Sektor Pertanian: Sektor Penting yang Semakin Ditinggalkan

“Isu seputar masalah pembangunan pertanian merupakan isu lama yang tidak pernah basi untuk dibicarakan. Namun hingga saat ini belum ada solusi jitu yang dapat dilaksanakan untuk mengatasi masalah tersebut. Hingga saat ini bangsa Indonesia masih belum bisa mewujudkan swasembada pangan, apalagi menggapai kedaulatan pangan.” Demikian pernyataan penyaji dalam seminar bulanan yang dilaksanakan di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan pada hari Kamis, tanggal 20 Oktober 2011. Seminar yang dilaksanakan secara rutin setiap bulan tersebut pada kesempatan itu menampilkan seorang pembicara, Prof. Susetiawan guru besar sosiologi pedesaan dari Fakultas ISIPOL Universitas Gadjah Mada dan peneliti senior PSPK UGM, dengan moderator Suparmi, S.TP, peneliti PSPK UGM. Topik yang dibahas dalam seminar sore tersebut adalah “Kegagalan Pendidikan Pertanian: Pemuda Desa Semakin Teralienasi dari Sektor Pertanian.

Kegagalan pembangunan pertanian yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia membawa dampak yang sangat besar bagi rendahnya tingkat kesejahteraan petani Indonesia. Sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah melaksanakan berbagai kebijakan yang kurang berpihak pada kesejahteraan petani misalnya kebijakan impor bahan pangan dari luar negeri, kebijakan revolusi hijau, dan kebijakan pengaturan distribusi produk pertaanian dalam negeri.

Guna meningkatkan ketahanan pangan rakyat Indonesia, pemerintah melakukan kebijakan impor bahan pangan. Nilai impor bahan pangan Indonesia ini dari tahun ke tahun semakin meningkat persentasenya, sehingga tingkat ketergantungan bangsa Indonesia pada negara lain/luar negeri semakin besar. Kebijakan ini menjadi alternatif utama yang dipilih pemerintah Indonesia karena kebijakan ini merupakan kebijakan yang sangat mudah untuk dilaksanakan. Bahkan kebijakan ini juga dapat memberi peluang pada oknum pengambil kebijakan untuk menarik keuntungan pribadi. Dalam jangka pendek kebijakan ini memang dapat mengatasi permasalahan ketahanan pangan bangsa Indonesia yang dari tahun ke tahun semakin kompleks akibat tingginya laju pertumbuhan penduduk Indonesia. Namun dalam jangka panjang kebijakan ini dapat menghancurkan sector pertanian dalam negeri. Hal ini wajar karena produk pertanian dalam negeri kalah bersaing dalam hal harga dengan produk pertanian dari luar negeri. Para petani dari Negara maju dapat menjual harga produk mereka karena dalam proses produksi mereka mendapat subsidi dari Negara. Sementara itu petani dalam negeri tidak mampu menjual produk pertanian mereka dengan harga yang sama atau lebih rendah dari harga produk luar negeri karena dari tahun ke tahun subsidi yang diberikan oleh pemerintah pada mereka semakin kecil sedangkan harga sarana produksi pertanian (pupuk, bibit, pestisida, dll) dari tahun ke tahun terus meningkat. Kekalahan produk pertanian dalam negeri dari produk pertanian luar negeri menyebabkan pendapatan petani dari usaha tani menjadi semakin rendah, sehingga margin keuntungan yang didapat juga semakin kecil.

Hal itu mungkin tidak akan menjadi problem pelik bagi para petani bila biaya produksi pertanian rendah, namun karena biaya produksi relatif tinggi dan semakin meningkat dari tahun ke tahun maka keuntungan tersebut tersedot habis untuk menutup biaya produksi. Otomatis hal itu menyebabkan petani tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan harus berhutang agar kebutuhan hidup mereka terpenuhi. Kondisi tersebut menyebabkan keluarga petani tidak mengalami peningkatan kesejahteraan.

