Proses Industrialisasi telah terjadi di wilayah Jenu Tuban sejak beberapa puluh tahun yang lalu (era 1990-an). Proses tersebut ditandai dengan pembangunan beberapa pabrik industri, antara lain pabrik petrokimia milik Trans Pacific Petrocemical Industry (TPPI), pabrik pembangkit listrik (PLTU) milik PLN, Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) milik Pertamina, dan yang masih dalam proses pembangunan adalah pabrik kilang minyak milik Pertamina Rosneff Petrokimia dan Pengolahan (PRPP). Terjadinya proses industrialisasi tentu membawa dampak bagi kehidupan masyarakat yang ada di wilayah Jenu, termasuk masyarakat yang tinggal di Desa Purworejo, salah satu desa di Kecamatan Jenu Tuban. Tulisan ini mencoba memaparkan dampak proses industrialisasi bagi kehidupan masyarakat desa, khususnya dalam aspek ekonomi. Tulisan disusun berdasarkan studi lapangan dalam rangka “Kajian Harmonisasi Hidup Modern Kilang dengan Masyarakat di Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur Yang Berkearifan Lokal” kerjasama PSPK UGM, LAURA UGM, dan PT Pertamina Rosneff Petrokimia dan Pengolahan (PRPP). Ada beberapa temuan lapangan terkait dampak industrialisasi pada kehidupan masyarakat desa, khususnya dalam aspek ekonomi antara lain terkait tantangan dalam usaha tani dan ternak, salah satu sektor usaha yang hingga saat ini masih menjadi sumber penghidupan sebagian besar warga desa Purworejo.
Meskipun di desa Purworejo telah terjadi proses industrialisasi, namun hingga saat ini masih banyak warga desa Purworejo yang bermata pencaharian sebagai petani. Profesi ini terutama dilakukan oleh generasi tua, sementara generasi muda lebih banyak bekerja sebagai pekerja di sektor industri. Dari sejumlah warga desa Purworejo yang berprofesi sebagai petani, sebagian mengolah lahan milik sendiri, sebagian menggarap lahan hutan jati milik Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Perhutani), dan sebagian menyewa lahan milik perusahaan atau pengusaha dari luar daerah.
Jumlah petani yang menggarap lahan milik sendiri di desa Purworejo dari tahun ke tahun semakin berkurang akibat proses jual beli lahan pertanian. Menurut informasi dari kepala desa Purworejo, jumlah lahan pertanian yang alih kepemilikan karena proses jual beli dari warga desa Purworejo ke pengusaha dari luar daerah hingga akhir tahun 2020 mencapai 65 % dari luas lahan pertanian di desa Purworejo. Persentase tersebut semakin meningkat dalam 2 tahun terakhir akibat proses jual beli lahan pertanian dari warga desa Purworejo ke warga desa Sumurgeneng.
Warga desa Sumurgeneng yang telah menerima dana ganti untung dari PT PRPP karena lahan pertanian yang dimiliki diakuisisi oleh perusahaan tersebut, menggunakan dana yang diterima untuk membeli lahan pertanian di desa Purworejo. Pada saat ini jumlah lahan pertanian di desa Purworejo yang telah alih kepemilikan ke pihak luar mencapai 80%.
Jumlah petani penggarap lahan milik Perhutani (KLHK) pada saat ini juga mengalami penurunan. Hal itu disebabkan antara lain karena terjadinya proses akuisisi lahan hutan milik KLHK oleh PT PRPP. Lahan tersebut akan dimanfaatkan untuk tapak industri, yaitu pembangunan kilang minyak NGRR. Selain itu, penurunan jumlah petani penggarap lahan hutan milik Perhutani di desa Purworejo juga terjadi karena banyaknya petani penggarap lahan hutan dari luar wilayah kecamatan Jenu, khususnya dari kecamatan Montong dan Kerek. Kondisi tersebut terjadi karena mantri hutan yang mempunyai kewenangan untuk menentukan petani penggarap lahan hutan milik Perhutani di wilayah Jenu berasal dari kecamatan Montong.
Selain karena faktor kedekatan akibat kesamaan daerah asal, ada indikasi mantri hutan lebih memilih petani penggarap dari daerah kecamatan Montong dan Kerek karena umumnya mereka berani untuk membayar relatif lebih tinggi nilai sewa lahan hutan milik Perhutani yang akan digarap oleh petani. Pada saat ini harga sewa lahan hutan milik perhutani mencapai Rp. 3.500.000,- per 0,5 hektar. Menurut seorang petani penggarap lahan hutan dari desa Purworejo harga sewa tersebut memang tergolong tinggi bagi petani di desa Purworejo. Apalagi selain membayar uang sewa, petani penggarap lahan hutan juga memiliki kewajiban untuk sharing, yaitu menyetor sebagian hasil pertanian ke Perhutani. Pada saat ini, nilai sharing yang harus ditanggung oleh petani penggarap lahan hutan milik Perhutani saat panen adalah Rp.500.000,-. Ketidakmampuan petani penggarap lahan hutan di desa Purworejo untuk membayar sewa dan sharing menjadi alasan bagi mantri hutan untuk melakukan kebijakan menyewakan lahan hutan ke petani penggarap dari luar daerah jenu, khususnya dari daerah Motong dan Kerek.
