“Kita tentu masih ingat kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Likitan dari pangkuan NKRI yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Salah satu faktor yang menyebabkan Mahkamah Internasional memenangkan pihak Malaysia dalam sengketa tersebut adalah keberpihakan warga masyarakat yang tinggal di pulau tersebut pada Malaysia. Meskipun secara yuridis formal Indonesia memiliki bukti-bukti yang kuat yang menunjukkan bahwa kedua pulau tersebut merupakan bagian yang sah dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun karena warga masyarakat yang menghuni pulau-pulau tersebut menyatakan bahwa kedua pulau tersebut merupakan milik Malaysia maka akhirnya Mahkamah Internasional menyatakan kedua pulau merupakan milik sah negeri jiran. Sungguh merupakan kenyataan yang sukar diterima karena ternyata warga yang tinggal di kedua pulau tersebut lebih memilih sebagai warga negara Malaysia dibandingkan menjadi warga Negara Indonesia” demikian pernyataan penyaji dalam seminar bulanan yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan, pada hari Kamis, tgl 15 September 2011. Seminar yang telah menjadi tradisi rutin setiap bulan tersebut, pada kesempatan itu menampilkan dua orang narasumber yaitu Drs. Suharman, M.Si dosen Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM yang juga wakil kepala PSPK UGM dan Alpius Sarumaha, S.H, M.H. Kasubag Perundang-Undangan, Sekretariat Dewan Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara, dengan mengangkat topik “ Problematika Pembangunan di Pulau-Pulau Terluar”.
“Kecenderungan untuk memilih menjadi warga negara tetangga bukan hanya terjadi di kedua pulau tersebut namun juga terjadi di beberapa wilayah terdepan Indonesia. Bahkan pernah ditemukan kasus ada warga Negara Indonesia yang berani menggeser patok batas wilayah NKRI hanya karena ia ingin masuk menjadi warga negara Malaysia. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah mereka memang tidak memiliki sikap nasionalisme/sikap cinta tanah air?” lanjut penyaji. “Bila kita mau bersikap jujur, maka kita akan menemukan bahwa semua itu terjadi bukan semata-mata karena kesalahan mereka, tetapi juga karena kesalahan negara (pemerintah Indonesia). Selama ini pemerintah Indonesia kurang optimal dalam mengelola daerah/pulau terdepan. Apabila dibandingkan dengan kehidupan warga negara Malaysia yang tinggal di daerah perbatasan, maka kehidupan rakyat Indonesia yang tinggal di daerah perbatasan sangat jauh terteringgal. Bukan hanya tingkat kesejahteraan hidup mereka, tetapi juga ketersediaan sarana dan prasarana umum. Sudah menjadi rahasia umum bahwa akibat keterbatasan sarana dan prasarana transportasi ke pusat-pusat ekonomi Indonesia, banyak warga negara Indonesia yang tinggal di perbatasan yang lebih suka melakukan aktivitas ekonomi ke negeri tetangga. Mereka lebih suka mencari pekerjaan di negeri tetangga dan membeli kebutuhan hidup dari pasar yang ada di negeri tetangga. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa di wilayah perbatasan kita lebih mudah menemukan produk-produk negeri jiran di pasaran dibandingkan produk-produk dalam negeri karena di pasar tersebut lebih banyak beredar produk-produk dari negeri tetengga.
“Kesenjangan ekonomi merupakan faktor yang dapat menjadi penyebab hilangnya/lepasnya sebagian wilayah Indonesia. Pada saat ini agresi militer dari negara tetangga bukan lagi menjadi faktor utama yang menjadi penyebab hilangnya wilayah suatu negara, namun faktor ekonomi/kemiskinan yang dialami oleh warga masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Merupakan hal yang wajar apabila seseorang ingin hidup sejahtera, lepas dari belenggu kemiskinan, meskipun kadang kala mereka harus rela mengorbankan rasa nasionalisme, rasa cinta tanah air, untuk dapat meraih hal tersebut. Bukan sepenuhnya kesalahan mereka bila akhirnya mereka memilih negeri tetangga sebagai negeri mereka, karena mereka merasa selama ini tidak menjadi bagian dari NKRI karena sama sekali tidak diperhatikan oleh pemeritah. Kita harus jujur bahwa selama ini pemerintah Indonesia masih mengabaikan mereka, saudara-saudara kita yang berada di daerah terdepan/daerah perbatasan. Apabila kita tidak kehilangan mereka karena mereka lebih suka menjadi bagian neraga tetangga maka kita harus mau mengubah paradigm pembangunan yang selama ini dilaksanakan. Kita tidak boleh lagi memberikan perhatian lebih pada wilayah/daerah tertentu, sementara ada wilayah/daerah lain yang sama sekali terabaikan. Pemerataan pembangunan harus menjadi fokus utama. Jangan lagi negara hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, namun mengabaikan aspek pemerataan hasil-hasil pembangunan. Sebab apabila paradigma pembangunan tersebut tidak segera diubah niscaya akan semakin banyak wilayah/daerah yang ingin lepas dari NKRI” terang penyaji.
