“Bangsa Indonesia sejak dahulu terkenal sebagai bangsa yang ramah terhadap bangsa lain. Setiap orang asing yang datang ke bumi Nusantara disambut dengan tangan terbuka. Bahkan terhadap orang atau bangsa asing yang datang dengan maksud jahat. Kita baru sadar dan berani melakukan perlawanan setelah kita terlanjur ditindas oleh bangsa asing tersebut, sehingga perlawanan itu membutuhkan pengorbanan yang besar dan berdarah-darah” demikian pernyataan penyaji dalam seminar bulanan yang diselenggarakan oleh PSPK UGM pada hari Kamis, tanggal 5 Januari 2012 di ruang sidang besar kantor tersebut. Seminar yang telah menjadi kegiatan rutin setiap bulan tersebut, pada kesempatan itu menampilkan seorang narasumber Prof. Dr Pratikno, M. Soc. Sc, guru besar jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, yang juga pejabat dekan di Fakultas tersebut. Topik yang diangkat dalam seminar yang diselenggarakan pada sore hari tersebut adalah “Tantangan Politik dan Nasionalisme Indonesia 2012″.
Keramahan bangsa Indonesia terhadap bangsa atau orang asing terus berlanjut hingga saat ini, pada saat Bangsa Indonesia telah memasuki era kemerdekaan. Setiap pihak luar/asing yang datang ke negeri ini disambut dengan baik meskipun kedatangannya membawa misi terselubung, sebuah misi yang sangat merugikan kedaulatan bangsa Indonesia. Memang pada saat ini ancaman bangsa/orang asing terhadap negeri ini bukan lagi dalam bentuk agresi yang bertujuan untuk menguasai secara de fakto negeri yang terkenal subur makmur ini, sehingga kita “bangsa Indonesia” sama sekali kehilangan kedaulatan sebagai sebuah bangsa dan menjadi bangsa jajahan. Pengaruh bangsa asing tersebut datang dan merasuk ke bumi nusantara secara halus tanpa kita sadari melalui berbagai bentuk kerja sama yang mereka tawarkan. Namun demikian dampak yang ditimbulkan oleh “agresi” terselubung tersebut sungguh luar biasa. Kita saat ini memang tidak kehilangan kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka, namun dalam praktek kehidupan sehari-hari kita bangsa Indonesia sebenarnya telah kehilangan kedaulatan tersebut. Pengaruh bangsa asing yang pada saat ini merasuk ke urat nadi kehidupan bangsa Indonesia, tanpa disadari telah menghilangkan kedaulatan bangsa Indonesia dalam berbagai bidang/aspek misalnya bidang energi, pangan, kesehatan, pendidikan, ekonomi/moneter dll.
Kita harus berani secara jujur mengakui bahwa dalam bidang energi, saat ini bangsa Indonesia telah kehilangan kedaulatan. Sungguh menyedihkan, kita sebagai bangsa yang kaya dengan sumber energi, baik yang terbarukan maupun yang tak terbarukan, sering kali mengalami krisis energi. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Walhi, Indonesia merupakan negeri yang memiliki 60 ladang minyak (basins) dengan cadangan minyak sekitar 77 milyar barel dan 332 trilyun kaki kubik (TFC) gas. Sebuah angka yang sangat mengagumkan namun kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari kita sering menyaksikan melalui media massa terjadinya kelangkaan pasokan BBM di berbagai pelosok tanah air. Akar permasalahannya adalah kita telah kehilangan kedaulatan dalam pengelolaan sumber daya energi yang kita miliki. Selama ini kita tidak mampu mengelola dan mengeksplorasi sendiri ladang minyak yang kita miliki dan menyerahkan sebagian besar pengelolaan dan eksplorasi ladang minyak tersebut pada perusahaan asing. Lemahnya posisi tawar bangsa Indonesia terhadap perusahaan-perusahaan asing tersebut telah menyebabkan kita tidak dapat memetik keuntungan maksimal dari kegiatan eksplorasi tersebut. Sebagian besar keuntungan dinikmati oleh bangsa asing karena sebagian besar hasil eksplorasi diekspor ke negeri mereka. Akibatnya mereka memiliki cadangan energi yang berlimpah ruah, sedangkan kita mengalami krisis energi.
