Kamis, 18 Juni 2020 pukul 15.00 s/d 17.30 Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) kembali mengadakan seminar bulanan “Rural Corner”. Ada yang berbeda dari pelaksanaan “Rural Corner” kali ini. Dikarenakan masa pandemi COVID-19, acara seminar bulanan kali ini dikemas secara daring melalui aplikasi ZOOM.
Dengan mengangkat tema “”, acara Rural Corner pada kesempatan ini menghadirkan 3 orang narasumber: Sukasmanto, M.Si (Peneliti Institute Research and Empowerment), Subejo, P.hD (Tim Ahli PSPK UGM & Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian UGM), serta Antonius Budi Susilo, S.E, M.Soc.Sc (Dosen Universitas Sanata Darma Yogyakarta) yang dimoderatori oleh Muhammad Yunan Roniardian, M.Sc (Peneliti PSPK UGM).
Berbeda dengan Rural Corner yang menggunakan teknik konvensional (tatap muka) yang hanya dihadiri oleh peserta dari daerah DIY dan sekitarnya, pelaksanaan Rural Corner secara daring kali ini diikuti oleh peserta dari berbagai penjuru Indonesia. Mulai dari Kalimantan, Sumatera, bahkan Papua yang berasal dari berbagai kalangan seperti praktisi, akademisi, peneliti maupun masyarakat.
Dalam pemaparannya, Sukasmanto sebagai pembicara pertama menyampaikan bahwa masa pendemi COVID-19 merupakan momentum yang baik bagi BUMDes untuk menata kembali orientasinya. Bukan hanya sebagai unit bisnis yang hanya mengejar keuntungan ekonomi semata, tetapi juga menjalankan fungsi sosial dengan lebih berperan dalam membangun jaring pengaman sosial bagi masyarakat. Selain itu, masa ini juga menjadi momentum penting untuk berbenah diri agar mampu menghadapi semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi BUMDes akibat pendemi COVID-19.
Persoalan ekonomi yang dihadapi baik oleh BUMDes maupun masyarakat semakin komplek akibat pendemi COVID-19. Persoalan tersebut antara lain penurunan perekonomian desa akibat kesulitan yang dialami oleh petani untuk memasarkan hasil produksi, terpuruknya UMKM, penurunan daya beli masyarakat, dan peningkatan beban ekonomi desa akibat banyaknya pemudik yang pulang ke desa dengan membawa persoalan mereka akibat hilangnya pekerjaan di kota.
BUMDes harus berperan untuk mengatasi dampak ekonomi akibat pendemi COVID-19 sebagai representasi pemerintah desa yang wajib hadir dalam masa sulit tersebut. Untuk dapat memberi kontribusi maksimal dalam upaya mengatasi berbagai persoalan yang muncul di desa akibat pendemi COVID-19, maka BUMDes perlu melakukan konsolidasi lembaga; serta refleksi keadaan dan melakukan transformasi organisasi, orientasi dan eksistensi.
Selain itu, BUMDes harus mampu mengembangkan strategi bisnis baru dengan mengalihkan usaha yang terdampak COVID-19 ke usaha yang tidak terdampak, melakukan konsolidasi internal, mendorong pemerintah desa menambah penyertaan modal, serta membangun kemitraan dengan pelaku ekonomi lokal.
Subejo sebagai pemateri sesi kedua memaparkan bahwa pendemi COVID-19 telah berdampak pada ketahanan pangan. Terhentinya mobilitas barang dan jasa domestik akibat adanya pembatasan sosial dan kebijakan pembatasan ekspor bahan pangan yang diterapkan oleh negara produsen bahan pangan telah meningkatkan potensi terjadinya krisis pangan di banyak negara termasuk Indonesia.
Guna mencegah terjadinya krisis pangan, maka BUMDes bisa berperan dalam menjaga ketahanan pangan dengan melakukan berbagai kegiatan, baik dalam aspek produksi, distribusi maupun konsumsi. Kunci agar BUMDes mampu melakukan peran tersebut adalah dengan melakukan inovasi dan memilih berbagai jenis usaha yang belum banyak dilakukan oleh pihak lain. Berbagai jenis usaha yang bisa dilakukan oleh BUMDes dalam masa pendemi COVID-19 antara lain: pemasar produk pertanian, perkebunan, peternakan, kerajinan, produksi dan perdagangan es batu, sarana prosuksi pertanian, usaha pertanian, peternakan perkebunan, dan pengolahan hasil komoditi desa, kredit pembiayan produksi, penyediaan input produksi, penyediaan peralatan produksi agro, pengumpulan produk agro, penyediaan pergudangan, penyediaan transportasi, hingga pemasaran produk agro.
Strategi pengembangan BUMDes agar mampu mengembangkan usaha di masa pendemi COVID-19 adalah dengan melakukan inovasi dan pemanfaatan teknologi, penguatan permodalan usaha, pengadaan sarana dan prasarana, dan penguatan kapasitas SDM baik dalam aspek manajerial, TIK maupun kemampuan melakukan negosiasi.
Antonius Budisusilo sebagai pemateri sesi ketiga memaparkan bahwa pendemi COVID-19 telah menimbulkan respon yang berbeda-beda baik dari masyarakat maupun pemerintah. Pada tataran pemerintahan, pemerintah-pemerintah di dunia mengeluarkan kebijakan yang berbeda-beda sesuai dengan pertimbangan masing-masing. Ada pemerintah yang menjalankan kebijakan lockdown, namun ada juga yang melaksanakan kebijakan pembatasan sosial. Meskipun ada perbedaan dalam menanggapi dampak pendemi COVID-19, namun secara prinsip semua negara memiliki kewajiban yang sama, yaitu harus melindungi rakyatnya.
