“Harus diakui bahwa pelaksanaan UU no 6 tahun 2014 tentang Desa telah membawa banyak kemajuan di desa, seperti banyaknya desa wisata, BUMDES yang memiliki kekayaan milyaran, dll, namun harus diakui pula bahwa masih banyak persoalan yang harus dibenahi agar pelaksanaan UU desa benar-benar bisa mewujudkan tujuan utama penetapan UU Desa yaitu mewujudkan masyarakat desa yang mandiri dan partisipatif.” papar Dr. Arie Sujito dalam kegiatan Rural Corner, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, Kamis 4 Juli 2019 di ruang Sartono. Selain menghadirkan Dr. Arie Sujito, peneliti Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM/ Dosen FISIPOL/ Aktivis Desa, kegiatan Rural Corneryang merupakan forum diskusi yang diselenggarakan secara rutin setiap hari kamis minggu pertama setiap bulan tersebut juga menghadirkan praktisi desa, Titik Istiwayatun Khasanah, S.IP, selaku Lurah Desa Sriharjo, Imogiri, Bantul, dengan moderator Dr. Suharko selaku Kepala PSPK UGM.
Semangat utama penetapan UU Desa adalah mendorong terciptanya kemandirian dan partisipasi di desa. Kemandirian Desa dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan berbagai hal yang dibutuhkan oleh Desa, misalnya dalam merencanakan dan melaksanakan program-program pembangunan desa. Partisipasi semua komponen masyarakat desa dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan berbagai hal yang dibutuhkan oleh desa, khususnya kelompok warga masyarakat yang selama ini terabaikan dalam proses pengambilan keputusan di desa. Namun menurut narasumber dalam kurun waktu 5 tahun pelaksanaan UU Desa, semangat tersebut tereduksi oleh kebijakan elit pemerintahan yang lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat teknokratis dan birokratis, karena tidak faham dengan semangat yang melandasi penetapan UU Desa. Kepala desa dan perangkat desa lebih banyak dituntut untuk melaksanakan tugas-tugas yang bersifat administratif seperti membuat Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) pemanfaatan dana desa, dsb.
Menurut narasumber tugas-tugas yang bersifat teknokratis dan birokratis memang harus dilakukan, namun hal itu tidak boleh mengorbankan misi utama penetapan UU Desa yaitu mengembangkan kemandirian dan partisipasi di Desa. Kepala desa dan aparat desa harus didorong untuk belajar strategi membangun kemandirian dan partisipasi di desa karena belajar tentang masalah teknis administratif merupakan hal yang mudah, dalam jangka waktu singkat bisa dilakukan, namun untuk belajar tentang strategi meningkatkan kemandirian dan partisipasi desa perlu proses panjang. Salah satu langkah yang bisa dilakukan oleh elit desa untuk membangun kemandirian dan partisipasi adalah dengan membentuk kelompok/komunitas anak muda desa yang peduli dengan kemajuan desa. Anak muda merupakan agen pembaharuan desa yang diharapkan bisa melakukan perubahan di desa.
Dalam presentasinya, Tutik Istiwayatun Khasanah, SIP sebagai pembicara kedua memaparkan pengalamannya selama menjabat sebagai kepala desa di Desa Sriharjo, Imogiri, Bantul. Ia menyatakan bahwa selama 8 bulan menjabat, ia memang belum menangani pelaksanaan infrastruktur, namun ia merasa beban tugas sebagai kepala desa cukup berat. Selain harus memenuhi berbagai undangan dari dinas/instansi terkait, ia juga harus melaksanakan tugas kultural misalnya hadir dalam even takziah, tradisi manten, mengurusi masalah tanah, mengurusi irigasi desa, dll.
Terkait dengan program pembangunan fisik, untuk meningkatkan partisipasi warga masyarakat BuTutik memaparkan pengalamannya. Karena program pembangunan infrastruktur dilaksanakan di semua pedukuhan, maka ia membentuk Tim Pengelola Kegiatan (TPK) sesuai dengan jumlah pedukuhan, dan melibatkan kepala dukuh sebagai anggota TPK. Namun untuk meningkatkan partisipasi warga dalam proyek pembangunan infrstruktur, ia merasa terkendala dengan aturan bahwa proyek infrastruktur harus menerapkan sistem Hari Orang Kerja (HOK). Sementara warga masyarakat memiliki tradisi gotong royong dalam melaksanakan suatu kegiatan, sehingga aturan HOK mengancam keberadaan tradisi gotong royong. Salah satu solusi yang diterapkan, warga boleh melaksanakan proyek dengan sistem gotong royong namun harus membuat LPJ sesuai dengan aturan.
