Kamis, 3 Oktober 2019 Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) kembali mengadakan seminar bulanan bertajuk “Rural Corner”. Pada episode keempat kali ini, “Rural Corner” mengangkat tema “BUMDes Sebagai Kewirausahaan Sosial untuk Kesejahteraan Masyarakat Desa,” dengan menampilkan Sukasmanto, SE, M.Si (akademisi dan aktivis BUMDes IRE Yogyakarta) serta Ton Martono (Ketua BUMDes Karangrejek, Wonosari, Gunung Kidul). Acara yang berlangsung di Ruang Sartono, PSPK UGM, Bulaksumur G-7 Yogyakarta ini dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan, antara lain akademisi baik dosen maupun mahasiswa, tokoh masyarakat, praktisi BUMDes di DIY dan Jawa Tengah, para pegiat desa membangun hingga masyarakat umum.
Dalam pemaparannya, Sukasmanto menyatakan bahwa berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah, BUMDes dibentuk dengan tujuan untuk kesejahteraan masyarakat desa. Hal itu tercermin dari definisi BUMDes menurut UU No. 6 tahun 2014 tentang desa, BUMDes adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Selaras dengan definisi tersebut, maka semangat yang harus dimiliki oleh BUMDes adalah semangat kewirausahaan sosial untuk menjalankan usaha demi pembangunan sosial dan pemberdayaan masyarakat. Namun realita di lapangan menunjukkan bahwa banyak BUMDes berorientasi menyimpang dari tujuan tersebut, dan semata-mata hanya untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. BUMDes telah meninggalkan semangatnya kewirausahaan sosial dan beralih sebagai pelaku usaha yang semata-mata hanya mencari keuntungan.
Banyak faktor yang menyebabkan BUMDes di desa semata-mata mengejar keuntungan usaha, salah satunya adalah motivasi dan orientasi pendirian BUMDes. Karena ada anggapan dari para pihak, baik dari kalangan pemerintah maupun masyarakat bahwa yang disebut BUMDes yang baik adalah yang mampu mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, maka akhirnya banyak BUMDes yang didirikan hanya untuk meraih keuntungan semata dan mengabaikan sisi pembangunan sosial dan pemberdayaan masayarakat.
Menurut Sukasmanto, persoalan lain yang dihadapi oleh BUMDes selain terjadinya pergeseran motivasi dan orientasi adalah kegagalan serta ketidakmampuan BUMDes untuk berkembang. Ada beberapa faktor yang menyebabkan BUMDes gagal berkembang, yaitu adanya dominasi elit lokal, konflik pengelolaan aset dengan desa, pendirian BUMDes tanpa musyawarah Desa, pendirian BUMDes tidak melalui kajian dan persiapan yang matang, hanya berorientasi jangka pendek, hanya berorientasi pada keuntungan untuk pendapatan asli desa, masuk ke bisnis yang persaingannya ketat, pendirian BUMDes hanya merupakan program top-down yang bersifat masal atau penyeragaman dari Pemda, dan BUMDes dikembangkan dengan akuisisi kegiatan ekonomi yang sudah berjalan.
Selain mencermati faktor penyebab kegagalan BUMDes, Sukasmanto juga mencermati faktor-faktor yang menyebabkan sebuah BUMDes bisa berkembang dan meraih kesuksesan, yaitu kemampuan mengidentifikasi aset, potensi, kebutuhan, dan kegiatan ekonomi desa. Dari hasil identifikasi tersebut, BUMDes memilih kegiatan ekonomi yang sesuai dengan kebutuhan warga masyarakat dan kegiatan ekonomi yang ada di desa, serta memanfaatkan semaksimal mungkin aset dan potensi yang dimiliki desa. Faktor lainnnya adalah adanya masyarakat yang aktif, adanya komitmen pemerintah desa, pendirian BUMDes disosialisasi dengan benar, tim kajian/persiapan bekerja maksimal, pendirian BUMDes memiliki alasan yang kuat, adanya social entrepreneurs di desa, adanya “Entrepreneur Bio” yaitu entrepreneur yang memiliki passion, keahlian, resilience, naluri bisnis dan ketrampilan manajemen, dan adanya pendamping dari berbagai pihak.