Jumlah petani di desa Purworejo yang menggarap lahan pertanian di desa Purworejo yang telah alih kepemilikan dari warga desa Purworejo ke perusahaan atau pengusaha dari luar daerah dari tahun ke tahun juga mengalami penurunan. Hal itu selain disebabkan oleh terjadinya alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke tapak industri perdagangan dan transportasi, misalnya garasi kendaraan berat (truk kontainer, tronton dan truk ber cc besar), juga terjadi akibat tingginya harga sewa lahan. Setiap petani yang hendak menggunakan lahan pertanian yang sudah dimiliki oleh perusahaan atau pengusaha dari luar daerah harus membayar uang sewa. Pada saat ini harga sewa lahan milik perusahaan atau pengusaha dari luar daerah tersebut mencapai Rp.3.500.000,- /0,5 hentar.
Terkait dengan usaha budidaya pertanian yang masih menjadi sumber penghidupan sebagian besar warga desa Purworejo, terdapat beberapa kendala yang dihadapi oleh para petani baik kendala saat budidaya pertanian di musim kemarau maupun kendala saat budidaya pertanian di musim penghujan. Kendala yang dihadapi oleh petani pada saat budidaya pertanian di musim kemarau yaitu, terkait input yang dibutuhkan untuk kegiatan budidaya tanaman padidi sawah atau jagung di ladang, tantangan yang dirasakan oleh para petani di desa Purworejo adalah persoalan tenaga kerja.
Apabila kegiatan pengolahan lahan dan penanaman dilakukan secara bersamaan dengan petani yang lain maka terjadi kesulitan mencari tenaga kerja. Untuk mengatasi persoalan tersebut maka langkah yang sering dilakukan oleh petani adalah dengan mengolah lahan dan menanam secara bergiliran. Langkah lain yang juga sering dilakukan adalah dengan mengolah lahan dan menanam dengan menggunakan mesin. Untuk mengolah lahan dengan menggunakan mesin traktor, petani tidak mengalami kesulitan karena di desa ini ada banyak traktor. Untuk mesin tanam padi di desa Purworejo juga telah tersedia. Para petani biasanya menyewa alat-alat tersbut pada saat hendak menggunakannya.
Persoalan lain yang dirasakan oleh petani adalah air yang dibutuhkan untuk pengairan sawah. Untuk mengatasi masalah tersebut maka banyak petani yang membuat sumur bor dan menggunakan mesin pompa untuk menyedot air sumur. Namun kondisi tersebut menyebabkan biaya pertanian meningkat karena ada biaya BBM untuk pompa. Karena kadang kala BBM solar sukar di dapat, maka akhir-akhir ini banyak petani yang menggunakan mesin pompa listri (simbel).
Untuk pengadaan bibit dan pupuk, secara umum petani di desa Purworejo tidak mengalami persoalan yang berarti karena bisa didapat dengan mudah. Meskipun pada akhir tahun petani sering mengalami kesulitan untuk mendapatkan pupuk subsidi karena sebagian besar stok pupuk subsidi sudah disalurkan ke petani, namun kondisi tersebut dapat diatasi oleh para petani dengan membeli pupuk non subsidi, dengan konsekwensi harga pupuk non subsidi relatif lebih mahal dibanding pupuk subsidi.
Terkait dengan proses dalam usaha tani, tantangan yang dihadapi oleh petani padi dan jagung tetap sama yaitu masalah tenaga kerja. Ada keterbatasan tenaga kerja untuk kegiatan “ndagir” atau membersihkan rumput yang ada di sela-sela tanaman. Untuk mengatasi persoalan tersebut maka para petani menggunakan obat rumput/herbisida untuk menghilangkan rumput, atau untuk tanaman jagung menggunakan luku dengan tenaga sapi bagi petani yang memiliki sapi. Namun penggunaan obat rumput selain dapat menghilangkan rumput juga dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, bila tersedia tenaga untuk melakukan pekerjaan pembersihan rumput maka petani akan lebih suka menggunakan tenaga manusia/manual untuk mengerjakan kegiatan pembersihan rumput. Untuk pengadaan obat rumput dan pupuk petani tidak mengalami kendala.
