnya inpres itu sendiri teramat problematik.

Nalarnya? Tentu harus hati-hati mengkaji Inpres 05/2015 yang diundangkan 17 Maret 2015. Kecuali urusan stabilisasi dan pengadaan cadangan beras pemerintah, inpres ini mengatur juga Harga Pembelian Pemerintah (HPP), Gabah Kering Panen (GKP), Gabah Kering Giling (GKG), dan Beras. Angka HPP ini perlu dicermati kalo ingin melihat efektivitas inpres berikut segala persoalannya.

Mari lihat ulang angka HPP GKP-GKG-Beras. Inpres dimaksud memandatkan HPP-GKP di penggilingan sebesar Rp 3.750/kilogram, HPP-GKG di gudang Bulog Rp 4.600, dan HPP-Beras Rp 7.300 di gudang Bulog. Konsentrasi telaah bisa pada angka HPP GKP-GKG-Beras sebesar Rp 3.750- Rp 4.600- Rp 7.300. Ada dua cara untuk melihat kelayakan angka ini: pada tingkat lapangan dan penggilingan, sampai pada level laboratorium bilamana diperlukan.

Pada tingkat lapangan bisa kita amati bahwa petani memiliki banyak pilihan untuk bisa melepas gabahnya baik dalam bentuk GKP maupun GKG. Karena faktanya, harga HPP Inpres tidak cukup menarik. Harga pasar pada umumnya lebih tinggi. Sementara itu, pada tingkat penggilingan dengan HPP beras Rp 7.300 dan GKG Rp 4.600, hanya bisa terjadi ketika rendemen gilingnya 67%. Untuk beras kualitas medium, angka ini tidak pernah ada dalam tingkat laboratorium sekalipun. Kesimpulannya, sungguh tidak mungkin dengan HPP-GKG Rp 4.600 bisa dihasilkan HPP-Beras Rp 7.300. Apalagi kalau harga GKG di lapangan lebih besar dari HPP GKG yang Rp 4.600.

Pemaksaan proporsi harga telah berdarah-darah dilakukan melalui aneka bantuan pemerintah. Salah satunya melalui Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM) yang membanjiri 500 Gapoktan dengan bantuan dana masing-masing sebesar Rp 200 juta, tahun 2016. Untuk bisa bekerja sama dengan toko tani agar bisa menjual pangan murah. Pengamanan harga yang tidak mendasar ini pun tidak efektif dan persoalan beras setia menghiasi berita harian.

Kita lihat ulang HPP-GKG dan HPP-Beras: Rp 4.600 – Rp 7.300. Proporsionalitas ini jelas tidak mungkin terjadi, kecuali ada invisible hand atau tepatnya kebijakan ajaib seperti PUPM, kalau efektif. Lebih tidak mungkin lagi manakala HPH-GKG dalam kenyataannya lebih rendah dari harga pasar yang lebih mudah diakses rakyat tani.

Aneh-bin-ajaib! Fakta ini selalu dibesar-besarkan penguasa urusan pangan dan Kabinet Kerja pada umumnya dengan mengatakan bahwa itu akibat ulah mafia yang mempermainkan harga. Alih-alih menyadari adanya landasan sistem legal yang perlu dibenahi. Yang terjadi malah menyalahkan para pedagang yang masuk pasar oleh karena tidak mungkin efektifnya inpres.

Teringat dua tahun lalu, seorang petani-penggiling Sragen, Parmin Djakfar. Begitu tahu Inpres Perberasan, langsung ngiwut nguyang, jajah desa milang kori, melakukan pembelian gabah karena yakin harga beras esok hari melangit. HPP terlalu rendah, Gudang Bulog bakal kosong, dan operasi pasar bakal jeblog. Ribuan Parmin, kecil dan besar, melakukan hal sama. Apa yang terjadi dalam dinamika perberasan mulai dari nguyang, rekayasa kualitas, penyimpanan, itu semua karena inpres. Kenapa tidak?

