Kamis, 7 November 2019 Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) mengadakan seminar bulanan Rural Corner dengan mengangkat tema “Pembangunan Kawasan Perdesaan: Isu dan Tantangan ke Depan.” Susilo Ari Wibowo, SE, MM (Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dalduk & KB Kabupaten Kulonprogo), serta Warudi (Kepala Desa Banjararum, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo) hadir sebagai pemantik materi dengan dimoderatori oleh Afwan Shoffwan, S.Sos (Peneliti Muda PSPK UGM).
Mengawali pemaparannya, Susilo Ari Wibowo menjelaskan pengertian kawasan perdesaan, yaitu kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perdesaan, pelayanan jasa, pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Pengertian kawasan perdesaan tersebut mengacu pada UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 1. Sementara itu, pembangunan kawasan perdesaan merupakan pembangunan antar desa yang dilakukan dalam rangka mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa melalui pendekatan partisipatif yang dilaksanakan pada kawasan perdesaan tertentu yang ditetapkan oleh bupati/ walikota (pasal 83 UU No. 6 Tahun 2014).
Dalam pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan, desa dapat mengadakan kerjasama dengan desa lain ataupun pihak ketiga, di bidang pengembangan usaha bersama yang dimiliki oleh desa, kegiatan kemasyarakatan, pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat antar desa, serta bidang keamanan dan ketertiban. Selain pemerintah desa, berbagai pihak yang sering terlibat dalam pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan adalah Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Pusat. Guna memperlancar koordinasi dalam pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan, maka dibentuk Tim Koordinasi Pembangunan Kawasan Perdesaan (TK PKP) di level kabupaten dengan Surat Keputusan (SK) Bupati, TK PKP level provinsi dengan SK Gubernur dan TK PKP level pusat dengan SK Menteri. Selain menggunakan dana dari pihak pemerintah, pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan juga bisa mempergunakan dana dari pihak ketiga misalnya dengan skema CSR, swadaya, dan sumber dana lainnya.
Beberapa isu yang muncul dan menjadi fokus dalam pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan antara lain: kemiskinan dan urbanisasi tenaga kerja, sumber daya (komoditas unggulan, wisata, serta budaya masyarakat), hingga program bedah menoreh (kawasan strategis pariwisata nasional dengan pembangunan jalan penghubung antara Yogyakarta International Airport dan Borobudur). Sedangkan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan menurut Susilo adalah komitmen desa-desa selaku anggota kawasan perdesaan, konsistensi dan konvergensi stakeholder dalam pendampingan, kemampuan dalam percepatan dan peningkatan kualitas pelayanan serta pemberdayaan partisipatif, dan persaingan dunia usaha.
Untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan maka perlu ada payung hukum baik di tingkat desa maupun supra desa. Beberapa produk hukum yang diperlukan untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan desa antara lain: di tingkat desa, diperlukan peraturan desa tentang kerjasama desa dan peraturan desa tentang pembentukan BUMDes Bersama. Kemudian di tingkat kawasan, dibutuhkan peraturan bersama kepala desa (permakades) tentang kerjasama antar desa pembangunan kawasan perdesaan, permakades tentang pembentukan BUMDes Bersama, dan permakades tentang penetapan AD/ART BUMDes Bersama. Sementara untuk di tingkat kabupaten, SK Bupati tentang penetapan lokasi pembangunan kawasan perdesaan, dan SK Bupati tentang pembentukan tim koordinasi pembangunan kawasan perdesaan (TK PKP) baik di level kawasan maupun kabupaten.
Beberapa program pembangunan kawasan perdesaan yang sudah dilaksanakan oleh desa-desa yang tergabung dalam Agrowisata Menoreh Terpadu antara lain: pembangunan pusat perkebunan durian, pusat pemasaran prukades, pusat perkebunan kakao, pusat penelitian dan pengembangan perkebunan, pusat penyimpanan dan pengolahan produk kakao-kopi-durian dan pengembangan pengelolaan wisata, pembangunan rumah pajang, penguatan kapasitas kelompok, hingga penguatan kapasitas pengurus BUMDes.
Sementara itu, Warudi memaparkan tentang pembentukan BUMDes Bersama oleh desa-desa yang tergabung dalam pembangunan kawasan perdesaan Agrowisata Menoreh Terpadu. Untuk modal BUMDes Bersama, tiap desa menyetorkan dana sebagai penyertaan modal sebesar Rp10.000.000. Pada tahun 2018, BUMDes Bersama mendapat bantuan modal dari kementrian sebesar Rp350.000.000,- untuk pembangunan rumah pajang produk unggulan desa. Pembangunan rumah pajang tersebut bertujuan untuk memfasilitasi pemasaran produk UMKM di desa-desa yang tergabung dalam Agrowisata Menoreh Terpadu.
Meskipun sudah dapat membangun rumah pajang dan membantu pemasaran produk-produk UMKM, Warudi berharap peran BUMDes Bersama dapat ditingkatkan. Ada beberapa tantangan yang harus dilalui agar BUMDes Bersama dapat berperan optimal dalam pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan, salah satu contohnya adalah problematika ego sektoral tiap desa. Tingginya ego sektoral tersebut menyebabkan masing-masing desa hanya mengutamakan kepentingan desanya. Hal ini menyebabkan BUMDes Bersama tidak dapat berkembang secara maksimal. Untuk mengatasi persoalan tersebut maka perlu ada sinergi dari semua desa dalam mengembangkan BUMDes Bersama.
Dalam sesi diskusi, Sumantara menyampaikan opini terkait jenis usaha BUMDes Bersama. Ia berpendapat seharusnya jenis usaha yang dipilih oleh BUMDes Bersama tidak mematikan usaha milik warga (UMKM). Sementara itu peserta diskusi lainnya, Thomas, menyampaikan pertanyaan tentang peran pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan pada peningkatan kesejahteraan warga masyarakat. Tak ketinggalan pula, Endah, peserta diskusi yang berprofesi sebagai pendamping desa, menanyakan persoalan pemasaran sayuran produk kelompok di Desa Banjararum.
Menanggapi opini dan pertanyaan dari peserta diskusi, Susilo menyampaikan bahwa pemilihan jenis usaha BUMDes Bersama dilakukan berdasarkan potensi yang ada di desa-desa yang tergabung dalam pembangunan kawasan. Bahkan sebisa mungkin jenis usaha yang dipilih bisa turut membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh warga masyarakat. Sebagai contoh, BUMDes Bersama Agrowisata menoreh Terpadu memfasilitasi para petani agar tidak terjerat rentenir karena menjual produk dengan sistem ijon melalui pinjaman modal yang akan dikembalikan oleh para petani paska panen. Petani juga dapat menjual produk mereka kepada BUMDes Bersama dengan harga sesuai kesepakatan.
Terkait dengan peran pembangunan kawasan perdesaan pada peningkatan kesejahteraan warga masyarakat, Warudi menyampaikan bahwa pembangunan kawasan perdesaan telah dapat meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat. Banyak UMKM yang muncul dan mengalami kemudahan dalam pemasaran produk karena difasilitasi oleh BUMDes Bersama. Sementara itu, terkait dengan pemasaran produk petani sayur, Warudi menyampaikan bahwa hingga saat ini para petani sayur tidak mengalami kendala dalam pemasaran produk. Selain dibeli oleh para aparat sipil negara, produk tersebut juga dibeli oleh para pengunjung dari berbagai daerah yang sedang melaksanakan studi banding ke BUMDes Bersama Agrowisata Menoreh Terpadu. [Mulyono]