Kedaulatan bangsa Indonesia di bidang pangan pada saat ini juga telah hilang. Kita yang terkenal sebagai bangsa agraris, sebuah bangsa yang sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani, namun ternyata telah menjadi bangsa pengimpor bahan pangan terbesar di dunia. Pada tahun 2011 bangsa Indonesia telah mengimpor beras sebanyak 1,75 juta ton beras. Sebuah angka yang sangat fantastis sehingga mengantarkan kita sebagai salah satu bangsa pengimpor pangan terbesar di dunia. Kondisi ketergantungan bangsa Indonesia terhadap bahan pangan dari luar negeri tidak hanya terjadi dalam komoditas beras tapi juga dalam komoditas lain seperti kedelai, jagung, kentang, singkong, the, bawang putih, bawang merah, cabe, ikan, bahkan garam dapur. Sungguh menyedihkan bangsa Indonesia yang memiliki negeri yang sebagian besar wilayahnya berupa lautan dan memiliki garis pantai terpanjang di dunia ternyata melakukan impor garam guna memenuhi kebutuhan garam rakyatnya.
Kedaulatan bangsa Indonesia di bidang kesehatan juga telah hilang. Pada saat ini rakyat Indonesia belum dapat menikmati pelayanan kesehatan yang murah. Hal itu bukan karena cost atau biaya yang dikeluarkan oleh dokter dan unit pelayanan kesehatan guna melayani pasien relatif tinggi, melainkan karena pasien harus menanggung biaya pengobatan yang sebenarnya tidak perlu. Berbeda dengan dokter di negara maju yang hanya menganjurkan pasien untuk mengkonsumsi obat antibiotik pada saat tertentu, di Indonesia setiap orang yang sakit karena virus atau bakteri selalu diwajibkan untuk minum obat antibiotik, meskipun sebenarnya obat tersebut tidak perlu. Ketika ditelusuri lebih dalam, anjuran dokter pada pasien untuk minum obat atau antibiotik bukan sepenuhnya didasari oleh faktor medis semata, tetapi juga didasari oleh faktor lain yaitu keuntungan finansial yang akan diperoleh bila pasien mengkonsumsi obat. Harus diakui bahwa pada saat ini banyak dokter yang melakukan “perselingkuhan” dengan pengusaha obat. Selain menjalankan tugas profesi, mereka bekerja sama dengan perusahaan untuk memasarkan obat yang diproduksi oleh perusahaan tersebut, dengan imbalan sejumlah fee. Akhirnya pasien yang menjadi korban karena harus menanggung biaya yang sebenarnya tidak perlu.
Kedaulatan bangsa Indonesia di bidang pendidikan di era sekarang ini juga sangat lemah. Hingga usia kemerdekaan Indonesia mencapai 66 tahun rakyat Indonesia juga belum dapat menikmati pendidikan yang murah. Oleh karena itu wajar bila masih banyak rakyat Indonesia yang memiliki latar belakang pendidikan rendah. Arus kapitalisasi di dunia pendidikan semakin menyingkirkan sebagian besar rakyat Indonesia dari kesempatan untuk mengenyam pendidikan murah karena orientasi utama lembaga pendidikan yang memiliki orientasi kapital bukan lagi menjalankan misi kemanusiaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa namun semata-mata untuk mencari keuntungan. Ironisnya proses kapitalisasi ini bukan hanya terjadi di sekolah/perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pihak swasta, namun juga telah melanda banyak sekolah/ erguruan tinggi negeri.
Kedaulatan bangsa di sektor ekonomi/moneter juga telah luntur tergerus derasnya pengaruh yang datang dari luar. Kita sering mendengar pejabat negara dengan bangga menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi. Namun kita tidak menyadari siapa sebenarnya yang memetik keuntungan dari pertumbuhan ekonomi tersebut, kita bangsa Indonesia ataukah bangsa lain. Harus jujur pula kita akui bahwa sebenarnya yang memetik keuntungan besar dari pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah bangsa asing. Hal itu karena sebagian besar pelaku ekonomi dalam negeri adalah orang asing. Privatisasi BUMN telah menyebabkan perusahaan-perusahaan tersebut menjadi kepanjangan tangan dari pihak asing untuk mengeruk keuntungan ekonomi di dalam negeri. Kondisi ini semakin diperparah oleh kenyataan semakin banyaknya perusahaan domestik yang diakuisisi atau dibeli oleh pemodal dari luar negeri. Bila dilihat dari luar perusahaan-perusahaan tersebut masih dikelola oleh orang-orang Indonesia namun karena sahamnya telah dimiliki oleh pihak asing maka otomatis keuntungan yang diperoleh perusahaan akan dimiliki oleh pihak asing tersebut. Orang-orang Indonesia yang bekerja diperusahaan tersebut hanya menjadi pekerja yang mendapat upah, namun mereka sama sekali tidak memiliki hak untuk menikmati keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan tersebut.
