“Pada saat ini kondisi kaum perempuan di negeri ini memang telah mengalami perbaikan dibandingkan dengan masa-masa dahulu. Kita dapat melihat bagaimana kaum perempuan dapat menikmati hak-hak yang sama dengan kaum laki-kaki, hampir di semua bidang kehidupan. Sebagai contoh kaum perempuan telah merasakan hak untuk mengenyam pendidikan, sebuah hak yang tidak pernah dapat dirasakan ketika negeri ini masih dalam masa penjajahan. Di bidang politik kaum perempuan juga mulai banyak terlibat, lebih-lebih dengan adanya kebijakan nasional yaitu pemberian kuota 30% bagi kaum perempuan untuk duduk di lembaga legislatif. Suatu privilage yang tidak mungkin dirasakan oleh kaum perempuan di masa-masa dulu. Dan masih banyak contoh lain yang dapat memberi gambaran kepada kita bahwa pada masa kini kaum perempuan Indonesia telah memperoleh hak-haknya yang pada masa lalu tidak diberikan. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah semua itu telah menjadi cerminan bahwa pada masa kini kaum perempuan telah benar-benar merdeka, terlepas dari belenggu diskriminasi dan eksploitasi yang selama ini mengekang kebebasan mereka?”, demikian lontaran pertanyaan dari penyaji yang disampaikan dalam seminar bulanan yang dilaksakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan pada hari Kamis, tanggal 22 Desember 2011. Seminar yang diselenggarakan bertepatan dengan perayaan hari ibu tersebut menampilkan seorang narasumber, yaitu Dra. Sri Joharwinarlien, SU, kepala Pusat Studi Wanita UGM sekaligus dosen Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada. Topik yang diangkat pada seminar tersebut adalah “Balada Kembang Bangsa: Memetakan Posisi Perempuan Indonesia dari Masa ke Masa”.
Terkait dengan pertanyaan yang dilontarkan tersebut penyaji menyampaikan jawaban bahwa semua yang telah dialami oleh kaum perempuan pada saat ini ternyata tidak dapat menjadi gambaran bahwa kaum perempuan Indonesia telah menikmati keteraan hak dengan kaum pria dan telah lepas dari belenggu diskriminasi dan exsploitasi. Kita harus jujur bahwa masih banyak perempuan Indonesia yang pada saat ini belum dapat menikmati hak-hak seperti yang dinikmati oleh kaum laki-laki selama ini. Adanya kebijakan kuota 30% bagi kaum perempuan di lembaga legislatif misalnya, belum dapat menjamin bahwa mereka benar-benar akan dapat masuk ke lembaga tersebut karena ternyata dalam implementasinya banyak kebijakan-kebijakan yang justru kontraproduktif dengan kebijakan tersebut. Ketika undang-undang mewajibkan partai politik untuk menempatkan caleg perempuan di nomor jadi, ternyata turun kebijakan dari mahkamah konstitusi yang menentukan bahwa keterpilihan bukan berdasarkan nomor urut, melainkan berdasarkan jumlah perolehan suara. Mereka yang mendapat suara terbanyak yang berhak masuk parlemen. Hal itu jelas memperberat perjuangan caleg perempuan untuk dapat menjadi anggota legislatif karena mereka harus bersaing dengan caleg laki-laki yang pada umumnya memiliki sumber daya yang lebih unggul.
Bagi caleg perempuan yang berhasil memenangkan persaingan dan bisa masuk menjadi anggota lembaga legislatif. Harus jujur diakui bahwa mereka belum dapat berperan secara maksimal dalam memperjuangkan kepentingan kaum perempuan karena masih kuatnya kekuasaan kaum pria. Pada umumnya anggota legislatif perempuan belum mendapatkan kesempatan yang sama untuk berbicara dalam forum persidangan dengan anggota legislatif pria. Setiap kali mereka tampil untuk menyampaikan suaranya, biasanya anggota legislatif dari kalangan laki-laki mencemoohnya sehingga membuat mentalnya jatuh. Mereka kebanyakan hanya dijadikan pemanis ruang sidang saja.
