Pandemi covid-19 telah menghantam perekonomian Indonesia, termasuk diantaranya ekonomi desa. Pandemi ini berpengaruh pada perekonomian dan perubahan sosial di desa. Hilangnya peluang dan kesempatan kerja di berbagai sektor informal, terhentinya kegiatan pariwisata desa, berkurangnya demand untuk berbagai produk pertanian dan UMKM, terganggunya distribusi komoditas barang, berkurangnya supply bahan baku, terlambatnya pemenuhan pupuk dan alat pertanian, berkurangnya berbagai aktivitas sosial, sangat berpengaruh terhadap penurunan ekonomi warga desa. Ancaman kerentanan pangan rumah tangga, meningkatnya pengangguran usia produktif, dan penurunan daya beli masyarakat desa menjadi dampak lanjutan dari pandemi ini.
Rural Corner
Pemilihan kepala desa (Pilkades) secara langsung, sebagai metode berdemokrasi di desa, sudah berlangsung lama di Indonesia. Desa-desa di Pulau Jawa telah mempraktikkan Pilkades secara langsung sejak masa paskakemerdekaan hingga kini. UU Desa Tahun 2014 (pasal 31, ayat 1) menegaskan bahwa kepala desa dipilih secara langsung dan pelaksanaannya dilakukan secara serentak di seluruh wilayah kabupaten.
Seiring dengan perkembangan teknologi dan kemajuan praktik demokrasi, TIK diperkenalkan dan dipergunakan dalam gelaran Pilkades. Sejumlah desa telah mempraktikkan e-voting. Sebagai contoh, Pilkades dengan menerapkan e-voting telah berlangsung di Kabupaten Brebes pada bulan Desember 2019 dan di Kabupaten Boyolali pada bulan Juni 2019. Pilkades dengan e-voting secara serentak akan digelar di Kabupaten Sleman pada bulan Maret 2020.
Seiring dengan kewenangan desa yang makin luas, dan perkembangan teknologi informasi & komunikasi (TIK), pengembangan desa digital telah menjadi salah satu cara memajukan desa dan mensejahterakan warga desa. TIK bisa menjadi katalis perubahan di desa. Pemanfaatan TIK untuk pengembangan pelayanan publik, bisnis, pendidikan warga, dan kegiatan-kegiatan lainnya, memungkinkan munculnya inovasi-inovasi baru di desa. Dalam hal pelayanan publik, sebagai contoh, pada Januari 2018 desa Sepakung, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang telah diresmikan menjadi desa digital. Desa Sepakung berhasil mengembangkan aplikasi berbasis gawai dengan nama PAMDES (Pelayanan Administrasi Mandiri Desa Sepakung) yang melayani kebutuhan pelayanan administrasi, keamanan, dan layanan kesehatan. Dalam hal bisnis, inovasi-inovasi usaha ekonomi berhasil dikembangkan oleh kaum muda di berbagai desa.
Melalui Undang-undang Desa tahun 2014, saat ini Desa telah diberikan kebebasan dalam mengatur banyak hal, salah satunya adalah terkait pengembangan perekonomian mereka sendiri. Ada banyak cara untuk meningkatkan ekonomi desa, salah satunya melalui pemanfaatan aset desa sebagai potensi desa secara optimal. Salah satu aset desa adalah Tanah Kas Desa yang merupakan Tanah Negara yang diserahkan kepada Desa untuk dimanfaatkan bagi kepentingan desa sebagai sumber pendapatan yang potensial dan dapat dikembangkan. Bentuknya pun dapat beragam, mulai dari sebidang tanah, kolam, sumber mata air ataupun sumber daya alam lainnya.
Kebijakan Penyaluran Dana Desa oleh Pemerintah Pusat ke Desa sebagai pelaksanaan dari amanat Undang-undang no 6 tahun 2014, menyebabkan terjadinya banyak perubahan di Desa. Salah satu perubahan tersebut adalah terjadinya proses kapitalisasi di pedesaan yang memiliki dua wajah, yaitu kapitalisasi positif yang mana menyebabkan terjadinya perubahan ke arah yang menguntungkan; dan kapitalisasi negatif yang berdampak pada terjadinya perubahan ke arah kurang menguntungkan bahkan merugikan di pedesaan.
