Tantangan dan Kiprah Caleg Perempuan dalam Pemilu 2014

“Harus diakui bahwa selama ini peran kaum perempuan dalam bidang politik masih kalah dibanding kaum pria. Hal ini mendorong PSPK UGM dalam seminar bulanan ini menghadirkan para politisi perempuan yang mencalonkan diri dalam pemilu legislatif tahun ini. Diharapkan dalam seminar ini terjadi sharing pengalaman dan juga pemikiran yang dapat semakin memperkuat posisi kaum perempuan di dunia politik. Kita berharap di masa depan kaum perempuan semakin mendapatkan posisi yang setara dengan kaum laki-laki.” Demikian harapan Dr. Bambang Hudayana dalam sambutan pembukaan seminar bulanan yang dilaksanakan oleh PSPK UGM pada hari Kamis, tanggal 13 Maret 2014. Seminar yang dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan tersebut mengangkat tema “Tantangan dan Kiprah Caleg Perempuan dalam Pemilu 2014”, menghadirkan 3 orang narasumber caleg perempuan dari tiga parpol, yaitu Ibu Esti Wijayanti (PDI-P), Ibu Yuliana (Partai Gerindra). dan Ibu Maya Sila (Partai Golkar).

Dalam pemaparannya, ketiga caleg menyampaikan latar belakang mereka terjun di dunia politik. Ibu Maya yang merupakan caleg di tingkat kabupaten menyampaikan bahwa ia terdorong untuk terjun di dunia politik karena merasa prihatin dengan sistem birokrasi di daerahnya yang korup. Kenyataan ini ia temukan sendiri saat ditunjuk sebagai ketua sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah daerah. Badan tersebut dibiayai oleh APBD dan ia menemukan bahwa penggunaan anggaran di badan tersebut sangat tidak transparan, banyak dana yang penggunaannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ketika ia melaporkan masalah tersebut kepada bupati, ternyata tidak direspon sama sekali bahkan ia mendapat perintah untuk diam apabila masih ingin berada di dalam sistem. Ia sangat prihatin dengan kondisi ini dan berharap dapat melakukan pembenahan saat menjadi anggota legislatif nanti.

Ibu Yuliana yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif tingkat provinsi menyampaikan bahwa ia terjun di dunia politik dengan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif karena menemukan realitas kehidupan rakyat Indonesia yang belum sesuai dengan harapan. Biaya pendidikan mahal, tingkat korupsi tinggi, harga kebutuhan hidup sehari-hari mahal, dll. Dengan terjun di  dunia politik ia berharap Indonesia akan mengalami perubahan menuju lebih baik. Ibu Esti yang mencalonkaan diri sebagai anggota DPR RI menyampaikan bahwa panggilan jiwanya untuk terjun di dunia politik sudah muncul sejak masih belia. Ketika belum memiliki hak pilih, ia sudah aktif di dunia politik, meski masih sebatas ikut kampanye. Pengetahuan di bidang politik diperoleh dari orang tuanya yang seorang guru mata pelajaran PMP. Sebelum mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di tingkat pusat, ibu Esti adalah anggota legislatif di tingkat provinsi selama 2 periode, dan pernah pula menjadi anggota legislatif di tingkat kabupaten. Banyaknya permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rakyat mendorong dirinya untuk membantu memecahkan masalah tersebut. Dulu saat belum menjadi anggota legislatif ia mencoba membantu memecahkan masalah dengan kekuatan sendiri, dengan dana pribadi yang dimiliki. Karena keterbatasan sumber daya, hasilnya tidak maksimal. Ketika ia masuk di lembaga legislatif ia dapat membantu memecahkan masalah tersebut dengan mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang pro rakyat, dan hasilnya jauh lebih signifikan.

