Kamis, 5 September 2019, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) kembali mengadakan seminar bulanan bertajuk Rural Corner. Pada episode ketiga kali ini, Rural Corner mengangkat tema “Dinamika dan Tantangan Tenaga Pendamping Profesional Desa,” dengan menampilakan AB Widyanta, MA (Tim Ahli PSPK UGM & Dosen Dept. Sosiologi FISIPOL UGM) dan Ayu Nurida Arifiani, SE (Pendamping Desa Pemberdayaan Kecamatan Karanganom, Klaten). Acara yang berlangsung di Ruang Sartono, Bulaksumur G-7 ini dimoderatori oleh Angie Purbawisesa, S.Sos selaku peneliti muda PSPK UGM.
Dalam presentasinya, Ayu Nuridha memaparkan bahwa dana desa dan pendamping desa merupakan hal yang baru bagi perempuan berusia 29 tahun tersebut. Di samping karena profesi pendamping desa merupakan hal baru baginya, para pelaku beserta karakteristik yang terlibat di dalamnya pun juga. Meskipun tidak sedikit pendamping desa yang memiliki latar belakang profesi dalam program PNPM, namun ada pula beberapa pendamping desa yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman dalam melakukan pemberdayaan masyarakat, layaknya jobdesk pendamping desa. Ayu Nuridha sendiri berlatarbelakang praktisi keuangan perusahaan swasta yang bergerak di sektor perdagangan. Sebagai new comer, maka ia dituntut untuk senantiasa belajar seluk-beluk pendampingan desa. Saat bekerja sebagai praktisi keuangan, Ayu Nuridha cukup mempelajari tugas dan tanggung jawab dalam kurun waktu satu minggu. Kini sebagai seorang pendamping desa, ia merasa harus senantiasa belajar demi menjadi pendamping desa yang cakap dalam melaksanakan tugasnya.
Ayu Nuridha merasa banyak persoalan internal desa yang sering kali menjadi kendala saat ia melaksanakan tugasnya. Misalnya, keberagaman latar belakang dan karakteristik kepala desa beserta perangkat desa menyebabkan ada perbedaan persepsi dan perlakuan dalam menanggapi keberadaan, gagasan, bahkan ide pendamping desa. Di satu sisi, ada kepala desa atau perangkat desa yang kooperatif dan akomodatif dengan pendamping desa. Di lain sisi, banyak pula dari mereka yang bersikap sebaliknya. “Hubungan yang tidak sehat akan terlihat dari tidak meratanya pembagian tugas dalam pemerintahan desa. Ada aparat yang sangat dominan dan sebaliknya ada perangkat yang pasif. Hal ini menyebabkan roda pemerintahan desa tidak dapat berjalan dengan baik karena memiliki ketergantungan yang tinggi pada satu orang saja,” ujar Ayu Nuridha.
Meskipun menghadapi berbagai rintangan dan tantangan, namun Ayu Nuridha mampu mengemban dan melaksanakan tugas sebagai pendamping desa dengan baik. Beberapa prestasi yang ia torehkan di tingkat kecamatan yaitu peran-sertanya dalam mendorong berdirinya paguyuban Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) dan Kepala Seksi Desa, BUMDes bersama, serta Karanganom sebagai kecamatan inklusi yang dilaunching pada 2017. Selain itu, ia juga berkiprah dalam mendirikan “inklusi centre” yang memberikan pelayanan gratis kepada penyandang disabilitas, menggagas program desa digital dan menyelanggarakan festival dana desa yang mendorong munculnya berbagai inovasi dalam pemanfaatannya. Sementara untuk kiprahnya level desa, ia mampu melaksanakan berbagai bimbingan teknis bagi aparat desa, pendirian BUMDes, workshop RPJMDes, dan launching beberapa desa digital di Kecamatan Karanganom.
Untuk menggapai berbagai capaian gemilang di atas, Ayu Nuridha memiliki strategi agar mampu mengubah tantangan menjadi peluang dengan mengerjakan apa yang bisa dikerjakan, serta memfasilitasi persoalan yang tidak bisa diselesaikan sendiri untuk mendapatkan solusi dengan melibatkan berbagai stakeholder. Selain itu, ia juga melakukan beberapa langkah terobosan melalui pembentukan Tim Kerja Pendamping Desa yang solid dan terkoordinasi dalam rangka memahami dan memetakan kondisi desa, melakukan kunjungan ke desa secara rutin, melakukan koordinasi dengan kecamatan terkait dengan berbagai persoalan yang dihadapi, mendampingi proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa secara langsung, memberikan penguatan kapasitas kepada pelaku pendampingan di desa, melakukan pengawasan bersama kecamatan, hingga membuat ide-ide kreatif kegiatan agar pemanfaatan dana desa lebih inovatif.
