Oleh: Prof. Dr. Susetiawan
KETIKA menyimak berbagai pemberitaan, berita tentang perilaku dehumanisasi, yang merugikan masyarakat merebak dimana-mana. Seperti fraud (penipuan, penggelapan), korupsi termasuk pelanggaran terhadap aturan yang disengaja. Dan berbagai tidakan kekerasan lainnya mewarnai kehidupan sehari-hari, yang membuat hidup tidak aman dan nyaman. Tidak tanggung-tanggung, perbuatan seperti ini dilakukan aparatur negara sampai dengan masyarakat biasa. Korupsi misalnya. Upaya pemberantasan oleh KPK tidak begitu saja mulus. Usaha ‘membunuh’ KPK dilakukan politisi secara sistematis. Kekerasan terhadap Novel Baswedan, salah seorang penyidik KPK, tidak jelas bagaimana diselesaikan Kepolisian.
Banyak perilaku amoral, yang tidak akan cukup bila ditorehkan. Ironisnya, terjadi dalam Negara Pancasila, dimana tidak ada warga negara yang tidak beragama. Jumlah masjid, gereja dan sarana ibadah, demikian juga para ustad, kyai, pastor dan pendeta bertambah banyak jika dibandingkan dengan masa lalu. Agama kelihatannya belum mampu membendung tindakan amoral yang kian meningkat. Pertanyaannya, institusi macam apa seharusnya bertanggung jawab untuk membangun moralitas?
Indikator Utama
Sejak awal hingga kini pembangunan di Indonesia tidak dirancang untuk membangun moralitas. Pencapaian perkembangan ekonomi menjadi indikator utama keberhasilan bangsa, yang kelihatannya mengabaikan pentingnya moralitas dalam perilaku pembangunan. Rencana strategis bagaimana membangun moral tidak ditemukan dalam perencanaan pembangunan bangsa. Sekurang-kurangnya, moralitas itu menunjuk pada penilaian benar-salah dan baik-buruk sebuah perbuatan. Benar-salah dapat dinilai dari banyak sedikitnya perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan. Sedang baik buruk mendasarkan diri pada nilai yang telah disepakati dalam kehidupan bermasyarakat.
Kata moralitas sangat erat kaitannya dengan menghormati, menghargai dan menyelamatkan manusia dari perbuatan manusia, yang secara sengaja merampas hak-haknya. Tanpa moralitas, bertambahnya penduduk yang pesat, kebutuhan yang semakin kompleks dan berkembangnya teknologi informasi melalui media elektronik, akan membuat orang dengan mudah melakukan perbuatan mulai membuli sampai melakukan penipuan tanpa rasa bersalah. Demikian halnya dengan para pelaksana program pembangunan, para penegak hukum, politisi, yang berkaitan dengan pelaksanaan program pembangunan dapat melakukan korupsi, manipulasi, gratifikasi dengan anggapan sebagai kewajaran. Meskipun banyak pelaku yang masuk penjara, ada juga yang lolos, seperti kasus Setya Novanto.
Tanggung jawab Institusi
Sekurang-kurangnya ada beberapa institusi yang dapat menjadi saluran membangun moralitas. Pertama, agama seharusnya menjadi institusi yang paling berkompeten untuk membangun moralitas, sayang kehadirannya masih jauh dari harapan. Karenanya, revitalisasi ajaran keagamaan sangat diperlukan. Bagaimanapun agama hanya merupakan metode agar manusia sampai pada tujuan hidup, yakni kesempurnaan diri. Sempurnanya diri itu dicapai dengan cara memuliakan Tuhan, yakni menjauhi larangannya dan menjalankan perintahnya, salah satunya adalah menyelamatkan mahluk hidup dan lingkungan yang diciptakanNya. Penyelamatan kemanusiaan seharusnya mendapat porsi tertinggi dalam siar keagamaan karena ajaran ini adalah mengasah batin untuk menuju moralitas dan bukan intoleransi.
Kedua, pendidikan baik formal, informal maupun non formal bukan hanya memberi pelajaran mengasah otak melainkan juga batin. Pelajaran yang mengajarkan kecintaan terhadap kemanusiaan, penuh toleransi dan kepedulian terhadap sesama serta lingkungan. Ketiga, membangun penegakan hukum positif yang tidak dapat diintervensi siapapun, tidak ada orang yang kebal hukum sekalipun itu pejabat tinggi. Hukum itu dirancang untuk menjamin keadilan demi pembelaan terhadap hak-hak kemanusiaan. Pelanggaran hukum adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Pembangunan tanpa moralitas, itu perusakan. Karenanya, pembangunan dengan membangun moralitas bermakna penyelamatan manusia di masa depan.
Membangun moralitas merupakan persoalan Pembangunan Sosial (PS). Selama ini PS hanya dipahami sebatas bagaimana bekerjanya kebijakan sosial negara dalam melayani masyarakat. PS lebih dipahami sebagai upaya memberdayakan komunitas rentan agar mandiri, yang orientasinya peningkatan kemampuan ekonomi.
Membangun moralitas tidak menjadi sorotan utama. Padahal ini penting digerakkan sebab pembangunan tanpa moralitas tidak akan sampai pada sebuah peradaban. Studi PS, dulu Sosiatri, yang telah berusia 60 tahun di Fisipol UGM kelihatan belum sedikitpun menggarap kajian, pembelajaran dan gerakan membangun moralitas. Ini tantangan masa depan program studi.
(Penulis adalah Kepala PSPK UGM dan Staf Pengajar Prodi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM)
*Sumber: artikel ini dimuat dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 26 Oktober 2017 | Ilustrasi: moralitas/Kompasiana