Terkait dengan tantangan caleg perempuan dalam pemilu 2014, para narasumber sepakat bahwa tantangannya semakin berat. Pada saat ini banyak anggota masyarakat Indonesia yang apatis dengan pemilu yang akan dilaksanakan. Mereka memiliki pandangan bahwa proses  pemilu sama sekali tidak mendatangkan manfaat bagi rakyat. Yang diuntungkan hanya para caleg yang terpilih menjadi anggota legislatif yang dapat hidup makmur dan mewah berkat gaji dan  fasilita yang diterima dari negara, serta berkat tindak Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) yang dilakukannya. Karena merasa sama sekali tidak mendapat manfaat dari pesta demokrasi yang diselenggarakan maka mereka cenderung untuk golput/tidak menggunakan  hak pilih mereka. Sementara itu, ada pula warga masyarakat yang mencoba mencari keuntungan materi dari proses pemilu yang dilaksanakan. Mereka mau menggunakan hak pilih mereka asalkan  mendapat imbalan sejumlah uang. Yang lebih parah, ada pula warga masyarakat yang bersedia menerima uang dari beberapa caleg/partai meski ia hanya memiliki satu hak pilih. Prinsipnya, “terima dulu uangnya, perkara pilihan belakangan”.

Menanggapi realitas tersebut, para pembicara menyampaikan pendapatnya. Ibu Maya berharap bahwa ia akan mampu memberi penyadaran kepada warga masyarakat untuk menggunakan hak pilih dengan baik dan menentukan pilihan berdasarkan hati nurani, bukan berdasarkan uang yang diterima. Ibu Yuliana menyatakan bahwa politik uang tidak mendidik dan ia tidak akan melakukannya. Hal itu karena selain bertentangan dengan undang-undang, politik uang juga membutuhkan dana relatif besar dan ia tidak memiliki dana tersebut. Ibu Esti mensinyalir bahwa munculnya apatisme di kalangan masyarakat bukan murni atas kesadaran sendiri namun karena ada manuver politik dari kalangan tertentu, dengan harapan dapat mengurangi suara yang akan diperoleh oleh partai lain. Terkait dengan politik uang, ia sangat menyayangkan terjadinya hal tersebut. Ia tidak hanya menyalahkan pihak pemberi tetapi juga pihak penerim yang kadang kala menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Bersedia menerima pemberian bantuan dari pihak manapun. Menurut ibu Esti, kondisi ini masih bisa dimaklumi bila terjadi di daerah-daerah miskin, namun realitanya banyak warga dari kalangan menengah yang juga melakukan hal tersebut.

Salah satu hal yang ikut menentukan keberhasilan sebuah partai atau seorang caleg mendapatkan dukungan suara dari rakyat, menurut Dr. Bambang Hudayana, adalah kaderisari. Terkait dengan hal tersebut, Ibu Maya menyatakan bahwa ia telah memiliki jaringan yang dapat mendukung langkahnya menuju gedung dewan, yaitu dukungan dari sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang kebetulan keanggotaannya hingga akar rumput. Selain itu, ia juga mengandalkan partai politiknya yang juga memiliki massa hingga akar rumput. Ibu Yuliana menanggapi bahwa ia yakin mampu merebut dukungan rakyat karena program kerja partai yang sangat pro rakyat. Selain itu, juga kepribadian yang dimilikinya, yaitu supel dan jujur. Sebagai gambaran, banyak teman di kantor yang merasa kehilangan saat ia tidak masuk kantor. Ibu Esti menanggapi isu kaderisasi, bahwa partainya sangat menekankan proses kaderisasi. Bahkan, ia merupakan kader lulusan pertama dari sekolah diklat yang dilaksakan oleh PDIP. Selain itu, komunikasi politik selalu ia bangu dengan konstituennya. Bahkan akhir-akhir ini, komunikasi itu semakin intensif. Hampir setiap hari ia sampai di rumah jam 22 malam karena kesibukan komunikasi politik yang ia lakukan dengan konstituennya.