Kebijakan revolusi hijau yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia di era Orde Baru merupakan kebijakan pertanian yang turut andil dalam menciptakan kegagalan pembangunan pertanian di Indonesia. Meski kebijakan ini tidak dapat dikatakan sepenuhnya gagal karena dalam tataran produksi kebijakan tersebut sebenarnya juga dapat meningkatkan produksi pangan dalam negeri, namun kebijakan ini merupakan kebijakan pembangunan yang tidak dapat dimasukkan dalam kategori berhasil. Hal itu karena meski kebijakan tersebut dapat meningkatkan tingkat produksi pangan dalam negeri namun disisi lain kebijakan tersebut menyebabkan merosotnya tingkat kesejahteraan petani Indonesia. Penekanan strategi revolusi hijau pada upaya peningkatan produksi pangan dalam negeri telah menyebabkan petani yang sebenarnya memiliki posisi penting dalam usaha tesebut menjadi pihak yang dikorbankan karena sama sekali terabaikan kebutuhan mereka yaitu kebutuhan untuk dapat hidup sejahtera.

Guna meningkatkan produktifitas usaha pertanian maka pemerintah “memaksa” petani untuk merubah pola usaha tani yang selama ini dilaksanakan. Mereka harus melaksanakan pola usaha tani yang memiliki label “modern”, yaitu pola usaha tani yang memanfaatkan teknologi baru (mekanisasi pertanian, penggunaan bibit unggul, pupuk kimia, pestisida, pola tanam, dll). Kebijakan tersebut tidak akan menimbulkan masalah apabila dibarengi dengan kebijakan dalam distribusi sarana produksi pertanian (saprotan) yang memungkinkan petani dapat memperoleh saprotan tersebut dengan mudah dan murah. Namun sayangnya hal itu tidak terjadi. Guna melaksanakan pola usaha tani modern petani tidak mendapat dukungan yang memadai dari pemerintah. Hal itu nampak jelas dari fenomena yang sering terjadi di lapangan yaitu hilangnya saprotan dari pasar pada saat petani membutuhkan. Kalau pun saprotan ada, namun jumlahnya terbatas sehingga harga yang harus dibayar oleh petani untuk mendapatkan saprotan menjadi relatif mahal. Pemerintah memang telah mencoba untuk melaksanakan berbagai upaya untuk menjaga stabilitas pasokan dan stabilitas harga saprotan namun sayang usaha tersebut tidak sepenuhnya berhasi. Para petani masih seringkali menjadi korban permainan para pedagang nakal saprotan.

Kenyataan itu menunjukkan bahwa kebijakan revolusi hijau telah menghilangkan kedaulatan pangan yang selama ini dimiliki oleh petani. Berbeda dengan pola pertanian tradisional yang memungkinkan petani untuk menyediakan sarana produksi pertanian secara mandiri, pola pertanian modern yang diperkenalkan oleh pemerintah melalui program revolusi hijau memaksa petani untuk menggunakan sarana produksi pertanian yang tidak dapat mereka sediakan sendiri. Revolusi hijau menyebabkan para petani harus menanggalkan kedaulatan pangan yang selama ini mereka miliki dan menjadi sangat tergantung dengan pihak lain dalam pengadaan sarana produksi pertanian. Ketergantungan ini pada akhirnya juga menyebabkan menurunnya kesejahteraan mereka karena biaya produksi jauh lebih tinggi dari hasil yang diperoleh.