Fakta lain yang dapat memberi gambaran bahwa pada saat ini kaum perempuan Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari belenggu exploitasi dan diskriminasi adalah adanya ketimpangan hak yang diperoleh kaum perempuan dengan kaum laki-laki dalam dunia kerja. Kita tahu bahwa dalam dunia industri kita, banyak pabrik yang memberikan upah pada para buruh perempuan jauh lebih rendah dibandingkan dengan upah yang diterima oleh para buruh laki-laki, meskipun mereka bekerja dalam jenis pekerjaan yang sama dan dalam rentang waktu yang sama. Dalam dunia perbankan misalnya, meskipun pada saat ini semakin banyak kaum perempuan yang mendapat hak untuk bekerja di dunia perbankan namun ternyata mereka hanya mendapatkan jenis pekerjaan yang bergaji rendah dengan beban pekerjaan yang lebih banyak. Teller merupakan jenis pekerjaan yang banyak dipegang oleh pegawai perempuan, sementara pegawai laki-laki lebih banyak yang menjadi supervisor. Ketika jam kerja telah selesai para teller tidak dapat segera pulang karena mereka harus menyelesaikan pekerjaan rekap transaksi yang telah dilakukannya selama hari kerja tersebut. Mereka belum akan dapat pulang selama hasil rekap belum benar. Sementara para pegawai laki-laki telah beristirahat dan ngobrol dengan sesamanya, atau bahkan telah pulang ke rumah. Ini kenyataan yang banyak dialami kaum perempuan.
Bukan hanya dalam ranah publik saja kaum perempuan terdiskrimikasi dan tereksploitasi, tetapi juga dalam ranah domistik. Banyak perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) baik berupa penyiksaan atau pelecehan seksual. Sebagai gambaran belum lama ini kita mendengar adanya kasus perkosaan yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap anak kandungnya, bahkan sampai anak tersebut hamil. Sang anak tidak dapat berbuat banyak karena diancam akan dibunuh oleh sang ayah bila melaporkan hal tersebut kepada ibunya. Ada pula berita tentang seorang istri yang di siksa oleh suami hanya karena masalah sepele. Peristiwa-peristiwa yang seperti ini tidak hanya terjadi satu dua kali, tetapi sudah sering kali terjadi. Hal itu juga membuktikan bahwa pada saat ini masih banyak kaum perempuan yang belum dapat lepas dari belenggu diskriminasi dan eksploitasi.
Akar Masalah
Menurut penyaji sumber atau akar utama dari munculnya masalah eksploitasi dan diskriminasi kaum laki-laki terhadap kaum perempuan adalah kuatnya budaya patriarki di negeri ini. Selama budaya tersebut masih dipegang kuat oleh rakyat Indonesia maka kesetaraan hak antara kaum perempuan dan kaum laki-laki tidak akan dapat tercapai. Bila mau jujur, kaum laki-laki pasti tidak akan rela bila kekuasaan mereka dikurangi untuk diberikan kepada kaum perempuan, karena kekuasaan itu memberikan kenikmatan tersendiri pada kaum laki-laki. Kalau bisa semua kekuasaan ada di tangan kaum laki-laki, sedangkan kaum perempuan tak perlu diberi kekuasaan dan hanya menjadi budak atau pembantu kaum laki-laki saja.
Pada zaman kerajaan dahulu banyak kaum perempuan yang menjadi pembantu/budak raja baik untuk mengurus keperluan rumah tangga istana maupun untuk memuaskan kebutuhan biologis para penguasa. Di masyarakat Jawa sebagai contoh, banyak gadis-gadis desa yang menjadi pelayan sek raja ketika sang raja berkunjung ke desa tersebut, meskipun mereka tidak diangkat menjadi istri dan hanya diberi imbalan uang atau harta saja. Banyak pula gadis-gadis yang tinggal di sekitar kraton yang dipanggil masuk ke istana raja, bukan untuk dinikah oleh raja tetapi hanya menjadi pelayan sek raja. Pada zaman penjajahan banyak pula kaum perempuan yang mengalami nasib hampir sama dengan apa yang dialami oleh kaum perempuan pada masa kerajaan, pada masa penjajahan banyak kaum perempuan yang dijadikan budak sek oleh laki-laki bangsa penjajah. Salah satu sebutan yang populer pada masa itu adalah ‘gundik’ dan jugun ian fu.