Untuk mendorong agar BUMDes memiliki semangat kewirausahaan sosial maka setiap BUMDes perlu didorong untuk menjiwai empat elemen. Pertama social value. BUMDes harus memiliki peran dalam menciptakan kebermanfaatan sosial dalam arti mampu membantu menyelesaikan permasalahan sosial yang dihadapi warga masyarakat, misalnya ekonomi, lingkungan, kesehatan, dan pendidikan. Kedua, civil society yaitu adanya peran masyarakat sipil secara luas dalam mengoptimalkan modal sosial yang ada. Ketiga, Innovation yaitu adanya inovasi dalam berbagai aspek, misalnya model bisnis, proses produksi, pemasaran, dan upaya penyelesaian persoalan yang ada. Keempat, economic activity, yaitu mampu membangun keseimbangan antara aktivitas sosial dan aktivitas bisnis.
Faktor kunci agar BUMDes memiliki semangat kewirausahaan sosial adalah adanya pengelola BUMDes yang mampu melaksanakan beberapa hal, yaitu mencoba mendobrak batasan ideologi dan disiplin, mengidentifikasi dan menerapkan solusi praktis untuk masalah sosial dengan menggabungkan inovasi, sumber daya, dan peluang, berinovasi dengan menemukan produk baru, layanan baru, atau pendekatan baru untuk masalah sosial, fokus pada penciptaan nilai sosial dan bersedia untuk berbagai inovasi dan wawasan agar orang lain dapat meniru, berani memulai sebelum memastikan sumber daya mencukupi, memiliki keyakinan teguh dalam kapasitas bawaan setiap orang, seringkali terlepas dari pendidikan, untuk berkontribusi secara berarti bagi pembangunan ekonomi dan sosial, menunjukkan tekat yang mantap untuk mengambil resiko yang tidak berani dilakukan orang lain, menjaga keseimbangan antara semangat untuk berubah dengan semangat untuk mengukur dan memantau dampaknya, memiliki banyak hal untuk sharing learning dengan pembuatan perubahan di sektor lain, dan menunjukkan ketidaksabaran yang kuat.
Sementara itu, Ton Martono sebagai narasumber kedua memaparkan bahwa sebelum memiliki BUMDes Desa Karangrejek merupakan desa yang masuk kategori IDT, terisolir dan sering mengalami kekeringan. Disebut desa miskin karena dari 900 rumah, hanya 136 rumah yang bersifat permanen (berdinding tembok), sedangkan sisanya merupakan rumah semi permanen (sebagian tembok, sebagian gedek). Sebagian besar warga masyarakat bekerja sebagai buruh serabutan/buruh tani dan hanya 16 orang yang bekerja sebagai pegawai negeri. Hanya sedikit warga yang mampu mencapai pendidikaan perguruan tinggi, sedangkan sebagian besar pemuda lebih memilih merantau daripada melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi selepas sekolah. Desa terisolir karena tidak ada jalan, listrik dan air.
Menyadari kondisi desa yaang memprihatinkan tersebut maka Ton Martono bersama dengan beberapa warga yang memiliki kepedulian untuk memajukan desa berinisiatif untuk membentuk BUMDes. Salah satu jenis usaha yang dipilih adalah penyediaan air bersih (PAMSIMAS). Pada saat memilih jenis usaha tersebut terdapat banyak kendala antara lain tantangan dari tokoh masyarakat dan sebagian besar warga masyarakat akibat kondisi alam desa Karangrejek yang tidak memiliki sumber mata air. Untuk mengatasi kendala tersebut maka Ton berencana melakukan pengeboran air tanah. Meski rencana tersebut ditentang oleh banyak pihak, namun ia tetap melakukan pengeboran air tanah hingga kedalaman 150 m. Ia berhasil mendapatkan air tanah, namun kendala lain yang dihadapi ketidakadaan pompa yang mampu menaikkan air tanah tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut ia merencanakan membeli pompa air senilai 450 juta rupiah, namun BUMDes tidak memiliki dana cukup. Ia mencoba mencari pinjaman ke bank namun tidak ada bank yang bersedia memberikan kredit sebesar itu. Ia terpaksa mengumpulkan iuran dari beberapa pengurus BUMDes. Namun karena dana yang terkumpul relatif kecil maka akhirnya ia memutuskan untuk mengumpulkan sertifikat tanah dari beberapa pengurus BUMDes. Hasil dari penjualan sertifikat tanah selain dipakai untuk membeli pompa juga untuk membangun bak penampungan air dan membeli pipa jaringan. Sedangkan untuk memasang pipa jaringan ia mengajak warga masyarakat untuk gotong royong. Setelah jaringan terbangun ia mengajak warga untuk berlangganan air, ia juga mengajak warga dari desa lain. Dari pengelolan air PAMSIMAS tersebut akhirnya BUMDes memperoleh penghasilan rutin yang mencapai puluhan juta per bulan.
