Jumat, 8 November 2019, berlokasi di Ruang Sartono, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM), telah berlangsung Diskusi Publik dengan topik “Menuju Desa Inklusif 2020: Peran Perguruan Tinggi dan Masyarakat Sipil dalam Mengawal Implementasi Desa Inklusif”. Acara ini terselenggara atas kerja sama dari Program Inovasi Desa (PID) Kementerian Desa PDTT, Program Peduli, The Asia Foundation (TAF), Australian Government, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM), dan Pusat Rehabilitasi YAKKUM.
Ade Siti Barokah, program director TAF sekaligus moderator dalam acara ini memberikan pengantar kepada peserta diskusi. Ia mengucapkan terima kasih atas antusiasme dan kedatangan peserta dari berbagai elemen, mulai dari pegiat desa, akademisi, mahasiswa, perwakilan berbagai fakultas dan pusat studi di UGM, hingga penyandang disabilitas. Diskusi publik ini turut menghadirkan empat pembicara utama, yaitu Anwar Sanusi, P.hD (Sekretaris Jendral Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi), Dr. Arie Sujito (Sosiolog & Aktifis Penggerak Desa), Ulya Jamson, S.IP, M.A (Dosen dan Peneliti FISIPOL UGM), dan Edy Supriyanto (Direktur SEHATI dan perwakilan Pegiat Desa Inklusif Sukoharjo).
Sekjen Kemendesa PDTT, Anwar Sanusi, P.hD., mengawali diskusi dengan pembahasan Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa sebagai sesuatu yang baru dan konstruktif dalam pelaksanaan desa infklusif pada tahun 2020. “Dengan adanya Undang-undang Desa akan menghadirkan desa dalam sebuah konstruksi yang sama dengan sebuah negara dengan panggungnya adalah musyawarah desa. Ke depan, kita terbuka untuk melakukan review, dan forum ini adalah forum yang tepat untuk mendapatkan berbagai masukan bagaimana upaya menciptakan desa yang inklusif.” Ucapnya.
Sementara itu, tiga pembicara lainnya menambahkan sejumlah masukan untuk pelaksanaan desa inklusif pada tahun 2020. Dr.Arie Sujito menjelaskan bahwa Desa seringkali “galau” karena turunan Undang-undang nomor 6 tahun 2014 kurang eksplisit memberikan ruang bagi para kelompok rentan dalam pembangunan desa sehingga diperlukan sebuah langkah terobosan. Baginya, pembangunan desa yang Inklusif adalah jalan bagi kelompok rentan untuk hadir sekaligus berpartisipasi dalam pembangunan desa dengan pendekatan struktural maupun kultural. “Demokrasi dapat dipakai dalam rangka memperjuangkan inklusifitas (struktural) dan diperjuangkan melalui berbagai forum lokal. Salah satu contohnya seperti pengajian.” Ungkapnya.
Dosen dan Peneliti FISIPOL UGM, Ulya Jamson, S.IP, M.A mengutarakan pengalaman studinya pada awal terbitnya Undang-undang Desa tahun 2014. Ia melihat kecenderungan desa sebagai arena “shifting politic”. Implikasinya, posisi desa menjadi relatif strategis dalam mengimplementasikan nilai-nilai inklusi sosial secara praktikal. Tak ketinggalan, Edy Supriyanto, selaku Direktur SEHATI & perwakilan Pegiat Desa Inklusif Sukoharjo, turut berpendapat bahwa peran kelompok rentan dalam kegiatan pembangunan inovasi desa, terutama bagaimana kelompok rentan bersama desa melakukan beragam inovasi secara berkesinambungan, berkelanjutan dan inisiatif tanpa “cambukan” Program Inovasi Desa.
Pembahasan, pembelajaran dan pengalaman dari masing-masing pembicara dan para peserta diskusi memberikan wawasan baru guna mendorong tercapainya implementasi desa inklusif 2020. Gagasan desa inklusif tidak hanya menyasar penyandang disablitias, namun juga mengidentifikasi aktor-aktor yang masih minim partisipasi dalam pembangunan desa. Diskusi publik ini memberikan 3 poin agenda ke depan: 1) Memastikan aktor desa inklusif (baik kita sendiri maupun desa, menjadi bagian dalam mengambil kebijakan di desa); 2) Memastikan layanan dasar dapat dinikmati semua orang; 3) Menjadi bagian dari orang desa yang aktif dalam membuat kebijakan di desa. Dengan adanya gagasan-gagasan tersebut, diharapkan dapat memberikan peluang diskusi-diskusi antar stakeholder dalam rangka menciptakan ide-ide berikutnya untuk pencapaian desa inklusif tahun 2020 secara terkawal. [Ali]