Dari semua bidang kehidupan yang telah mengalami “agresi” dari pihak asing, bidang politik merupakan bidang yang paling menyedihkan karena memiliki dampak yang sangat luas bagi kehidupan bangsa Indonesia. Selama ini bangsa Indonesia memang memiliki pemerintah/penguasa sebagai pemegang mandat kekuasaan negara yang dipimpin oleh putra-putra bangsa. Namun kita harus mengakui bahwa selama era kemerdekaan, lebih-lebih di era Orde Baru dan Orde Reformasi pemerintah sebagai pemegang mandat kekuasaan dari rakyat tidak dapat sepenuhnya menegakkan kedaulatan politik yang dimiliki. Setiap awal tahun pemerintah Indonesia memang merumuskan kebijakan pemerintahan sebagai pedoman dalam menjalankan pemerintahan. Namun dengan jujur harus kita akui bahwa selama ini pemerintah belum dapat sepenuhnya merumuskan dan melaksakan kebijakan pemrintahan yang dapat mensejahterakan rakyat. Banyak kebijakan yang diambil yang justru menyengsarakan rakyat. Banyak kasus yang dapat disebut sebagai contoh dari adanya kebijakan pemerintah yang justru menyengsarakan rakyat, misalnya kebijakan pembukaan lahan perkebunan di Mesuji Lampung dan kebijakan ekplorasi SDA di Papua.
Akar Permasalahan dan Solusi
Sebenarnya masih banyak hal yang dapat disebut untuk menggambarkan telah hilangnya kedaulatan bangsa Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan negeri ini, namun bila hal tersebut terus kita bahas maka yang muncul bukan lagi kebahagian namun rasa sedih dan frustasi. Oleh karena itu, marilah sekarang kita mencoba untuk menemukan akar permasalahan dari semua masalah tersebut agar nantinya kita dapat menemukan solusi dari berbagai masalah itu.
Menurut hemat saya, akar dari munculnya berbagai masalah dalam kehidupan bangsa Indonesia adalah adanya konsep nasionalisme yang tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Selama ini kita hanya memfokuskan konsep nasionalisme dalam tataran domestik, yaitu satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Semua kebijakan yang diambil oleh negara terkait dengan sikap nasionalisme terpaku pada upaya untuk mewujudkan hal tersebut. kurikulum pendidikan di Indonesia sebagai salah satu contoh kebijakan negara yang berkaitan dengan nasionalisme, masih terfokus pada upaya untuk menanamkan dalam diri anak didik konsep nasionalisme yang bertumpu pada upaya mewujudkan kesatuan tersebut, yaitu satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Kurikulum pendidikan kita belum mengajarkan bahwa dalam kesatuan sebagai bangsa, bangsa Indonesia juga hidup diantara banyak bangsa yang masing-masing memiliki kepentingan. Dalam era globalisasi, kita tidak dapat menutup diri dari pergaulan dunia sehingga mau tidak mau kita harus bergaul dengan bangsa-bangsa lain dengan berbagai kepentingan mereka. Karena kepentingan banga asing tidak selalu jalan dengan kepentingan domestik bangsa Indonesia maka setiap anak didik seyogyanya dididik dan diajari konsep nasionalisme yang tidak hanya mengajarkan nilai persatuan tetapi juga nasionalisme yang mampu memberi kekuatan pada mereka untuk menolak intervensi/pengaruh bangsa lain yang akan merugikan bangsa Indonesia. Kita tidak hanya mendidik anak-anak kita untuk menjaga persatuan namun juga mendidik mereka untuk menolak setiap pengaruh dari luar negeri yang akan merugikan bangsa ini. Sebagai contoh, kalau kita bisa menggunakan produk dalam negeri mengapa kita harus “cinta mati” dengan produk asing.
Langkah lain yang harus ditempuh untuk mengembalikan kedaulatan bangsa yang telah dirampok oleh bangsa asing adalah memilih pemimpin-pemimpin bangsa yang memiliki karakter yang mampu bersikap tegas terhadap pihak lain yang akan merugikan kepentingan dalam negeri. Pemimpin tersebut juga harus mampu menghentikan “perselingkuhan” yang telah dilakukan oleh para elit politik dengan para “cukong”/pelaku ekonomi yang telah menyebabkan tingginya biaya politik dalam proses perpolitikan di negeri ini dan juga telah menyengsarakan rakyat Indonesia. “Kita harus jujur bahwa “perselingkuhan’ antara pemegang kekuasaan dengan pelaku ekonomi telah menyebabkan lahirnya berbagai kebijakan negara yang tidak berpihak pada rakyat dan malah menyengsarakan rakyat.”, demikian ajakan penyaji sebelum seminar sore tersebut ditutup.