Kalau harga pasar tidak terkendali maka muncullah kesempatan ekonomi. Solusinya? Ya mari bersegera menebus dosa besar sanak-kadhang yang main-main dengan angka, sehingga Pak Presiden tanda tangan Inpres Bodong.. Inilah akibat kebangsaannya. Benahi inpres adalah solusinya. …. insya Allah…

(Penulis adalah Guru Besar Agroindustri UGM dan Wakil Ketua Umum PBNU)

*Sumber: artikel ini dimuat dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 26 Juli 2017 | Ilustrasi: beras/ Kedaulatan Rakyat

Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat di Desa Jomboran, Klaten, Jawa Tengah

    1. Judul Kegiatan

Penguatan Peran Warga Masyarakat Dalam Perencanaan, Penganggaran, dan Evaluasi Hasil Pembangunan Desa di Desa Jomboran, Kecamatan Klaten Tengah, Kabupaten Klaten

    1. Latar Belakang Kegiatan

Undang-Undang No 6 Tahun 2014 mengamanatkan bahwa perencanaan pembangunan desa harus dilaksanakan secara partisipatif, melibatkan seluruh masyarakat termasuk kelompok rentan (minoritas, difabel, perempuan, miskin). Hal itu bertujuan agar pembangunan yang dilaksanakan oleh desa benar-benar bermanfaat bagi seluruh warga masyarakat di desa tersebut, termasuk warga masyarakat yang tergolong sebagai kelompok rentan.

  1. Tujuan Kegiatan
    1. Meningkatkan kesadaran dari warga masyarakat termasuk kelompok rentan dalam proses perencanaan, penganggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa sehingga perencanaan, penggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa benar-benar mencerminkan prinsip partisipatif, yaitu melibatkan seluruh warga masyarakat.
    2. Meningkatkan kesadaran organisasi sosial kemasyarakatan (PKK, Karang Taruna, Kelompok Tani, P3A, dasawisma, dll) organisasi sosial keagamaan ( majelis taklim, TPA, kelompok pengajian, dll) dan institusi/pranata sosial (rembug warga, pertemuan RT/RW, gotong royong,, dll) yang ada di desa Jomboran menjadi ajang pengorganisasikan perencanaan, penganggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa.
    3. Meningkatkan kesadaran pemerintahan desa (pemerintah desa dan BPD) untuk lebih terbuka dan berani secara aktif menjaring aspirasi dari seluruh warga masyarakat termasuk aspirasi dari kelompok rentan (minoritas, difabel, perempuan dan miskin) sehingga perencanaan, penganggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa benar-benar bersifat partisipatif.
  2. Luaran Kegiatan
    1. Meningkatnya kesadaran dari warga masyarakat termasuk kelompok rentan untuk ikut terlibat secara aktif dalam proses perencanaan penganggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa (indikator: terbangunnya komitmen dari warga masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan)
    2. Meningkatnya kesadaran organisasi sosial kemasyarakat, organisasi sosial keagamaan, dan instisusi/pranata sosial yang bisa menjadi ajang pengorganisasian perencanaan, penganggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa (indikator: terbangunnya komitmen organisasi warga untuk mulai mempraktekkan dan mendiskusikan tata cara perencanaan, penganggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa dengan prosedur yang baik)
    3. Meningkatnya kesadaran pemerintahan desa (pemerintah desa dan BPD) yang lebih terbuka dan berani secara aktif menjaring aspirasi dari seluruh warga masyarakat termasuk aspirasi dari kelompok rentan dalam rangka mewujudkan perencanaan, penganggaran dan evaluasi hasil pembangunan desa yang benar-benar partisipatif (indikator: terbangunnya komitmen aparat pemerintahan desa untuk terbuka, responsif, dan akuntabel dalam perencanaan, penganggaran, dan evaluasi hasil pembangunan desa)
    4. Perencanaan pembangunan desa yang partisipatif (indikator: tersusunnya contoh rencana pembangunan desa yang lebih partisipatif (APBDes bayangan)
  3. Metode Kegiatan
    1. Sosialisasi kegiatan
      1. Peserta: perwakilan warga masyarakat serta perwakilan aparat pemerintah desa dan BPD
      2. Rencana pelaksanaan: April (akhir)
    2. Pelatihan perencanaan pembangunan bagi warga masyarakat
      1. Peserta: perwakilan warga masyarakat, termasuk kelompok rentan
      2. Rencana pelaksanaan: Mei (pertengahan)
    3. Pelatihan bagi pengurus organisiasi sosial/organisasi keagamaan, dll
      1. Peserta: perwakilan pengurus organisasi sosial kemasyarakatan (PKK, Karang Taruna, Dasa Wisma, dll), perwakilan pengurus organisasi sosial keagamaan (kelompok pengajian, majelis taklim, TPA, kelompok gereja, dll), serta perwakilan pengurus organisasi sosial ekonomi (kelompok tani, P3A, dll)
      2. Rencana pelaksanaan: Juli (pertengahan)
    4. Pelatihan bagi aparat pemerintah desa dan anggota BPD
      1. Peserta: kepala desa dan aparat pemerintah desa, anggota BPD, serta anggota tim 11
      2. Rencana pelaksanaan: Agustus (pertengahan)
    5. Simulasi penyusunan perencanaan pembangunan yang lebih bersifat partisipatif
      1. Peserta: (1) perwakilan warga masyarakat termasuk kelompok rentan; (2) perwakilan aparat desa, BPD dan tim 11; serta (3) perwakilan pengurus organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi sosial keagamaan, dan organisasi sosial ekonomi(/li>
      2. Rencana pelaksanaan: September (pertengahan)