Kepedihan yang dialami oleh kaum perempuan terus berlanjut hingga masa kini setelah kita mengenyam kemerdekaan lebih dari 60 tahun. Meskipun bentuk diskrimasi dan exsploitasi yang dialami pada masa kini tidak se-exstrim pada masa lalu, namun harus jujur kita akui bahwa hal itu masih terjadi.
Salah satu langkah yang harus ditempuh agar kaum perempuan Indonesia masa kini dapat terlepas dari belenggu diskrimikasi dan exsploitasi adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia kaum perempuan melalui pendidikan. Banyak kasus exsploitasi dan diskriminasi yang dialami oleh perempuan terjadi karena kualitas SDM perempuan tersebut rendah. Karena tidak berpendidikan maka mereka tidak dapat memperoleh pekerjaan yang dapat menmberikan pendapatan yang layak sehingga mereka sepenuhnya tergantung pada suami. Ketika sang suami melakukan kekerasan terhadap sang perempuan, sang perempuan tidak berani melawan karena ia sangat tergantung pada suaminya. Hal ini tentu tidak akan terjadi bila sang istri memiliki pendidikan sehingga dapat memperoleh pekerjaan yang dapat memberikan penghasilan yang layak bagi dirinya sehingga ia tidak tergantung sepenuhnya pada sang suami. Ketika sang suami akan melakukan kekerasan maka ia dapat melawan karena ia memiliki kemandirian.
Sebagai gambaran exstrim dari kemandirian kaum perempuan berkat pendidikan adalah banyaknya perempuan-perempuan berpendidikan di dunia barat yang tidak mau memiliki suami/ terikat dengan seorang laki-laki. Mereka hidup mandiri, memenuhi semua kebutuhan hidupnya dari gaji yang dia miliki. Karena mereka berpendidikan maka pekerjaan yang diperoleh juga pekerjaan yang dapat memberikan penghasilan yang memadai.
Kita tentu tidak mengharapkan kaum perempuan Indonesia melakukan hal seperti yang dilakukan oleh para perempuan di dunia barat, yaitu tidak mau menikah. Namun kita berharap bahwa para perempuan Indonesia dapat memperoleh kemandirian tanpa melupakan kodratnya sebagai ibu yang memiliki kewajiban untuk melahirkan generasi penerus bangsa. Perempuan Indonesia memiliki panggilan yang berbeda dengan kaum perempuan di belahan dunia lain karena siap daerah memiliki karakter sendiri-sendiri. Peringatan hari ibu yang ditetapkan oleh presiden pertama RI, Ir. Sukarno memiliki dasar filosofi yang berbeda dengan peringatan hari ibu yang dilakukan di belahan dunia lain. Bila di belahan dunia lain pada hari tersebut para ibu dibebaskan dari semua beban pekerjaan rumah tangga dan dilayani laksana ratu oleh sang suami, di negeri ini peringatan hari ibu dilaksanakan secara berbeda, mereka tetap dianjurkan untuk melaksanakan kegiatan atau pekerjaan sehari-hari mereka. Peringatan hari Ibu bagi perempuan Indonesia bukan merupakan hari untuk melepaskan diri sepenuhnya dari tanggung jawab yang dipikul tetapi merupakan momen untuk berjuang, memperjuangkan kehidupan keluarga dan masyarakat yang lebih baik. “Oleh karena itu dalam kesempatan yang baik ini perkenankan saya mengajak seluruh kaum perempuan untuk meningkatkan kualitas SDM dengan meningkatkan pendidikan mereka. Jangan malas untuk sekolah dan meningkatkan kualitas diri melalui berbagai cara misalnya kursus ketrampilan dll, karena hal itu merupakan syarat mutlak bagi kita untuk dapat meraih kemerdekaan lepas dari belenggu diskriminasi dan exsplotasi kaum laki-laki. Kekuasaan yang dikangkangi oleh kaum laki-laki harus kita rebut dengan kemampuan kita, karena dalam dunia politik yang namanya kekuasaan tidak akan pernah diserahkan oleh sang pemegang kuasa. Kita harus merebutnya…” demikian ajakan penyaji sebelum seminar sore itu ditutup.