BUMDes sebagai representasi desa yang merupakan unit terkecil penyelenggara negara juga memiliki kewajiban yang sama untuk melindungi masyarakat. BUMDes dalam menjalankan usaha harus selalu menerapkan prinsip subsidiaritas, yaitu prinsip yang melarang BUMDes untuk mematikan usaha yang sudah dilakukan oleh warga masyarakat di desa tersebut.
Banyak kasus yang menunjukkan bahwa selama ini banyak BUMDes yang telah meninggalkan prinsip tersebut. Sebagai contoh, banyak desa yang mengambil peran pengelolaan destinasi wisata yang selama ini dilaksanakan oleh warga masyarakat melalui kelompok sadar wisata (pokdarwis). Hal itu menyebabkan warga masyarakat tidak dapat lagi mengambil manfaat dari keberadaan destinasi wisata yang ada di desa tersebut, sehingga terjadi konflik antara BUMDes dengan warga masyarakat.
Adanya konflik antara warga masyarakat dan BUMDes, khususnya dalam pengelolaan destinasi wisata menurut Antonius Budisusilo terjadi karena tumpang tindihnya aturan hukum yang mengatur kegiatan pariwisata, yaitu antara UU No 9 Tahun 1970 yang mengatur tentang liberalisasi sektor wisata yang mengakibatkan dominannya sektor privat, dan UU No. 10 tahun 2003 tentang wisata yang juga memberi peran pada masyarakat untuk melakukan pengelolaan destinasi wisata.
Dalam akhir pemaparannya, Antonius Budisusilo menyatakan bahwa hilangnya prinsip subsidiaritas dalam UU Desa secara de-facto membuat ekonomi komunitas yg inklusif berpeluang diambil-alih oleh kekuasaan negara melalui BUMDes. Tindakan BUMDes melakukan merger dan akuisisi atas pokdarwis menjadikan pokdarwis mengalami proses disipasi dan mengakibatkan kinerja wisata yang stagnan dan merosot, bahkan gulung tikar. BUMDes akan bermakna dalam konteks pengembangan ekonomi lokal pada masa pandemi COVID-19 ini, jika BUMDes mampu mengambil peran dalam mendukung kekuatan-kekuatan ekonomi komunitas dan atau merintis usaha yang tidak dikuasi rakyat. Salah satu agenda penting bagi BUMDes dari aspek kelembagaan adalah harmonisasi pengaturan (rule of the game) terkait UU Pariwisata, UU Desa dan UU Keistimewaan, sehingga membentuk tata-kelola yang mengarahkan para pelaku ekonomi.
Dalam sesi diskusi, Yanto seorang pengurus BUMDes yang mengelola destinasi wisata Goa Pindul Gunung Kidul, menyampaikan pertanyaan terkait strategi yang bisa dilakukan oleh BUMDes agar mampu bangkit dalam masa pendemi COVID-19. Ada pula Bayu Mahendra, yang mengajukan pertanyaan terkait perbedaan BUMDes dengan KUD. Sementara Anif Muklasin, mengajukan pertanyaan terkait kondisi mayoritas BUMDes secara umum yang telah menerima penyertaan modal yang besar dari desa namun tidak mampu mendatangkan penghasilan yang layak.
Menanggapi berbagai pertanyaan dari peserta tersebut, Sukasmanto menyatakan bahwa strategi yang bisa dilakukan oleh BUMDes di masa pendemi ini adalah melakukan konsolidasi internal, penataan kembali destinasi wisata yang dikelola, mengemas paket wisata yang lebih sesuai dengan masa new normal, memunculkan usaha baru yang munculakibat pendemi misalnya produksi masker anti air, dan memikirkan pengembangan usaha lain selain usaha yang selama ini dilaksanakan. Sedangkan terkait dengan kondisi BUMDes yang menerima penyertaan modal tapi tidak mampu menghasilkan keuntungan, semua itu tergantung dari niat awal saat mendirikan BUMDes, apakah hanya untuk formalitas atau memang bertujuan untuk mengembangkan usaha. Apabila pendirian BUMDes tersebut hanya formalitas belaka karena mengikuti aturan dan tidak dipersiapkan dengan baik, maka wajar bila BUMDes tersebut tidak dapat berkembang.
Subejo menyampaikan tanggapan atas pertanyaan yang diajukan oleh peserta terkait dengan perbedaan BUMDes dan KUD. Ia menyatakan bahwa keduanya memiliki perbedaan jika dilihat dari sisi kepemilikan. KUD adalah milik anggota, sedangkan BUMDes adalah milik Desa. Selain itu, keduanya juga berbeda dari sisi landasan hukum pendiriannya. KUD berdasarkan UU Koperasi, sedangkan BUMDes berdasarkan UU Desa. Terkait dengan pertanyaan tentang strategi pengembangan BUMDes, Subejo menyampaikan bahwa perlu dilakukan diversifikasi usaha berdasarkan potensi yang ada di desa tersebut.
Tak ketinggalan, Antonius Budisusilo juga turut menyampaikan tanggapan atas pertanyaan yang disampaikan oleh beberapa peserta. Ia menyampaikan bahwa konflik yang terjadi dalam pengelolaan destinasi wisata antara warga masyarakat dengan BUMDes terjadi karena aturan yang tidak jelas. “Seharusnya semua diberi peluang oleh negara untuk melakukan pengelolaan sehingga mereka dapat bersinergi dengan baik,” tuturnya.