Dalam sesi kedua, Alpius Sarumaha, S.H, M.H, mamaparkan kondisi Nias terkini dan problematika pembangunan yang dialaminya. Pasca bencana Gempa yang terjadi tahun 2006, Nias menjadi wilayah yang terkenal. Banyak pihak yang memberi perhatian dan bantuan. Namun sungguh sangat disayangkan karena ternyata perhatian dan bantuan yang berlebih tersebut justru menjadi boomerang yang menghancurkan tatanan sosial budaya masyarakat Nias. Pada masa sebelum gempa, warga masyarakat Nias hidup sejahtera dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada di daerah tersebut. Sebagian warga masyarakat hidup dengan menjadi nelayan, sebagian lain menjadi petani atau pekebun. Kehidupan masyarakat Nias berjalan normal, selaras dengan alam. Namun pasca bencana gempa kehidupan masyarakat Nias mengalami perubahan drastis. Banyak warga yang meninggalkan sumber penghidupan yang lama dan menekuni pekerjaan yang baru. Banyaknya proyek rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilaksanakan pasca bencana gempa yang membutuhkan banyak tenaga kerja telah mendorong orang-orang Nias untuk ikut bekerja di proyek tersebut. Upah yang relatif tinggi telah menyebabkan mereka enggan untuk melaksanakan pekerjaan lama mereka dan lebih suka bekerja di proyek-proyek. Akhirnya hal itu menyebabkan mereka sangat tergantung dengan produk dari luar pulau Nias guna memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Karena biaya transportasi antara Pulau Nias dengan daerah luar relatif mahal maka wajar apabila harga berbagai komoditas di pasar Nias menjadi mahal. Selama proyek rehabilitasi dan rekonstruksi berlangsung mahalnya harga berbagai komoditas di pasar Nias bukan menjadi masalah karena mereka memiliki banyak uang yang diperoleh dari bekerja di berbagai proyek rehabilitasi dan rekonstruksi. Namun sangat disayangkan ternyata penghasilan yang realatif tinggi tersebut tidak dapat berlangsung lama. Setelah program rehabilitasi dan rekonstruksi berakhir, mereka kehilangan sumber pendapatan. Karena harga komoditas di pasar relatif tinggi maka mereka tidak mampu lagi untuk membeli komoditas tersebut. Oleh karena itu wajar apabila pada saat ini semakin banyak warga yang hidup kekurangan karena tidak mampu membeli kebutuhan hidup di pasar.
Masalah lain yang terjadi di Pulau Nias adalah keterbatasan SDM yang berkualitas. Kekurangan sumber daya manusia yang berkualitas semakin terasa ketika ada kebijakan pemekaran wilayah menjadi 3 kabupaten dan satu kota. Karena keterbatasan sumber daya maka banyak jabatan struktural yang diisi oleh orang yang tidak berkompeten. Banyak guru yang diangkat menjadi pejabat structural sehingga akhirnya sekolah-sekolah kekurangan guru. Untuk mengatasi masalah tersebut akhirnya pemerintah daerah mengangkat guru-guru honorer. Namun sayang akibat keterbatasan sumber daya manusia yang memenuhi kualifikasi sebagai guru (lulusan pendidikan guru), banyak guru honorer yang hanya lulusan sekolah menengah atas. Apabila kondisi ini dibiarkan terus dan tidak segera dicarikan solusinya maka wajar apabila akhirnya terjadi penurunan kualitas SDM.
Masalah lain yang perlu segera dicarikan pemecahannya adalah masalah transportasi. Sarana dan prasarana transportasi yang kurang memadai telah menyebabkan biaya transportasi keluar daerah menjadi relatif mahal. Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah mahalnya harga berbagai komoditas perdagangan di pasar lokal. Keterbatasan sarana dan prasarana transportasi juga menyebabkan berbagai potensi yang ada di pulau Nias tidak dapat dikembangkan secara maksimal. Berbagai produk perkebunan/pertanian tidak dapat dipasarkan ke luar daerah sehingga tidak memiliki nilai jual yang dapat menguntungkan warga Nias.
Masalah lain yang dihadapi oleh masyarakat Nias adalah masalah kultural. Di masyarakat Nias berkembang nilai budaya yang mengganggap bahwa keberhasilan seseorang terlihat dari pekerjaan mereka. Seseorang dikatakan berhasil apabila pekerjaannya adalah pegawai negeri sipil. Oleh karena itu wajar apabila banyak lulusan sekolah/perguruan tinggi yang menggangur dan tidak mau bekerja apabun karena hanya menunggu kesempatan menjadi PNS. Banyak potensi SDM yang sebenarnya bisa dikembangkan untuk menggerakkan roda perekonomian daerah dengan menjadi petani, pengusaha atau pedagang hilang karena mereka enggan untuk menekuni bidang tersebut. Nias tidak akan bisa mau bila sikap hidup ini tidak segera diubah.*