Di penghujung tahun ini, kamis, 5 Desember 2019 Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) kembali mengadakan seminar bulanan Rural Corner dengan mengangkat tema “Dana Desa dan Menguatnya Kapitalisme di Perdesaan.” Acara ini berlangsung dari pukul 15.30 s/d 17.30 di Ruang Sartono, PSPK UGM, Bulaksumur G-7. Pada kesempatan kali ini, Dr. Sugeng Bayu Wahyono, M.Si (Dosen Universitas Negeri Yogyakarta) dan Iranda Yudhatama (Aktivis Desa- Suara Nusa Institute) hadir sebagai pemateri. Kegiatan yang dimoderatori oleh Dr. Suharko, selaku Kelapa PSPK UGM, diramaikan oleh puluhan peserta yang berasal dari berbagai kalangan baik akademisi, praktisi pemberdayaan desa, hingga khalayak umum.
Iranda Yudhatama memaparkan bahwa sejarah kapitalisme di perdesaan Indonesia sudah dimulai sejak zaman penjajahan yaitu dengan terjadinya perdagangan hasil perkebunan seperti kopi, the dan tebu. Berkat sistem pasar tersebut, warga desa yang pada mulanya hanya membudidayakan tanaman pertanian untuk dikonsumsi sendiri dalam rangka pemenuhan kebutuhan domestik seperti beras, jagung maupun kacang tanah, berubah menjadi membudidayakan komoditas tanaman yang laku di pasar internasional. Namun, perubahan pola budidaya tersebut sama sekali tidak menghilangkan kebiasaan mereka untuk membudidayakan tanaman pangan. Di satu sisi mereka mamng telah membudidayakan tanaman yang menjadi komoditas perdagangan, namun mereka juga tetap membudidayakan tanaman pangan untuk pemenuhan kebutuhan mereka sehari-hari. Kondisi tersebut oleh J.H. Boeke, ahli ekonomi belanda disebut sebagai dualisme ekonomi. Di satu sisi orang desa sudah menganut sistem ekonomi pasar, namun di sisi lain mereka juga masih menganut sistem ekonomi tradisional.
Sistem kapitalisme atau pasar di Indonesia sedikit terhenti ketika terjadi perang Diponegoro akibat konsentrasi kolonial Belanda yang menitikberatkan semua sumber daya yang dimiliki untuk memenangkan peperangan. Namun setelah perang usai, kapitalisme di perdesaan kembali hidup bahkan semakin berjalan cepat akibat dari kebijakan tanam paksa yang diterapkan oleh kolonial Belanda. Dalam sistem tersebut, warga dipaksa untuk membudidayakan komoditas perdagangan yang laris di pasar internasional. Selain itu banyak perusahaan milik pengusaha Belanda yang membuka perkebunan skala besar di Indonesia dan menjadikan warga sebagai buruh perkebunan. Kondisi kerja buruh perkebunan yang tidak adil karena cenderung menindas buruh telah mendorong munculnya aktivis pembela hak buruh, yaitu Tan Malaka. Ia mengkoordinasikan para buruh perkebunan yang tertindas untuk berjuang melawan sistem ekonomi pasar kapitalis agar lebih menghargai hak-hak para buruh.
Menurut Yudi, panggilan akrab Iranda Yudhatama, pada saat ini kapitalisme tidak hanya menguasai desa melalui sektor industri yang bersifat ekstraktif seperti perkebunan dan pertambangan, tetapi juga melalui sektor propertif. Dampak dari adanya kebijakan terkait dana desa saat ini, banyak desa yang entah itu melalui BUMDes maupun lembaga lain menguasai properti yang ada di desa seperti tanah, penginapan, gedung pertemuan, dll. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya akumulasi aset produksi ke desa, sementara warga semakin terbatas dalam penguasaan aset produksi. Apabila kondisi semacam ini terus berlanjut, maka akan terjadi proses pemiskinan di perdesaan karena banyak warga desa yang tidak lagi memiliki aset produksi.
