SWASEMBADA gagal, swasembada-gagal lagi, swasembada-dibatalkan dan seterusnya seringkali diperdengarkan pemerintah. Awal minggu ini ceblang-ceblung politis dalam keseluruhan konfigurasi politik nasional semenjak zamannya Kabinet Pembangunan, Kabinet Indonesia Bersatu, sampai Kabinet Kerja terungkap ketika seorang promovendus mempertahankan hasil penelitiannya tentang prospek keswasembadaan kedelai. Banyak sekali kritik akademik untuk perihal keswasembadaan kedelai yang dimaksud.
Secara methodologis, dengan memanfaatkan benah supply chain, rantai pasok, sistem produksi kedelai mudah sekali dibenahi untuk bisa meningkatkan kinerja nasionalnya menuju swasembada kedelai. Ketika dalam setiap titik pada rantai pasok dimaksud mampu dibangun untuk mengembangkan keuntungan ekonomis bagi setiap unsur stakeholders, maka di situlah ada jaminan pengembangan untuk swasembada kedelai beberapa tahun ke depan.
Persoalan mendasarnya ketika hal itu diharapkan harus terjadi, maka sangatlah dibutuhkan kendali pemerintah untuk intervensi bagi profitability assurance, jaminan terhadap perolehan manfaat dan keuntungan bagi para pihak yang terlibat pada setiap titik rantai pasok. Begitukah yang terjadi dalam dunia nyata? Ternyata sama sekali jauh dari harapan. Jauh panggang dari api. Mari berguru pada swasembada beras.
Ketika beras dicanangkan untuk swasembada, sejak beberapa dekade yang lalu, segala potensi pembangunan dipersembahkan mati-matian, at all cost. Mulai dari benah prasarana produksi, sarana produksi, sistem pasar, urusan perbangkan, financial inclusion, benah pemuliaan perbenihan, benah tataniaga, dan lain sebagainya. Untuk perberasan nasional : semua dilakukan dan bahkan cenderung berlebihan. Seorang kepala desa bisa saja diparkir dan tidak menjabat lagi untuk jabatan kedua ketika kinerja produksi berasnya merosot. Dalam jargon keswasembadaan yang sama: begitukah yang terjadi untuk sistem produksi kedele.. Never!!
Usahatani kedelai yang terlanjur dicanangkan dan/atau dibatalkan keswasembadaannya secara ceblang-ceblung selama ini dibiarkan secara liar terjadi. Nyaris sak maunya petani, sak karepe dewe. Dalam banyak hal, akhirnya komoditas strategis ini acapkali diposisikan sebagai pilihan terakhir, ketika komoditas lain sudah tidak lagi bisa ditanam karena keterbatasan kondisi lahan, keterbatasan air dan sebagainya.
Dalam kondisi demikian, sungguh tidak pantas kalau dicanangkan swasembada. Ketika kali ini diralat, ya memang sudah sejak awal seharusnya dirancang programatik. Kalau mau swasembada ya ada konsekuensi kebijakan yang harus dilakukan pada pihak pemerintah. Bukan menginginkan swsembada kedelai tetapi dengan berpangku tangan, kemudian diralat. Periode berikutnya dicanangkan lagi, dan diralat lagi. Mundur lagi, mundur lagi, apaan tuh?
Kehati-hatian programatik dalam urusan keswasembadaan memang harus cermat ditentukan karena produktifitas nasional menjadi sangat penting. Manakala mengingat mandat pengembangan sistem pangan nasional yang harus mengedepankan prinsip ketahanan-kemandirian-kedaulatan pangan sebagaimana diperintahkan Undang-undang Nomer 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Konsekuensi legal dari mandat legal ini tentu perlu prioritas komoditas, mana yang harus dipandang strategis dan mana yang tidak perlu masuk.
Pada pertimbangan publik harus dilakuan, pertimbangan tentu multidimensional. Mulai dari urusan sosial-ekonomi, perekonomian pada tingkat petani, kapasitas sumberdaya alam, peran nutrisi dalam pemenuhan pangan dan gizi masyarakat, daya beli publik. Juga relasi industri, potensi substitusi sampai urusan kultural dalam pemenuhan pangan dan gizi.
Mempertimbangkan kepentingan multidimensional yang dipaparkan tersebut, mudah sekali dibayangkan signifikansi dan peran strategis komoditas kedelai, meski tidak sestrategis beras. Sehingga, sebetulnya mudah sekali memahami tekad keswasembadaan yang dicanangkan oleh Pemerintah. Tentu bukan ceblang-ceblunge yang pasti tidak bisa dipahami publik.
Konsekuensi dari segala tekad tersebut tentu saja perencanaan dan pemrograman yang memadai dan konsisten dengan tekat yang dimaksud.
Oleh: Prof. Dr. M. Maksum Machfoedz (Penulis adalah Guru Besar Agroindustri FTP UGM dan Waketum PBNU sekaligus mantan Kepala PSPK UGM)
*Sumber: artikel ini dimuat dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat 8 Desember 2017 | Ilustrasi: kedelai/Mirror Daily