Untuk menggerakkan partisipasi warga masyarakat, Bu Tutik menggerakkan kaum muda di desa sebagai agen pembaharuan. Untuk melakukan perubahan kondisi sosio-kultral di desa memang memerlukan proses panjang dan penuh tantangan karena banyak elit desa yang bersifat kontra, oleh karena itu langkah yang bisa dilaksanakan adalah dengan mengajak kaum muda untuk menjadi agen perubahan.
Dalam kaitannya dengan kemandirian desa, menurut Bu Tutik yang sebelum menjabat sebagai lurah juga seorang aktivis desa, selama ini desa memiliki kemandirian dalam membuat keputusan, khususnya dalam penyusunan program pembangunan desa. Namun akhir-akhir ini mulai ada intervensi dari supra desa. Pemerintah kabupaten menitipkan program untuk dilaksanakan oleh pemerintah desa, misalnya program pusat kesehatan sosial, progam Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), dll. Terkait dengan program RTLH pemerintah kabupaten mewajibkan desa untuk menganggarkan dalam APBDES dana sebesar 100 juta.
Dalam sesi diskusi, Sumantara, seorang peserta diskusi menyatakan bahwa pelaksanakaan UU Desa membawa dampak negatif yaitu munculnya raja-raja kecil di desa. Kepala desa menjadi penguasa di desa yang memiliki kewenangan penuh untuk mengelola pembangunan desa. Sebagai gambaran, perencanaan pembangunan desa dilakukan secara elitis dan belum bersifat partisipatif. Banyak desa yang dalam membuat perencanaan pembangunan desa cenderung tidak melibatkan seluruh komponen masyarakat, dan hanya dilakukan oleh elit desa. Memang ada musrenbangdes namun sifatnya hanya formalitas karena semua rencana program pembangunan sudah dibuat oleh kepala desa. Musrenbangdes tersebut biasanya juga tidak mengundang warga yang memiliki sikap kritis karena dianggap akan menimbulkan masalah. Berdasarkan pengamatannya, pelaksanaan UU Desa membuat yang berkuasa semakin berkuasa, sedangkan warga yang miskin dan lemah akan semakin lemah. Thomas, peserta lain yang berasal dari Klaten menyatakan bahwa berdasarkan pengamatannya sebagian besar program pembangunan desa bersifat fisik, sedangkan program pemberdayaan masyarakat sangat terbatas. Pelaksanaan program pembangunan fisik juga sering mengalami penyimpangan/tidak sesuai dengan bestek. Besaran proyek juga sering mengalami mark up, yang berdasarkan kalkulasinya bisa sampai 10%. Zaini, peserta lain menyatakan bahwa ada dominasi di pemerintahan desa. Program pemangunan desa hanya dirancang oleh elit desa karena ada anggapan mereka sudah tahu kebutuhan di desa. Banyak usulan program yang disusun berdasarkan usulan RT/RW semata, dan bukan usulan warga karena warga tidak pernah diajak bermusyawarah merumuskan usulan program. Dalam musrenbang banyak warga yang dianggap vokal tidak diaundang karena dianggap akan mengacau.
Menanggapai pertanyaan dan tanggapan dari peserta Dr. Arie Sujito menyatakan bahwa memang tidak mudah untuk melakukan perubahan di desa. Oleh karena itu, perlu ada strategi untuk melakukan perubahan. Perubahan jangan dilakukan secara radikal tetapi harus melalui proses, misalnya dengan membangun komunitas, misalnya komunitas anak muda. Melalui komunitas tersebut kita mendorong anak muda untuk berani tampil di depan untuk melakukan perubahan dengan menduduki berbagai posisi strategis di desa, misalnya BPD, LKMD, dll. Sementara itu Bu Tutik menyampaikan tanggapan, kalau kondisi Desa tidak sesuai dengan harapan maka kita harus berani merebut kekuasaan di desa, dengan tampil menjadi elit desa (Kepala Desa, BPD, Perangkat Desa, dll agar kita bisa melakukan perubahan. “Terlepas dari segala problematika implementasinya, UU Desa masih sangat relevan untuk membangun prakarsa dan partisipasi masyarakat, guna menuju kemandirian desa. Aturan teknis di bawahnya yang bersifat teknokratis dan birokratis harus dibenahi agar UU Desa ini berjalan sesuai dengan filosofinya” kata Bu Titik mengakiri diskusi Rural Corner pada kesempatan sore itu. (Mulyono).