Sementara itu, AB Widyanta memaparkan berbagai temuan mengenai kinerja tenaga pendamping desa yang dilakukannya bersama tim PSPK UGM tahun 2018. Secara garis besar, temuan penelitian yang ia jabarkan mencakup empat persoalan besar yang dihadapi terkait dengan kebijakan pendamping desa, yaitu; Jumlah, Sebaran, Kualifikasi, Honorarium dan Dana Operasional. Penelitian tentang kinerja pendamping desa ini dilaksanakan di Jawa Tengah dengan menggunakan sampel wilayah 12 kabupaten, 24 kecamatan dan 48 desa. Pemilihan sampel desa didasarkan pada pertimbangan tingkat kemajuan desa, yaitu desa maju, sedang dan belum maju. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah tenaga pendamping profesional desa di Jawa Tengah dinilai masih belum mencukupi dibanding dengan luasan wilayah yang ada. Sebagai perbandingan, jumlah Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat 166, jumlah pendamping desa 1.404 dan jumlah pendamping lokal desa 2.015. Jumlah tersebut harus dapat mengampu seluruh wilayah Jawa Tengah yang terdiri dari 29 kabupaten, 6 kota, 573 kecamatan, dan 7809 desa.
Terkait dengan sebaran, adanya kebijakan dari pemerintah pusat yang mengatur tentang beban tugas pendamping desa, khususnya pendamping lokal, kondisi wilayah menyebabkan adanya perbedaan beban dari masing-masing pendamping desa. Di daerah yang luasan wilayah kecil, beban untuk mendampingi 4 desa bukan persoalan yang berat namun bagi daerah yang wilayah topografi luas dan perlu upaya lebih untuk mengaksesnya, hal tersebut tentu membebani pendamping desa karena dibutuhkan waktu dan tenaga ekstra untuk bisa menjangkau semua wilayah kerjanya.
Sementara untuk kualifikasi pendamping desa, Pendamping Lokal Desa (PLD) yang notabene wilayah kerjanya di lingkup desa, disyaratkan lulusan SLTA dan memiliki pengalaman 2 tahun dalam bidang pemberdayaan masyarakat. Untuk Pendamping Desa yang sektor kerjanya pada level kecamatan (PD dan PDTI), setidaknya memiliki gelar D3, memiliki pengalaman 2 tahun. Masing-masing diwajibkan untuk mampu mengkoordinasi, memberi pelatihan, dan mampu membangun komunikasi dengan masyarakat. Akan tetapi, data temuan lapangan menunjukkan bahwa tidak semua PLD, PD dan PDTI memiliki kualifikasi tersebut. Sedangkan terkait dengan honorarium, hasil penelitian menunjukkan bahwa nominal yang diterima oleh pendamping desa, khususnya PLD tidak sebanding dengan beban tugas yang harus diemban. Selain memiliki beban tugas pokok, seorang pendamping desa juga tidak bisa lepas dari biaya-biaya sosial yang seringkali harus ia sisihkan dari honor profesi yang ia terima, misalnya untuk menyumbang acara-acara yang diselenggarakan oleh masyarakat desa yang mereka damping, seperti kondangan upacara pernikahan, dll.
Dalam sesi diskusi, Widayadi, peserta seminar Rural Corner, mengaku salut dengan kinerja Ayu Nuridha sebagai pendamping desa dan berharap hal itu juga terjadi pada para pendamping desa yang ada di desanya. Sementara Muhammad Nurdin Ali, peserta seminar yang merupakan Pendamping Desa Kecamatan Pajangan, Bantul menyampaikan bahwa beban kerja yang ditanggung oleh seorang pendamping desa cukup berat karena sering ada tugas tambahan, misalnya terkait Indeks Desa Membangun (IDM), sehingga sering muncul candaan plesetan dari kepanjangan IDM menjadi “iki ndase mumet” (kepala ini pusing). Dr. Suharman peserta dari kalangan akademisi menyampaikan pengalamannya berkunjung ke berbagai daerah. Ia menyampaikan bahwa peran dan tugas pendamping desa memang berat karena keberadaannya seringkali tidak dihargai oleh pemerintah desa. Setiap ide yang disampaikan selalu dimentahkan oleh kepala desa. Ia setuju dengan besarnya beban sosial yang harus ditanggung oleh seorang pendamping desa. Tak ketinggalan, Rizal, peserta diskusi asal Aceh kagum dengan ide inovatif yang dilakukan oleh Ayu Nuridha terkait desa inklusi, fasilitasi penyandang disabilitas dalam program pendampingan usaha, dan festival dana desa. Ia berencana akan membawa ide-ide inovatif tersebut untuk diterapkan di daerah asalnya.
Menanggapi berbagai pertanyaan dan komentar peserta diskusi, Ayu Nuridha menyampaikan bahwa strategi yang dilakukan agar dapat mencapai hasil yang baik dalam melakukan pendampingan adalah melakukan strategi terkait apa yang bisa dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan agar selanjutnya difasilitasi untuk diperoleh solusinya. Sedangkan terkait dengan berbagai ide yang bersifat inovatif, ia mendorong agar semua desa memiliki inovasi dalam pemanfaatan dana desa. Sementara AB Widyanta menanggapi komentar peserta dengan menyampaikan bahwa perlu ada perubahan kebijakan dari yang bersifat simetris menjadi asimetris agar ada ruang bagi daerah untuk melaksanakan kebijakan yang sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan. Terkait dengan beban sosiaI yang harus ditanggung oleh pendamping desa, maka ia mengusulkan untuk meningkatkan besaran honor dan dana operasional bagi pendamping desa sehingga pendamping desa masih memiliki dana untuk mencukupi kebutuhan keluarga. [Mulyono]
Cukup mewakili cerita berdesa, semua semua pihak dapat saling menghargai, memahami tupoksi serta saling sinergi kolaborasi dapat memajukan desa dan pemanfaatan dana desa