Kebijakan ketiga yang turut menjadi penyebab gagalnya pembangunan pertanian Indonedia adalah kebijakan pengaturan distribusi hasil produk pertanian dalam negeri. Kebijakan pengaturan distribusi bahan pangan produk dalam negeri telah gagal menciptakan kesejahteraan bagi kaum tani Indonesia. Penekanan kebijakan ini pada upaya pengamanan ketahanan pangan dalam negeri telah menyebabkan harga jual produk hasil pertanian dalam negeri tidak berpihak pada kaum tani. Upaya pemerintah untuk menyediakan pangan murah bagi rakyat telah mengorban kepentingan petani karena pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengatur harga jual produk pertanian dalam negeri yang memungkinkan rakyat dapat membeli produk tersebut dengan harga murah, yaitu dengan menetapkan harga pembelian produk pertanian dalam negeri yang rekatif sangat murah. Konsekuensi dari kebijakan tersebut adalah penghasilan petani rendah dan kesejahteraan mereka menurun.

Sektor Pertanian Tidak Menarik Lagi Karena Kesalahan Pendidikan?

Salah satu dampak ikutan dari gagalnya pembangunan pertanian di Indonesia adalah semakin ditinggalkannya sektor tersebut. Banyak petani yang menjual lahan pertanian mereka atau mengalihfungsikan lahan pertanian mereka. Penjualan lahan pertanian dan alih fungsi lahan pertanian selain disebabkan oleh rendahnya pendapatan dari usaha tani  juga disebabkan oleh kenyataan semakin sedikitnya orang yang tertarik untuk terjun di sector pertanian. Banyak anak muda yang enggan untuk menekuni usaha pertanian karena selain penghasilan tidak memadai juga karena sektor pertanian tidak memiliki prestos social. Mereka lebih senang untuk merantau ke kota untuk menjadi kuli bangunan, pedagang, atau syukur-syukur bisa menjadi pegawai negeri. Fenomena ini terjadi merata hampir di seluruh pelosok negeri yang terkenal sebagai negeri yang subur makmur ini. Apabila fenomena ini tidak segera diatasi maka tidak aneh apabila di masa yang akan datang tidak akan ada lagi rakyat Indonesia yang terjun di sector pertanian.

Berdasarkan analisis penyaji salah satu factor yang turut menjadi penyebab hilangnya ketertarikan pemuda Indonesia untuk terjun ke sector pertanian, selain karena basis material yang tidak memadai dan stuktur social yang tidak mendukung, adalah pelaksanaan system pendidikan nasional yang tidak peka dan tidak menumbuhkan rasa cinta anak didik terhadap kekayaan lokal khususnya bidang pertanian. Selama ini system pendidikan kita terfokus pada upaya untuk membuat anak didik cerdas semata, namun mereka tidak dididik untuk mencintai kekayaan alam yang ada disekitarnya. Mereka terasing dari dunia sekitarnya sehingga ketika mereka telah lulus sekolah mereka enggan untuk memanfaatkan ilmu yang diperoleh dibangku sekolah untuk mengembangkan kekayaan alam yang ada di lingkungan sekitar mereka. Mereka pada umumnya lebih tertarik pada sector di luar sector pertaniai n, misalnya sector jasa, industry dan perdagangan.

Langkah yang harus segera ditempuh agar para pemuda tertarik untuk meneruskan usaha yang ditekuni oleh orang tua mereka, yaitu usaha pertanian menurut penyaji selain meningkatkan basis material yang diperoleh oleh petani dan merubah struktur sosial masyarakat adalah merubah system pendidikan nasional, yaitu dengan membuat pengayaan atau perubahan kurikulum system pendidikan nasional. Kita harus menanggalkan system pendidikan nasional yang bias kekayaan lokal dengan sistem pendidikan yang peka pada kekayaan local. Kita harus mampu mengembangkan sistem pendidikan nasional yang tidak hanya mampu membuat anak didik menjadi anak yang cerdas, namun juga memiliki kepedulian pada kekayaan lokal yang ada di sekitarnya. Sehingga ketika mereka lulus sekolah mereka tidak perlu lagi ke kota untuk mencari pekerjaan baru, tetapi mau kembali ke desa untuk mengembangkan kekayaan yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka dengan ilmu yang mereka miliki.