Dalam akhir pemaparannya, Yudi memaparkan bahwa dana desa hanya merupakan instrumen yang akan berdampak positif bagi kesejahteraan warga masyarakat jika pengelolaannya dilakukan secara demokratis. Jika tidak, dana desa hanya akan menguntungkan sebagian kecil masyarakat desa (seringkali hanya elit desa) apabila dikelola secara tidak transparan dan akuntabel. Seperti kasus di sebuah desa yang terletak di wilayah Jawa Timur, dana desa justru menjadi instrumen untuk memperkaya elit desa (kepala desa dan para kroninya) karena hanya dikelola oleh kepala desa dan kerabatnya.
Sementara itu, Sugeng Bayu Wahyono dalam pemaparannya menyatakan bahwa sejak dahulu desa-desa di Indonesia mengalami eksploitasi secara masif oleh negara. Sayangnya, banyak desa dan warganya yang tidak menyadari akan hal tersebut. Bahkan mereka justru menikmati dan merayakan kondisi tersebut. Dahulu negara mengeksploitasi desa dengan dalih modernisasi desa. Negara membangun sarana transportasi ke desa agar desa berkembang dan menjadi maju. Namun dampak dari pembangunan desa tersebut cenderung merugikan desa dan lebih menguntungkan kapitalis. Jalan yang dibangun dengan harapan komoditas hasil produksi warga desa bisa mudah dipasarkan ke kota, justru menjadi sarana kaum kapitalis untuk memasarkan hasil produksi mereka yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan warga desa. Berbagai hasil produksi sektor industri di kota mulai dari shampo, sabun, hingga smartphone merangsek masuk ke desa, menggoda warga desa untuk memilikinya. Guna mengubah sesuatu hal yang sebenarnya hanya merupakan kebutuhan tersier menjadi kebutuhan primer, maka para kapitalis menciptakan slogan melalui iklan yang disiarkan melalui berbagai media massa dan media sosial. Slogan yang mampu mengubah mindset warga desa bahwa semua yang ditawarkan oleh para kapitalis harus dimiliki apabila mereka ingin menjadi modern. Berbagai mitos dibangun agar semua produk kapitalis laku di jual di desa.
Slogan modernisasi desa yang dibangun oleh negara dan kapitalis dengan cara memasarkan berbagai produk kapitalis ke desa telah menyebabkan terjadinya pemiskinan di desa. Hal itu terjadi karena meningkatnya keinginan warga desa untuk membeli produk kapitalis tidak diimbangi dengan penguatan posisi ekonomi mereka. Bahkan warga desa mengalami kemerosotan posisi perdagangan. Bila dibandingkan, nilai jual produk kapitalis dan produk warga desa semakin bertolak belakang perkembangan nilai jualnya. Untuk membeli produk kapitalis seperti baju bermerek, dahulu hanya dibutuhkan beberapa kilo beras karena nilai jual beras relatif setara dengan nilai jual baju tersebut. Namun saat ini untuk membeli baju petani harus menjula puluhan kilo beras karena nilai jual beras jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai jual baju.
Kapitalis bukan hanya menguasai pasar desa melalui sektor industri namun juga melalui sektor pangan. Dahulu warga desa, khususnya desa-desa di Gunung Kidul, Nusa Tenggara, dan Papua sudah merasa aman dan nyaman apabila sudah memiliki bahan pangan hasil produksi sendiri seperti ketela, jagung, sagu dan ubi. Namun pada saat ini rasa aman dan nyaman tersebut tidak ada sebelum mereka memiliki beras sebagai bahan makanan pokok. Akhirnya mereka harus membeli beras dari pasar. Karena produksi beras tidak sebanding dengan kebutuhan, maka akhirnya pemerintah harus melakukan impor beras. Kondisi yang sama juga terjadi dengan semakin maningkatnya kebutuhan tepung. Zaman dahulu warga desa menggunakan tepung beras atau ketela untuk memenuhi kebutuhan mereka, namun saat ini akibat mitos modernisasi maka berbagai jenis tepung yang bisa dihasilkan sendiri tersebut diganti dengan tepung terigu, sebuah komoditas perdagangan yang tidak bisa dihasilkan sendiri oleh warga desa dan harus membelinya di pasar. Semenatar untuk memasok ketersedaan tepung terigu di pasar maka pemerintah harus mengimpor dari luar negeri.