Dalam proses pemanenan padi atau jagung keterbatasan tenaga kerja juga menjadi persoalan yang dihadapi oleh petani. Solusi yang biasa dilakukan adalah dengan mendatangkan tenaga kerja dari desa lain. Dengan konsekwensi upah buruh menjadi lebih tinggi karena petani harus menanggung biaya transportasi butuh tani tersebut.
Terkait aspek pemasaran hasil pertanian padi dan jagung dimusim kemarau petani tidak mengalami persoalan. biasanya ada tengkulak yang datang dan membeli hasil pertanian petani.
Tantangan yang dihadapi petani saat melakukan budidaya pertanian di musim penghujan adalah, terkait input yang dibutuhkan oleh petani untuk melakukan kegiatan budidaya tanaman padi dan jagung di musim penghujan, kendala yang dihadapi oleh petani sama dengan kendala yang dihadapi pada musim kemarau, yaitu tenaga kerja. Ada kesulitan untuk mendapat tenaga kerja untuk mengolah dan menanam. Untuk mengatasi persoalan tersebut, solusi yang diambil oleh petani desa Purworejo juga sama dengan ketika melaksanakan budidaya di musim kemarau, yaitu dengan melakukan kegiatan pengolahan lahan dan tanam bergiliran dengan petani yang lain. Persoalan tersebut juga sering dipecahkan oleh para petani di desa Purworejo dengan melakukan mekanisasi pertanian, yaitu menggunakan mesin traktor dan mesin tanam. Untuk pengadaan bibit, pupuk, obat dan solar relatif mudah.
Salah satu kendala yang dirasakan oleh petani di musim penghujan dan tidak dihadapi pada musim kemarau adalah banjir yang sering terjadi di sawah-sawah dalam/posisi rendah. Untuk mengatasi persoalan tersebut maka kegiatan pengolahan lahan dan tanam ditunda menunggu banjir surut.
Terkait proses dalam budidaya tanaman padi dan jagung, tantangan yang dihadapi oleh petani di musim penghujan juga sama dengan yang dihadapi di musim kemarau yaitu kekurangan tenaga kerja. Solusi yang diambil juga sama yaitu dengan menggunakan mesin olah lahan dan mesin tanam, serta menggunakan obat rumput untuk membersihkan rumput. Demikian pula dalam pelaksanaan kegiatan panen persoalan yang dihadapi oleh para petani juga sama, yaitu kesulitan mendapatkan tanaga kerja, dan solusi yang diterapkan juga sama dengan saat budidaya pertanian dimusim kemarau yaitu dengan mendatangkan tenaga kerja dari luar desa.
Terkait aspek pemasaran, tantangan yang dihadapi petani khususnya petani padi agak berbeda. Karena pada umumnya waktu panen budidaya padi pada musim penghujan berbarengan dengan musim panen raya, maka petani sering mengalami kesulitan untuk menjual hasil panennya. Pedagang / tengkulak sering tidak mau membeli padi hasil budidaya petani. Apabila mau membeli, biasanya dengan harga rendah. Untuk mengatasi masalah tersebut maka biasanya petani membawa pulang hasil panen mereka, menyimpan hasil panen tersebut dan menjual hasil panen dalam bentuk beras pada saat mereka membutuhkan uang.
Rata-rata biaya tanam padi yang harus ditanggung oleh petani untuk lahan seluas 1000 m2 adalah Rp.1.500.000,- Untuk budidaya tanaman jagung, jumlah biaya yang harus ditanggung oleh petani relatif lebih sedikit yaitu sekitar Rp.750.000,-,. Sedangkan penghasilan yang bisa diperoleh oleh petani dari budidaya tanaman padi adalah Rp.3.500.000,- dan budidaya tanaman jagung adalah Rp.4.000.000,-
Untuk meningkatkan hasil pertanian, ada upaya yang dilakukan oleh para petani di desa Purworejo yaitu dengan meningkatkan kesuburan lahan. Upaya tersebut dilakukan dengan cara menggunakan pupuk kandang. Karena sebagian besar ppetani di Desa Purworejo memiliki ternak sapi maka untuk mendapaatkan pupuk kandang mereka tidak perlu mengeluarkan biaya, cukup menggunakan pupuk kandang milik sendiri. Mereka hanya mengeluarkan biaya untuk membeli bensin untuk motor yang dipakai untuk mengangkut pupuk kandang tersebut ke sawah. Biasanya mereka membawa pupuk kandang ke sawah sedikit demi sedkit. Pupuk kandag dimasukkan ke karung zak bekas pupuk, lalu dibawa ke sawah dengan menggunakan motor.
