Memulai awal tahun yang baru, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) mengadakan seminar bulanan Rural Corner bertemakan “Komodifikasi Tanah Kas Desa” pada hari Kamis, 9 Januari 2020. Kegiatan ini berlangsung di Ruang Sartono, PSPK UGM, Bulaksumur G-7 sejak pukul 15.00 hingga 17.30 WIB. Untuk membedah tema yang diangkat, hadir Dr. Bambang Hudayana, MA selaku Tim Ahli PSPK dari Departemen Antropologi UGM serta Muhammad Sugandi, SH, MSi selaku Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kabupaten Sleman. Kegiatan Rural Corner ramai dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan, dari akademisi, praktisi, mahasiswa, hingga khalayak umum yang tertarik dengan isu pedesaan.
Rural Corner dibuka dengan narasi pengantar dari moderator soal urgensi diskusi soal tanah kas desa. Narasi dimulai dari upaya memajukan ekonomi desa yang tidak mudah untuk diraih, terdapat banyak cara untuk meningkatkan perekonomian wilayah pedesaan, salah satunya adalah pemanfaatan potensi desa lewat aset yang dimiliki. Salah satu aset desa tersebut adalah tanah kas desa yang merupakan tanah negara yang diserahkan kepada pemerintah desa untuk dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan yang potensial. Namun, dalam pemanfaatan tanah kas desa tidak selalu berpihak kepada kepentingan dan kesejahteraan masyarakat desa. Walaupun sudah diatur dalam hukum sebagaimana seharusnya memanfaatkan tanah kas desa, gejala komodifikasi tanah kas desa kerap terjadi di berbagai desa.
Masuk ke sesi pemateri, Dr. Bambang Hudayana, MA mendapat kesempatan pertama untuk menyampaikan materi soal tema “Komodifikasi Tanah Kas Desa”. Beliau memaparkan bahwa peningkatan nilai ekonomi dalam konteks meningkatnya nilai ekonomi pasar, mempengaruhi fungsi tanah untuk kesejahteraan bersama. Ada kecenderungan tanah tersebut dipakai oleh kelompok tertentu atau agen-agen yang mengontrol jalannya pemerintahan desa. Beliau juga menekankan pentingnya diskusi ini karena berpengaruh atas kesejahteraan masyarakat kecil. Dr. Bambang menyajikan beberapa persoalan yang terjadi akibat konflik tanah yang diambil dari publikasi media massa.
Sajian tersebut berfokus pada empat aspek pemanfaatan komodifikasi; komodifikasi tanah kas desa sebagai korupsi melalui penjualan, korupsi melalui skema tukar guling, legitimasi kepentingan pemerintah, dan lewat penyewaan. Komodifikasi lewat publikasi media massa diramaikan oleh korupsi kepala desa atau aparatur pemerintahan setempat diikuti oleh administrasi desa yang amburadul atau minimalis. Dalam praktik korupsi tersebut, yang sering dijatuhi hukuman barulah oknum kepala desa, padahal disinyalir banyak pemain di belakangnya. Kasus-kasus korupsi di desa kebanyakan baru terkuak setelah pelaku turun tahta, dibantu dengan kejelian masyarakat dalam melihat kecurangan.
Kelemahan administrasi di pedesaan dimanfaatkan oleh kepala desa untuk menutupi biaya menjadi elit desa. Mencari keuntungan pribadi, sistem administrasi yang kacau, banyak pengusaha mencari tanah, supply dan demand terpenuhi. Pemerintah desa menjadi agen penting atas komodifikasi tanah. Dr. Bambang mengamati bahwa komodifikasi sudah berjalan sejak era orde baru, dan itu diimpikan oleh elit desa untuk meningkatkan kas desa. Sementara setelah reformasi, komodifikasi tanah kas desa masuk ke sektor non-farm dengan alasan yang masih serupa, meningkatkan pemasukan desa.