Dengan tema “Dana Desa dan Menguatnya Kapitalisme di Pedesaan,” Seminar bulanan “Rural Corner” PSPK UGM kembali hadir pada Kamis, 5 Desember 2019 pukul 15.00 WIB di Ruang Sartono, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Bulaksumur G-7. Diskusi kali ini akan dipantik oleh Sugeng Bayu Wahyono (Dosen Universitas Negeri Yogyakarta) dan Iranda Yudhatama (Swara Nusa Institute).
Gemuruh pembangunan desa yang terjadi pasca diterbitkannya UU Desa No. 6/ 2014 dan segala bentuk afirmasi fiskal oleh negara dalam wujud tergelontornya Dana Desa (DD) sedikit banyak telah mengubah banyak tatanan dan wajah perpolitikan dan pembangunan desa. Hingga saat ini, setiap desa berlomba-lomba untuk “membangun desa” dengan memanfaatkan segala kewenangan hak asal usul (rekognisi) dan kewenangan lokal berskala desa (subsidiaritas) yang sekarang telah sah mereka miliki dan pergunakan.
Kekhawatiran yang kemudian muncul adalah terjadinya persaingan (kompetisi) yang tidak sehat antar desa, sehingga kemajuan desa yang satu dapat diraih dengan jalan mematikan desa tetangganya. Maraknya pembangunan desa membuat desa-desa semakin terkonsolidasi ke dalam diri mereka sendiri tanpa mempedulikan ruang kerjasama yang seharusnya dapat dijalin demi meraih tujuan pembangunan dalam skala ekonomi yang tentu dapat lebih luas.
Meskipun amanat undang-undang untuk membentuk BUMDes sudah berjalan selama 5 tahun, namun sejauh ini BUMDes belum membuka akses bagi warga desa untuk ikut menanamkan modal disamping keuntungannya belum dialokasikan bagi kesejahteraan masyarakat marjinal. Hadirnya Undang-Undang Desa sebenarnya telah memberikan mandat kepada desa untuk mengembangkan BUMDes yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat desa, bukan hanya sebagai sumber pedapatan desa. Namun demikian, dalam pelaksanaannya desa tidak memiliki orientasi yang kuat untuk menempatkan BUMDes sebagai kekuatan ekonomi rakyat sehingga manfaat sosial dari BUMDes belum bisa terukur dengan baik.
Tenaga Pendamping Profesional Desa diharapkan menjadi garda terdepan untuk mengawasi, mendampingi hingga membimbing masyarakat desa dalam mengelola dana desa dan berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat desa. Pertanyaan yang sering muncul di kalangan praktisi dan akademisi pemerhati isu desa adalah seperti apa dinamika serta tantangan yang dihadapi oleh Tenaga Pendamping Profesional Desa dalam mendampingi desa?
Dengan mengangkat tema “Dinamika dan Tantangan Tenaga Pendamping Profesional Desa,” Seminar bulanan Rural Corner-PSPK UGM kembali hadir pada Kamis, 5 September 2019 pukul 15.00 WIB di Ruang Sartono, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Bulaksumur G-7. Diskusi kali ini akan dipantik oleh AB Widyanta, MA (Tim Ahli PSPK UGM dan Departemen Sosiologi Fisipol UGM) & Ayu Nuridha, SE (Tim Pendamping Desa Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten).
UU Desa mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengalokasikan Dana Desa (DD). Pertanyaan yang sering muncul di kalangan praktisi dan akademisi desa adalah sejauhmana DD mampu meningkatkan kesejahteraan petani demi mewujudkan ketahanan pangan nasional?
Dengan tema “Pemanfaatan Dana Desa untuk Kesejahteraan Petani dan Ketahanan Pangan,” Seminar bulanan Rural Corner-PSPK UGM kembali hadir pada Kamis, 1 Agustus 2019 pukul 15.00 WIB di Ruang Sartono, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Bulaksumur G-7. Diskusi kali ini akan dipantik oleh Subejo, P.hD (PSPK UGM dan Departemen Sosek Pertanian UGM) & Supardi (Ketua Kelompok Tani Margo Rukun, Gunungkidul).
Berlakunya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa memberi harapan dan peluang bagi desa untuk membangun dan menata desa secara mandiri. Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 menjelaskan bahwa tujuan pembangunan desa adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Namun seiring berjalannya waktu, tepatnya sejak 5 tahun sejak diundangkan, pelaksanaan UU Desa ternyata masih memiliki hambatan dan tantangan yang harus segera diatasi.