Selain bercocok tanam, warga masyarakat di desa Purworejo yang berprofesi sebagai petani umumnya juga memiliki usaha sampingan yaitu budidaya ternak sapi. Namun usaha ini tidak mengenal musim karena biasanya pemeliharaan berlangsung dalam jangka waktu lama. Untuk ternak sapi dengan orientasi pembibitan, biasanya dari awal usaha yaitu pembelian bibit hingga dapat menjual anakan sapi minimal butuh waktu 2 tahun. Bibit sapi yang biasanya akan dipakai untuk usaha pembibitan adalah dara siap kawin usia 3 tahun atau indukan yang sudah pernah beranak. Masa hamil sekitar 9 bulan dan anak siap jual sekitar umur satu tahun. Sehingga masa pemeliharaan sekitar 1,5 tahun.
Sedangkan untuk usaha penggemukan sapi biasanya butuh waktu sekitar 1 tahun. Bibit sapi yang akan digemukan biasanya usia 2 tahun. Setelah dipelihara selama satu tahun, sapi tersebut dijual kembali. Untuk budidaya sapi baik untuk usaha pembibitan maupun penggemukan, bibit sapi relatif mudah di dapat. Untuk mendapat bibit sapi, biasanya peternak membeli langsung di pasar atau memesan kepada pedagang sapi.
Modal untuk usaha ternak sapi tidak harus dana milik sendiri, tetapi bisa juga milik orang lain dengan sistem gaduh. Untuk sistem gaduh, hasil usaha pemeliharaan sapi berupa anak sapi akan dibagi 2 antara pemilik dan penggaduh. Pembagian keuntungan bisa juga dilakukan dengan sistem bergilir, anak pertama untuk pemilik sapi dan anak kedua untuk penggaduh, tergantung kesepakatan awal antar pemilik sapi dengan penggaduh.
Untuk perawatan sapi, tantangan utama yang dihadapi oleh peternak adalah keterbatasan pakan sapi, khususnya rumput. kendala ini sudah terasa pada musim hujan, tetapi sangat terasa pada musim kemarau. Ketersediaan rumput tidak sebanding dengan jumlah sapi yang harus diberi pakan sehingga akhirnya untuk mengatasi persolan tersebut peternak membeli pakan ternak berupa jerami kering yang harganya per satu mobil colt L-300 bisa mencapai 700.000 hingga 800.000,- rupiah.
Sebenarnya setiap musim panen, peternak sudah menstok pakan ternak dengan mencari jerami sebanyak-banyaknya. namun biasanya stok tersebut sudah habis sebelum tiba masa panen kembal. Kondisi tersebut menyebabkan peernak harus membeli pakan ternak dari luar daerah.
Untuk pemasaran hasil ternak sapi, peternak tidak mengalami kendala dan relatif mudah. Hal itu karena banyak pedagang sapi yang mau membeli sapi milik peternak, baik yang berupa anakan sapi maupun sapi hasil penggemukan. Para peternak sapi di desa Purworejo tidak pernah menjual sendiri hasil ternaknya ke pasar, cukup dijual kepada pedagang. harga sapi relatif bagus, lebih-lebih saat menjelang hari raya idul adha.
Untuk modal awal usaha ternak satu ekor sapi rata-rata dibutuhkan modal 15 juta. uang tersebut untuk membeli anak sapi yang siap kawin. setelah hamil 9 bulan dan melahirkan. anak sapi jantan usia 1 tahun bisa di jual dengan harga 12 juta. perawatan sapi sejak awal pemeliharaan hingga penjualan anak usia 1 tahun butuh baktu 21 bulan. Biaya yang dibutuhkan adalah untuk membeli pakan ternak pada saat musim kemarau, saat stok pakan sudah habis. dalam satu periode musim kemarau peternak bisa membeli pakan hingga 4 kali sehinga biaya yang dikeluarkan untuk membeli pakan sekitar. 3,2 juta. Bila hasil penjualan anak di tambah nilai induk sapi pada saat jual anak 25 juta, maka keuntungan kotor peternak sekitar 10 juta. apabila dikurangi dengan biaya pembelian pakan 3,2 juta dan biaya tak terduga misalnya untuk biaya berobat saat sapi sakit sekitar 300 ribu, maka keuntungan bersih budidaya sapi selama satu periode sekitar 6,5 juta.
Tidak ada upaya khusus yang dilakukan oleh peternak di desa Purworejo untuk pengembangan hasil ternak sapi. Mereka tidak memberi makan ternak dengan pakan produksi pabrik karena hal itu justru akan menurunkan keuntungan. Keuntungan bertenak sapi akan turun bila sapi diberi pakan pabrik karena harga pakan pabrik relatif mahal. Satu zak pakan pabrik seberat 50 kg harganya mencapai 125 rupiah.