Jalannya komodifikasi yang sering bersentuhan dengan pihak ketiga (investor atau pengembang) berlatar motif transaksional. Penggunaan tanah kas desa di bidang non-farm lebih menguntungkan daripada farming. Elit politik juga mengamini bahwa tanah kas desa menjadi objek yang menggiurkan untuk dikuasai. Materi dari Dr. Bambang sampai pada kesimpulan bahwa pemerintah sebagai regulator yang mengatur jalannya administrasi desa memilih jalan pragmatis di mana komodifikasi diambil sebagai jalan tercepat meraup keuntungan. Komodifikasi juga identik dengan upaya elit desa untuk menutup biaya pelaksanaan demokrasi yang mahal di desa.
Pemateri kedua, Muhammad Sugandi, SH, MSi meneruskan bahasan yang lalu dengan menjelaskan jika terjadi permasalahan soal tanah kas desa maka akan kembali pada buku-buku tanah desa dan peta-peta lama yang di dalamnya menyediakan angka persil sebagai pedoman. Selain itu, dasar hukum pemanfaatan tanah kas desa diatur dalam Peraturan Daerah Istimewa Daerah Istimewa Yogyakarta No. 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten, serta Peraturan Gubernur DI Yogyakarta No. 34 Tahun 2017, tentang Pemanfaatan Tanah Desa. Dijelaskan di dalamnya, asal-usul tanah kas desa merupakan bagian tanah kasultanan yang dikelola oleh pemerintah desa. Desa sebagai wilayah otonom diperbolehkan mengelola tanah kas desa tersebut sebagai aset desa.
Sugandi menjelaskan bahwa upaya peningkatan ekonomi lewat tanah kas desa menempatkan desa sebagai pelaku yang dapat mendayagunakan asetnya. Memang menginisiasi kemajuan desa perlu waktu untuk mendapatkan hasilnya. Bagaimana desa mendapat keuntungan lewat tanah kas desa yang dikelola, masuknya penyertaan modal, dan aktifnya partisipasi masyarakat menjadi kunci desa melihat potensi yang dapat dikelola. Terkait soal pemanfaatan tanah kas desa, pada sesi tanya-jawab Dr. Bambang kembali menekankan pentingnya keberpihakan terhadap ‘orang kecil’.
“Komodifikasi itu lazim karena industrialisasi itu butuh tanah, tapi sampai mana? Di Indonesia itu banyak industri, tapi banyak orang tidak dapat masuk ke industri tersebut. Jangan sampai tanah habis dipakai industri sehingga orang kecil tidak dapat menjangkau itu. Komodifikasi pasti memakan korban, tapi membutuhkan pagar; yang paling diuntungkan investor, sehingga orang kecil tidak mendapatkan hasil, kecuali pemerintah desa tanggap. Kita tidak semata-mata mencari keuntungan, tapi bagaimana menyentuh orang kecil.”
Selain itu, Muh. Sugandi menambahkan bahwa manfaat pemakaian tanah kas desa tersebut untuk masyarakat, masyarakat desa lah yang diutamakan. Memang yang menjadi tren sekarang ini adalah pemanfaatan tanah desa untuk wisata dan kuliner, keduanya berkesinambungan serta memiliki peluang usaha yang berprofit besar. Diutamakan penggerak usaha tersebut adalah masyarakat setempat, sehingga pemberdayaan berlangsung dengan peran aktif masyarakat.
Diskusi, pembelajaran, dan pengetahuan dari masing-masing pemateri serta peserta yang hadir menambah wawasan baru dalam melihat komodifikasi tanah kas desa. Terdapat berbagai aspek yang dapat menjadi pertimbangan fenomena tersebut. Perlu digarisbawahi, keutamaan pemanfaatan aset desa adalah untuk kesejahteraan masyarakat desa dengan peran aktif masyarakat yang berdaya. Gagasan-gagasan yang muncul dalam Rural Corner kali ini diharap bisa memberikan angin segar bagi pemangku kepentingan untuk menciptakan ide-ide segar demi mencapai kemajuan desa. [Afif]