Sebagai calon wakil rakyat yang memiliki konstituen di DIY, tentu para narasumber tidak dapat terlepas dari persoalan-persoalan yang terjadi di DIY. Persoalan kritis terkait dengan keistimewaan DIY adalah masalah agrarian. Ada isu bahwa semua tanah milik kraton dan pakualaman akan ditarik dan tidak boleh dimanfaatkan lagi oleh warga yang selama ini memanfaatkannya. Terkait dengan hal itu, Ibu Maya menyatakan bahwa ia merupakan salah satu pihak yang sebenarnya tidak setuju dengan keistimewaan DIY karena ia yakin hal itu akan menimbulkan banyak masalah, seperti yang muncul saat ini. Ia berpendapat bahwa tanah idealnya dikuasai oleh negara dan rakyat sebatas menggunakannya, seperti sistem yang berlaku di negara-negara barat dan juga Singapura. Jadi tidak boleh ada warga negara yang memiliki tanah, semua hanya hak guna. Ibu Yuliana menanggapi bahwa pihak kraton tidak akan keberatan tanah milik kraton dimanfaatkan oleh rakyat. Sejarah telah menunjukkan bahwa selama ini kraton telah rela berkorban apapun untuk kesejahteraan rakyat, bukan hanya tanah. Jadi bila ada persoalan terkait dengan tanah, silahkan kontak saya, nanti saya bantu karena saya mempunyai banyak kenalan dari kalangan kraton. Ibu Esti menyatakan bahwa sebelumnya memang ada wacana penarikan kembali tanah kraton yang dituangkan dalam rancangan perda terkait keistimewaan DIY.  Namun setelah muncul aspirasi dari warga masyarakat yang menentang rancangan tersebut, maka DPRD mengubah rancangan tersebut. Warga masyarakat yang selama ini memanfaatkan tanah kraton tetap boleh memanfaatkannya dengan syarat meminta ijin kraton. Anak cucu  dari sebuah kelaurga yang tinggal di tanah magersari boleh terus memanfaatkan tanah tersebut dengan syarat memperbaharui perjanjian dengan pihak kraaton.

Terkait dengan isu caleg yang harus asli daerah yang diwakili, ibu Maya kurang setuju dengan hal tersebut. Kita hidup di negeri Indonesia yang memiliki latar belakang suku, agama, ras yang berbeda-beda, dan kita berharap kita bisa membangun Indonesia yang mampu mengayomi semua warga negaranya, tak membeda-bedakan latar belakangnya. Semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama, termasuk dalam bidang politik. Oleh karena itu, wajar bila semua orang boleh dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di daerah manapun. Satu syarat yang diperlukan, yaitu ia mampu menyampaikan aspirasi dari konstituennya. Jadi dalam pemilu, saya kira tidak relevan lagi isu asli atau tidak asli. Kalau asli terus mengapa gitu lho.

Terkait dengan isu bantuan yang sering kurang mendidik yang diberikan kepada kaum miskin, ibu Esti setuju bahwa bantuan yang diberikan kepada kaum miskin/pihak yang membutuhkan harus bersifat mendidik, yaitu bisa menumbuhkan kemampuan untuk mengatasi persoalannya sendiri tanpa bergantung dengan pihak lain. Namun demikian kita juga tidak dapat menutup mata, apabila kondisi sangat darurat maka bantuan dapat diberikan secara langsung/karitatif. Kalau rakyat mengalami kekeringan maka untuk pemberdayaan kita bisa memberikan bantuan pompa air, namun bila tingkat kekeringan sudah sangat parah maka bantuan berupa air bersih tidak boleh dilarang.

Terkait dengan isu liberalisasi pasar, Ibu Maya meyatakan bahwa kita tidak boleh anti pati dengan pemodal dari luar karena maju tidaknya suatu wilayah sangat tergantung dengan keberadaan modal. Yang kita perlukan adalah adanya regulasi/aturan yang jelas-jelas memiliki keberpihakan kepada rakyat. Dengan aturan tersebut diharapkan rakyat bukan hanya menjadi pihak penonton yang tidak memiliki peran sama sekali dalam perputaran roda perekonomian tetapi juga terlibat aktif dalam kegiatan tersebut sehingga mereka dapat ikut menikmati manfaatnya.*