Meja Makan: Penentu Kedaulatan Pangan Kita

“Menu apa yang biasa kita makan sangat berpengaruh pada kedaulatan pangan di negeri ini. Hal itu bisa terjadi karena guna mewujudkan sebuah menu hidangan yang tersaji di meja makan, diperlukan banyak jenis bahan pangan yang berasal dari berbagai tempat. Misalkan tadi pagi kita makan nasi pecel maka bila kita cermati maka bahan pangan yang dibutuhkan untuk membuat nasi pecel bisa berasal dari banyak tempat, sayurnya dari lereng Merapi, berasnya dari Delanggu, kacangnya dari Sukoharjo, dll. Sebaliknya bila tadi pagi kita makan burger maka kita dapat mencermati bahwa bahan yang dibutuhkan untuk membuat burger berasal dari tempat yang lebih jauh, gandumnya dari Eropa, dagingnya dari USA, dll. Bila menu makan kita terbuat dari bahan pangan produk lokal maka kita sudah turut membangun kedaulatan pangan namun bila menu makan kita terbuat dari bahan pangan yang harus diimpor dari negara lain maka kita akan melemahkan kedaulatan pangan kita”, demikian pernyataan Dr. Baiquni membuka acara bedah buku hasil kajian CEES yang berjudul “Kisah Meja Makan: Pemberdayaan Masyarakat Urban Menuju Kedaulatan Pangan” yang diselenggarakan oleh CEES bekerja sama dengan Tifa, Pusat Studi Pariwisata UGM, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Impuls, dan Pintal. Acara yang diselenggarakan di ruang sidang besar PSPK UGM dan dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan tersebut, selain menghadirkan pembicara Dr. Baiquni dari Puspar UGM, juga menghadirkan Dr. Sri Peni Wastutiningsih dari CEES dan Baning P. seorang aktivis di bidang pertanian mandiri.

Untuk membangun kesadaran akan pentingnya bahan pangan lokal bagi kedaulatan pangan bukan hanya tanggung jawab LSM atau negara, namun juga tanggung jawab kita bersama. Partisipasi kita antara lain dengan mengubah kebiasaan makan kita. Bila selama ini kita memiliki kebiasaan mengkonsumsi menu makanan yang memiliki kandungan bahan pangan impor tinggi maka demi kedaulatan pangan kita harus berani meninggalkan kebiasaan tersebut dan beralih mengkonsumsi menu makanan yang terbuat dari bahan pangan yang ada di daerah kita. Hal ini memang tidak mudah karena selain terkait dengan kebutuhan fisik, menu makan yang kita makan juga terkait dengan kebutuhan psikis, yaitu prestasi sosial. Bagi sebagian orang, makan makanan fastfood misalkan Mc Donald, Pizza Hut, KFC, dll yang memiliki kandungan bahan pangan impor tinggi, bukan hanya dapat mendatangkan rasa kenyang tapi juga dianggap dapat meningkatkan prestise mereka. Sebaliknya bagi mereka mengkonsumsi makanan yang berbahan pangan lokal seperti ketela akan menurunkan prestise mereka.

Untuk membangun kesadaran akan arti penting pangan lokal bagi kedaulatan pangan di negeri ini dibutukan proses yang tidak singkat. Berkaca pada masyarakat Jepang yang membutuhkan waktu hampir 40 tahun untuk membangun kesadaran masyarakatnya agar bangga mengkonsumsi makanan lokal, maka untuk mewujudkan hal tersebut kita harus segera memulainya, dan harus ditanamkan sejak dini, sejak masa anak-anak, agar kita tidak terlambat. Meskipun hal itu berat, namun bila kita tidak segera memulainya maka dikhawatirkan bangsa Indonesia akan kehilangan kedaulatan pangan. Pada saat ini kita sudah mulai kehilangan kedaulatan pangan karena sebagian besar bahan pangan kita diimpor dari Negara lain, bukan hanya bahan pokok seperti beras tapi juga bahan pangan penunjang seperti kedelai, daging, garam. Bila tidak hati hati maka kita bisa terperosok dalam jurang krisis pangan, apa yang dapat kita lakukan bila Negara-negara tersebut menghentikan ekspor bahan pangannya ke negeri ini? tentu akan terjadi krisis pangan yang dapat membahayakan eksistensi bangsa dan Negara kita.

Sementara itu Baning P. dalam presentasinya menggambarkan bagaimana bangsa ini telah terjebak dalam situasi yang sulit. Para petani kita telah kehilangan kedaulatannya karena sebagian besar faktor produksi bidang pertanian misalnya bibit, pestisida, pupuk, dll telah dikuasai oleh perusahaan multi nasional. Pada saat ini petani tidak memiliki kemandirian lagi dan sangat tergantung dengan perusahaan multi nasional. Ketergantungan itu diperkuat oleh rendahnya kesadaran konsumen di negeri ini akan bahan pangan lokal. Mereka lebih senang membeli bahan pangan yang dihasilkan oleh pertanian modern karena wujud/penampakannya lebih baik dibanding komoditas sejenis yang dihasilkan oleh petani tradisional. Untuk mengatasi permasalahan ini maka perlu dibangun kesadaran dari para konsumen akan pentingnya bahan pangan yang dihasilkan oleh pertanian mandiri bagi kedaulatan bangsa.

Dr. Peni sebagai pembicara ketiga menekankan akan pentingnya dialog dalam berbagai aras guna meningkatkan peran serta masyarakat dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Dialog harus dibangun dalam berbagai aras, yaitu aras pengambil kebijakan, aras masyarakat dan aras teknologi. Dalam aras pengambil kebijakan, harus ada dialog antara para pengambil kebijakan dengan korporasi-korporasi internasional yang dapat mendukung terjadinya penguatan kedaulatan pangan di negeri ini. Para pengambil kebijakan harus berani menolak langkah-langkah yang ditempuh oleh korporasi internasional yang dapat melemahkan kedaulatan pangan kita. Dalam tataran masyarakat/konsumen harus dibangun dialog yang dapat membuka kesadaran akan perlunya pemanfaatan bahan pangan lokal sebagai pengganti bahan pangan sejenis yang harus diimpor dari luar negeri. Sebagai contoh, untuk mengurangi ketergantungan pada beras yang sebagian besar harus diimpor dari luar negeri maka kita harus mengkonsumsi komoditas lokal sebagai pengganti beras, misalnya ketela, ubi, sagu, dll. Untuk menggantikan tepung terigu yang harus diimpor dari luar negeri kita bisa menggunakan tepung mocaf. Dalam tataran teknologi juga harus dibangun dialog agar tumbuh kesadaran untuk menghargai pangan lokal.