Struktur Organisasi

Sebagai sebuah institusi yang berada di bawah naungan Universitas Gadjah Mada, dalam perjalanan sejarahnya, PSPK UGM selalu dipimpin oleh pakar/ilmuwan dari lingkungan Universitas Gadjah Mada yang tidak diragukan lagi kredibilitas dan kompetensinya. Mereka adalah para guru besar dan doktor yang dimiliki oleh Universitas Gadjah Mada.

 

 

Dewan Penasehat

Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, M.Sc

Prof. Dr. Susetiawan, SU

Dr. Dja’far Shiddieq, M.Sc

Drs. Rahardjo, M.Sc

 

Kepala

Dr. Bambang Hudayana, MA

 

Peneliti Senior

Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, M.Sc (Kebijakan Pertanian)

Prof. Dr. Susetiawan, SU (Hubungan Industrial, Industrialisasi Pedesaan)

Dr. Bambang Hudayana, MA (Ekonomi Pedesaan dan Pemberdayaan Masyarakat)

Dr. Suharko (Sosiologi Lingkungan, Sustainable Rural Development)

Dr. Arie Sujito, M.Si (Politik Lokal dan Gerakan Sosial)

Dr. Dja’far Shiddieq, M.Sc (Ilmu Tanah, Perhutanan Sosial)

Drs. Rahardjo, M.Sc (Sosiologi Pedesaan)

 

Tim Ahli

Dr. Ir. Dyah Ismoyowati, M.Sc (Gender dan Teknologi Pertanian)

Dr. Any Suryantini (Pertanian dan Sumber Daya Perekonomian)

Dr. Subejo, S.P, M.Sc (Kedaulatan Pangan)

Dr. Murtiningrum, S.TP, M.Eng (Manajemen Irigasi)

Bahagia, S.P., M.Sc (Community Based-Adaptation and Climate Change Resilience)

Suparjan, M.Si (Corporate Social Responsibility)

Andi Sandi, SH, LLM (Hukum Adat dan Tata Pemerintahan Desa)

Satyaguna Rakhmatullah, S.Pt., M.Sc (Peternakan)

 

Peneliti

Dr. AB Widyanta, MA (Resolusi Konflik dan Pembangunan Perdamaian)

Drs. Jarwo Susetyo Edy Yuwono, M.Sc (Arkeologi)

DC. Mulyono, MA (Kelembagaan Desa)

Muh. Yunan Roniardian, M.Sc (Sosial-Ekonomi Pertanian)

Anda Candra, MPA (Public Policy and Good Governance)

Medda Maya Pravita, MA (Cultural Studies)

Ika Ayu Kristianingrum, MA (Gender and Development)

Wahyu Kustiningsih, MA (Penelitian Kuantitatif)

Rezaldi Alief Pramadha, S.E., M.S.S (Social Entrepreneurship)

Mohammad Ghofur, M.Sc (Food and Nutrition Security)

Suharto, S.Sos (Dampak Sosial Indusrialisasi Pedesaan)

Angie Purbawisesa, S.Sos (Rural Livelihoods)

 

Asisten Peneliti

Olga Aurora Nadhiswara, S.Ant

Rakryan Wijdaan Dhiya Ulhaq, S.I.P

 

Administrasi

Sekretariat                : Olga Aurora Nadhiswara, S.Ant

Keuangan dan Aset : Rr. Yuliarti

SDM                           : Anda Candra, MPA

Perpustakaan           : FX. Danang Sapto Nugroho

Rumah Tangga        : Slamet Lestari