Setelah keuangan BUMDes kuat, maka Ton Martono bersama pengurus lainnya berencana melakukan diversifikasi usaha BUMDes, yaitu simpan pinjam, agribisnis pertanian dan rest area. Banyak faktor yang menjadi pertimbangannya dalam memilih jesnis usaha baru tersebut kegiatan simpan pinjam dipilih untuk melepaskan warga masyarakat dari jeratan rentenir/bank plecit, agribisnis pertanian dipilih untuk melepaskan para petani dari tengkulak/pengijon yang sering merugikan oetani karena membeli hasil pertanian dengan harga rendah, sedangkan rest area dipilih karena lokasi desa Karangrejek yang strategis, terletak di jalan wonosari dan pantai baron. Selain melakukan diversifikasi usaha BUMDes Karang rejek juga melakukan pembangunan sosial dan pemberdayaan masyarakat, antara lain dengan menyediakan fasilitas ambaulance gratis bagi warga desa yang sakit dan ingin berobat ke rumah sakit, serta untuk mengangkut warga yang meninggal. Selain itu BUMDes juga memberikan dana pemakaman bagi warga yang meninggal dunia. BUMDes juga memberikan beasiswa bagi anak-anak sekolah dari kalangan warga kurang mampu.
Dalam sesi diskusi, Khoiry mahasiswa program doktoral menyatakan rasa keheranan atas sikap Ton Martono dan banyak orang yang mau menjadi pengurus BUMDES dengan honor yang sangat kecil. Selain itu ia juga bertanya peluang warga untuk memiliki sahan dalam BUMDes sehingga ia juga dapat deviden. Agus Dwianto peserta seminar dari Pendowoharjo yang juga pengurus BUMDes menceritakan bahwa keberhasilan sebuah BUMDes diawali dari adanya orang “gila” yang mamu berkorban untuk mengembangkan BUMDes. Tanpa adanya orang yang mampu bedarah-darah untuk mengembangkan BUMDES maka peluang BUMDes untuk maju ssangat kecil. Ia juga menyatakan bahwa BUMDes harus mampu menyeimbangkan orientasi sosial dan orientasi ekonomi, BUMDes harus mampu berbisnis tapi juga mampu bergai kepada warga masyarakat. Sementara Endah, peserta seminar yang bekerja sebagai dosen di sebuah Perguruan Tinggi menyampaikan pertanyaan tentang cara menciptakan model bisnis untuk satu wilayah dan cara menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pengurus BUMDes yang mengelola aset milyaran.
Menanggapi pernyataan dan pertanyaan peserta, Sukasmanto menyatakan bahwa kesulitan dalam mendirikan BUMDes adalah menemukan aktor di desa yang siap berjuang untuk mengembangkan BUMDes. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut adalah dengan melakukan sosialisasi tentang BUMDes dengan melibatkan banyak pihak. Berdasarkan pengalaman, aktor bisa ditemukan dari lembaga desa atau tokoh masyarakat. BUMDes Karangrejek sudah menunjukan kewirausahaan sosial dari pengelolaan air bersih yang dilakukan karena tarif ditentukan berdasarkan musyawarah dengan warga. Selain itu, BUMDes sudah melakukan pembangunan sosial melalui program ambulance gratis, biaya pemakaman dan beasiswa bagi anak dari kalangan tidak mampu. Sedangkan cara menciptakan bisnis model adalah dengan identifikasi potensi dan aset, pemetaan aktor dan penentuaan bisnis. Sementara itu Ton Martono menanggapi pertanyaan peserta dengan menyatakan bahwa semangat yang harus dibangun oleh pengelola BUMDes adalah semangat pengabdian. Pengurus BUMDes yang memiliki semangat untuk mengabdi tidak akan mempermasalahkan honor yang kecil. Namun demikian kalau BUMDes sudah mampu maka kesejahteraan pengurus dan karyanan juga perlu diperhatikan. Untuk menjaga kepercayaan warga maka keuangan BUMDes dikelola secara transparan dan akuntabel, antara lain dengan membuat laporan setiap bulan dan diaudit oleh kantor akuntan secara periodik. [Mulyono]