Dalam akhir pemaparannya, Bayu menyatakan bahwa dana desa yang hanya dimanfaatkan untuk membangun sektor infrastruktur juga berdampak pada menguatnya kapitalisme di desa. Warga memang dapat menikmati manfaat pembangunan infrastruktur meski secara tidak langsung, namun yang paling besar dalam menerima manfaat dari kegiatan tersebut adalah kaum pedagang, khususnya para pemilik toko bangunan. Saat ini banyak pemilik toko bangunan yang menjadi kaya raya berkat relasinya dengan desa dalam membangun infrastruktur di desa.
Dalam sesi diskusi, salah satu peserta, Widayadi menanyakan bagaimana upaya membangun sikap kritis di kalangan masyarakat desa agar mereka mampu mengerti dan menolak berbagai eksploitasi yang terjadi di desa. Sementara itu, Setiawan, peserta dari kalangan mahasiswa, membenarkan pemaparan penyaji dan mengatakan bahwa di desanya yang berada di Sumatera juga telah terjadi penguatan kapitalisme. Sebagai gambarannya, saat ini BUMDes di desanya telah memiliki beberapa kegiatan usaha seperti sewa kereta kelinci, swalayan, dll. Tak ketinggalan pula, Sumantara, peserta diskusi dari Keluarga Besar Marhen Bantul menyatakan bahwa sebenarnya para pendiri bangsa telah membangun sistem ekonomi Indonesia yaitu sistem ekonomi gotong royong atau koperasi. Namun, sayangnya hingga saat ini koperasi tidak bisa berkembang. Oleh karena itu perlu upaya agar koperasi bisa berkembang dan menyejahterakan rakyat perdesaan Indonesia. Harun peserta diskusi yang merupakan seorang mahasiswa dari Sumatera Utara menyatakan bahwa pada saat ini kapilatisme sudah mencengkram desanya. Di desanya ada perusahan pertambangan yang melakukan kegiatan eksploitasi namun keberadaan perusahaan tersebut tidak menyejahterakan rakyat, bahkan merugikan warga desa.
Menyikapi berbagi pertanyaan dan tanggapan dari para peserta diskusi, Yudi menyatakan bahwa semangat ekonomi Indonesia memang koperasi namun sejak presiden pertama hingga saat ini kita masih enggan membangun koperasi. Padahal yang dilakukan oleh Bung Karno setelah berkuasa adalah nasionalisasi perusahaan asing. Sedangkan ekonomi benteng yang dicanangkan oleh Bung karno belum dijalankan, dan hanya sebatas retorika dan wacana saja. Untuk menangkal kapitalisme, yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah adanya partai potilik yang memiliki ideologi yang jelas dan mampu memberikan pendidikan politik kepada rakyat melalui sosok-sosok yang berani menjalankan ideologi politik yang mengutamakan kesejahteraan rakyat.
Semetara itu, Bayu menyatakan terkait upaya melepaskan warga desa dari cengkraman kapitalis. “Kita harus membangun kesadaran kritis masyarakat desa melalui pendidikan politik. Selain itu perlu pula adanya kepemimpinan yang tegas membela warga desa dari cengkraman kapitalis. Desa harus dibangkitkan dengan pembangunan bermakna yaitu pembangunan yang berbasis pada kearifan dan potensi lokal. Indonesia adalah negara agraris dan maritim maka pembangunan harus mulai berorientasi pada dua ranah tersebut.” Ucapnya menutup diskusi. [Mulyono]